Taufiq Wr. Hidayat *
Perbincangan dengan Kiai Sutara semalam---bagi saya, sangat menarik. Kiai Sutara mengurai perihal ayat suci. Uniknya, Kiai Sutara mengawali pembahasannya dengan mengisahkan seorang penyanyi legendaris yang bernama Edith Piaf. Seorang penyanyi perempuan Prancis yang termashur dengan lagu “La Vie En Rose” pada 1946. Beliau memainkan gitar akustiknya sembari menyenandungkan “La Vie En Rose”. Menurut Kiai Sutara, penyanyi yang berjuluk “La Vie En Rose” itu memiliki hidup yang pedih. Sejak kecil dibesarkan di rumah pelacuran, dengan keluarga yang tidak utuh. Ia menyuarakan kepedihan itu dengan suaranya yang menyayat. Kemudian Kiai Sutara menyanyikan dengan asik sebuah lagu dangdut lama Ida Laela yang berjudul “Hanya Untukmu”. Berulang-ulang kali/Telah kukatakan/Diriku ini hanyalah seorang biduan,” katanya.
“Kamu tahu? Lagu Ida Laela itu, seolah mengisahkan kepedihan seorang biduan bernama Edith Piaf, sang pelantun “La Vie En Rose” berpuluh tahun sebelum Ida Laela berdangdut dengan suaranya yang khas. Dan kisah tentang nasib manusia yang tak mujur dari waktu ke waktu,” ujar Kiai Sutara.
Beliaulah Kiai Sutara, kiai yang tak pernah mau berceramah, tak menyukai keramaian, dan tak gemar tampil di mana-mana. Beliau hanya mengajar membaca ayat suci pada anak-anak usia 5 sampai 10 tahun di suraunya yang kecil. Beliau pernah berkata, “saya tidak lebih hanya orang biasa,” ujarnya ketika seringkali banyak tokoh menghormatinya secara berlebihan. Dan memang demikianlah. Beliau istikomah. Menyukai kesendirian dan keterasingan.
“Apakah musik dan penyanyi itu terkait dengan tafsir ayat suci, Kiai?” tanya saya.
“Sebelum membahas ayat suci, kita perlu bernyanyi. Agar otakmu tidak kayak batu. Dan agar hatimu peka. Ada banyak penderitaan yang tak terduga di balik segala gemerlap hidup dan apa pun pencapaian manusia sepanjang zaman. Ada yang miskin hartanya, ada pula yang miskin jiwanya, ada yang terasing dan terhina, ada yang pedih di dalam segala yang serba tersedia. Ada yang begitu pandai menghibur duka nestapa banyak orang, tapi dirinya sendiri tak sanggup menyingkirkan kepedihan di dalam lubuk hati dan hidupnya, dan tak seorang pun dapat mengetahuinya. Pernahkah kamu memikirkan hal itu? Maka ingatlah, santriku yang tolol! Sejarah itu bukan hanya narasi-narasi besar, tapi ada narasi kecil yang tersembunyi dan tak sempat tercatat di balik narasi-narasi besar yang selalu membuatmu terheran-heran kayak orang sinting. Kedangkalan selalu menimbulkan pertentangan, sedang kedalaman dan kesunyian selalu memuarakan pada pertemuan dan persamaan di antara segala pertentangan dan perbedaan. Ketahuilah bahwa kesadaran kemanusiaan itu adalah kunci dan kewajiban paling utama di dalam memperdalam ilmu, yang disebut kearifan. Tanpa begitu, kamu cuma besar mulut, tapi dengan kepribadian yang rendah, dangkal, gampang tersinggung, gemar menghakimi orang lain menurut seleramu sendiri. Kalau sudah begitu, baiknya buang saja ilmumu ke kakus! ” ujar Kiai Sutara meletakkan gitarnya, menyalakan rokok. Asap tebal yang wangi memenuhi ruang tamunya yang sederhana.
“Baik, Kiai.” Saya menunduk penuh hormat. “Mohon maaf, Kiai. Apa kaitan ayat suci dengan lagu aneh yang Kiai mainkan barusan?” tanya saya.
“Goblok! Kalau pandanganmu terhadap ayat suci hanya muter-muter dengan tafsir pada bunyi tekstual saja, kamu tidak akan menemukan kemungkinan terjauh dan tak terduga dari ayat-ayat Allah. Jika alat bedah satu-satunya yang kau gunakan hanya tafsir teks dengan segala kerumitan tata bahasanya, maka yang akan kau temui logika-logika bahasa belaka. Seorang penafsir sejati, mestinya punya alat yang lengkap, tidak hanya ilmu bahasa. Kamu bongkar mesin motor, tapi alatmu cuma obeng, ila yaumil akhir mesin motor itu tidak akan terbongkar dengan baik.”
“Jadi bagaimana seharusnya, Kiai?”
“Ini bukan perkara harus atau tidak harus. Ini hanya soal pilihan. Terserah kamu, goblok! Tafsir tak hanya memerlukan ilmu bahasa yang mumpuni dan teks-teks sejarah belaka. Tapi untuk meraba kemungkinan terjauh dan tak terduga dari pesan Tuhan pada ayat suci, kamu mestinya juga tahu ilmu sinematografi, musik, ekonomi, bahkan kalau perlu resep masakan. Agar kamu benar-benar yakin, tak ada yang sia-sia segala ciptaan Tuhan. Menghayati dan melihat perihal bagaimana dunia ini bergerak atau berubah.”
“Ayat suci sebagai penggerak dunia ya, Kiai.”
“Tolol! Perubahan dunia itu kamu lihat dan rasakan, ternyata memang tak pernah dipengaruhi atau digerakkan oleh ayat-ayat Tuhan. Kecuali politik, yang segalanya diatasnamakan, segalanya diklaim seenak dengkulmu. Bahkan nenek moyangmu, yaitu mbahmu atau bapakmu diatasnamakan dalam politik, diklaim milik partai, kemudian dimitoskan dan diberhalakan. Perubahan dunia itu perubahan di dalam diri kemanusiaan. Di dalam subyek manusianya. Bukan pada bentuknya. Melainkan pada sifatnya. Di situ ayat Tuhan itu dapat kamu temukan bergerak pada fungsi yang bersifat esensi atau substansi, sebagai yang menjiwai.”
“Ampun, Kiai. Berarti ayat suci itu ketinggalan zaman dan tidak bersifat universal, Kiai?”
“Universal-universal mbahmu! Gak paham-paham juga dengkulmu. Apa itu universal? Jangan asal mencolot lidahmu, santri dengkul! Gak ada yang universal. Universal itu tahayul! Yang ada adalah yang amatir dan lokalistik, yang menegakkan diri di tengah kehidupan dunia. Yang kemudian kamu sebut universal itu. Gak ada agama lintas bangsa. Agama itu lokal. Identitas manusia. Ajaran kemanusiaan dari agamalah yang lintas bangsa, lintas golongan, bahkan lintas negara, lintas provinsi dan lintas kabupaten. Hahaha!”
“Apakah ayat suci ketinggalan zaman, Kiai, jika segala perubahan dunia ini tidak digerakkan atau tidak dipengaruhi oleh ayat suci?”
“Endasmu yang ketinggalan zaman! Dengkulmu yang ketinggalan periode! Santri dengkul macam kamu ini bisa apa? Bisamu merokok, ngopi, membual ke sana ke mari “jualan ayat”. Goblok! Ayat suci kok kamu jadikan alat nyari makan. Itulah santri dengkul alias manusia yang kalau dibilang kambing marah, tapi kelakuannya persis wedus! Hahaha!”
Kiai Sutara tertawa. Suara tawanya renyah. Beliau mereguk kopi pahitnya setelah mengepulkan asap rokok ke udara. Wangi tembakaunya seolah mengandung berkah.
“Ampun, Kai,” jawab saya menunduk dalam-dalam.
“Itu cara kamu menghindari kesalahan. Ompan-ampun kalau sudah merasa akan terkena sandal kepalamu!”
“Mohon ampun, Kiai. Ya saya ‘kan hanya ingin belajar, Kiai.” Saya garuk-garuk kepala. Cengengesan.
“Kapan kamu belajar? Gombal! Belajar bagi kamu hanya untuk gagah-gagahan, nyari pengikut sebanyak-banyaknya biar kenyang perutmu dan didewa-dewakan.”
Kiai Sutara menyandarkan bahunya yang tua ke kursi. Tatapan matanya tajam. Asap rokoknya tak pernah padam. Kopinya kental dan pahit.
“Mohon penjelasan, Kiai.”
“Menjelaskan ilmu kepada santri dengkul. Percuma!”
“Ampun, Kiai.”
“Dengar baik-baik, santri dengkul. Dalam diri manusia ada pertimbangan yang dirangkai dari pengertian mendalam. Dengan begitu, ia mungkin menghasilkan bentuk-bentuk penyesuaian dan sikap adil dalam menjalani kehidupan. Begitu pula dalam beragama.”
“Inggih, Kiai.” Saya mendengarkan dengan seksama, bahkan saya tak berani sekadar batuk ketika kiai saya bicara. Itu etika yang lazim yang dijunjung tinggi dalam tradisi pesantren. Sebagai santri, meskipun saya ini hanya “santri dengkul”, saya wajib menjunjung etika keilmuan tersebut.
“Dengar baik-baik, santri modal dengkul!
Dalam "Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid", Ibnu Rusyd mengurai, bahwa ketentuan teks suci itu punya keterbatasan. Tapi berhadap-hadapan dengan realitas baru yang tak berbatas pada sudut lain dalam ketegangan. Ibnu Rusyd menyebutnya "al-nushushal mutanahiyah wal-waqa'i ghairal mutanahiyah". Sudut-sudut yang tak terbatas itu (al-waqa'i ghairal mutanahiyah) adalah keniscayaan ruang-waktu yang terus-menerus mengalami perubahan dan pergantian. Ini bukan menganggap teks suci terbatas. Justru merupakan bukti ketakterbatasan teks suci itu sendiri, yakni dengan meniscayakan upaya penyerasian atau penafsiran ulang dengan landasan keilmuan yang begitu banyaknya itu terhadap konteks ruang-waktu di mana para penganut ayat suci bersangkutan hidup. Ini mengharuskan pentingnya mengarifi budaya lokal. Bentuk manifestatif ajaran Islam ialah melakukan perubahan bentuk secara beragam untuk menyesuaikan dirinya pada keadaan ruang-waktu; budaya, sejarah. Bukan perubahan Islam. Bukti kekekalan Islam ditunjukkan dengan kehidupan beragama kaum muslimin yang bersesuaian terhadap segala perubahan sejarah dan keadaan. Kekekalan itu pada sifatnya. Bukan bentuknya.”
“Sampai di sini, apakah kamu mengerti, santri ndableg?”
“Lumayan berpikir keras, Kiai.”
“Hahaha! Sejak kapan kamu berpikir?” Kiai Sutara tertawa terpingkal-pingkal. Asap rokoknya memenuhi ruangan.
“Islam dalam keimanan pemeluknya yang beranekaragam itu kekal. Kemurnian dan kekekalan Islam justru terletak pada bagaimana ia, dengan segala khazanahnya, sanggup menjawab persoalan hidup, melakukan penyesuaian diri pada ruang-waktu dengan damai dan selamat. Ini mirip hukum kekekalan energi dalam fisika, bahwa energi itu kekal lantaran ia menyesuaikan bentuk atau dapat berubah bentuk menurut kebutuhan. Tapi sejatinya ia tetaplah energi, tak ada yang dapat memusnahkannya. Ini dalam termodinamika-nya James Prescott Joule menjadi hukum awal yang dipegang teguh dalam fisika. Ia terkenal dengan dalilnya: “energi tak dapat diciptakan, tak dapat dimusnahkan". Islam sempurna pada sifatnya. Bukan bentuknya. Sebagai energi, al-Islam tak bisa diciptakan manusia, juga tak dapat dimusnahkan. Jadi kamu gak perlu bela-belain Islam. Percuma! Al-Islam itu bermanfaat sebagai energi keselamatan dan kedamaian dengan segala bentuk dan perubahannya secara mekanis atau organis sesuai kebutuhan.”
“Tapi bukankah akhirat harus menjadi tujuan utama daripada dunia, Kiai?”
“Kamu harus banyak memakai otakmu daripada dengkulmu, santri! Pandangan yang mendikotomi duniawi dan akhirat membuat orang berada pada dua sisi saling bertentangan. Satu sisi orang hidup mengolah dunia, tak peduli akhirat. Sisi lain, orang sibuk beribadah formal dengan mempersetankan ketimpangan dan penderitaan akibat tak aktif mengolah urusan dunia. Orang yang sibuk duniawi ingin agar di akhirat selamat. Naik hajilah dia atau menghafal kitab suci umpama, sebagian jadi ustadz dadakan, atau pindah agama. Ia merasa religius, tapi memandang rendah orang lain, dianggap belum dapat hidayah. Sebaliknya orang yang cuma sibuk beribadah, tertarik ngurus duniawi. Dia melihat dunia sudah rusak, moral hancur kemasukan budaya asing, tidak islami, dan tanda-tanda akhir zaman yang mengancam. Dengan semangat merasa suci, ia akan menyelamatkan dunia atau negara dari kehancuran. Mata melotot, tangan dikepalkan. Agama harus ditegakkan! Dunia harus diselamatkan dengan agama. Padahal sikap itu sebenarnya reaksi dari ketakmampuannya menghadapi urusan-urusan dunia yang memang tak pernah ia kenali dengan benar. Datanglah para sponsor pendukung guna meraih keuntungan uang dan politik. Sikap sok religius dan sok suci dipelihara. Terjadilah benturan. Orang beragama mengambil-alih posisi Tuhan, menghakimi dunia yang mengingkari kebenaran agamanya.”
Kiai Sutara menghembuskan asap rokoknya. Kerut wajahnya menandakan kekokohan hidupnya yang sederhana dan tak suka popularitas. Kiai ini andaikan bersedia selalu tampil, ia akan dirindukan. Tapi Kiai Sutara tidak, beliau bekerja sebagai pedagang di pasar setiap pagi, beternak kambing. Memenuhi kebutuhannya. Dan menikmati kesendirian dengan kemandirian, tekun dan bersahaja.
“Lantas bagaimana sikap religius itu seharusnya, Kiai?” tanya saya hati-hati.
“Dengar baik-baik. Lubangi telingamu biar tidak budeg. Sikap religius bukan simbol-simbol. Siapa pun yang menekuni profesi dalam hidup sebaik-baiknya dengan tulus hati, sudah melakukan perbuatan duniawi dan ukhrawi sekaligus. Sudah religius itu! Menjadi dokter yang baik adalah perbuatan religius, walaupun susah nyari dokter yang baik. Sama susahnya nyari santri yang baik, yang banyak ya santri kayak kamu, otaknya kadaluwarsa, gemar menipu dan berdusta, dan kalau berpikir pakai dengkul. Hahaha!”
“Kebaikan itu tak perlu diumumkan atau disponsori uang dan kekuasaan. Dokter gak perlu naik haji atau memakai busana Arab agar bergelar dokter religius atau dokter islami. Sikap kemanusiaan yang baik adalah sikap religius, itulah sikap keimanan. Tanggungjawab dan kesetiaan pada profesi dianjurkan dalam Qur'an dengan istilah "menepati janji" dan kebaktian kemanusiaan (taqwa). Kamu buka an-Nahl ayat 90. Dikotomi antara dunia dan akhirat seyogianya dipahami sebagai pengertian definitif. Dalam pandangan dan perilaku sehari-hari, duniawi-ukhrawi saling melengkapi, integral, utuh tidak berjalan sendiri-sendiri. Begitu Tauhid itu. Dunia mendorong kebaikan di akhirat, akhirat menyokong kemajuan dunia dengan perilaku kemanusiaan seindah gambaran perkampungan surgawi.”
Sampai di sini, Kiai Sutara kembali tertidur seperti biasanya. Beliau mudah sekali tertidur, karena beliau seorang pekerja keras yang tak pernah bermalasan. Hidupnya dipenuhi kerja, belajar, memainkan musik, menulis, mengapresiasi film dan sastra, dan tertawa bersama santri-santri kecilnya, menaikkan layangan dan membuat mainan anak. Beliau bukan sosok kiai yang gemar dipuja, bukan sosok yang hidup malas dan bergantung pada keadaan. Beliau benar-benar tampak sebagai orang kebanyakan. Tapi jangan sekali-kali kau coba menjajaki ilmu dan pengalamannya, bisa tenggelam. Tapi kalau tidur, dengkurnya begitu tenang, dengkur yang menandakan kelelahan setelah kerja. Bukan dengkur seorang pemalas. Tidurnya pulas. Menandakan betapa panjang hari-harinya mengolah hidup dengan kemandirian. Beliau mutiara yang tak bersedia berkumpul dengan mutiara-mutiara dalam etalase yang tiap saat dikagumi, dipuji, dan kerubungi orang. Tapi bagi saya, beliau mutiara yang tergeletak begitu indah dan menakjubkan di antara rerumputan, kesederhanaan keterasingan. Tanpa mencarinya dengan bersungguh-sungguh, kau tak akan pernah menemukan mutiara yang berharga itu. Saya selalu terkenang tawanya. Tawanya yang putih bersahaja. Lagu “La Vie En Rose” terdengar lembut mengiringi tidurnya.
Tembokrejo, 2020
Ket foto: "Bengawan Solo Mati," memasuki desa Tejoasri, Laren, Lamongan.
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.
http://sastra-indonesia.com/2020/06/ayat-suci-di-tengah-semua-ini/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar