Sholihul Huda *
Dalam
esai “Tradisi dan Bakat Individu,” T. S. Eliot menyatakan
bahwa: “Puisi bukan pelepasan emosi, tetapi pelarian dari emosi; itu bukan
ekspresi kepribadian, tetapi pelarian dari kepribadian”. Eliot juga
menambahkan dengan bercanda: “Tetapi,
tentu saja, hanya mereka yang memiliki kepribadian dan emosi saja yang tahu apalah
artinya ingin melarikan diri dari hal-hal ini.”
Mungkin
tampak terlihat aneh,
membuka bab ini dengan esai Eliot di
tahun 1919, tetapi sorotannya tentang puisi
sebagai karya yang “dibuat dan dibentuk,”
yang bertentangan dengan pendapat bahwa puisi adalah “ekspresi yang diungkapkan
secara spontan,”
menarik perhatian penting terhadap bagaimana kita menilai puisi.
Diskusi
puisi, sering menarik
perhatian pada pengucapan suara penyair, puisi sebagai ekspresi sentimen
pribadi, atau puisi merupakan perenungan peristiwa.
Sementara klaim Eliot untuk puisi bisa dibilang didasarkan pada upaya mengamankan
warisan karyanya, perbedaan antara kontrol, keahlian, dan ekspresi spontan
kepribadian yang mengarah ke beberapa pertanyaan berguna, ketika mendekati karya
penyair kontemporer.
Orang
mungkin bertanya, bagaimana penyair terbaru mendekati pribadi dalam pekerjaan
mereka? Bagaimana pengalaman sehari-hari dapat menghasilkan materi puitis?
Sejauh mana bentuk-bentuk kontemporer menawarkan tantangan bagi anggapan kita
tentang suara dalam puisi? Bagaimana puisi baru-baru ini menegosiasikan ide-ide
dari memori dan ingatan? Terlebih lagi, apa yang terjadi pada suara individu
yang berbicara, atau lirik “I,” ketika diri
dipindahkan dari panggung utama dan sebuah pengalaman bahasa menggantikannya?
Al
Alvarez dalam catatan tinjauan tentang puisi pasca perang, “The Writer’s Voice”
(2006), mengidentifikasi momen kunci
dalam sejarah puisi Amerika. Dia teringat pembacaan yang disampaikan oleh Allen
Ginsberg di SUNY Buffalo (University at Buffalo, The State University of New
York) pada tahun 1966. Ginsberg membuka pembacaan dengan karya awalnya yang terkenal
“Howl:”
‘I
saw the best minds of my generation destroyed by madness, starving hysterical
naked / dragging themselves through the negro streets at dawn looking for an
angry fix– generates expectations of countercultural critique, musicality and
performance.
Namun,
komentar Alvarez tentang pembacaan Ginsberg ini menunjukkan ketidaknyamanannya,
bahwa suara penyair sebagai suara kenabian:
“Saya sekarang mengerti
apa yang saya saksikan malam itu di Buffalo adalah sesuatu yang baru dan aneh:
transformasi puisi ke dalam
pertunjukkan… Penyair
adalah pribadi khusus,
dan membaca karya mereka masih merupakan kenikmatan tersendiri bagi pribadi
yang khusus juga… Ginsberg
mengubah semua itu dengan kekuatan kepribadian semata. Atau lebih tepatnya
dengan menggunakan ayat sebagai wahana kecakapan memainkan pertunjukan, ia
membantu mengubah seni minoritas menjadi bentuk hiburan populer berdasarkan
kultus kepribadian.”
***
Dengan
mengusung kritik kepribadian Eliot, Alvarez mengarahkan kita pada teka-teki
utama dan dasar dari puisi baru-baru ini:
“untuk menyapa para pendengarnya dengan meyakinkan,
apakah puisi kontemporer selalu membutuhkan ekstremitas emosi dan kepribadian?” William Wordsworth, dan Samuel Coleridge
mengklaim dalam pengantar mereka dalam “Lyrical
Ballads” (1798) bahwa:
“Puisi adalah luapan
spontan perasaan yang kuat, luapan itu mengambil asalnya dari emosi yang
teringat dalam ketenangan. Hingga jenis reaksi emosi dalam
ketenangan itu secara bertahap menghilang. Emosi itu sama dengan apa yang ada
sebelum subjek perenungan, secara bertahap diproduksi, dan apakah itu sendiri
benar-benar ada dalam pikiran.”
Mengikuti
contoh Romantis di atas,
kita akan merenungkan bagaimana lirik pribadi dalam puisi kontemporer
menyampaikan kondisi pikiran subyektif dan bagaimana puisi pribadi mengadaptasi
obyeknya. Penting untuk mempertimbangkan apa yang terjadi pada puisi, ketika subjektivitas
tidak lagi direpresentasikan sebagai suara yang stabil. Destabilisasi
suara dan persona dalam puisi ini adalah subjektivitas yang kurang menjadi
entitas tetap dari sebuah perpindahan titik referensi.
***
*) Kelahiran Blora, berkeluarga di Gresik, dan kini
tinggal di Yogyakarta kembali.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar