Tentang Wabah dalam Film Fall of Ming
S. Jai
“Ada banyak sekali pengobatan di dunia ini, tapi tak
ada yang bisa menyembuhkan penyesalan,”ucap Tabib Wu Youke kepada Panglima
Perang terakhir Dinasti Ming, Jenderal Sun Chuanting dalam Film Fall of Ming, Da Ming Jie (2013).
Film ini mengisahkan jalan hidup seorang tabib yang
tak mau mengobati penyakit bagi orang yang pembohong, penipu, orang yang berkuasa yang dengan kekuasaannya
memaksanya atau mengganggu orang lain.
Tabib Wu Youke (diperankanYuanzheng Feng) adalah bekas pekerja departemen pengobatan
di sebuah pengadilan. Namun dirinya mundur dari tempatnya bekerja lantaran
tidak betah di lingkungan para pembohong.
“Saya takut melupakan tugas-tugas seorang tabib,”
tukasnya saat berkisah pada Tabib Trieu—seniornya, saat keduanya telah dipertemukan kembali oleh
takdir.
Kisah Tabib Wu, tak lain adalah kisah “Jalan Perseberangan.”
Tak terkecuali dengan seniornya—Tabib Trieu yang bekerja sebagai tabib di barak
prajurit kerajaan. Atas permintaan seniornya itu, lantas Tabib Wu diminta
membantu mengobati para prajurit yang terus menerus didera penyakit. Namun pada
hari pertama Tabib Wu bekerja, kedua tabib itu sudah berbeda pendapat atas hasil
diagnosa mereka. Resep pengobatannya pun tak sama. Perbedaan resep itu menyebabkan
Tabib Wu tak dikehendaki lagi bantuannya.
Tabib Wu pun menyingkir , sebelum nantinya takdir
pula yang membawanya kembali.
***
Film Fall of
Ming, Da Ming Jie (Sutradara Wang
Jing) berlatar tahun 1642, dua tahun sebelum jatuhnya Dinasti Ming saat
menghadapi pemberontakan yang
dipimpin Raja Dashing (Li Zicheng). Li Zicheng mengepung Kota Kaifeng
saat Dinasti Ming, Kaisar Chongzhen tengah
menghadapi pelbagai persoalan. Selain wabah, juga kekurangan bala tentara yang
terlatih, pasokan makanan, peralatan perang dan juga musim pancaroba.
Karena menderita kekalahan, pilihan terakhir Kaisar Chongzhen adalah
membebaskan kembali Jenderal Sun Chuanting (diperankan Leon Dai) dari
penjara dan mengangkatnya menjadi Panglima Perang untuk menghadapi Li Zicheng. Memang
beberapa kali Jenderal Sun pernah mengalahkan pasukan pemberontak Li Zicheng. Konon,
Jenderal Sun memimpin pasukan kerajaan sebanyak 100 ribu prajurit, melawan 700
ribu pasukan pemberontak Li Zicheng. Namun sial, Jatuhnya Jinan pada tahun 1639 dijadikan alasan untuk memenjarakannya.
Dikisahkan, dalam suasana karut-marut itu, tabib Wu Youke sempat dilaporkan penduduk sebagai penyebab meninggalnya
pasien. Di depan pengadilan daerah ia dibebaskan karena hanya terbukti memberi
obat suplemen ginseng. Artinya, Tabib Wu sudah tahu telah
terjadi wabah dari hasil diagnosa pasien; lapisan tebal warna kuning di lidah
pasien, denyut nadi lemah, dan ada gas berbahaya dalam tubuhnya.
Dalam perjalanan berikutnya setelah tak diizinkan
berpraktik di wilayah itu, Tabib Wu malah terjebak oleh pasukan kerajaan yang
sedang berteduh dan tengah mengintrogasi pemberontak. Setelah tempat itu diserang pemberontak, ia
diselamatkan pasukan pemberontak. Maka, ia pun di pihak pemberontak.
Sementara itu dalam tubuh militer kerajaan, juga
terjadi kebobrokan moral dan perseteruan, antara panglima dan komandan He Renlong—komandan lapangan yang
dinilai sewenang-wenang dan menyalahgunakan otoritas. Atas titah kaisar, He
Renlong dipenggal. Berita itu diumumkan pada
penduduk untuk menakut-nakuti.
Jenderal Sun memerintah dengan tangan besi. Dan
tentu saja berperang batin dengan keluarganya, istri dan anaknya. Suatu ketika
dia membunuh pengelola gudang makanan yang mengelabui pemeriksaan karena memang
terbatasnya persediaan bahan makan. Pembunuhan itu dilakukan di hadapan putri pengelola
gudang yang seumur putrid Jenderal Sun. Selain
membunuh, panglima juga melakukan pungutan liar, termasuk merampas tanah-tanah
pertanian. Situasi yang mendera pasukan kerajaan semakin memprihatinkan;
merampok, membunuh kuda-kuda mereka untuk dimakan, bahkan membunuh rekan
sendiri.
Di barak tentara, Tabib Trieu terus berjibaku dengan
penyakit yang diyakininya typus,
dengan mengakui kehebatan ilmu pengobatan Tao.
Sama persis dengan pengakuan Tabib Wu (sebelum menyingkir) yang juga
mengagungkan pengobatan Tao. Hanya saja Tabib Wu—sekadar menyakini—tidak bisa membuktikan adanya wabah. Ia yakin punya
sedikit pengetahuan tentang wabah dan oleh sebab itu bisa menyembuhkannya—tentu
saja dengan kearifannya yang diberikan oleh aneka ragam tumbuhan alam.
Usai dalam perjalanan praktik keliling, Tabib Wu
kembali, dan menemui Van Thu—putri tabib Trieu.
Kepadanya, Tabib Wu mengatakan dirinya telah mengetahui dan bisa
membuktikan wabah menginfeksi, yakni melalui debu. “Ini namanya penyakit
udara,” katanya. Ia mau menyampaikan temuannya pada Tabib Trieu. Sayangnya, di
barak itu, Tabib Trieu sudah lebih dulu terinfeksi, dan dibunuh prajurit
kerajaan. Nasib yang sama juga dialami tabib lain yang gagal dalam tugasnya.
“Segalanya memiliki kehidupan. Udara adalah elemen
penting. Ia membantu memelihara kehidupan,” kepada para prajurit yang sempat
menyebutnya pembual, demikian Tabib Wu berujar.
***
Tak hanya Tabib Trieu dan Tabib Wu, Jenderal Sun pun
melesakkan Tao saat bicara perihal keberanian, perlawanan, tanggungjawab. Kata itu pula yang digunakan memaksa Tabib Wu
untuk menggantikan Tabib Trieu. “Kau mempelajari ilmu pengobatannya, tapi kau
tidak mempelajari Tao dan semangatnya. Sayang sekali,” tantang Jenderal Sun.
Maka semenjak Tabib Wu bersedia dengan sejumlah
syarat, plot film ini menjadi lebih pelik, dramatic, penuh intrik disamping
juga lebih serasa mengebor sukma—utamanya antar dua tokoh ini; Tabib Wu dan
Jenderal Sun—seorang anti kekerasan di satu sisi, dan seorang yang haus
membunuh di sisi lainnya. Seorang yang melestarikan kehidupan di satu pihak dan
seorang yang merusaknya di pihak lain, yang mana antara keduanya atas nama Tao.
Sebagaimana atas nama Tao juga, Tabib Wu menjauhkan Van Thu dan anaknya dari
bahaya penyakit. Hal yang sama dilakukan Jenderal Sun pada istri dan putrinya.
Betapa cerita serasa tergerus arus kata-kata yang
dipinjam Fritjof Capra dari Hui Nan Tzu; “Barangsiapa mengikuti tatanan alam
mengalir, (dia) di dalam Tao.” Gerak
pikir dan batin dalam suasana dunia dalamnya seakan meresapi kata-kata Lao Tze
sendiri; “Dengan diam segala sesuatu bisa diselesaikan.” .Seperti kita tahu Lao
Tze (hidup di abad ke 4 SM) adalah
filosof yang disebut-sebut penggagas Buku Tao
Te Ching . Sebuah buku yang dibuka dengan kalimat misterius; “Tao yang akan dijelaskan bukanlah
Tao yang abadi; nama yang disebut di sini bukanlah nama yang abadi.”
Tabib Wu memisahkan para prajurit yang terdampak
wabah dengan pita merah, kuning dan putih di lengan, dan tentu saja memberinya
obat-obatan. Meski korban tewas cukup banyak, namun Tabib Wu sukses mengurangi
jumlah prajurit yang terjangkit. Ia pun
membongkar tabiat prajurit yang keluar barak tanpa izin dan melucuti pakaian
seragam mereka yang tewas sebagai penyebab penularan.
Semua fakta itu dicatat Tabib Wu juga resep-resep
pengobatannya. Seluruh catatannya diserahkan pada Van Thu yang kelak kemudian
hari amat berjasa dalam menyusun buku Wenyi
Lu (Risalah tentang Wabah Penyakit).
“Setahuku anggrek tanaman yang berbahaya. Aku lihat
kau banyak menggunakannya. Katakan padaku apa alasannya,” tanya Jenderal Sun.
“Anggrek berbahaya, bisa membunuh orang, tapi kalau bisa menggunakan dengan benar bisa
menyelamatkan nyawa. Seperti mengambil sebuah resiko untuk menjaga kehidupan,”
jawab Tabib Wu.
“Kalau kau buat kesalahan, bagaimana?” tanya
jenderal lagi.
“Tuan, Panglima Besar. Ada banyak sekali pengobatan
di dunia ini, tapi tak ada yang bisa menyembuhkan penyesalan.
Keputusan-keputusan harus dibuat jika dibutuhkan. Kalau kau kehilangan
kesempatan itu, menyesal tak ada artinya.”
“Perkataan yang baik,” celetuk sang Jenderal. “Baik
sekali. Menggunakan obat-obatan sama seperti mengelola suatu pasukan. Kau tak
boleh menggunakan kesempatan pergi.”
Saat Sang Jenderal mulai kehilangan kepercayaannya,
saat yang bersamaan niat membunuhnya semakin tumbuh besar. Semua itu atas nama
dirinya yang tanpa pilihan, untuk kebaikan yang lebih besar serta keharusan
berkorban. Itulah sebabnya Tabib Wu
menyatakan pendapatnya atas kejatuhan Dinasti Ming yang sudah di depan mata.
Katanya; “Buku Kisah Kisah Kaisar mengatakan, orang yang tidak mengobati
penyakitnya saat ini, bersiap untuk mengobati penyakit lainnya. Orang yang
tidak memperbaiki kekacauan sekarang, bersiaplah mendapat kekacauan yang lain
di masa mendatang. Semua dinasti-dinasti bangkit dan jatuh.”
***
Menjelang keberangkatan ratusan ribu prajurit
kerajaan ke medan perang, rupanya Jenderal Sun menafsirkan lain peringatan
Tabib Wu agar ‘mengurus’ prajurit-prajurit yang terjangkit wabah. Tujuannya tak
lain supaya wabah tak meluas kemana-mana. Tak diduga, melalui intrik yang rapi
direkayasalah pemberontakan dari dalam untuk membantai dan membakar
prajurit-prajurit yang sedang sakit di barak.
Tabib Wu sangat terpukul, mengingat ikhtiarnya
menghadang penyebaran penyakit. Bahkan sebagian prajurit dinyatakan sembuh dan
memilih tetap di tempat isolasi lantaran menolak berperang.
Terhadap peristiwa ini, dengan dingin Jenderal Sun
berujar, “Untungnya aku mendapat pertolonganmu untuk menghentikan wabah.”
Tak kurang dinginnya, Tabib Wu pun berucap, “Metodemu
jauh lebih efektif daripada metodeku.”
Seperti halnya Jenderal Sun yang tak ada pilihan
lain, Tabib Wu pun menempuh jalan satu-satunya: membelot, menyeberang. Meski
hal itu tak disampaikan di depan Jenderal Sun yang memintanya menjadi petugas
medis kemiliteran. Keesokan harinya, prajurit yang hendak menjemputnya
menemukan secarik surat, permohonan maaf pada panglima dan sedikit kata
mutiara; menang atau kalah itu
ditentukan takdir.
Meski demikian, pasukan Jenderal Sun tak berusaha
mengejarnya. “Dia punya jalannya sendiri yang harus diikutinya” kata Sang
Jenderal.
Rupanya “Jalan Perseberangan” sebagaimana ditempuh
Tabib Wu tak meleset cukup jauh dengan catatan Goenawan Mohamad beberapa puluh
tahun lalu mengenai Taoisme. Katanya; pada umumnya merupakan sikap hidup
orang-orang yang menentang, atau berada di luar. Ia sering dikecam sebagai pandangan hidup
orang yang melarikan diri dari kenyataan.
Film itu ditutup dengan narasi; Kaisar Chongzhen gantung diri di Gunung Batu Bara (Taman Jingshan) dan
dimakamkan di Siling. Sun Chuating meninggal dalam pertempuran di Tongguan dan
istrinya, Feng Shi bunuh diri dengan melemparkan dirinya ke sumur. Sun Chuating
dimakamkan bersamanya di desa Xia Huazhuang, Provinsi Shanxi. Selama Revolusi Kebudayaan, kuburan mereka dijarah dan dihancurkan.[]
Ngimbang, 30 Mei
2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar