Minggu, 28 Juni 2020

AYAT SUCI DI TENGAH SEMUA INI

Taufiq Wr. Hidayat *

Perbincangan dengan Kiai Sutara semalam---bagi saya, sangat menarik. Kiai Sutara mengurai perihal ayat suci. Uniknya, Kiai Sutara mengawali pembahasannya dengan mengisahkan seorang penyanyi legendaris yang bernama Edith Piaf. Seorang penyanyi perempuan Prancis yang termashur dengan lagu “La Vie En Rose” pada 1946. Beliau memainkan gitar akustiknya sembari menyenandungkan “La Vie En Rose”. Menurut Kiai Sutara, penyanyi yang berjuluk “La Vie En Rose” itu memiliki hidup yang pedih. Sejak kecil dibesarkan di rumah pelacuran, dengan keluarga yang tidak utuh. Ia menyuarakan kepedihan itu dengan suaranya yang menyayat. Kemudian Kiai Sutara menyanyikan dengan asik sebuah lagu dangdut lama Ida Laela yang berjudul “Hanya Untukmu”. Berulang-ulang kali/Telah kukatakan/Diriku ini hanyalah seorang biduan,” katanya.

“Kamu tahu? Lagu Ida Laela itu, seolah mengisahkan kepedihan seorang biduan bernama Edith Piaf, sang pelantun “La Vie En Rose” berpuluh tahun sebelum Ida Laela berdangdut dengan suaranya yang khas. Dan kisah tentang nasib manusia yang tak mujur dari waktu ke waktu,” ujar Kiai Sutara.

Beliaulah Kiai Sutara, kiai yang tak pernah mau berceramah, tak menyukai keramaian, dan tak gemar tampil di mana-mana. Beliau hanya mengajar membaca ayat suci pada anak-anak usia 5 sampai 10 tahun di suraunya yang kecil. Beliau pernah berkata, “saya tidak lebih hanya orang biasa,” ujarnya ketika seringkali banyak tokoh menghormatinya secara berlebihan. Dan memang demikianlah. Beliau istikomah. Menyukai kesendirian dan keterasingan.

“Apakah musik dan penyanyi itu terkait dengan tafsir ayat suci, Kiai?” tanya saya.

“Sebelum membahas ayat suci, kita perlu bernyanyi. Agar otakmu tidak kayak batu. Dan agar hatimu peka. Ada banyak penderitaan yang tak terduga di balik segala gemerlap hidup dan apa pun pencapaian manusia sepanjang zaman. Ada yang miskin hartanya, ada pula yang miskin jiwanya, ada yang terasing dan terhina, ada yang pedih di dalam segala yang serba tersedia. Ada yang begitu pandai menghibur duka nestapa banyak orang, tapi dirinya sendiri tak sanggup menyingkirkan kepedihan di dalam lubuk hati dan hidupnya, dan tak seorang pun dapat mengetahuinya. Pernahkah kamu memikirkan hal itu? Maka ingatlah, santriku yang tolol! Sejarah itu bukan hanya narasi-narasi besar, tapi ada narasi kecil yang tersembunyi dan tak sempat tercatat di balik narasi-narasi besar yang selalu membuatmu terheran-heran kayak orang sinting. Kedangkalan selalu menimbulkan pertentangan, sedang kedalaman dan kesunyian selalu memuarakan pada pertemuan dan persamaan di antara segala pertentangan dan perbedaan. Ketahuilah bahwa kesadaran kemanusiaan itu adalah kunci dan kewajiban paling utama di dalam memperdalam ilmu, yang disebut kearifan. Tanpa begitu, kamu cuma besar mulut, tapi dengan kepribadian yang rendah, dangkal, gampang tersinggung, gemar menghakimi orang lain menurut seleramu sendiri. Kalau sudah begitu, baiknya buang saja ilmumu ke kakus! ” ujar Kiai Sutara meletakkan gitarnya, menyalakan rokok. Asap tebal yang wangi memenuhi ruang tamunya yang sederhana.

“Baik, Kiai.” Saya menunduk penuh hormat. “Mohon maaf, Kiai. Apa kaitan ayat suci dengan lagu aneh yang Kiai mainkan barusan?” tanya saya.

“Goblok! Kalau pandanganmu terhadap ayat suci hanya muter-muter dengan tafsir pada bunyi tekstual saja, kamu tidak akan menemukan kemungkinan terjauh dan tak terduga dari ayat-ayat Allah. Jika alat bedah satu-satunya yang kau gunakan hanya tafsir teks dengan segala kerumitan tata bahasanya, maka yang akan kau temui logika-logika bahasa belaka. Seorang penafsir sejati, mestinya punya alat yang lengkap, tidak hanya ilmu bahasa. Kamu bongkar mesin motor, tapi alatmu cuma obeng, ila yaumil akhir mesin motor itu tidak akan terbongkar dengan baik.”

“Jadi bagaimana seharusnya, Kiai?”

“Ini bukan perkara harus atau tidak harus. Ini hanya soal pilihan. Terserah kamu, goblok! Tafsir tak hanya memerlukan ilmu bahasa yang mumpuni dan teks-teks sejarah belaka. Tapi untuk meraba kemungkinan terjauh dan tak terduga dari pesan Tuhan pada ayat suci, kamu mestinya juga tahu ilmu sinematografi, musik, ekonomi, bahkan kalau perlu resep masakan. Agar kamu benar-benar yakin, tak ada yang sia-sia segala ciptaan Tuhan. Menghayati dan melihat perihal bagaimana dunia ini bergerak atau berubah.”

“Ayat suci sebagai penggerak dunia ya, Kiai.”

“Tolol! Perubahan dunia itu kamu lihat dan rasakan, ternyata memang tak pernah dipengaruhi atau digerakkan oleh ayat-ayat Tuhan. Kecuali politik, yang segalanya diatasnamakan, segalanya diklaim seenak dengkulmu. Bahkan nenek moyangmu, yaitu mbahmu atau bapakmu diatasnamakan dalam politik, diklaim milik partai, kemudian dimitoskan dan diberhalakan. Perubahan dunia itu perubahan di dalam diri kemanusiaan. Di dalam subyek manusianya. Bukan pada bentuknya. Melainkan pada sifatnya. Di situ ayat Tuhan itu dapat kamu temukan bergerak pada fungsi yang bersifat esensi atau substansi, sebagai yang menjiwai.”

“Ampun, Kiai. Berarti ayat suci itu ketinggalan zaman dan tidak bersifat universal, Kiai?”

“Universal-universal mbahmu! Gak paham-paham juga dengkulmu. Apa itu universal? Jangan asal mencolot lidahmu, santri dengkul! Gak ada yang universal. Universal itu tahayul! Yang ada adalah yang amatir dan lokalistik, yang menegakkan diri di tengah kehidupan dunia. Yang kemudian kamu sebut universal itu. Gak ada agama lintas bangsa. Agama itu lokal. Identitas manusia. Ajaran kemanusiaan dari agamalah yang lintas bangsa, lintas golongan, bahkan lintas negara, lintas provinsi dan lintas kabupaten. Hahaha!”

“Apakah ayat suci ketinggalan zaman, Kiai, jika segala perubahan dunia ini tidak digerakkan atau tidak dipengaruhi oleh ayat suci?”

“Endasmu yang ketinggalan zaman! Dengkulmu yang ketinggalan periode! Santri dengkul macam kamu ini bisa apa? Bisamu merokok, ngopi, membual ke sana ke mari “jualan ayat”. Goblok! Ayat suci kok kamu jadikan alat nyari makan. Itulah santri dengkul alias manusia yang kalau dibilang kambing marah, tapi kelakuannya persis wedus! Hahaha!”

Kiai Sutara tertawa. Suara tawanya renyah. Beliau mereguk kopi pahitnya setelah mengepulkan asap rokok ke udara. Wangi tembakaunya seolah mengandung berkah.

“Ampun, Kai,” jawab saya menunduk dalam-dalam.

“Itu cara kamu menghindari kesalahan. Ompan-ampun kalau sudah merasa akan terkena sandal kepalamu!”

“Mohon ampun, Kiai. Ya saya ‘kan hanya ingin belajar, Kiai.” Saya garuk-garuk kepala. Cengengesan.

“Kapan kamu belajar? Gombal! Belajar bagi kamu hanya untuk gagah-gagahan, nyari pengikut sebanyak-banyaknya biar kenyang perutmu dan didewa-dewakan.”

Kiai Sutara menyandarkan bahunya yang tua ke kursi. Tatapan matanya tajam. Asap rokoknya tak pernah padam. Kopinya kental dan pahit.

“Mohon penjelasan, Kiai.”

“Menjelaskan ilmu kepada santri dengkul. Percuma!”

“Ampun, Kiai.”

“Dengar baik-baik, santri dengkul. Dalam diri manusia ada pertimbangan yang dirangkai dari pengertian mendalam. Dengan begitu, ia mungkin menghasilkan bentuk-bentuk penyesuaian dan sikap adil dalam menjalani kehidupan. Begitu pula dalam beragama.”

“Inggih, Kiai.” Saya mendengarkan dengan seksama, bahkan saya tak berani sekadar batuk ketika kiai saya bicara. Itu etika yang lazim yang dijunjung tinggi dalam tradisi pesantren. Sebagai santri, meskipun saya ini hanya “santri dengkul”, saya wajib menjunjung etika keilmuan tersebut.

“Dengar baik-baik, santri modal dengkul!
Dalam "Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid", Ibnu Rusyd mengurai, bahwa ketentuan teks suci itu punya keterbatasan. Tapi berhadap-hadapan dengan realitas baru yang tak berbatas pada sudut lain dalam ketegangan. Ibnu Rusyd menyebutnya "al-nushushal mutanahiyah wal-waqa'i ghairal mutanahiyah". Sudut-sudut yang tak terbatas itu (al-waqa'i ghairal mutanahiyah) adalah keniscayaan ruang-waktu yang terus-menerus mengalami perubahan dan pergantian. Ini bukan menganggap teks suci terbatas. Justru merupakan bukti ketakterbatasan teks suci itu sendiri, yakni dengan meniscayakan upaya penyerasian atau penafsiran ulang dengan landasan keilmuan yang begitu banyaknya itu terhadap konteks ruang-waktu di mana para penganut ayat suci bersangkutan hidup. Ini mengharuskan pentingnya mengarifi budaya lokal. Bentuk manifestatif ajaran Islam ialah melakukan perubahan bentuk secara beragam untuk menyesuaikan dirinya pada keadaan ruang-waktu; budaya, sejarah. Bukan perubahan Islam. Bukti kekekalan Islam ditunjukkan dengan kehidupan beragama kaum muslimin yang bersesuaian terhadap segala perubahan sejarah dan keadaan. Kekekalan itu pada sifatnya. Bukan bentuknya.”

“Sampai di sini, apakah kamu mengerti, santri ndableg?”

“Lumayan berpikir keras, Kiai.”

“Hahaha! Sejak kapan kamu berpikir?” Kiai Sutara tertawa terpingkal-pingkal. Asap rokoknya memenuhi ruangan.

“Islam dalam keimanan pemeluknya yang beranekaragam itu kekal. Kemurnian dan kekekalan Islam justru terletak pada bagaimana ia, dengan segala khazanahnya, sanggup menjawab persoalan hidup, melakukan penyesuaian diri pada ruang-waktu dengan damai dan selamat. Ini mirip hukum kekekalan energi dalam fisika, bahwa energi itu kekal lantaran ia menyesuaikan bentuk atau dapat berubah bentuk menurut kebutuhan. Tapi sejatinya ia tetaplah energi, tak ada yang dapat memusnahkannya. Ini dalam termodinamika-nya James Prescott Joule menjadi hukum awal yang dipegang teguh dalam fisika. Ia terkenal dengan dalilnya: “energi tak dapat diciptakan, tak dapat dimusnahkan". Islam sempurna pada sifatnya. Bukan bentuknya. Sebagai energi, al-Islam tak bisa diciptakan manusia, juga tak dapat dimusnahkan. Jadi kamu gak perlu bela-belain Islam. Percuma! Al-Islam itu bermanfaat sebagai energi keselamatan dan kedamaian dengan segala bentuk dan perubahannya secara mekanis atau organis sesuai kebutuhan.”

“Tapi bukankah akhirat harus menjadi tujuan utama daripada dunia, Kiai?”

“Kamu harus banyak memakai otakmu daripada dengkulmu, santri! Pandangan yang mendikotomi duniawi dan akhirat membuat orang berada pada dua sisi saling bertentangan. Satu sisi orang hidup mengolah dunia, tak peduli akhirat. Sisi lain, orang sibuk beribadah formal dengan mempersetankan ketimpangan dan penderitaan akibat tak aktif mengolah urusan dunia. Orang yang sibuk duniawi ingin agar di akhirat selamat. Naik hajilah dia atau menghafal kitab suci umpama, sebagian jadi ustadz dadakan, atau pindah agama. Ia merasa religius, tapi memandang rendah orang lain, dianggap belum dapat hidayah. Sebaliknya orang yang cuma sibuk beribadah, tertarik ngurus duniawi. Dia melihat dunia sudah rusak, moral hancur kemasukan budaya asing, tidak islami, dan tanda-tanda akhir zaman yang mengancam. Dengan semangat merasa suci, ia akan menyelamatkan dunia atau negara dari kehancuran. Mata melotot, tangan dikepalkan. Agama harus ditegakkan! Dunia harus diselamatkan dengan agama. Padahal sikap itu sebenarnya reaksi dari ketakmampuannya menghadapi urusan-urusan dunia yang memang tak pernah ia kenali dengan benar. Datanglah para sponsor pendukung guna meraih keuntungan uang dan politik. Sikap sok religius dan sok suci dipelihara. Terjadilah benturan. Orang beragama mengambil-alih posisi Tuhan, menghakimi dunia yang mengingkari kebenaran agamanya.”

Kiai Sutara menghembuskan asap rokoknya. Kerut wajahnya menandakan kekokohan hidupnya yang sederhana dan tak suka popularitas. Kiai ini andaikan bersedia selalu tampil, ia akan dirindukan. Tapi Kiai Sutara tidak, beliau bekerja sebagai pedagang di pasar setiap pagi, beternak kambing. Memenuhi kebutuhannya. Dan menikmati kesendirian dengan kemandirian, tekun dan bersahaja.

“Lantas bagaimana sikap religius itu seharusnya, Kiai?” tanya saya hati-hati.

“Dengar baik-baik. Lubangi telingamu biar tidak budeg. Sikap religius bukan simbol-simbol. Siapa pun yang menekuni profesi dalam hidup sebaik-baiknya dengan tulus hati, sudah melakukan perbuatan duniawi dan ukhrawi sekaligus. Sudah religius itu! Menjadi dokter yang baik adalah perbuatan religius, walaupun susah nyari dokter yang baik. Sama susahnya nyari santri yang baik, yang banyak ya santri kayak kamu, otaknya kadaluwarsa, gemar menipu dan berdusta, dan kalau berpikir pakai dengkul. Hahaha!”

“Kebaikan itu tak perlu diumumkan atau disponsori uang dan kekuasaan. Dokter gak perlu naik haji atau memakai busana Arab agar bergelar dokter religius atau dokter islami. Sikap kemanusiaan yang baik adalah sikap religius, itulah sikap keimanan. Tanggungjawab dan kesetiaan pada profesi dianjurkan dalam Qur'an dengan istilah "menepati janji" dan kebaktian kemanusiaan (taqwa). Kamu buka an-Nahl ayat 90. Dikotomi antara dunia dan akhirat seyogianya dipahami sebagai pengertian definitif. Dalam pandangan dan perilaku sehari-hari, duniawi-ukhrawi saling melengkapi, integral, utuh tidak berjalan sendiri-sendiri. Begitu Tauhid itu. Dunia mendorong kebaikan di akhirat, akhirat menyokong kemajuan dunia dengan perilaku kemanusiaan seindah gambaran perkampungan surgawi.”

Sampai di sini, Kiai Sutara kembali tertidur seperti biasanya. Beliau mudah sekali tertidur, karena beliau seorang pekerja keras yang tak pernah bermalasan. Hidupnya dipenuhi kerja, belajar, memainkan musik, menulis, mengapresiasi film dan sastra, dan tertawa bersama santri-santri kecilnya, menaikkan layangan dan membuat mainan anak. Beliau bukan sosok kiai yang gemar dipuja, bukan sosok yang hidup malas dan bergantung pada keadaan. Beliau benar-benar tampak sebagai orang kebanyakan. Tapi jangan sekali-kali kau coba menjajaki ilmu dan pengalamannya, bisa tenggelam. Tapi kalau tidur, dengkurnya begitu tenang, dengkur yang menandakan kelelahan setelah kerja. Bukan dengkur seorang pemalas. Tidurnya pulas. Menandakan betapa panjang hari-harinya mengolah hidup dengan kemandirian. Beliau mutiara yang tak bersedia berkumpul dengan mutiara-mutiara dalam etalase yang tiap saat dikagumi, dipuji, dan kerubungi orang. Tapi bagi saya, beliau mutiara yang tergeletak begitu indah dan menakjubkan di antara rerumputan, kesederhanaan keterasingan. Tanpa mencarinya dengan bersungguh-sungguh, kau tak akan pernah menemukan mutiara yang berharga itu. Saya selalu terkenang tawanya. Tawanya yang putih bersahaja. Lagu “La Vie En Rose” terdengar lembut mengiringi tidurnya.

Tembokrejo, 2020
Ket foto: "Bengawan Solo Mati," memasuki desa Tejoasri, Laren, Lamongan.

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.
http://sastra-indonesia.com/2020/06/ayat-suci-di-tengah-semua-ini/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest