Sebuah Catatan Sederhana
Imamuddin SA
Menulis sastra (cerpen) merupakan hal yang sangat melelahkan, menguras pikiran, sekaligus membingungkan. Bagaimana tidak, sejak awal kita sudah dituntut untuk memungut ide yang belum tersentuh rimbanya. Kalaupun sudah berhasil memungutnya, kita masih diminta untuk mengasuhnya dalam bentuk narasi sebagaimana kaidah yang semestinya ada; membikin tokoh dan penokohan, menyusun plot dan setting, menggarap point of view dan stilistika, lebih-lebih amanat yang konon harus menggugah. Yups, ini memang benar-benar merepotkan, belum lagi kita juga dituntut untuk mengantarnya sampai pada ranah menyunting sebagai fase finishing. Ini yang kerap membikin kita semakin bingung.
Satu hal lagi, kita sudah susah-susah menggurat karya, karya kita masih saja dipaido oleh pembaca yang budiman. Terlepas pembaca itu adalah seorang apresiator atau kritikus, yang jelas mereka semakin membikin kita pusing tujuh keliling. Yang perlu kita sadari dari semua ini yaitu usaha dan niat baik pebaca yang berada pada taraf maidotul hasanah; mengapresiasi dan mengkritik demi kebaikan kita.
Di tangan tukang paido (sebut saja pembaca), karya kita selalu memiliki celah. Mereka selalu saja dapat menemukan kekurangan-kekurangan karya yang telah dibacanya. Mengapa hal itu dapat terjadi? Karena sesungguhnya tiada suatu perbuatan yang paling sempurna ketimbang menemukan kekurangan orang lain. Mungkin ini sebuah keyakinan bagi saya, namun tidak bagi anda. Gajah di pelupuk mata tidak tampak, tapi semut di seberang lautan tampak.
Pertanyaannya, sebagai penulis yang budiman, apa yang semestinya kita lakukan ketika karya kita mendapat paidotul hasanah? Diamkah kita? Marahkah kita? Yang jelas, adakalanya diam adalah emas dan berbicara juga adalah emas. Diam itu sah dan marah juga tidak dilarang, namun bersikap hiperbolis memang tidak disarankan. Lebih-lebih kita pesimis dan berhenti berkarya, itu tidak dibenarkan.
Saya teringat dengan tulisan almarhum KH. Zainal Arifin Thoha dalam bukunya yang berjudul “Aku Menulis maka Aku Ada”. Dalam buku tersebut dinukilkan bahwa kalau kita berkarya, janganlah kita terpaku memikirkan kesempurnaan. Ketika kita terlalu dibebani kesempurnaan, kita akan takut melangkah. Akhirnya kita tidak mengerjakan apa-apa dan tidak menghasilkan apa-apa. Capailah hasil jangan kesempurnaan. Maka dari itulah, sesuatu yang positif kita pungut dengan tanpa mengabaikan kutub negatifnya.
Membaca cerpen Fatah Anshori yang berjudul “Bibir yang Tercecer di Jalan” membikin hati saya tertarik untuk membuat catata sederhana. Membaca judulnya saja, hati saya telah terhipnotis untuk segera menyelami kedalamannya. Cerpen ini menyajikan sebuah cerita yang terselubung. Istilahnya ada cerita di dalam cerita.
Singkat cerita, cerpen ini mengisahkan kehidupan tokoh “aku” saat berada di sebuah kota yang sepi. Penghuni kota itu semuanya bermasker dan bercadar. Mereka bersikap acuh kepada tokoh “aku”. Mereka seolah-olah menyembunyikan sesuatu yang besar kepada orang lain. Kota itu memiliki bangunan dan gedung-gedung tua yang tinggi namun kondisinya kusam. Selain itu, toko-toko banyak yang tutup. Kondisi yang demikian itulah membuat tokoh “aku” mengingat dan menceritakan kembali peristiwa pertemuannya dengan Gin, sahabatnya. Pertemuan itu terjadi sebelum tokoh “aku” berangkat ke kota itu. Dalam pertemuan itu, Gin menceritakan kembali masa lalunya dengan kekasihnya yang begitu pahit. Masa lalu itulah yang kemudian mengubah karakter Gin yang baik menjadi buruk. Kebaikan Gin banyak dimanfaatkan oleh orang lain, termasuk kekasihnya sendiri.
Setelah mereka selesai bercerita satu sama lain, Gin kemudian mengantarkan tokoh “aku” ke pelabuhan. Sejak saat itulah mereka berdua berpisah. Dalam perjalanannya menaiki kapal, tokoh “aku” dirampok dan dibuang ke laut. Ia tidak sadarkan diri. Saat terbangun, tokoh “aku” mendadak telah berada di sebuah pulau. Ketika ia menyusuri pulau, tokoh “aku” menemukan kota sepi itu. Itulah awal mula cerita tokoh “aku” sebelum tiba di kota tersebut. Dalam perjalanannya, tokoh “aku” kemudian bertemu seorang lelaki. Ia adalah warga kota tersebut. Lelaki itu kemudian membuka masker yang sejak tadi telah membekap wajahnya. Tokoh “aku” mendapati lelaki itu tidak memiliki bibir. Tokoh “aku” lantas mengikuti lelaki itu ke seberang jalan dan menemukan sebuah toko yang buka di situ. Tokoh “aku” kemudian mendapati seorang perempuan penjaga toko yang begitu sempurna di matanya. Perempuan itulah yang pada akhirya menceritakan sebuah kebenaran terkait dengan kota yang sepi dan berceceran bibir di sepanjang kota. Perempuan itu menjelaskan bahwa untuk dapat hidup di kota itu, para warganya harus berdusta kepada siapaun, jika tidak bibir mereka akan mengelupas. Orang yang telah kehilangan bibirnya akan mati membusuk. Itu adalah sebuah kutukan dari raja kota tersebut. Akan tetapi kutukan itu tidak berlaku untuk orang luar yang bukan warga kota. Perempuan itu berkata demikan dengan maksud agar tokoh “aku” akan menjadi juru selamat bagi warga dan kota itu dengan berkata jujur, meskipun perempuan itu sadar bahwa dengan mengatakan sebuah kejujuran kepada tokoh “aku”, nyawanya akan melayang. Setelah menyelesaikan ceritanya, tidak lama kemudian raja beserta pengawalnya tiba di toko perempuan tersebut. Mereka memaksa masuk ke dalam toko dengan merusak pintunya. Seketika itu, pengawal raja membunuh perempuan itu dengan sebuah senapan, namun tidak dengan tokoh “aku”.
Cerpen “Bibir yang Tercecer di Jalan” memiliki pola alur yang cukup unik, meskipun pada hakikatnya tetap bertumpu pada skema alur progresif. Keunikannya terletak pada bagunan peristiwa yang terjadi di dalamnya. Fatah tampak secara sadar menghadirkan lompatan-lompatan peristiwa dari masa ke masa di dalam cerpen ini. Tujuannya tidak lain adalah ia ingin membangkitkan gairah baca dan keingintahuan pembaca dengan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi berikutnya.
Sebagai sebuah teknik, Fatah telah berhasil dengan piawai menghadirkan backtracking di dalam ceritanya. Terhitung sebanyak tiga kali, Fatah menggunakan backtracking dalam cerita ini. Pertama; hadirnya cerita pertemuan tokoh “aku” dangan Gin sebelum tokoh “aku” berada di kota sepi. Kedua; hadirnya cerita masa lau Gin dengan kekasihnya, Ai. Ketiga; adanya cerita dari tokoh “aku” kepada Gin tentang sebuah negeri yang telah dihancurkan oleh Tuhan.
Sambil berjalan dan berharap ada orang yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaanku, aku mengingat-ingat kejadian sebelum aku memutuskan pergi.
“Kau tak akan menemukan orang yang benar-benar jujur di dunia ini.”
Aku membiarkan Gin berbicara sesukanya di depanku. Sementara sembil menghisap sebatang Marlboro yang kuambil dari kotak rokok milik Gin aku mencoba melupakan kejadian itu. (hal: 1).
Lalu Gin menceritakan ulang kejadian itu, ketika aku seakan-akan menjadi lelaki paling bodoh yang pernah hidup di bumi. Pada suatu sore di hari Sabtu aku dan Gin memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kampus untuk mengurangi penat dan mencari angin segar, barangkali seperti itu basa-basinya. Ketika berjalan di lobi Fakultas Kesehatan, aku dan Gin melihat mereka berciuman. Ai melakukannya dengan seorang lelaki yang tak kukenal, tapi kuakui lelaki itu memiliki dandanan yang lebih rapi dariku. Ia mungkin memotong rambutnya dua minggu sekali dan merawat kulitnya dengan body lotion setiap hari. Aku dan Gin melihat kejadian itu dengan jelas dan seolah adegan itu di-zoom pada sudut di mana bibirmereka saling bersentuhan satu sama lain. (hal: 1).
Lalu pada Gin, aku menceritakan suatu kisah tentang suatu negeri yang entah pernah kudengar dari mana, aku agak lupa. Mulanya itu adalah suatu negeri yang subur dan makmur yang dipimpin oleh seorang raja yang baik hati. Ia memiliki kecerdasan diluar batas kecerdasan manusia pada umumnya. Dengan kecerdasannya itu ia mampu berbicara dengan hewan dan jin, juga dengan kecerdasannya ia berhasil memimpin negeri itu dengan sangat baik, berlaku adil dan bijaksana pada warganya. Namun setelah raja itu tua dan akhirnya mati, tuhan murka pada orang-orang di negeri itu, karena mereka kerap berdusta tidak pernah bersyukur, dan tidak pernah menjalankan aturan yang telah dibuat raja itu sebelum meninggal. Tuhan akhirnya membolak-balikkan negeri itu semudah membolak-balikkan telapak tangan, lalu negeri itu hancur lebur dan menjadi ribuan keping ditambah buah-buah yang tumbuh di negeri itu tidak lagi bisa dimakan. Seluruh buah yang tumbuh di sana menjadi pahit. (hal: 2).
Cerpen “Bibir yang Tercecer di Jalan” karya Fatah ini memperhatikan aspek stilistika. Bahasa figuratif tampak berhamburan di dalamnya. Hal itu sudah mulai terlihat sedari awal cerita ini dibuat, termasuk pengambilan judul karya. Judul “Bibir yang Tercecer di Jalan” merupakan suatu metafora yang secara implisit merepresentasikan sebuah kejujuran yang telah ditinggalkan dan tercampakkan. Orang yang berkata jujur dalam cerpen ini akan mengalami ketersiksaan yang begitu pedih. Bibirnya akan mengelupas dan perlahan akan mati membusuk. Penegasan judul “Bibir yang Tercecer di Jalan” sebagai metafora terlihat jelas dari pernyataan tokoh perempuan saat memberikan penjelasan kepada tokoh “aku”.
Di kota ini kau hanya bisa hidup dengan tidak mengatakan yang sebenarnya. Atau lebih mudahnya kau hanya bisa hidup jika kau berbohong. Jika tidak dan kau lebih memilih menjadi orang jujur yang berani mengatakan sebenarnya, tidak lama kemudian bibirmu akan terkelupas atau gugur sebagaimana daun-daun kering yang lepas dari rantingnya. Dan tinggal menunggu hari kapan kau akan mati membusuk seperti buah yang telah terjatuh dari pohonnya, (hal: 5).
Selain metafora, dalam cerpen ini Fatah juga menghadirkan asosiasi, metonimia, personifikasi, hiperbola, dan sarkasme. Gaya asosiasi tampak pada pernyataan “bibir yang tercecer di jalan” yang disamakan dengan “tai ayam”. Selain itu, “bibir-bibir” juga disamakan dengan “daun yang tertiup angin”. Ada juga “para pengawal raja” diibaratkan sebagai “sekawanan banteng”.
... aku melihat banyak sekali bibir yang tercecer di jalanan seperti tai ayam, .... Bibir-bibir itu terbang sebagaimana daun yang tertiup angin. (Hal: 1).
.... Seolah di luar ada sekawanan banteng yang bergantian menyeruduk pintu. (hal: 5).
Gaya metonimia tampak dengan hadirnya pernyataan yang menyebutkan nama/merk suatu barang/benda, yaitu “menghisap sebatang Marlboro”. Gaya personifikasi terdeskripsikan melalui pernyataan “toko-toko menggantungkan tulisan tutup”. Toko yang notabenenya benda mati disematkan karakter manusia yaitu dapat menggantungkan sebuah tulisan.
.... Sementara sembil menghisap sebatang Marlboro yang kuambil dari kotak rokok milik Gin aku mencoba melupakan kejadian itu. (hal: 1).
Toko-toko yang berada di pinggir jalan raya kebanyakan menggantungkan tulisan tutup di balik pintunya. Satupun toko tidak ada yang buka. (hal: 1).
Gaya hiperbola tecermin melalui pernyataan yang melebih-lebihkan yang dilakukan oleh Fatah dalam cerpen ini. Beberapa pernyataan tersebut di antaranya yaitu tuturan tokoh “aku” terkait perempuan yang telah melelehkan air matanya sebagai bentuk ungkapan kesedihan yang amat pekat. Selain itu, tuturan tokoh “aku” tentang perempuan yang ingin membenamkan kesedihannya pada tokoh “aku”. Gaya sarkasme muncul dalam ungkapan pengawal raja yang menyebut perempuan yang bersama tokoh “aku” itu dengan kata-kata “perempuan hina”.
Di pertengahan cerita ia tiba-tiba melelehkan air mata, dan sepertinya hanya kesedihan yang amat pekat yang dapat membuat perempuan secantik ia, bisa terisak begitu lama.... Ia seolah ingin membenamkan segala kesedihannya di tubuhku. (hal: 5).
“Mati kau perempuan hina!” seseorang di belakang itu berteriak.” (hal: 5).
Secara umum, cerpen “Bibir yang Tercecer di Jalan” karya Fatah menitikberatkan pada aspek moralitas sehingga nilai yang muncul berseliweran adalah nilai moral. Fatah bermaksud mengkritisi adanya degradasi moral, terutama praktik pengebirian kebenaran dan kejujuran yang dilakukan oleh suatu pemerintahan tertentu. Ia secara implisit seolah mengatakan bahwa suatu kebohongan dan kezaliman yang disembunyikan suatu saat akan terbongkar dan berakhir. Bagi Fatah, semua itu akan berakhir jika dalam pribadi seseorang muncul suatu keberanian untuk mengungkapkan kebenaran dan kejujuran, meskipun taruhannya adalah nyawa. Lebih-lebih, orang yang menyatakan kebenaran dan kejujuran itu haruslah orang yang benar-benar tidak terbelit dalam sistem pemerintahan tersebut.
“Di kota ini kau hanya bisa hidup dengan tidak mengatakan yang sebenarnya. Atau lebih mudahnya kau hanya bisa hidup jika kau berbohong. Jika tidak dan kau lebih memilih menjadi orang jujur yang berani mengatakan sebenarnya, tidak lama kemudian bibirmu akan terkelupas atau gugur sebagaimana daun-daun kering yang lepas dari rantingnya. Dan tinggal menunggu hari kapan kau akan mati membusuk seperti buah yang telah terjatuh dari pohonnya,” setelah mengunci pintu kamar perempuan itu lantas duduk di sebelah kananku. “Seperti yang tertulis di buku-buku itu, bahwa setiap orang yang telah kehilangan bibirnya akan segera membusuk begitu saja. Orang-orang yang menulis buku itu percaya bahwa Raja telah membuat perjanjian dengan roh jahat dan membuat kutukan untuk orang-orang yang berbicara benar. Dan konon hanya orang asing yang datang dari luar pulau ini yang tidak terikat darah dan perjanjianlah yang akan mencabut kutukan itu.” (hal: 4-5).
Menyoal moralitas, suatu kebohongan yang dipelihara akan melahirkan kebohongan-kebohongan lain yang semakin hari semakin menjamur. Menjamurnya kebohongan itu dikarenakan adanya suatu usaha menutupi satu kebohongan dengan kebohongan pula. Hal ini jika dibiarkan akan beranak-pinak.
Satu hal yang patut sedikit disayangkan dari Fatah terkait cerpen “Bibir yang Tercecer di Jalan”. Ia kurang berani mendeskripsikan setting ceritanya secara gamblang. Ia terbelit dalam dunia imajinasinya sendiri. Padahal apabila setting ini dipertegas akan menjadi satu sajian karya dengan gaya yang menarik; realis imajinatif. “Bibir yang Tercecer di Jalan” akan menjadi representasi dari realitas yang ada. Kota kita sedang dilanda krisis kejujuran.
Ketika pertama kali memasuki gerbang masuk kota, gedung-gedung tinggi tua dan tampak kusam menyambutku.... Aku berjalan berpapasan dengan mereka dan ketika aku menyapa untuk bertanya tempat atau nama kota ini, mereka tidak menjawab, hanya menatapku dengan pandangan yang seolah-olah ingin mengatakan sesuatu tapi tidak bisa.... (hal: 1).
.... Mulanya aku mengira pulau ini hanya diisi oleh populasi pohon-pohon besar yang tidak kukenal jenisnya, namun ketika masuk ke dalamnya aku menemukan sebuah kota dengan gedung-gedung tinggi, hampir mirip dengan Jakarta atau Surabaya. Namun dari luar gedung-gedung itu tak nampak sama sekali, seolah-olah pohon yang tumbuh melingkari kota itu seperti koloseum utuh yang menutupi lapangan dari luar.... (hal: 3).
Cerpen “Bibir yang Tercecer di Jalan” dapat dikatakan sebagai karya yang kuat secara umum. Akan tetapi ada sebagian kisah yang dihadirkan malah justru mengurangi kekuatan karya ini. Fatah dapat dikatakan kurang selektif dalam mengambil kilatan kisah tentang sebuah negeri yang subur dan makmur yang dipimpin oleh seorang raja yang baik hati, cerdas, serta dapat berkomunikasi dengan hewan dan jin. Kilatan cerita ini terlalu klise kisahnya. Pembaca akan menangkap kisah ini sebagai citraan dari cerita Raja Sulaiman. Meskipun efek moralitas yang dihadirkan telah tercapai, alur yang disajikan terlalu monoton. Akan tetapi kilatan cerita ini akan menjadi dahsyat apabila disajikan dengan daya ungkap yang berbeda.
Lalu pada Gin, aku menceritakan suatu kisah tentang suatu negeri yang entah pernah kudengar dari mana, aku agak lupa. Mulanya itu adalah suatu negeri yang subur dan makmur yang dipimpin oleh seorang raja yang baik hati. Ia memiliki kecerdasan diluar batas kecerdasan manusia pada umumnya. Dengan kecerdasannya itu ia mampu berbicara dengan hewan dan jin, juga dengan kecerdasannya ia berhasil memimpin negeri itu dengan sangat baik, berlaku adil dan bijaksana pada warganya. Namun setelah raja itu tua dan akhirnya mati, tuhan murka pada orang-orang di negeri itu, karena mereka kerap berdusta tidak pernah bersyukur, dan tidak pernah menjalankan aturan yang telah dibuat raja itu sebelum meninggal. Tuhan akhirnya membolak-balikkan negeri itu semudah membolak-balikkan telapak tangan, lalu negeri itu hancur lebur dan menjadi ribuan keping ditambah buah-buah yang tumbuh di negeri itu tidak lagi bisa dimakan. Seluruh buah yang tumbuh di sana menjadi pahit. (hal: 2).
Dalam penceritaan, di awal cerita, Fatah juga menyematkan suatu pernyatan yang kurang berimbang. Fatah terkesan terburu-buru dalam mengambil diksi. “Saat pertama kali tiba di kota ini, aku melihat banyak sekali bibir yang tercecer di jalanan seperti tai ayam, ada yang masih segar dan ada yang sudah membusuk atau bahkan mengering. Namun bibir-bibir yang tercecer di jalan raya, trotoar, selokan, atau di teras toko-toko itu memiliki aroma wangi yang belum pernah kuhirup sebelumnya”, ketidakberimbangan cerita ini terletak pada penggunaan kata “aroma wangi” yang bertolak belakang dengan kata “sudah membusuk” yang telah tersemat terlebih dahulu. Sesuatu yang “membusuk” jelas-jelas tidak dapat dikatakan “wangi” karena keduanya sama-sama berhubungan bengan bebauan.
Lain halnya dengan ending cerita ini. Penutup ceritanya terkesan dipaksakan. Bagian ini agak sedikit kurang harmonis dengan cerita yang sebelumnya, meskipun sosok Gin disinggung di sini. Mengapa demikian? Hal itu dikarenakan tokoh “aku” di pulau (kota) itu tidaklah mencari Gin melainkan ia terdampar dan tersesat setelah dibuang perampok saat naik kapal. Lagi pula Gin lah yang mengantarkannya ke pelabuhan saat tokoh “aku” hendak melakukan perjalanan mencari kota yang entah. Yang jelas, kota itu bukanlah kota yang mempertemukan tokoh “aku” dengan Gin pertama kali.
Besoknya aku meminta Gin mengantarku ke pelabuhan di sebelah timur kota, aku membeli sebuah tiket perjalan paling murah, aku tidak peduli ke tempat mana kapal itu akan berhenti dan aku tidak terlalu mengingat tempat tujuan perjalanan itu.... (hal: 3).
“Apa sekarang kau sudah mengerti?” bagaiamana mungkin Gin berada disini dan menjadi raja. (hal: 5).
Terlepas dari muatannya yang sarat dengan nilai moral, entah ini merupakan suatu ketidaktahuan atau ketidaksengajaan, hal yang perlu dijadikan bahan pertimbangan saat menulis adalah penggunaan kalimat efektif yang sesuai dengan kaidah bahasa yang ada. Dalam cerpen “Bibir yang Tercecer di Jalan”, Fatah masih terbelenggu dengan kesalahan penggunaan ejaan. Jika demikian, ketelitian dan kecermatan menjadi jalan pintas untuk menebus kekurangan.
Sekali lagi saya tegaskan, ini hanyalah sebatas catatan sederhana bagi saya. Anda menganggap catatan ini sebagai apresiasi, kritik, atau maidotul hasanah, itu hak anda. Saya tidak dapat membatasi pola pikir anda karena saya dengan anda merupakan pribadi yang berbeda. Saya dengan anda jelas memiliki sudut pandang yang tidak sama, termasuk dalam menafsirkan cerpen “Bibir yang Tercecer di Jalan” ini.
https://kostela-sastrateater.webs.com/apps/blog/show/47808803-imamuddin-sa
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar