Sabtu, 08 Februari 2020

KRITIK MORALITAS DAN CERITA YANG TERSELUBUNG ;

Sebuah Catatan Sederhana
Imamuddin SA

Menulis sastra (cerpen) merupakan hal yang sangat melelahkan, menguras pikiran, sekaligus membingungkan. Bagaimana tidak, sejak awal kita sudah dituntut untuk memungut ide yang belum tersentuh rimbanya. Kalaupun sudah berhasil memungutnya, kita masih diminta untuk mengasuhnya dalam bentuk narasi sebagaimana kaidah yang semestinya ada; membikin tokoh dan penokohan, menyusun plot dan setting, menggarap point of view dan stilistika, lebih-lebih amanat yang konon harus menggugah. Yups, ini memang benar-benar merepotkan, belum lagi kita juga dituntut untuk mengantarnya sampai pada ranah menyunting sebagai fase finishing. Ini yang kerap membikin kita semakin bingung.

Satu hal lagi, kita sudah susah-susah menggurat karya, karya kita masih saja dipaido oleh pembaca yang budiman. Terlepas pembaca itu adalah seorang apresiator atau kritikus, yang jelas mereka semakin membikin kita pusing tujuh keliling. Yang perlu kita sadari dari semua ini yaitu usaha dan niat baik pebaca yang berada pada taraf maidotul hasanah; mengapresiasi dan mengkritik demi kebaikan kita.

Di tangan tukang paido (sebut saja pembaca), karya kita selalu memiliki celah. Mereka selalu saja dapat menemukan kekurangan-kekurangan karya yang telah dibacanya. Mengapa hal itu dapat terjadi? Karena sesungguhnya tiada suatu perbuatan yang paling sempurna ketimbang menemukan kekurangan orang lain. Mungkin ini sebuah keyakinan bagi saya, namun tidak bagi anda. Gajah di pelupuk mata tidak tampak, tapi semut di seberang lautan tampak.

Pertanyaannya, sebagai penulis yang budiman, apa yang semestinya kita lakukan ketika karya kita mendapat paidotul hasanah? Diamkah kita? Marahkah kita? Yang jelas, adakalanya diam adalah emas dan berbicara juga adalah emas. Diam itu sah dan marah juga tidak dilarang, namun bersikap hiperbolis memang tidak disarankan. Lebih-lebih kita pesimis dan berhenti berkarya, itu tidak dibenarkan.

Saya teringat dengan tulisan almarhum KH. Zainal Arifin Thoha dalam bukunya yang berjudul “Aku Menulis maka Aku Ada”. Dalam buku tersebut dinukilkan bahwa kalau kita berkarya, janganlah kita terpaku memikirkan kesempurnaan. Ketika kita terlalu dibebani kesempurnaan, kita akan takut melangkah. Akhirnya kita tidak mengerjakan apa-apa dan tidak menghasilkan apa-apa. Capailah hasil jangan kesempurnaan. Maka dari itulah, sesuatu yang positif kita pungut dengan tanpa mengabaikan kutub negatifnya.

Membaca cerpen Fatah Anshori yang berjudul “Bibir yang Tercecer di Jalan” membikin hati saya tertarik untuk membuat catata sederhana. Membaca judulnya saja, hati saya telah terhipnotis untuk segera menyelami kedalamannya. Cerpen ini menyajikan sebuah cerita yang terselubung. Istilahnya ada cerita di dalam cerita.

Singkat cerita, cerpen ini mengisahkan kehidupan tokoh “aku” saat berada di sebuah kota yang sepi. Penghuni kota itu semuanya bermasker dan bercadar. Mereka bersikap acuh kepada tokoh “aku”. Mereka seolah-olah menyembunyikan sesuatu yang besar kepada orang lain. Kota itu memiliki bangunan dan gedung-gedung tua yang tinggi namun kondisinya kusam. Selain itu, toko-toko banyak yang tutup. Kondisi yang demikian itulah membuat tokoh “aku” mengingat dan menceritakan kembali peristiwa pertemuannya dengan Gin, sahabatnya. Pertemuan itu terjadi sebelum tokoh “aku” berangkat ke kota itu. Dalam pertemuan itu, Gin menceritakan kembali masa lalunya dengan kekasihnya yang begitu pahit. Masa lalu itulah yang kemudian mengubah karakter Gin yang baik menjadi buruk. Kebaikan Gin banyak dimanfaatkan oleh orang lain, termasuk kekasihnya sendiri.

Setelah mereka selesai bercerita satu sama lain, Gin kemudian mengantarkan tokoh “aku” ke pelabuhan. Sejak saat itulah mereka berdua berpisah. Dalam perjalanannya menaiki kapal, tokoh “aku” dirampok dan dibuang ke laut. Ia tidak sadarkan diri. Saat terbangun, tokoh “aku” mendadak telah berada di sebuah pulau. Ketika ia menyusuri pulau, tokoh “aku” menemukan kota sepi itu. Itulah awal mula cerita tokoh “aku” sebelum tiba di kota tersebut. Dalam perjalanannya, tokoh “aku” kemudian bertemu seorang lelaki. Ia adalah warga kota tersebut. Lelaki itu kemudian membuka masker yang sejak tadi telah membekap wajahnya. Tokoh “aku” mendapati lelaki itu tidak memiliki bibir. Tokoh “aku” lantas mengikuti lelaki itu ke seberang jalan dan menemukan sebuah toko yang buka di situ. Tokoh “aku” kemudian mendapati seorang perempuan penjaga toko yang begitu sempurna di matanya. Perempuan itulah yang pada akhirya menceritakan sebuah kebenaran terkait dengan kota yang sepi dan berceceran bibir di sepanjang kota. Perempuan itu menjelaskan bahwa untuk dapat hidup di kota itu, para warganya harus berdusta kepada siapaun, jika tidak bibir mereka akan mengelupas. Orang yang telah kehilangan bibirnya akan mati membusuk. Itu adalah sebuah kutukan dari raja kota tersebut. Akan tetapi kutukan itu tidak berlaku untuk orang luar yang bukan warga kota. Perempuan itu berkata demikan dengan maksud agar tokoh “aku” akan menjadi juru selamat bagi warga dan kota itu dengan berkata jujur, meskipun perempuan itu sadar bahwa dengan mengatakan sebuah kejujuran kepada tokoh “aku”, nyawanya akan melayang. Setelah menyelesaikan ceritanya, tidak lama kemudian raja beserta pengawalnya tiba di toko perempuan tersebut. Mereka memaksa masuk ke dalam toko dengan merusak pintunya. Seketika itu, pengawal raja membunuh perempuan itu dengan sebuah senapan, namun tidak dengan tokoh “aku”.

Cerpen “Bibir yang Tercecer di Jalan” memiliki pola alur yang cukup unik, meskipun pada hakikatnya tetap bertumpu pada skema alur progresif. Keunikannya terletak pada bagunan peristiwa yang terjadi di dalamnya. Fatah tampak secara sadar menghadirkan lompatan-lompatan peristiwa dari masa ke masa di dalam cerpen ini. Tujuannya tidak lain adalah ia ingin membangkitkan gairah baca dan keingintahuan pembaca dengan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi berikutnya.

Sebagai sebuah teknik, Fatah telah berhasil dengan piawai menghadirkan backtracking di dalam ceritanya. Terhitung sebanyak tiga kali, Fatah menggunakan backtracking dalam cerita ini. Pertama; hadirnya cerita pertemuan tokoh “aku” dangan Gin sebelum tokoh “aku” berada di kota sepi. Kedua; hadirnya cerita masa lau Gin dengan kekasihnya, Ai. Ketiga; adanya cerita dari tokoh “aku” kepada Gin tentang sebuah negeri yang telah dihancurkan oleh Tuhan.

Sambil berjalan dan berharap ada orang yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaanku, aku mengingat-ingat kejadian sebelum aku memutuskan pergi.

“Kau tak akan menemukan orang yang benar-benar jujur di dunia ini.”

Aku membiarkan Gin berbicara sesukanya di depanku. Sementara sembil menghisap sebatang Marlboro yang kuambil dari kotak rokok milik Gin aku mencoba melupakan kejadian itu. (hal: 1).

Lalu Gin menceritakan ulang kejadian itu, ketika aku seakan-akan menjadi lelaki paling bodoh yang pernah hidup di bumi. Pada suatu sore di hari Sabtu aku dan Gin memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kampus untuk mengurangi penat dan mencari angin segar, barangkali seperti itu basa-basinya. Ketika berjalan di lobi Fakultas Kesehatan, aku dan Gin melihat mereka berciuman. Ai melakukannya dengan seorang lelaki yang tak kukenal, tapi kuakui lelaki itu memiliki dandanan yang lebih rapi dariku. Ia mungkin memotong rambutnya dua minggu sekali dan merawat kulitnya dengan body lotion setiap hari. Aku dan Gin melihat kejadian itu dengan jelas dan seolah adegan itu di-zoom pada sudut di mana bibirmereka saling bersentuhan satu sama lain. (hal: 1).

Lalu pada Gin, aku menceritakan suatu kisah tentang suatu negeri yang entah pernah kudengar dari mana, aku agak lupa. Mulanya itu adalah suatu negeri yang subur dan makmur yang dipimpin oleh seorang raja yang baik hati. Ia memiliki kecerdasan diluar batas kecerdasan manusia pada umumnya. Dengan kecerdasannya itu ia mampu berbicara dengan hewan dan jin, juga dengan kecerdasannya ia berhasil memimpin negeri itu dengan sangat baik, berlaku adil dan bijaksana pada warganya. Namun setelah raja itu tua dan akhirnya mati, tuhan murka pada orang-orang di negeri itu, karena mereka kerap berdusta tidak pernah bersyukur, dan tidak pernah menjalankan aturan yang telah dibuat raja itu sebelum meninggal. Tuhan akhirnya membolak-balikkan negeri itu semudah membolak-balikkan telapak tangan, lalu negeri itu hancur lebur dan menjadi ribuan keping ditambah buah-buah yang tumbuh di negeri itu tidak lagi bisa dimakan. Seluruh buah yang tumbuh di sana menjadi pahit. (hal: 2).

Cerpen “Bibir yang Tercecer di Jalan” karya Fatah ini memperhatikan aspek stilistika. Bahasa figuratif tampak berhamburan di dalamnya. Hal itu sudah mulai terlihat sedari awal cerita ini dibuat, termasuk pengambilan judul karya. Judul “Bibir yang Tercecer di Jalan” merupakan suatu metafora yang secara implisit merepresentasikan sebuah kejujuran yang telah ditinggalkan dan tercampakkan. Orang yang berkata jujur dalam cerpen ini akan mengalami ketersiksaan yang begitu pedih. Bibirnya akan mengelupas dan perlahan akan mati membusuk. Penegasan judul “Bibir yang Tercecer di Jalan” sebagai metafora terlihat jelas dari pernyataan tokoh perempuan saat memberikan penjelasan kepada tokoh “aku”.

Di kota ini kau hanya bisa hidup dengan tidak mengatakan yang sebenarnya. Atau lebih mudahnya kau hanya bisa hidup jika kau berbohong. Jika tidak dan kau lebih memilih menjadi orang jujur yang berani mengatakan sebenarnya, tidak lama kemudian bibirmu akan terkelupas atau gugur sebagaimana daun-daun kering yang lepas dari rantingnya. Dan tinggal menunggu hari kapan kau akan mati membusuk seperti buah yang telah terjatuh dari pohonnya, (hal: 5).

Selain metafora, dalam cerpen ini Fatah juga menghadirkan asosiasi, metonimia, personifikasi, hiperbola, dan sarkasme. Gaya asosiasi tampak pada pernyataan “bibir yang tercecer di jalan” yang disamakan dengan “tai ayam”. Selain itu, “bibir-bibir” juga disamakan dengan “daun yang tertiup angin”. Ada juga “para pengawal raja” diibaratkan sebagai “sekawanan banteng”.

... aku melihat banyak sekali bibir yang tercecer di jalanan seperti tai ayam, .... Bibir-bibir itu terbang sebagaimana daun yang tertiup angin. (Hal: 1).

.... Seolah di luar ada sekawanan banteng yang bergantian menyeruduk pintu. (hal: 5).

Gaya metonimia tampak dengan hadirnya pernyataan yang menyebutkan nama/merk suatu barang/benda, yaitu “menghisap sebatang Marlboro”. Gaya personifikasi terdeskripsikan melalui pernyataan “toko-toko menggantungkan tulisan tutup”. Toko yang notabenenya benda mati disematkan karakter manusia yaitu dapat menggantungkan sebuah tulisan.

.... Sementara sembil menghisap sebatang Marlboro yang kuambil dari kotak rokok milik Gin aku mencoba melupakan kejadian itu. (hal: 1).

Toko-toko yang berada di pinggir jalan raya kebanyakan menggantungkan tulisan tutup di balik pintunya. Satupun toko tidak ada yang buka. (hal: 1).

Gaya hiperbola tecermin melalui pernyataan yang melebih-lebihkan yang dilakukan oleh Fatah dalam cerpen ini. Beberapa pernyataan tersebut di antaranya yaitu tuturan tokoh “aku” terkait perempuan yang telah melelehkan air matanya sebagai bentuk ungkapan kesedihan yang amat pekat. Selain itu, tuturan tokoh “aku” tentang perempuan yang ingin membenamkan kesedihannya pada tokoh “aku”. Gaya sarkasme muncul dalam ungkapan pengawal raja yang menyebut perempuan yang bersama tokoh “aku” itu dengan kata-kata “perempuan hina”.

Di pertengahan cerita ia tiba-tiba melelehkan air mata, dan sepertinya hanya kesedihan yang amat pekat yang dapat membuat perempuan secantik ia, bisa terisak begitu lama.... Ia seolah ingin membenamkan segala kesedihannya di tubuhku. (hal: 5).

“Mati kau perempuan hina!” seseorang di belakang itu berteriak.” (hal: 5).

Secara umum, cerpen “Bibir yang Tercecer di Jalan” karya Fatah menitikberatkan pada aspek moralitas sehingga nilai yang muncul berseliweran adalah nilai moral. Fatah bermaksud mengkritisi adanya degradasi moral, terutama praktik pengebirian kebenaran dan kejujuran yang dilakukan oleh suatu pemerintahan tertentu. Ia secara implisit seolah mengatakan bahwa suatu kebohongan dan kezaliman yang disembunyikan suatu saat akan terbongkar dan berakhir. Bagi Fatah, semua itu akan berakhir jika dalam pribadi seseorang muncul suatu keberanian untuk mengungkapkan kebenaran dan kejujuran, meskipun taruhannya adalah nyawa. Lebih-lebih, orang yang menyatakan kebenaran dan kejujuran itu haruslah orang yang benar-benar tidak terbelit dalam sistem pemerintahan tersebut.

“Di kota ini kau hanya bisa hidup dengan tidak mengatakan yang sebenarnya. Atau lebih mudahnya kau hanya bisa hidup jika kau berbohong. Jika tidak dan kau lebih memilih menjadi orang jujur yang berani mengatakan sebenarnya, tidak lama kemudian bibirmu akan terkelupas atau gugur sebagaimana daun-daun kering yang lepas dari rantingnya. Dan tinggal menunggu hari kapan kau akan mati membusuk seperti buah yang telah terjatuh dari pohonnya,” setelah mengunci pintu kamar perempuan itu lantas duduk di sebelah kananku. “Seperti yang tertulis di buku-buku itu, bahwa setiap orang yang telah kehilangan bibirnya akan segera membusuk begitu saja. Orang-orang yang menulis buku itu percaya bahwa Raja telah membuat perjanjian dengan roh jahat dan membuat kutukan untuk orang-orang yang berbicara benar. Dan konon hanya orang asing yang datang dari luar pulau ini yang tidak terikat darah dan perjanjianlah yang akan mencabut kutukan itu.” (hal: 4-5).

Menyoal moralitas, suatu kebohongan yang dipelihara akan melahirkan kebohongan-kebohongan lain yang semakin hari semakin menjamur. Menjamurnya kebohongan itu dikarenakan adanya suatu usaha menutupi satu kebohongan dengan kebohongan pula. Hal ini jika dibiarkan akan beranak-pinak.

Satu hal yang patut sedikit disayangkan dari Fatah terkait cerpen “Bibir yang Tercecer di Jalan”. Ia kurang berani mendeskripsikan setting ceritanya secara gamblang. Ia terbelit dalam dunia imajinasinya sendiri. Padahal apabila setting ini dipertegas akan menjadi satu sajian karya dengan gaya yang menarik; realis imajinatif. “Bibir yang Tercecer di Jalan” akan menjadi representasi dari realitas yang ada. Kota kita sedang dilanda krisis kejujuran.

Ketika pertama kali memasuki gerbang masuk kota, gedung-gedung tinggi tua dan tampak kusam menyambutku.... Aku berjalan berpapasan dengan mereka dan ketika aku menyapa untuk bertanya tempat atau nama kota ini, mereka tidak menjawab, hanya menatapku dengan pandangan yang seolah-olah ingin mengatakan sesuatu tapi tidak bisa.... (hal: 1).

.... Mulanya aku mengira pulau ini hanya diisi oleh populasi pohon-pohon besar yang tidak kukenal jenisnya, namun ketika masuk ke dalamnya aku menemukan sebuah kota dengan gedung-gedung tinggi, hampir mirip dengan Jakarta atau Surabaya. Namun dari luar gedung-gedung itu tak nampak sama sekali, seolah-olah pohon yang tumbuh melingkari kota itu seperti koloseum utuh yang menutupi lapangan dari luar.... (hal: 3).

Cerpen “Bibir yang Tercecer di Jalan” dapat dikatakan sebagai karya yang kuat secara umum. Akan tetapi ada sebagian kisah yang dihadirkan malah justru mengurangi kekuatan karya ini. Fatah dapat dikatakan kurang selektif dalam mengambil kilatan kisah tentang sebuah negeri yang subur dan makmur yang dipimpin oleh seorang raja yang baik hati, cerdas, serta dapat berkomunikasi dengan hewan dan jin. Kilatan cerita ini terlalu klise kisahnya. Pembaca akan menangkap kisah ini sebagai citraan dari cerita Raja Sulaiman. Meskipun efek moralitas yang dihadirkan telah tercapai, alur yang disajikan terlalu monoton. Akan tetapi kilatan cerita ini akan menjadi dahsyat apabila disajikan dengan daya ungkap yang berbeda.

Lalu pada Gin, aku menceritakan suatu kisah tentang suatu negeri yang entah pernah kudengar dari mana, aku agak lupa. Mulanya itu adalah suatu negeri yang subur dan makmur yang dipimpin oleh seorang raja yang baik hati. Ia memiliki kecerdasan diluar batas kecerdasan manusia pada umumnya. Dengan kecerdasannya itu ia mampu berbicara dengan hewan dan jin, juga dengan kecerdasannya ia berhasil memimpin negeri itu dengan sangat baik, berlaku adil dan bijaksana pada warganya. Namun setelah raja itu tua dan akhirnya mati, tuhan murka pada orang-orang di negeri itu, karena mereka kerap berdusta tidak pernah bersyukur, dan tidak pernah menjalankan aturan yang telah dibuat raja itu sebelum meninggal. Tuhan akhirnya membolak-balikkan negeri itu semudah membolak-balikkan telapak tangan, lalu negeri itu hancur lebur dan menjadi ribuan keping ditambah buah-buah yang tumbuh di negeri itu tidak lagi bisa dimakan. Seluruh buah yang tumbuh di sana menjadi pahit. (hal: 2).

Dalam penceritaan, di awal cerita, Fatah juga menyematkan suatu pernyatan yang kurang berimbang. Fatah terkesan terburu-buru dalam mengambil diksi. “Saat pertama kali tiba di kota ini, aku melihat banyak sekali bibir yang tercecer di jalanan seperti tai ayam, ada yang masih segar dan ada yang sudah membusuk atau bahkan mengering. Namun bibir-bibir yang tercecer di jalan raya, trotoar, selokan, atau di teras toko-toko itu memiliki aroma wangi yang belum pernah kuhirup sebelumnya”, ketidakberimbangan cerita ini terletak pada penggunaan kata “aroma wangi” yang bertolak belakang dengan kata “sudah membusuk” yang telah tersemat terlebih dahulu. Sesuatu yang “membusuk” jelas-jelas tidak dapat dikatakan “wangi” karena keduanya sama-sama berhubungan bengan bebauan.

Lain halnya dengan ending cerita ini. Penutup ceritanya terkesan dipaksakan. Bagian ini agak sedikit kurang harmonis dengan cerita yang sebelumnya, meskipun sosok Gin disinggung di sini. Mengapa demikian? Hal itu dikarenakan tokoh “aku” di pulau (kota) itu tidaklah mencari Gin melainkan ia terdampar dan tersesat setelah dibuang perampok saat naik kapal. Lagi pula Gin lah yang mengantarkannya ke pelabuhan saat tokoh “aku” hendak melakukan perjalanan mencari kota yang entah. Yang jelas, kota itu bukanlah kota yang mempertemukan tokoh “aku” dengan Gin pertama kali.

Besoknya aku meminta Gin mengantarku ke pelabuhan di sebelah timur kota, aku membeli sebuah tiket perjalan paling murah, aku tidak peduli ke tempat mana kapal itu akan berhenti dan aku tidak terlalu mengingat tempat tujuan perjalanan itu.... (hal: 3).

“Apa sekarang kau sudah mengerti?” bagaiamana mungkin Gin berada disini dan menjadi raja. (hal: 5).

Terlepas dari muatannya yang sarat dengan nilai moral, entah ini merupakan suatu ketidaktahuan atau ketidaksengajaan, hal yang perlu dijadikan bahan pertimbangan saat menulis adalah penggunaan kalimat efektif yang sesuai dengan kaidah bahasa yang ada. Dalam cerpen “Bibir yang Tercecer di Jalan”, Fatah masih terbelenggu dengan kesalahan penggunaan ejaan. Jika demikian, ketelitian dan kecermatan menjadi jalan pintas untuk menebus kekurangan.

Sekali lagi saya tegaskan, ini hanyalah sebatas catatan sederhana bagi saya. Anda menganggap catatan ini sebagai apresiasi, kritik, atau maidotul hasanah, itu hak anda. Saya tidak dapat membatasi pola pikir anda karena saya dengan anda merupakan pribadi yang berbeda. Saya dengan anda jelas memiliki sudut pandang yang tidak sama, termasuk dalam menafsirkan cerpen “Bibir yang Tercecer di Jalan” ini.

https://kostela-sastrateater.webs.com/apps/blog/show/47808803-imamuddin-sa

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest