Dwi
Pranoto
Tulisan
A.S. Laksana “Sains dan Hal-Hal Baiknya” dan sanggahan Goenawan Mohamad (GM)
“Sains dan Masalah-Masalahnya, Sulak dan Dua Kesalahannya”, sebenarnya
sama-sama menyokong sains. Namun keduanya dipisahkan oleh sains sebagai praksis
dan “sains sebagai ide”. Oleh karenanya, A.S. Laksana dalam “Sains dan Hal-Hal
Baiknya” lebih menyodorkan bukti-bukti mengenai manfaat sains untuk memecahkan
masalah aktual dan memudahkan kerja manusia. Pada sisi lain, Goenawan berupaya
membawa sains lebih pada semacam situasi-situasi kritisnya yang ditandai oleh
kejumudan.
Sebelum
kita melangkah lebih jauh, harus dijelaskan di sini bahwa apa yang disebut
“sains sebagai ide” adalah seperti melatakan sains di atas meja operasi:
menginterogasi, mengamati, mendiskrepsikan, mendefinisikan, dan menilai. Tentu
saja, GM tidak secara ketat melakukan langkah-langkah itu dalam tulisannya.
Namun, yang pasti, GM meletakan sains sebagai obyek; persis seperti ia
menggunakan Karl Popper untuk membela sikap skeptisnya terhadap sains. Hal ini
membuat GM berada di “luar” sains, dan membedakannya dengan posisi A.S. Laksana
yang relatif di “dalam” sains. Namun, apa yang mesti diingat, percakapan antara
AS Laksana dan GM berada di dalam pandemi covid-19.
Problem
paling kentara dari sanggahan Goenawan dalam “Sains dan Masalah-Masalahnya”
adalah ia tidak mengacu pada masalah aktual, pandemi covid-19, sebagai
tantangan yang harus dijawab sains saat ini. Sanggahan Goenawan juga melepaskan
diri dari kecenderungan anti-sains dalam masyarakat Indonesia hari ini.
Padahal, “Sains dan Hal-Hal Baiknya”, bagaimanapun, meletakan dirinya dalam dua
hal itu. Akibatnya, sanggahan Goenawan Mohamad hanya mempersoalkan “berkhidmat
kepada Hegel dan Heidegger” dan itupun dilepaskan dari sifat relatifnya terhadap
“berkhidmat pada sains”. Saya tidak ingin berbantah mengenai apakah GM
“anti-Hegel” atau tidak. Tapi penilaian GM terhadap AS Laksana, perihal
“berkhidmat kepada Hegel dan Heidegger”, tidak ditarik dari kasusnya secara
utuh. Alih-alih, GM justru merefleksikan clausa “berkhidmat kepada Hegel dan
Heidegger” melalui sejarah dirinya sendiri.
Problem
pengabaian pandemi dan kecenderungan penanggapan sosial terhadapnya membawa GM
ke kekeliruan selanjutnya. Bukan soal “kepastian sains” yang disanggahnya, yang
bagaimanapun adalah kesalahan pembacaan AS Laksana atas pernyataan GM. Mungkin
serangan AS Laksana yang memparalelkan “kritik-kritik” GM terhadap sains dengan
“serangan gereja atas Galileo” meleset dari posisionalitas GM. Namun, serangan
AS Laksana tersebut juga mesti sekaligus dibaca sebagai respon terhadap
kecenderungan semangat anti-sains yang dihembuskan dalam dalih-dalih keagamaan
di musim pandemi ini. Dari pada menanggapi serangan A.S. Laksana dalam kerangka
kasus aktual, GM malah menyebut pernyataan-pernyataan AS Laksana sebagai usang,
sembari menegakan posisionalitasnya sendiri.
Problem
pengabaian pandemi ini berlanjut saat GM berpidato tentang fenomonologi
Heidegger. Maksudnya, GM tidak membawa pandemi covid-19 “melampaui” tatapan
sains dalam terang fenomonologi Heidegger. Hal ini tampaknya berakar pada
pemahaman GM yang keliru atas pikiran-pikiran Heidegger. Bila GM benar membaca
“What is Thing?” (saya tidak bisa bahasa Jerman, jadi tak membaca “Die Frage
nach dem Ding”) ia pasti tahu bahwa Heidegger meletakan pikiran-pikiran
filsafatnya dalam lapangan yang total berbeda dengan sains dan tidak dapat
dibandingkan. “However, with our question we stand outside the sciences, and
the knowledge for which our question is neither better nor worse but totally
different”. Jadi pikiran-pikiran Heidegger tidak dapat digunakan untuk menggebuki
sains. Selain itu, pengoperasian istilah Gestell dalam tulisan GM benar-benar
jauh dari Heideger. “Gestell” yang dalam bahasa Inggris sering diterjemahkan
“Enframing” bukan berarti “’membaca’ realitas dalam bentuk sudah dalam pigura”.
Gestell (dalam “What is Thing?” saya tidak menemukan Gestell, saya menemukannya
dalam “The Questioning Concerning Technology”) adalah semacam titik berangkat
atau posisionalitas dari himpunan sains/teknologi, manusia, dan alam yang di
dalamnya bersamayam potensionalitas suatu kelahiran atau penyingkapan
kebenaran, semacam suatu ruang yang menyimpan bakal bringing-forth, bakal
poiesis. Heidegger tidak bicara sains/teknologi sebagai suatu prosedur ilmiah
dan/atau hal apapun yang ilmiah, tapi esensi sains/teknologi. Ia menghilangkan
kategori-kategori sains seperti sosiologi, epidemologi, fisika, biologi.
Artinya ia tidak membedakan pembangkit listrik tenaga nuklir dengan bom atom,
tidak membedakan mesin panen dengan instalasi gas beracun untuk “memanen”
orang-orang Yahudi di kamp konsentrasi. Bergeser sedikit dari posisi yang
diambil Heidegger dalam memandang esensi, kita akan menemukan pengabaian
keputusan etik dan pilihan-pilihan politis yang memerosotkan kita ke dalam
kekejian. Saya khawatir, pengabaian GM terhadap pandemi terjadi karena
pengambilan posisi yang demikian.
2
Juni 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar