Kamis, 01 Desember 2011

Tukang Stempel Menggotong Puisi Gelap

Fahrudin Nasrulloh*
Radar Surabaya 27 Nov 2011

Perhelatan karya dalam kancah sastra di Jawa Timur yang sempat saya amati sejak 2009 hingga sekarang cukup menggembirakan sekaligus mampu mengocok dan menyogrok kembali nyala proses kreatif siapa pun yang berderap di dalamnya. Sebagian besar berpusaran pada puisi dan kepenyairan. Sementara cerpen dan novel tak banyak dihasilkan apalagi memicu polemik dengan sambutan gempita. Beberapa hari lalu tiba-tiba saya di-SMS teman: “menurutmu penyair jawa timur masa kini yang di luar mainstream siapa, nas?”

Saya bingung menjawabnya sebab tak memiliki rekam-jejaknya. Saya juga agak heran kenapa pertanyaan itu tertuju ke saya. Lalu saya kontak Mardi Luhung dan mengobrolkannya via telpon. Saya yang awam soal perkembangan sastra di Jatim hanya sebatas meraba-raba. Penjelasan Mardi cukup menggelar peta kecil dan kecenderungan-kecenderungan estetika para penyair Jatim dan bandingannya dengan estetika penyair di luar Jatim juga modus pengaruh-mempengaruhi. Karena obrolan itu menjelang Jum’atan, dan saya belum sepenuhnya mendapat data-terang segamblangnya dari Mardi, maka SMS teman saya itu sekenanya saya balas pendek: “Mainstream yang bagaimana, bang?” Dan ia menjawab: “Di luar lirisisme, di luar sufisme dan di luar kegelapan.”

Dari situ lalu saya teringat kembali esai Ribut Wijoto di koran ini: “Inilah Lima Penyair Jatim Terbaik” (Radar Surabaya, 23 Oktober 2011) kemudian ditanggapi Umar Fauzi Ballah dengan esai “Ketokohan dan Strategi Proses Kreatif” (Radar Surabaya, 6 November 2011) dan selanjutnya diklarifikasi oleh Ribut dengan esai “Puisi Gelap dan Multitafsir Pembaca” (Radar Surabaya, 20 November 2011). Esai Ribut yang pertama bagi saya terkesan seolah-olah ia pegawai Dinas Kependudukan yang punya hak kuasa menyortir berkas-berkas puisi penyair ini penyair itu, agar punya “KTP Penyair Terbaik”, dan yang tidak memenuhi kelengkapan syaratnya harus minggir dan otomatis tak mendapatkan stempel darinya. Watak “tukang stempel” ala Orba dalam sastra (atau kesenian) beginian sungguh ironik. Saya kira tak perlu hal itu dilakukan, kecuali, ya kecuali ia tukang stempel bokong sapi yang akan dikurbankan. Alangkah lebih baik dan cap jempol jika Pak Ribut ini bikin analisis yang mendalam dan serius kayak kritikus beneran ihwal 5 penyair yang menurutnya terbaik itu lalu diterbitkan dengan biaya dari koceknya sendiri dan dicetak 5000 eksemplar lalu dibagi-bagi, tentu jika ia punya rejeki.

Berikutnya, pola stempelisasi terus bergerak kala pernyataan Pak Ribut tentang penyair Alek Subairi dalam esainya “Puisi Gelap dan Multitafsir Pembaca”: saya menilai dia belum layak masuk dalam daftar 5 penyair terbaik Jawa Timur. Kalau 100 penyair terbaik Jatim, bisa jadi. Saya beberapa kali membaca puisi Alek dan menilai karyanya sudah bagus namun belum terlalu istimewa.” Ini kan pendapat, jadi sah-sah saja. namun dalam kapasitas apa ia bilang begitu. Sebatas teman ngopi atau pengulas yahud sekaliber Ignas Kleden misalnya? Atmosfir bersastra kayak beginikah yang disebut polemik? Atau cuma main “tebang” karya orang atau atas nama perkubuan yang lebih tersamar? Ini tampaknya bukan polemik yang bermutu, karena tak mampu menciptakan gerakan sastra dengan gagasan besar dalam ruang publiknya sebagaimana polemik Sastra Kontekstual di era 80-an, tapi sekedar “percincongan” antar individu dan komunitas yang dilatenkan dengan genit dan cuap-cuap doang lewat karya. Kondisi macam gini di waktu berikutnya kiranya hanya akan melahirkan karya-karya yang meletihkan dan mudah ambruk.

Tapi sebentar, bisa jadi prasangka saya yang demikian keliru dan nggladrah, itu bisa diuji. Dengan beberapa catatan bahwa apa yang disorong oleh Pak Ribut justru merupakan sebentang tahapan diskursif yang dinamik yang dapat terus digulirkan, asal dengan cara yang elegan. Misalnya lontaran gagasannya tentang 25 tahun masa depan sastra Jawa Timur dalam Festival Seni Surabaya 2010. Salah satu yang mencuat dalam forum ini adalah apa yang dikatakan Budi Darma soal eksistensi komunitas sastra yang tidak lagi menjadi barometer untuk menilai kualitas karya sastra. Komunitas hanyalah seperti gerobak. Bisa disorong oleh siapa saja. Tetapi tetap kembali pada masing-masing individu. Gagasan Pak Ribut itu akan lebih matang jika dilengkapi semacam hasil pemetaan seluruh penulis dan karyanya serta komunitas sastra di Jatim sehingga para pembicara saat itu seperti Afrizal Malna, S. Yoga, dan Kris Budiman tidak membikin esai dari “pembacaan sepintas”, meraba-raba arah mata angin dalam derasnya karya sastra di jagat internet.

Pada FSS di akhir tahun 2011 ini, puisi yang dianggap gelap dalam kumpulan puisi Syair Pemanggul Mayat Indra Tjahyadi dimenangkan dan diterbitkan. Ini yang gelap puisinya atau jalan proses kreatif penyairnya yang memilih dunia maut, mayat, tubuh perempuan, dan karena itu puisi-puisinya berselubung misteri. Maka bagi Indra dalam pengantarnya, ketika dunia semakin banal, tugas penyair adalah menyelamatkan manusia dengan cara menghancurkan dunia untuk kuasa menemukan kemurnian dan kemurnian itu adalah surga. Ia sengaja melakukan apa yang ia sebut sebagai strategi penggelapan dengan mengacaukan pemaknaan untuk merengkuh makna-makna baru. “Manifesto Puisi Gelap”nya ini terus digaung-gaungkan terutama lewat corong Pak Ribut. Politik sastra harus dibunyikan. Juru kampanye karya adalah pula mengibarkan bendera untuk mengangkat karya.

Saya kira terlalu selangit jika Indra menyebut bahwa tugas penyair itu menyelamatkan manusia. Apanya yang diselamatkan? Diselamatkan dengan cara memberi sembako pada si miskin, ngasih gaji bulanan pada seniman terlantar, memberi Tali Asih tiap menjelang hari raya pada semua seniman Jatim, bla-bla-bla. Rendra dan Chairil Anwar itu penyair besar, apa puisi mereka menyelamatkan manusia Indonesia yang melahirkan pemerintahan yang bobrok penuh koruptor ini? Jadi “konkritnya” tugas penyelamatan yang bagaimana, Bung? Dan untuk apa dunia dihancurkan untuk melahirkan puisi yang begituan? Apa hebatnya puisi itu dibanding iklan “wani piro” rokok Djarum 76?

Penyair itu bukan nabi. Ia hanya manusia berdaging yang menulis puisi dan memberi “suara lain” atas nama eksistensinya yang fana yang sekadarnya. Penyair itu tak lebih dari penjual mie ayam yang bersetia berjualan dengan jujur-sumeleh tanpa mencampur daging ayam dengan daging tikus wirok. Puisi bahkan tak lebih kayak kentut, yang bebas keluar, setelah 20 hari si sembelit menghajar anusnya. Dan karena bobot puisi yang diangkat Indra mungkin terlalu tinggi dan terlalu gelap, jadinya maaf bila saya kurang nyandak, atau gak nutut gitu loh. Akan lebih enak jika puisi ini atau itu disebut “puisi lezat” atau “puisi sedaaap” atau puisi “mak nyuss”. Bukan puisi gelap. Mungkin puisi gelas adalah puisi yang ditulis di kamar gelap atau ditulis pas listrik mati. Entahlah.

Apa pun yang bergeliutan di sana, namanya juga tafsir, saya pribadi aplus pada dinamika sastra Jatim. Penuh debat dan intrik. Letupannya selalu berkelojotan. Inilah “Sastra Ken Arok”, dulur. Bagi yang lengah, pemalas, dan sekedar ngopi-ngopi saja, kerapkali dicap stagnan. Gugur tinggal cerita. Tinggal kentutnya. Maka, setiap seniman, kata Albert Camus, hari ini naik perahu kuno perbudakan kontemporer. Dia harus menyerahkan diri untuk ini. Kita berada di lautan yang bergelombang. Seperti semua orang lainnya, seniman harus tunduk pada kayuhnya, tanpa mati jika mungkin — dengan kata lain, terus hidup dan berkarya. Karena itu marilah kita terus maju. Ini adalah taruhan generasi kita.
_______________________
*Fahrudin Nasrulloh, bergiat di komunitas Lembah Pring Jombang.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest