Sabtu, 08 Februari 2020

OMAYGAD! Sutardji Presiden Puisi Abadi dan Mau Keluarkan Kredo Baru!?

Shiny.ane el’poesya

Seperti tak mau kalah dari Sapardi yang menerbitkan buku dengan berkolaborasi (Prokem: Tik-Tok-an) bersama Rintik Sendu, dikabarkan oleh KOMPAS-Sabtu 8 Februari 2020, dalam tulisan milik Putu Fajar Arcana di rubrik Sosok halaman 12, bahwa Sutardji ternyata diam-diam tengah mempersiapkan sebuah buku dengan sebuah Kredo baru, Maret nanti.“Omaygad!” Ya, di balik meja kerja, sontak saya berteriak lirih seperti tiba-tiba tercekik: “Omaygad!”

Ya, “Omaygad!” Sebab jujur saja, saya merasa benar-benar kaget mendengar kabar tersebut, terlebih dalam keterangan lebih lanjut, kita mendapatkan semacam gambaran apa yang sedang ada di kepala Sutardji dari kutipan-kutipan pernyataan yang dibuatnya. Seperti dari penggalan Puisi yang coba ditunjukkan oleh Sutardji kepada PFA berikut:

“//Cukup sejengkal Saja/akan bisa melipat dunia/Dan seribu tahunmu/dapat tersimpan luas/Dalam satu larik pendek saja/Tak maksudku untuk mengagung-agungkan puisi/Kemahamaknaannya itulah/yang menjadikannya berharga/Karena itu acungkan tabik takzim/Kepada kata-kata/Tak lain tak bukan kita juga//.”

Atau pada penggalan pernyataan berikut:

“Pertama-tama, seorang penyair bercakap-cakap dengan kata-kata, bukan dengan pembaca. Ketika percakapan itu selesai, barulah kata-kata itu bercakap-cakap dengan pembacanya.”

Atau juga pada pernyataan berikut:

“Kata-kata, meski telah memiliki makna yang mapan, di tangan para penyair, bukan tidak mungkin ia bergeser. Menurut Sutardji, kita membawa lidah kita kemana-mana Ini soal selera. Hari ini kita suka Bakso, esok lusa belum tentu. Dulu kita menyukai masakan ibu di kampong, tetapi suatu hari karena lama di Eropa, sudah tidak suka lagi.”

Atau satu lagi pada parafrase di bawah ini:

“Kata juga selalu membuka kemungkinan terhadap tafsir yang berbeda, yang sangat dipengaruhi oleh biografi seseorang. Kata ‘mawar’ tak pernah diresepsi secara sama oleh beberapa orang. Ia bisa berarti traumatic, bisa pula nostalgik. Misalnya, kata Sutardji, bagi seorang gadis yang dicium paksa oleh pacarnya di sebuah taman mawar dan dia berusaha memberontak, kata ‘mawar’ bisa sangat traumatic. Berbeda halnya kalau seorang gadis lainnya diperlakukan secara lembut oleh pacarnya, dia akan mengenang kata ‘mawar’ sebagai sesuatu yang nostalgik.”

“Omaygad!” Apa yang sebenarnya ada di kepala Sutardji dengan mengungkapkan berbagai hal yang--jika kita tinjau dari sejarah panjang perbincangan perpuisian di Indonesia--telah menjadi sesuatu yang hampir pasti diketahui oleh publik sastra yang terliterasi pada umumnya? Apa yang dibayangkan oleh Sutardji, mengenai perjalanan sejarah perbincangan sastra Indonesia sejauh ini, jika yang ia ungkapkan adalah hal yang benar-benar usang seolah-olah mengasumsikan publiknya masih hidup di zaman kegelapan? Padahal, apa yang diungkapkan Sutardji tersebut adalah hal yang mesti telah diketahui bahkan oleh kalangan pegiat sastra yang, bahkan oleh mereka yang tak mendalami ilmu kesusastraan secara serius, atau oleh mereka yang memang mengenyam ilmu kesusastraan di bangku-bangku perkuliahan.

Apakah Sutardji menganggap publik sastra kita saat ini (catat, saat ini) adalah publik sastra yang memang begitu rendah pengetahuan kesusastraannya sehingga persoalan kata dan kandungan psikologi makna yang mengiringinya, adalah sesuatu yang perlu ditekankan dalam sebuah perbincangan yang hendak dikedepankan? Apakah Sutardji menganggap publik sastra kita (sekali lagi) saat ini adalah publik sastra yang tidak terliterasi sehingga persoalan yang beginner course semacam itu perlu diberikan aksentuasi khusus dalam perbincangan yang hendak dimajukan? Padahal, apa yang diungkapkan oleh Sutardji bukanlah perkara yang untuk benar-benar mengetahuinya diperlukan penelusuran literatur linguistik yang mesti serius. Tidak pula untuk mengetahuinya diperlukan sebuah kerja penelusuran hingga kepada literatur-literatur klasik yang tak jarang merepotkan sehingga tidak mudah diakses oleh banyak orang, kecuali memang bagi mereka yang tekun dan sabar. Apa yang diungkapkan oleh Sutardji, adalah apa yang biasa-biasa saja dan tidak pula sedang terjadi kekeliruan persepsi publik mengenainya di tengah-tengah kita.

Dengan kenyataan yang agak anakronik lagi skizofrenik (seakan-akan dihantui oleh masalah) tersebut, alih-alih kita mendapatkan sebuah penyegaran dari yang akan dihadirkan, kita justru telah merasakan kembali satu situasi di mana memang pergulatan wacana kesusastraan tidak mungkin kita harapkan dari generasi pendahulu yang hidup hanya dalam zeitgeist dan zeitgehalt zamannya belaka. Alih-alih kita mengharapkan sebuah wacana kesusastraan saat ini yang dapat memboyong masa lalu sekaligus masa depan ke dalam presensi di hari ini secara eksistensial (sebagaimana Daseinnya Heidegger yang mampu menunaikan tugasnya sebagai manusia untuk melakukan sebuah refleksi menyeluruh dalam kehidupannya dengan masuk ke dalam sebuah kondisi yang dinamakan Sorge; untuk mengantisipasi kecemasan masa lalu dan kecemasan akan masa depan sekaligus) justru lagi-lagi kita nampaknya akan menemukan generasi pendahulu yang memboyong romantisisme intelektual masa mudanya ke masa kini seakan-akan menjadikan zaman kita saat ini layaknya panti asuhan yang harus siap-siaga untuk meladeni masa pubertas kedua mereka.

Sudah barang tentu, kenyataan demikian adalah kenyataan yang jelas merugikan bagi generasi kita di zaman ini yang sebenarnya layak untuk mengemban masa depan yang lebih baik dan berkesempatan untuk menyetirnya dengan lebih progress. Terlebih, jika kita hendak iseng dengan coba memblejeti penggalan puisi yang telah dibuat oleh Sutardji di atas sebagai sampel kemandekan, kita akan dengan mudah mengatakan bahwa apa yang ditulisnya tidak sama sekali menghadirkan selain nuansa pemikiran sebagaimana telah diungkapkan, juga nuansa penyegaran teknik perpuisian di sana. Justru, sebaliknya kita akan menemukan beberapa kerancuan dalam susunannya. Sebagai contoh:

Dalam rangkaian kalimat ini: “//Cukup sejengkal Saja/akan bisa melipat dunia/Dan seribu tahunmu/dapat tersimpan luas/Dalam satu larik pendek saja/” Jika kita perhatikan baik-baik dan dengan teliti, maka kita akan menemukan ketidaktepatan diksi yang digunakan oleh Sutardji pada penggunaan kata “luas,” yang seharusnya adalah kata “padat.” Mengapa? Karena Sutardji hendak melipatnya dalam bentuk sesuatu. Jika ia gunakan kata “luas,” maka ia sebenarnya telah melakukan penabrakan imaji “lipat” dengan imaji “luas” di sana, juga tentu dengan kata “pendek” yang terdapat setelahnya. Kemudian pada rangkaian kalimat berikutnya: “Tak maksudku untuk mengagung-agungkan puisi/Kemahamaknaannya itulah/yang menjadikannya berharga/Karena itu acungkan tabik takzim/Kepada kata-kata/Tak lain tak bukan kita juga//,” yang menempatkan kata “acungkan” mendahului frasa “tabik takzim.” Lagi-lagi kita boleh mengajukan pertanyaan, baik pertanyaan puitik (atau mungkin bolehlah sedikit pertanyaan moral), “Apakah tepat, seseorang yang hendak mengadakan sebuah pentakdziman terhadap sesuatu dengan cara mengacungkan sesuatu?” Tentu, jawabannya, hanya orang kurang ajar yang justru melakukan hal tersebut. Untuk menghormati kemerdekaan Indonesia, tentu orang Indonesia terlarang mengatakan “mengacungkan bendera” alih-alih “pengibaran bendera,” akan terlarang ia mengajungkan tiang dan senjata, alih-alih menegakkannya.

Sebagian pembaca lain mungkin akan bantu berdalih, bahwa maksudnya tidak begitu, tetapi seperti mana “pengibaran bendera,” dipilihkan kata lain yang lebih cocok. Nah! Justru di situ masalahnya, ada persoalan ketidaktepatan puitik di sana. Atau mungkin Sutardji sendiri akan berdalih, penggunaan kata tersebut hendak diasosiasikan dengan simbolisme yang ada dalam praktik Tahiyatus Sholah yang mana ketika pada penyebutan kata tertentu dilakukan secara bersamaan sebuah praktik “pengacungan jari telunjuk.” Namun, lagi-lagi, jika asosiasi itu diarahkan ke sana, maka Pertama, Sutardji pada dasarnya menjadi kuat bahwa ia telah melakukan sebuah pemulihan imannya terhadap kedudukan kata di dalam puisi, dan sedang benar-benar merasa telah melakukan deklarasi pertobatan dari Kredo pertamanya; dengan kata lain, yang ia lakukan saat ini bukanlah merupakan sebuah pembaharuan, melainkan sebuah pertobatan, yang mundur kembali dari langkah yang pernah dilakukannya, dan Kedua, Sutardji justru kembali terjebak kepada kesalahan yang pernah ia lakukan ketika ia melakukannya pada Mantra; jika memang Sutardji benar-benar hendak mengatakan pertobatan. Apa itu? Yaitu, menggunakan khazanah masa lalu masa lalu yang di dalamnya sebenarnya mengandung unsur kegaiban, menjadi hanya sesuatu yang sifatnya hanya simbol kultural; dalam sebuah hadits shahih, disampaikan bahwa praktik mengacungkan jari (terlebih sambil menggerakkannya berkali-kali) adalah praktik yang jika dilakukan akan membuat payah sekelompok jin-jin kafir. [Duh! Sutardji!]
***

Dalam tulisannya, Putu Fajar Arcana menggunakan judul: “Sutardji Calzoum Bachri, Presiden Puisi Abadi.” Pemilihan judul yang demikian teranglah menunjukkan bahwa PFA tidak sama sekali melihat persoalan ini dengan benar-benar serius dan kritis. Terlebih, dalam keseluruhan tulisannya sendiri, pokok pembicaraan tidak sama sekali benar-benar membicarakan bagaimana problem Kepresidenan Sutardji ini sebenarnya dipermasalahkan, bahkan sangat-sangat dipermasalahkan terutama oleh generasi 2000an dan yang lebih muda lagi. Jika ingin dibandingkan, dengan judul demikian, PFA hanya terlihat menyinggung (catat: menyinggung bukan membahas) dalam tiga paragraph saja, selebihnya, hampir dari 20 paragraf membahas persoalan lain. Betapa buruknya penjudulan yang dilakukan oleh PFA ini, bahkan untuk dimuatkan bagi media sekelas KOMPAS.

Hal yang perlu kita beri catatan penting pula adalah, dari tiga paragraf yang coba dihadirkan oleh PFA mengenai duduk soal penyematan Presiden Penyair bagi Sutardji, adalah tiga paragraf yang justru hendak mendelegitimasi kedudukan kepenyairan Sutardji sebagai Presiden, sebab diungkapkan kembali bagaimana sebenarnya, pada mulanya Sutardji melakukan hal tersebut karena risau terhadap penyematan-penyematan yang dilakukan oleh H.B. Jassin kepada Amir Hamzah sebagai Raja Penyair Pujangga Baru, dan kepada Chairil Anwar sebagai Pelopor Angkatan 45, atau oleh beberapa pihak penyematan Umbu Landu Paranggi sebagai Presiden Penyair Malioboro.

Tentu, PFA juga bisa mengelak bahwa tulisannya itu bukanlah tulisan yang ditulisnya untuk rubrik opini—budaya, melainkan sebagai tulisan feature biasa untuk rubrik sosok yang sifatnya cenderung apresiatif ketimbang kritis. Tetapi, tentu, lagi-lagi, dengan penjudulan yang justru bernuansa hiperbolis dan tulisan yang tak proporsional dengan judul, pada dasarnya PFA telah menyesatkan pembaca dengan mengabaikan berbagai perbincangan sastra terkait, hingga perkembangan terkini atas fakta-fakta perjalanan kesusastraan belakangan; tak hadirnya Sutardji dalam berkali-kali polemik pemelintiran sejarah sastra Indonesia yang dilakukan oleh sebagian pihak yang tak bertanggung jawab. Jauh peran daripada yang telah dilakukan oleh Saut Situmorang yang dengan itu juga turut memotivasi banyak kalangan muda untuk senantiasa awas terhadap praktik politik sastra di Indonesia yang melibatkan berbagai lembaga kesusastraan. Juga di luar itu, jauh lebih kreatifnya Afrizal Malna dalam terus mengembangkan-ke depan gagasan-gagasannya berkaitan dengan puisi, yang mana, Afrizal sendiri di awal karirnya pernah berpijak dari Kredo Sutardji yang kini oleh Sutardji justru terus makin dikhianatinya sendiri.

Sebagai penutup, saya hendak mengatakan. Ya, jangankan julukan Presiden Penyair, julukan Presiden Perusahaan saja jika kita hendak perlakukannya sebagai main-main, maka itu bisa kita katakan sebagai julukan “main-main” dalam dunia yang memang “main-main” ini. Tetapi, apa iya “main-main” itu semain-main ini—dimana Sutardji sendiri tidak pernah secara publik berani untuk melepaskan julukan main-mainnya itu, alih-alih memanfaatkan situasinya di berbagai tempat, waktu dan kesempatan?!

Babakan, Ciwaringin, Cirebon, 08 Februari 2020. #SainsPuisi

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest