Senin, 02 November 2020

Boikot

Putu Wijaya
Suara Merdeka, 6 Maret 2011
 
SEORANG warga memelihara hantu di rumahnya. Berita itu mula-mula menjadi bahan tertawaan. Tetapi ketika beberapa warga mulai datang untuk menengok hantu itu dan diam-diam minta pertolongan, masalahnya jadi berbeda.
 
Ada yang datang untuk minta kesembuhan. Ada yang ingin kaya. Ada yang minta naik pangkat. Minta jodoh. Anak-anak sekolah juga datang mau lulus ujian tanpa harus belajar. Ada juga koruptor-koruptor teri yang minta jangan sampai ulahnya ketahuan, tapi bukan untuk kapok, malahan mau meneruskan kariernya.
 
Tengah malam ada wakil rakyat, mau berdialog dengan hantu dan meminta supaya diberikan petunjuk bagaimana mengurus masyarakat agar jangan bergolak. Ia membaca berita dan desas-desus bahwa gerakan menumbangkan Mubarak di Mesir telah mengalir ke seluruh Timur Tengah. Gaddafi yang angker itu juga sudah dikepret. Ia takut teori domino akan menjalar ke arahnya.
 
Pemilik hantu menikmati kedatangan orang-orang itu. Ia mulai buka warung kecil. Kemudian juga menyediakan kamar bagi yang ingin menginap. Akhirnya ia mengenakan tiket masuk, bagi yang ingin berjumpa dengan peliharaannya. Kabar terakhir, ia memasang plakat di depan rumahnya, bahwa hantunya sudah beranak. Sekarang ia punya sembilan hantu. Masing-masing hantu punya keahlian sendiri-sendiri dan tarif ketemu juga sendiri-sendiri. Ketemu juga sendiri-sendiri.
 
“Ini kebodohan yang harus dibasmi!” kata Ami memanasi Amat supaya bertindak.
 
“Masak di negeri yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa ini, masih ada orang yang memelihara hantu. Bapak harus bertindak. Ini penipuan!”
 
Bu Amat setuju.
 
“Ya, betul! Sebagai orang yang disegani karena dianggap orang tua di lingkungan kita ini Bapak jangan biarkan tetangga itu memelihara hantu. Kan ada Puskesmas, kalau sakit ya berobatnya ke situ. Jangan minta sama hantu. Lihat, sejak tetangga memelihara hantu, anak-anak tidak mau belajar lagi, padahal ujian sudah dekat! Mereka percaya hantu itu akan membantu mereka lulus!”
 
Amat hanya ketawa.
 
“Biarin saja. Kalau dilarang, nanti dikira kita iri. Dia kan banjir uang sejak memelihara hantu. Lihat rumahnya sekarang dibangun. Tiga lantai lagi!”
 
Memang betul, hantu itu membawa perbaikan ekonomi. Yang datang, tak hanya beli tiket, tapi juga membawa oleh-oleh. Kalau pulang meninggalkan amplop yang tentu saja akhirnya jatuh ke tangan pemilik rumah. Apalagi yang pernah meninggalkan amplop tebal, mengaku seluruh permintaannya terkabul.
 
“Jangan dikira hantu tidak mengerti duit,” kata tamu yang sudah berkali-kali datang, “kalau duit yang kita masukkan ke amplop itu kotor apalagi palsu, tahu sendiri akibatnya. Mesti duit baru dari bank. Kalau pakai dollar, serinya harus jelas!”
 
Pemilik hantu itu sendiri tidak punya komentar apa-apa. “Tiket ini gunanya untuk membatasi dan mengatur aliran pengunjung supaya tertib,” katanya memberikan argumentasi, “kami sama sekali tidak mengomersialkan hantu. Uang tiket itu kan untuk kebersihan. Adapun amplop-amplop yang ditinggal pengunjung itu, ya itu urusan pengunjung itu sendiri dengan hantu. Kami hanya menyiapkan tempat pertemuan. Silakan berdialog sendiri. Amplopnya karena ditinggal, ya kami tampung saja sebagai tanda persahabatan. Tidak seberapa kok!”
 
Dia bohong. Orang segera tahu berapa besar isi amplop-amplop itu, sejak di depan rumahnya mulai nangkring mobil Kijang Inova. Istrinya tidak pernah lagi jalan kaki keluar rumah. Ke tetangga pun ia diantar Inova.
 
“Supaya cepat. Habis kalau lama ditinggal nanti hantu-hantunya tidak ada yang ngurus. Sekarang sudah beranak lagi. Jumlahnya sudah 21.”
 
Sukses membuat tetangga juragan hantu itu, masuk ke dalam koran. Dengan nada sinis beberapa wartawan serentak mencerca ulah memelihara hantu itu sebagai tanda kebodohan masyarakat. Mereka mengundang petugas agar bertindak. Jangan sampai terlambat karena itu jelas-jelas menenggelamkan masyarakat ke dalam alam mimpi….
 
Tetapi serangan oleh koran itu malah membuat hantu-hantu yang dipelihara itu semakin terkenal. Orang-orang dari kota lain mulai berdatangan. Bahkan dari Bandung dan Jakarta. Juga tamu dari Kalimantan dan Sulawesi membanjir.
 
Masyarakat ikut menikmati kedatangan orang-orang itu. Tukang-tukang ojek, angkot dan warung-warung jadi panen. Beberapa penduduk ambil kesempatan menyediakan fasilitas parkir dan menginap bagi tamu-tamu.
 
Tapi para mahasiswa mulai bertindak. Dimotori oleh Ami dan kawan-kawannya, mereka menyelenggarakan gerakan antihantu. Beramai-ramai mereka mencoba menghalang-halangi pengunjung dengan memberikan keterangan bahwa semua itu isapan jempol. Tapi usaha itu gagal, yang datang tidak peduli.
 
“Bukan soal percaya-atau tidak pada hantu,” kata mereka, “kami hanya mencoba mencari jalan alternatif untuk membereskan persoalan-persoalan kami yang sudah tidak sanggup kami hadapi sendiri. Siapa tahu ini akan berhasil. Saudara-saudara mahasiswa tidak berhak melarang kami! Jangan pikir karena kalian mahasiswa, kalian yang paling benar! Kami juga warga negara!”
 
Para mahasiswa keki. Mereka tak bisa lagi menahan beberapa anggotanya menyerbu rumah hantu itu dengan lemparan batu. Tapi itu sama sekali tidak membuat rumah hantu itu ditutup. Malah tetangga itu menyediakan beberapa tukang pukul, menjamin kenyamanan para pengunjungnya.
 
“Ini negara merdeka dan tidak ada larangan untuk memelihara hantu!” protes pemilik hantu itu pada Amat. “Saya sudah difitnah! Suara-suara negatif dari mahasiswa dan koran-koran itu semuanya dimotivasi kebencian, kedengkian karena iri hati. Mereka cemburu. Apa salahnya kalau hantu-hantu itu mendatangkan rezeki buat kami? Apa bedanya usaha saya ini dengan usaha jasa yang lain. Coba lihat, ada yang sudah 10 kali datang ke mari. Itu kan jelas membuktikan, usaha saya ini membantu masyarakat!”
 
“Apa mereka pikir enak memelihara hantu? Sekarang kehidupan pribadi saya sudah terganggu karena setiap detik rumah penuh dengan tamu. Saya sudah hampir tidak bisa bernapas lagi karena ngurus tamu. Sementara hantu-hantu itu terus berkembangbiak cepat. Sekarang jumlahnya sudah 100. Saya sekeluarga sudah capek. Saya sudah mau berhenti. Tapi karena dicaci, dicerca, dipojokkan, saya jadi berbalik. Itu semua bukan kritik, itu fitnah! Kritik itu berisi pikiran sehat. Tapi mereka hanya mencaci-maki, menjelek-jelekkan , menghasut masyarakat, menggiring opini publik untuk membenci saya! Saya akan lawan fitnah itu! Rumah hantu ini akan saya lestarikan, biar hantunya terus berkembang sampai jutaan!”
 
Para mahasiswa yang memprotes tetangga yang memelihara hantu itu semakin garang. Setiap kali ada saja usaha mereka mengganggu yang mereka sebut “bisnis terkutuk” itu. Kadang-kadang sampai terjadi perkelahian antara mereka dan para tukang pukul yang berusaha melindungi para pengunjung yang ingin berdialog dengan hantu.
 
Penduduk menjadi resah karena kenyamanannya terganggu. Akhirnya mereka lapor pada Pak RW yang rumahnya bersebelahan tembok dengan tetangga pemilik hantu. Pak RW langsung bertindak. Rupanya ia juga sudah lama kesal.
 
“Memelihara hantu itu perbuatan yang terkutuk. Apalagi mencari nafkah, memperkaya diri, membeli mobil, membangun rumah loteng sehingga menutup pemandangan rumah tetangga, dari hasil menjual jasa bertemu dengan hantu, itu perbuatan kriminal. Kita harus memboikot perilaku asosial itu. Boikot!”
 
Pernyataan Pak RW terdengar oleh wartawan . Langsung dikibarkan di koran lokal. Masyarakat jadi ramai. Mereka ingin tahu apa yang dimaksudkan dengan boikot. Apakah itu berarti tetangga itu akan dikucilkan dari lingkungan. Atau diusir? Atau hanya sekadar digertak.
 
Dilalah seruan boikot itu membuat rumah yang memelihara hantu itu semakin ramai dikunjungi. Yang semula menganggap itu dagelan, karena penasaran akhirnya datang. Mereka beli tiket. Membawa oleh-oleh seperti yang lain. Dan setelah jumpa dengan hantu, meninggalkan amplop. Ada juga yang datang kembali, seperti ketagihan ketemu hantu.
 
Para mahasiswa pun meningkatkan kegiatannya. Mereka mendirikan posko dan gencar memberi informasi kepada para tamu. “Sudah waktunya dunia mistik, klenik dan semacamnya disikat habis. Manusia Indonesia harus hidup rasional, realistis dan bekerja kalau mau maju. Jangan meminta pertolongan hantu.”
 
Omzet rumah hantu itu melonjak. Tetangga pemilik hantu kebanjiran duit. Tukang pukulnya bertambah. Mereka sudah diperlengkapi dengan walkie-talkie dan pakai motor dalam menyambut dan mengamankan tamu-tamu yang mau diskusi dengan hantu.
 
“Sudahlah hentikan protes dan demo,” kata Bu Amat menasihati Ami. “Lihat hasilnya, malah hantunya semakin laris dan pemiliknya tambah kaya. Jangan-jangan nanti kalian dituduh kerja sama, menolong mengiklankan dagangan hantunya!”
 
Ami terkejut.
 
“Amit-amit, kami mau memberantas irasionalitas dari negeri ini, mana mungkin kami membantu orang yang memperdagangkan hantu?”
 
“Ibu mengerti. Tapi protes-protes kalian sudah membuat pengunjungnya tambah banyak. Nanti kalau ada wartawan dari Jakarta, kalian bisa dituduh sudah kongkalikong. Perjuangan kalian yang suci akan ternoda, Ami!”
 
Ami marah. Bersama kawan-kawannya dia mendesak Pak RW untuk mengambil tindakan. Pak RW lalu mengumpulkan warga dan sekali lagi menyerukan: boikot. Tak cukup hanya di lingkungan sendiri, para mahasiswa mengajak Pak RW menghadap yang berwenang.
 
Lalu tetangga yang memelihara hantu itu datang lagi ke Pak Amat, curhat.
 
“Pak Amat,” katanya panik, “maaf beribu maaf, saya tidak paham, mengapa saya dicaci-maki dan difitnah seperti ini? Boikot itu kan hukuman keras yang berat sekali. Itu lebih kejam dari pembunuhan. Dan yang lebih mengherankan saya, kenapa Pak RW yang mengatakannya? Kalau Ami dan adik-adik mahasiswa itu, saya mengerti, karena itu merupakan aspirasi kaum muda yang kelebihan energi. Tapi seorang RW yang bertugas mengayomi warganya, kok sudah mengucapkan sanksi sosial yang sangat keji seperti itu. Boikot itu kan bukan main-main, Pak. Padahal hasil dari usaha memelihara hantu kan sudah saya sumbangkan, untuk memelihara jalan, kebersihan dan juga pendirian sekolah? Kenapa saya dihujat, Pak Amat?” Amat tak sanggup menjawab. Dia lama terdiam. Akhirnya hanya bisa menatap. Tetangga itu merasa tetapan itu memberinya angin.
 
“Betul, Pak Amat, saya punya catatan. Kalau dijumlahkan, sejak memelihara hantu, saya sudah menyumbang hampir Rp 50 juta kepada Pak RW untuk dimanfaatkan buat lingkungan kita. Itu semuanya saya dapat dari mereka yang berkunjung mau ngobrol dengan hantu. Tetapi kenapa saya dikutuk terus oleh pejabat yang saya hormati seperti Pak RW? Lho, Pak Amat tidak keberatan kan saya memelihara hantu? Ini kan wiraswasta yang tidak memberikan dampak polisi. Ya kan, Pak Amat? Setuju Pak Amat?”
 
Amat manggut-manggut. Sebenarnya tidak berarti membenarkan, hanya bermaksud menunjukkan ia paham jalan pikiran tetangganya itu. Tapi tetangga itu seperti dapat angin.
 
“Orang seperti Pak Amat ini, yang saya hargai objektivitas, kenetralannya yang tanpa pamrih, punya partisipasi besar pada perjuangan. Pak Amat saja tidak protes, kok Pak RW yang saya harapkan akan melindungi saya sebagai salah seorang warganya, kok ngomong boikot. Lho saya bukan orang yang supersensitif yang tidak bisa menerima kritik. Sama sekali tidak. Saya orangnya terbuka kok. Pak Amat lihat sendiri kan, itu bukan kritik, saya sudah jadi korban, itu cercaan, fitnah, saya dijelek-jelekkan. Kenapa? Karena saya dapat keuntungan? Tapi saya sudah menyumbang Rp 50 juta kan? Bagaimana pendapat Pak Amat? Apa saya harus menghentikan memelihara hantu? Ini kan sumber penghidupan saya sekarang? Sumber pemasukan buat lingklungan juga! Bagaimana Pak Amat?”
 
Amat menggeleng-geleng tak tahu harus menjawab bagaimana. Tapi tetangga yang punya usaha hantu itu menganggap gelengan itu sebagai dukungan.
 
“Ya hanya Pak Amat yang bisa saya ajak bicara. Hanya Pak Amat yang mendukung saya... Perkara tidak suka, boleh saja. Tapi kita kan sudah merdeka dan hidup di alam demokrasi. Boleh dong saya juga punya pendapat dan kebebasan berusaha. Kok diboikot? Tindakan saya bener kan Pak Amat.”
 
Amat mengangguk, tapi bukan membenarkan. Dia sudah mulai tahu bagaimana harus menanggapi. Dia menatap tetangga yang memelihara hantu itu dengan pandangan bahwa dia sudah mendengar semua keluhannya, tapi bukan berarti dia setuju. Mereka berpandang-pandangan. Ketika Amat mau membuka mulut, tiba-tiba tetangga itu meraih tangan Amat dan menjabatnya sangat erat.
 
“Terimakasih, Pak Amat. Pak Amatlah satu-satunya yang orang yang sudah memberikan kritik pada saya. Yang lainnya itu hanya fitnah orang yang iri karena tidak kebagian. Terima kasih!”
 
Tetangga itu cepat-cepat pergi. Tapi esoknya dia langsung menghentikan bisnis memelihara hantunya, sehingga lingkungan aman kembali.
 

Jakarta, 26 Pebruari 2011 http://sastra-indonesia.com/2020/11/boikot/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest