Goenawan Mohamad
Antara, 19 Okt 2011
“…sabuk zamrud di khatulistiwa” —Multatuli (1820-1887)
Sebuah metafora bisa memikat, juga ketika ia meleset. Gambaran Multatuli tentang kepulauan ini (ia belum menyebutnya “Indonesia”) berulang-ulang dikutip para pemimpin pergerakan nasional di awal abad ke-20. Tapi kiasan adalah kiasan, bukan batasan.
“Zamrud” atau “smaragd” (kalimat Multatuli, “de gordel van smaragd”) berasal dari bahasa Yunani, smaragdos: “batu mulia yang berwarna hijau”. Indahnya mempesona. Ia memang bisa mengingatkan kita akan kesegaran hutan tropis yang tak habis-habis. Tapi zamrud yang keras dan ditatah itu, ketika tampak sebagai “sabuk” (gordel), adalah sesuatu yang telah jadi…
Sementara itu, 17.000 pulau yang “sambung menyambung menjadi satu” (“itulah Indonesia”, kata sebuah lagu nasional) adalah sebuah ruang yang tak pernah selesai. Ia tak berhenti diproduksi. Proses persambungan itu terjadi lebih dahulu sebelum yang 17.000 itu “menjadi satu”, dan ia akan berlangsung terus selepas itu.
Sebab keadaan “menjadi satu” selalu menuntut untuk dilihat kembali dan dikerjakan ulang. Sebab “satu” adalah angka yang penuh teka-teki. Kita tak selamanya pasti benarkah ada sebuah “satu” yang tanpa celah, tanpa kurang, dan tanpa turah. Terutama jika ia merupakan transformasi dari “tujuh belas ribu”.
Yang kita tahu: sebuah ruang telah, tengah, dan akan terjadi.
***
Manusia memproduksikan ruang, dan sebuah ruang sosial tumbuh.
Ada saat ketika ruang hadir sebagai sesuatu yang dikonsepkan. Ini adalah ruang sebagaimana yang dihadapi pembangun rumah dan ladang, arsitek, pakar tata kota, perancang administrasi regional, teknokrat perekonomian nasional, juga ahli rekayasa sosial.
Saya akan menyebutnya sebagai “ruang L”, singkatan dari “lurus”, “linear”, “lekas”.
“Ruang L” ini amat berperan di tiap masyarakat. Dialah yang membentuk tata modern, dan sebaliknya juga dibentuk oleh tatanan tersebut. Ia mudah diterjemahkan dalam desain, huruf, dan angka. Ia tampak terang sebagai hitam di atas putih. Ia mudah dikendalikan dan dipakai buat mengendalikan.
Tapi ia bukan segala-galanya.
Ada yang lain ketika ruang sosial diproduksi dalam sejarah: ruang yang secara langsung dihuni manusia dengan tubuhnya—dari mana lahir adat, legenda, dan pelbagai laku simbolik lain. Ialah yang disebut dalam kenangan, harapan, dan kecemasan, dan sebab itu tak mudah disalin dalam aksara dan cetakbiru. Ruang “representasional” ini saya sebut “R”, singkatan dari “rekalsitran”, “rumit”, “redup”.
Sejarah 17.000 pulau ini sering merupakan benturan, atau tarik-menarik antara ruang “L” dan ruang “R” dan manusia yang berinteraksi dengan keduanya, serentak atau berganti-ganti.
Ruang “L” mendorong kita menarik garis yang lempang dan tunggal. Di sini pembakuan dan penyeragaman berperan penting. Tapi di pihak sana, ruang “R” selalu mrucut dari jangkauan lengkap “L”. Ia tak selamanya jelas, ia merepotkan, ia beda yang tak kunjung reda. Penyatuan keduanya membutuhkan manajemen pengelolaan bagi perbedaan-perbedaan yang ada. Tentunya dengan penanganan yang hati-hati.
Di ruang “L”, manusia mengelola perbedaan sebagaimana ia mengelola Taman Mini: deretan 17.000 pulau, 450 bahasa, dan entah berapa logat, hukum adat, dan agama itu direpresentasikan sebagai deret satuan yang tetap, ibarat anjungan yang tampak pada latar yang serupa. Tapi “Taman Mini” ini, dengan niat baik “multikultural” sekalipun, mengabaikan ruang “R”. Para penyelia ruang “L” condong membakukan (yang berarti juga membekukan) selisih pelbagai arus yang saling tak cocok, malah bentrok, yang remang-remang dan berubah sewaktu-waktu dan umumnya luput dari klasifikasi.
Mereka yang melihat dunia sebagai ruang “L”—para pejabat departemen, perwira teritorial, penguasa real estate—tak akan pernah sepenuhnya berhasil memproduksikan ruang sebagaimana yang mereka niatkan. Sebab ruang “R” adalah tempat yang hidup; ia bicara dengan lambang dan isyaratnya, dengan gema ingatan dan traumanya, dengan endapan sejarah atau bawah-sadar sosialnya. Dalam diagram dan tulisan, di ruang “L” orang hanya bisa menangkap beberapa aspek ruang “R” saja. Selebihnya tak terjabarkan.
Adapun bermacam-macam mereka yang hidup dengan kesadaran dan ketaksadaran dalam ruang “R” tak selamanya menampik bila dunia kehidupan mereka disalin ke dalam ruang “L”. Terkadang mereka malah menikmatinya. Tapi lebih sering mereka ingkar. Pada akhirnya, memberontak atau tidak, para “pengguna” ruang ini berada dalam posisi yang berseberangan dengan para “produser” ruang di balik desain besar.
Itu sebabnya 17.000 pulau yang dibayangkan sebagai ruang sebentuk “komunitas” atau “bangsa” itu bukanlah satu himpunan yang telah dinubuatkan.
Begitu juga “negara-bangsa” adalah sebuah simbiosis yang tak selamanya stabil antara ruang “L” dan ruang “R”, antara bangunan yang dikonstruksikan dan wilayah yang telah terbentang bersama sejarah. Nasionalisme-lah yang berupaya menyediakan wacana bagi simbiosis itu. Nasionalisme-lah yang memberi tampilan rasionalitas pada penyatuan tersebut.
Renungan Bennedict Anderson dalam Imagined Communities menunjukkan ideologi ini lahir dengan bayang-bayang gairah keagamaan yang digantikannya, termasuk sisinya yang tak rasional: nasionalisme-lah yang secara sekuler mengubah, misalnya “Indonesia”, dari sesuatu yang sebetulnya bisa berakhir jadi sesuatu yang seakan-akan kekal, sesuatu yang belum tentu jadi sebuah makna, sesuatu yang kebetulan jadi takdir.
Tapi justru sebab itu betapa tak pastinya wacana nasionalisme bisa berhasil. Ruang yang dibentuk itu, seperti saya katakan di atas, bagaimana juga sebuah ruang politik: di sana kekuasaan, bentrokan, dan persaingan berlangsung. Sebuah “komunitas yang dibayangkan” tak pernah dibayangkan secara universal. Ia selamanya hasil dari satu pihak yang secara dominan membayangkannya—pihak pemegang hegemoni tapi fana…
Yang mengagumkan pada nasionalisme ialah bahwa ia, dalam ketakpastiannya, tampil menguak takdir—seraya ia sendiri seakan-akan suara takdir.
***
Sebuah untaian 17.000 pulau yang tampak bagaikan “sabuk zamrud di khatulistiwa” adalah sebuah tamasya yang hanya bisa disaksikan dari angkasa. Artinya: dari ruang yang tak tersentuh waktu.
Di bumi, ruang dan waktu saling membentuk. “Garis Wallace”, celah yang memisahkan Bali dan Lombok, Kalimantan dan Sulawesi—hingga berbeda benar fauna di kedua belahan 17.000 pulau itu—adalah contohnya: dulu Benua Asia tak berujung di pantai Cina dan semenanjung Malaysia, melainkan mencakup sampai Kalimantan dan Bali. Tarikh Pleistocene, yang berlangsung dua juta tahun sampai 10 ribu tahun yang lalu, membuat muka bumi berubah. Masa beku berganti-ganti dengan masa hangat. Unggunan es mencair dan terbentuk, laut dan pulau pun terjadi, benua bertaut atau berpisah. Geografi adalah sejarah.
Tapi ada masanya ketika proses saling bentuk antara ruang dan waktu itu berubah. Dominasi ruang “L” atas ruang “R”—yang menandai modernitas—menunjukkan perubahan itu.
Waktu akhirnya memang hanya direkam dalam alat pengukur dan jam, buat fungsi yang terpisah-pisah. Waktu sebagai sesuatu yang dihayati dalam ruang “R”, waktu yang dekat dengan tubuh dan simbol kehidupan bersama—pakuwon Jawa, perhitungan hari baik, pesta panen, ritus potong gigi atau sunat—telah nyaris kehilangan makna. Ia jadi waktu dalam ruang “L”: diterjemahkan secara visual dalam angka dan huruf, dapat dibagi-bagi, dikerat dan diciutkan, dan bahkan dapat dihapus seakan-akan tak ada. Atau jadi komoditas: dihargai karena bisa dipertukarkan dengan uang.
Tentu saja ketika negara-bangsa bekerja, ia butuh keajekan dan kepastian, dan waktu pun harus diubah jadi unit matematis: ke-17.000 pulau ini pun dibagi dalam “Waktu Indonesia Bagian Barat” dan “Bagian Timur”.
Namun, waktu yang sesungguhnya selalu luput dari pembagian. Ia seperti sebuah arus misterius yang mendesakkan perubahan-perubahan. Gugusan kepulauan itu, yang dari langit nampak berkilau bak untaian permata, tak pernah tetap sama. Bagi saya, ia adalah percikan yang mengisyaratkan bahwa selalu ada sebuah ruang yang memikat dan tidak sepenuhnya berhasil ditundukkan. Sebuah kejutan.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/catatan-fesbuk/goenawan-mohamad-indonesia-sebuah-kejutan/291209664241239
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar