Rabu, 12 Februari 2020

DE-GUSDURISASI DAN KOLOR KEKUASAAN

Binhad Nurrohmat

Tulisan ini akan dimulai dengan sebuah klise yang awam: Gus Dur sohor sebagai figur publik yang lucu, jenaka, dan bisa membuat kawan dan lawan terbahak gembira. Bill Clinton dari negeri kapitalis utama dan Fidel Castro dari negeri komunis kawakan telah berhasil dibuatnya terpingkal. Juga jamaah pengajian di desa-desa terpencil yang mimbarnya beratap kain terpal.
Tapi Gus Dur bukan pelawak.

Akhir riwayat Gus Dur di gelanggang politik praktis terasa tragis bagi banyak pihak -- tentu tidak bagi seteru politiknya. Gus Dur tak berkeluh karenanya meski ia menilai kesalahan yang dituduhkan kepadanya sebagai kepala negara -- terkait perkara Buloggate dan Bruneigate misalnya -- tak terbukti secara hukum.

Namun Gus Dur bukan pemuja berhala kekuasaan. Dan ia "miskin" modal untuk meraih kekuasaan. "Modal saya dengkul. Ini pun dengkulnya Amien Rais." Demikian sebagian ujaran terkenal dari Gus Dur.

Gus Dur rela meninggalkan Istana Negara pada 2001 demi batalnya pertumpahan darah akibat amarah dan kegusaran kelompok pendukungnya yang dapat timbul akibat pelengserannya yang "gelap" kebenaran pangkal soalnya itu. Ini tentu tidak adil. Dan ketidakadilan adalah api yang sanggup membakar dan menjalarkan kobaran kehancuran melebihi batas yang pernah diduga.

Justru lantaran massa pendukungnya yang besar itu merasa gusar, Gus Dur meredam egonya dengan bersabar. Gus Dur paham kekuatan besar ada di hadapan. ABG (ABRI, Birokrasi, Golkar) yang setia kepada Soeharto dan Orde Baru tak tersapu oleh Reformasi 1998.

Boleh jadi Gus Dur merasa "tak repot" dikeluarkan dari Istana Negara. Setelah dilengserkan, semoga publik belum lupa peristiwa Gus Dur di teras Istana Negara seperti pamit dengan melambaikan tangannya kepada publik dengan bercelana kolor.

Gus Dur enteng saja menanggapi asal-usulnya ia bercelana kolor di teras Istana Negara itu. "Agar semua orang tahu saya bukan lagi presiden."

Sepertinya, nilai kekuasaaan bagi Gus Dur seringan celana kolornya yang tampil di halaman depan banyak media setelah ia melenggang dari Istana Negara dan ia kembali menghuni rumahnya sendiri.

Namun para pengagum Gus Dur, sejak kejatuhannya dari tampuk kepresidenan, terdera rasa kecewa mendalam, bahkan sampai hari ini. Tentu ini bukan sekadar "baper" yang dangkal. Ada rasa keadilan yang terluka karena pelengserannya yang begitu cepat, "politis", tidak adil dan tak terduga. Juga tak diharapkan -- kecuali oleh para penentangnya.

Eforia naiknya Gus Dur sebagai presiden yang singkat ternyata kemudian membuncahkan rasa getir yang tak sebentar dalam diri para pendukungnya.

Apakah biografi Gus Dur adalah tragika-komedi?

Rekaman leluconnya masih kerap terulang. Dan kisah dirinya sebagai presiden di negeri ini yang dijatuhkan dari kursi kekuasaan sontak memicu rasa geram dalam diri massa pendukung fanatiknya hingga jauh ke pelosok negeri serta mengaduk kegelisahan kalangan elit di perkotaan yang pro kepada jalan politiknya.

Gus Dur adalah bukti pertama gagalnya Reformasi 1998.

Belasan tahun setelah pelengseran Gus Dur, serangkaian skenario "operasi rahasia" -- yang disebut operasi Semut Merah -- yang ingin dipendam selamanya oleh para pelaksananya tanpa terduga tersingkap hingga tampak "aurat"-nya yaitu dokumen surat operasi ini yang jatuh ke tangan khalayak luas.

Penjatuhan Gus Dur dari kursi kepresiden adalah "de-gusdurisasi" yang terjadi semasa hayatnya. Jauh sebelumnya, di masa Orde Baru, Gus Dur tak sedikit kali diupayakan gagal dari sejumlah momentum yang berpotensi menobatkannya sebagai pemimpin di kalangan sipil melalui NU dan wadah-wadah lainnya.

Itulah de-gusdurisasi yang pertama: de-gusdurisasi politik di masa hidupnya Gus Dur. Masih ada de-gusdurisasi yang lain yang terjadi setelah Gus Dur meninggal dunia.

Pernah terdengar isu bahwa Gus Dur di-baptis. Melalui siaran di sebuah televisi swasta, Gus Dur menepis isu itu dengan tegas. "Bohong itu." Lalu berkedok jargon pluralisme dan toleransi, ada pula gerakan yang hendak "mengesankan" Gus Dur sebagai penyokong pandangan bahwa "semua agama sama". Padahal sebuah vIdeo menayangkan bukti saat Gus Dur tegas menyatakan di sebuah mimbar pengajian bahwa agama-agama adalah "ora podho" (tidak sama). Di mimbar pengajian pula Gus Dur mengkritik sikap melampaui batas dari apa yang disebutnya "gerakan lintas agama".

De-gusdurisasi dalam politik dan agama itu bisa terjadi persis melalui kosakata Jawa yang populer melalui komunikasi massa Gus Dur semasa hidupnya yaitu "plintiran".

Jurus plintiran itu dilancarkan oleh jaringan para penentang Gus Dur dan sebagian pihak yang tampak atau merasa sebagai jaringan pengagumnya.

De-gusdurisasi yang pertama berhasrat menggusur peran dan eksistensi Gus Dur dari kepemimpinan agama, politik dan kekuasaan melalui cara-cara tak obyektif, curang dan tidak adil. Dan de-gusdurisasi yang lainnya adalah pencitraan atau pelabelan yang berlebihan terhadap Gus Dur dan bahkan bertentangan dengan pandangannya tentang agama yang dihembuskan oleh sejumlah pihak setelah kewafatannya.

Dua jenis de-gusdurisasi itu alias plintiran-plintiran itu jauh dari rasa dan performa jenaka. Tak serupa Gus Dur. Jenis yang pertama bergerak dengan kelicikan. Jenis yang kedua bergiat dengan sejenis perayaan klaim yang tidak obyektif melalui sejenis "pemalsuan" dan bahkan lewat dusta.

Lalu apa yang mesti dilakukan setelah semua itu terjadi?

Jawaban moralis yang klise ini kiranya masih patut berlaku: Menyingkap kebenaran yang ditutupi dan meluruskan pandangan yang diplintir di sana-sini.

Saya tak sepakat bahwa Gus Dur "dijerat" oleh para penentangnya sebagaimana judul buku yang antara lain menelanjangi selubung operasi rahasia yang telah menjatuhkan Gus Dur dari kursi kepresidenan. Buku itu berjudul "Menjerat Gus Dur" (2020) yang ditulis dengan tekun oleh Virdika Rizky Utama.

Namun saya bersepakat dengan isi buku itu.

Bisa saja sebenarnya Gus Dur melawan usaha pelengseran atas dirinnya sebagai presiden kala itu. Bukankah barisan pasukan berani mati dan kalangan yang fanatik kepadanya bersiap siaga membela posisinya?

Namun Gus Dur anti-kekerasan.

Gus Dur memilih "mengalah" dan "memaksa" dirinya sendiri berpihak kepada kondisi kehidupan bersama yang tanpa ceceran tumpahan darah lantaran pergolakan kekuasaan, maka untuk itu ia meletakkan kekuasaan, meninggalkan Istana Negara dengan tanpa kemewahan, hanya dengan bercelana kolor.

Gus Durlah yang mestinya paling merasa tersakiti oleh zalimnya penentang kekuasaannya -- dan ia sanggup menahan diri dan bersedia menjadi "korban".

Gus Dur memilih dirinya dijerat oleh para penentangnya, dan ia dijatuhkan tanpa memberontak. Ia amat sadar atas kepedihan yang jumawa ini demi urusan lain yang bernilai lebih tinggi: kemanusiaan.
***

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest