Di antara mimpi yang berceceran
di atas kursi-kursi panjang
dan air mata bulan sabit,
mereka terduduk sendu
sebelum berlayar ke bilik-bilik kota
sembari membawa maklumat sunyi
dari tanah Italia.
Adalah renta usia matahari
tak lagi perkasa di atas
gunduk-gunduk tanah dan ilalang
juga perkara-perkara akut perihal
mata uang tak berhayat di istana
dan di kantung rizki.
Adalah lautan tangis menghantam
pesisir pantai di Vernaza dan Manarola,
sebab madu tak membasahi dahaga jiwa
tak tentram anak-anak Fino Mornasco
dalam masa lelap yang panjang.
Tua-tua tak perkasa di Valtellina
merayakan nikmat duka
setelah lelah mengukur kedalaman hutan
dan meramal gerak musim:
ini musim kastanye,
ini musim minyak zaitun,
ini musim berburu siput.
Dari Padova, angin meniupkan kabar
janda-janda ingin terbang ke langit Amerika
demi menyaksikan pucuk-pucuk Violet
mekar di bibir anak-anaknya.
Ada satu tak terbaca,
tak terlintas di bola mata mereka:
air mata mengalir sepanjang Sungai Orinoco
ketika bukit-bukit Viaregio, Piacenza dan Calabria
mereka tukarkan dengan gubuk-gubuk kumuh di kota.
Cahaya bulan sabit lindap di pelupuk mata,
perlahan mereka mengayunkan langkah
menuju pantai
di mana kapal-kapal tua membawa mereka
mengantar mimpi ke negeri yang jauh
agar kelak bulan tak menangis lagi
di atas tingkap kereta-kereta
di stasiun Milan.
Puncak Scalabrini, Juni 2020.
Balada Tangisan di Jantung Doa
Malam berjingkat hingga nyaris purna lengang,
seorang wanita setia berjaga
di jantung doa.
Katupan tangannya meluapkan
ayat-ayat damba yang lahir
dari tangisan lambung buah hati
yang disiksa musim yang kelabu.
Sedang ia telah terlampau berpeluh
hingga berdarah
menayangkan tubuh eloknya
di bawah terik mentari yang mengurung rizki.
“Tuhan, padi segantang telah ludes
dicuri tikus-tikus rakus di rumah keramat ini,
sedang lelakiku lupa berkabar
dari tanahnya yang tentram.
Rumah serasa pohon
yang tak memberi kami teduh
sebab daun-daun harapan
telah gugur satu-satu.
O Tuhan, ladang itu tak lagi mengeram berkat.
Demi nama-Mu yang Maha Penyayang,
pandang duka kami,
pandang luka kami, Tuhan.”
Enam batang lilin masih bernyala
di sudut sembah.
rupa-rupa doa masih terus ia rapal
menyesaki perjumpaan malam dan subuh.
Wanita yang malang
masih terus berjaga,
sendirian menyeka air mata
di keriput wajahnya
yang mengalirkan bayang-bayang mimpi
tak bermekar
di ladang asa.
Keping-keping luka berkelindan
di ceruk jiwanya
dan doa masih berdengung kecil
hingga lisut
lalu hilang ditelan malam.
Fajar pun tiba.
Puncak Scalabrini, Mei 2020.
Hikayat Malam Edan
Ini saat kita meluruskan kisah di tanah Eden,
menambah satu dua sentuhan yang
membersihkan noktah-noktah noda
pada lingkaran sejarah Adam dan Hawa.
Di sini kita tak perlukan pundi-pundi.
Cukup menukar kening dan bibir
lalu kita menghayati keagungan
semesta yang meniupkan restu dari
titik-titik maha jauh.
Setelah gerbang suci kita singkapkan,
kita mengeja dan perlahan membaca
rambu-rambu malam dengan cinta.
Kautiupkan ruah di gerbang mulutku
sementara aku meraba-raba pintu
memasuki lorong-lorong rahasia
pada tubuhmu.
Di antara kita, semua menjelma nikmat.
Kularungkan sebatang pena tajam
dan kulukiskan semesta edan
pada lingkaran yang tulus kauberi.
Kumeteraikan dia dalam nyanyian
sabda semenjana mulia:
“Ini pusakaku,
hidup dan matiku,
segenap dan seluruhku.
Telah kubawa ia berlari
dari rupa-rupa durjana,
kuselamatkan ia
dari bidikan nestapa.
Tak akan kubiarkan tanga-itangan lain
menjamahnya, karena ia kepunyaanku.
Ia kesayanganku.”
Di atas tubuhmu kumenoreh sejarah.
kau rengkuh tubuhku utuh,
lalu kita meneruskan narasi biru
hingga purna.
Malam menjelma seribu lenguh.
Setelah tuntas kuteteskan air memabukkan
ke dalam lubangmu
tak terbilang serdadu-serdadu
hikayatkan perang paling sengit
sebelum melumat bibir wanita
yang kelak kan membuahi kehidupan
yang mengabadikan nama kita.
Ruteng, Juli 2020.
tak lagi perkasa di atas
gunduk-gunduk tanah dan ilalang
juga perkara-perkara akut perihal
mata uang tak berhayat di istana
dan di kantung rizki.
Adalah lautan tangis menghantam
pesisir pantai di Vernaza dan Manarola,
sebab madu tak membasahi dahaga jiwa
tak tentram anak-anak Fino Mornasco
dalam masa lelap yang panjang.
Tua-tua tak perkasa di Valtellina
merayakan nikmat duka
setelah lelah mengukur kedalaman hutan
dan meramal gerak musim:
ini musim kastanye,
ini musim minyak zaitun,
ini musim berburu siput.
Dari Padova, angin meniupkan kabar
janda-janda ingin terbang ke langit Amerika
demi menyaksikan pucuk-pucuk Violet
mekar di bibir anak-anaknya.
Ada satu tak terbaca,
tak terlintas di bola mata mereka:
air mata mengalir sepanjang Sungai Orinoco
ketika bukit-bukit Viaregio, Piacenza dan Calabria
mereka tukarkan dengan gubuk-gubuk kumuh di kota.
Cahaya bulan sabit lindap di pelupuk mata,
perlahan mereka mengayunkan langkah
menuju pantai
di mana kapal-kapal tua membawa mereka
mengantar mimpi ke negeri yang jauh
agar kelak bulan tak menangis lagi
di atas tingkap kereta-kereta
di stasiun Milan.
Puncak Scalabrini, Juni 2020.
Balada Tangisan di Jantung Doa
Malam berjingkat hingga nyaris purna lengang,
seorang wanita setia berjaga
di jantung doa.
Katupan tangannya meluapkan
ayat-ayat damba yang lahir
dari tangisan lambung buah hati
yang disiksa musim yang kelabu.
Sedang ia telah terlampau berpeluh
hingga berdarah
menayangkan tubuh eloknya
di bawah terik mentari yang mengurung rizki.
“Tuhan, padi segantang telah ludes
dicuri tikus-tikus rakus di rumah keramat ini,
sedang lelakiku lupa berkabar
dari tanahnya yang tentram.
Rumah serasa pohon
yang tak memberi kami teduh
sebab daun-daun harapan
telah gugur satu-satu.
O Tuhan, ladang itu tak lagi mengeram berkat.
Demi nama-Mu yang Maha Penyayang,
pandang duka kami,
pandang luka kami, Tuhan.”
Enam batang lilin masih bernyala
di sudut sembah.
rupa-rupa doa masih terus ia rapal
menyesaki perjumpaan malam dan subuh.
Wanita yang malang
masih terus berjaga,
sendirian menyeka air mata
di keriput wajahnya
yang mengalirkan bayang-bayang mimpi
tak bermekar
di ladang asa.
Keping-keping luka berkelindan
di ceruk jiwanya
dan doa masih berdengung kecil
hingga lisut
lalu hilang ditelan malam.
Fajar pun tiba.
Puncak Scalabrini, Mei 2020.
Hikayat Malam Edan
Ini saat kita meluruskan kisah di tanah Eden,
menambah satu dua sentuhan yang
membersihkan noktah-noktah noda
pada lingkaran sejarah Adam dan Hawa.
Di sini kita tak perlukan pundi-pundi.
Cukup menukar kening dan bibir
lalu kita menghayati keagungan
semesta yang meniupkan restu dari
titik-titik maha jauh.
Setelah gerbang suci kita singkapkan,
kita mengeja dan perlahan membaca
rambu-rambu malam dengan cinta.
Kautiupkan ruah di gerbang mulutku
sementara aku meraba-raba pintu
memasuki lorong-lorong rahasia
pada tubuhmu.
Di antara kita, semua menjelma nikmat.
Kularungkan sebatang pena tajam
dan kulukiskan semesta edan
pada lingkaran yang tulus kauberi.
Kumeteraikan dia dalam nyanyian
sabda semenjana mulia:
“Ini pusakaku,
hidup dan matiku,
segenap dan seluruhku.
Telah kubawa ia berlari
dari rupa-rupa durjana,
kuselamatkan ia
dari bidikan nestapa.
Tak akan kubiarkan tanga-itangan lain
menjamahnya, karena ia kepunyaanku.
Ia kesayanganku.”
Di atas tubuhmu kumenoreh sejarah.
kau rengkuh tubuhku utuh,
lalu kita meneruskan narasi biru
hingga purna.
Malam menjelma seribu lenguh.
Setelah tuntas kuteteskan air memabukkan
ke dalam lubangmu
tak terbilang serdadu-serdadu
hikayatkan perang paling sengit
sebelum melumat bibir wanita
yang kelak kan membuahi kehidupan
yang mengabadikan nama kita.
Ruteng, Juli 2020.
Petrus Nandi, seorang penyair desa, lahir di Pantar, Manggarai Timur pada 30 Juli 1997. Saat ini menetap di Maumere. Puisi-puisinya tersebar dalam beberapa buku antologi, Koran dan media online. Buku puisi tunggal perdananya berjudul Memoar (G Pustaka, 2020). http://sastra-indonesia.com/2020/10/puisi-puisi-petrus-nandi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar