Teguh Setiawan
Republika, 14 Nov 2011
KEDUA berutang pada penerjemah Cerita Kungfu, dan keduanya membentuk identitas keindonesiaan masyarakatnya masing-masing.
“Saya menulis untuk mencurahkan hati saya. Dengan menulis, saya bisa melepaskan persoalan penindasan yang ada di dalam batin. Sebagai contoh, dalan kehidupan sehari-hari saya sering menjumpai ketidak-adilan, penindasan, dan kerakusan, tapi saya hanya bisa marah dalam hati.
Untuk mengkritik secara langsung, sung guh saya tidak memiliki keberanian. Lewat Cerita Silat saya bisa mengkritik tanpa harus menyakiti perasaan siapa pun. Saya salah satu tipe pemberontak. Ketika saya muda, karakteristik itu mendominasi. Tentunya semangat membe rontak itu dibutuhkan dalam diri seorang anak muda. Kami harus cukup berani mengatakan apa yang salah dan benar, serta mengubah tatanan yang jelas-jelas salah.”
Asmaraman S Kho Ping Ho
Di Tiongkok, penelitian terhadap Cerita Silat (Cersil) telah dimulai tahun 1925, ketika Lu Xun menulis Sejarah Singkat Novel Tiongkok. Di Indonesia, penelitian terhadap Cersil baru dilakukan tahun 2004, dengan terbentuk nya Masyarakat Tjerita Silat (MTjersil) dan diluncurkannya majalah Rimba Hijau. Sebelum 2004, Leo Suryadinata hanya sekali mengurai Cersil. Saat menjadi penyunting Sastra Peranakan Tionghoa-Indonesia, ia membuat tulisan berjudul Cerita Silat Tionghoa di Indonesia: Sebuah Uraian Ringkas.
Hiang Phek Tauwtoo mempublikasikan tulisan berjudul Perjalanan Tjerita Silat Indonesia di Ruang Baca Koran Tempo edisi 30 Oktober 2005. Empat tahun ke mu dian Aimee Davis meneliti Cersil, dan mempublikasikan dalam bentuk buku Orang Indonesia-Tionghoa: Mencari Identitas. Edward Buckingham mungkin yang paling serius meneliti Cersil di Indonesia.
Ia memfokuskan penelitiannya pada dua penulis Cersil yang melegenda; Asmaraman S Kho Ping Ho dan Singgih Hadi (SH) Mintardja, dan mempublikasikan di Singapore Society of Asian Studies Journal No 34 (Juni 2010) dengan judul The Memetic Evoluction of Indonesians Martian Arts Fiction: Two Case Studies. Buckingham menggunakan teori memetik untuk mengkaji karya-karya Kho Ping Ho (KPH) dan SH Mintardja. Ia berupaya menjelaskan Cersil sebagai produk migrasi literer, yang mempengaruhi pendifinisan identitas Tionghoa-Indonesia.
Evolusi
Cersil sebagai bentuk fantasi heroic, menurut Buckingham, adalah pengembangan tradisi mitos heroism kuno dan legenda asli Indonesia. Tradisi literer heroic berevolusi dan berubah, ketika penduduk Nusantara kemasukan gelombang budaya dari luar; India, Timur Tengah, dan Barat.
Pengaruh terbaru yang bisa dilihat dalam cerita silat adalah wuxia xiaoshuo. Leo Suryadinata dan Claudine Salmon mendokumentasikan semua ini dalam buky Literary Migration, Xu You Nian juga menuliskannya dalam The Literature of Indonesian Born Chinese.
Sebelum Kho Ping Ho berproduksi, Tionghoa Indonesia lebih banyak menikmati karya-karya penulis dari Hongkong dan Taiwan; Jin Yong, Yu Sheng, dan Gu Long. Buckingham menyebut karya-karya ketiganya, yang diterjemahkan Gan KL dan Oey Kim Tiang (OKT), sebagai Cerita Kungfu.
Cerita Kungfu, menurut Buckingham, berevolusi mempengaruhi proses penciptaan apa yang kini disebut Cerita Silat (Cersil). Ketika Cersil muncul, tingkat melek huruf terus meningkat. Hal ini mempercepat perkembangan Cersil dan replikasi memetik Cerita Kungfu. Memes atau seperangkat gagasan, gaya, dan simbol budaya dari wuxia xiaoshuo mengalami transformasi ketika diceritakan kembali, diadaptasi, dan diadopsi oleh pengarang Indonesia. Setelah sekian lama, memes wuxia xiaoshuo muncul kembali dans sepenuhnya telah menjadi literay memeplexe yang bergaung kuat di tengah masyarakat lokal.
Dalam perkembangan Cersil, hanya ada dua nama fenomenal yang mendominasi. Kho Ping Ho yang menggunakan ruang imajiner Tiongkok dan SH Mintardja yang menggunakan ruang imajiner Indonesia (khususnya Jawa). Penting disebutkan gaya KPH, yang ma sih popular sampai saat ini, tidak bisa ditiru. Bahkan KHP mungkin yang paling suk ses. Karya-karyanya lebih banyak terjual, dan dibaca khalayak pribumi dan Indonesia.
Situasi Politik
Tidak mudah memahami mengapa KPH lebih sukses dibanding SH Mintardja.
Buckingham mencoba menjelaskannya dengan lebih dulu mempelajari situasi polisik pasca 1950-an. Setelah penyerahan kedaulatan, dan Belanda angka kaki dari tanah jajahannya, norma-norma memudar dan sebuah masyarakat baru terbentuk, dan secara langsung berdampak pada status komunitas migrant Tionghoa. Tionghoa Indonesia merespon perubahan ini dengan membentuk sejumlah perkumpulan untuk melindungi hak-haknya.
Salah satunya, dan yang mungkin paling berpengaruh, adalah Baperki. Organisasi yang merangkul, dan melebur organisasi-organisasi kecil, dibentuk tahun 1954. Setahun kemudian, Indonesia menandatangani perjanjian dengan Republik Rakyat Cina untuk menghindari dual nationality dan menyelesaikan sejumlah masalah.
Namun setelah konflik separatis Permesta tahun 1958, Indonesia melarang aktivitas Kuo Min Tang (KMT). Akibatnya, pemegang passport nasionalis Cina menjadi penduduk tanpa negara. Dengan dukungan Jenderal AH Nasution, sekelompok Tionghoa menganjurkan asimilasi.
Mereka membentuk Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa. Kelompok lainnya, atas dukungan Partai Komunis Indonesia (PKI), menginginkan integrasi dengan meminta status suku atau minority status, yang memungkinkan mereka mempertahankan tradisi dan bahasa. Pemerintah Soekarno lebih menyukai asimilasi. Mereka menutup sekolah-sekolah Cina, untuk memangkas kapasitas Tionghoa yang berusaha mempertahankan bahasa leluhur.
Semua ini berlangsung sampai kudeta 1965, yang menggulingkan Soekarno. Kelompok penganjur asimilasi menang. Hampir seluruh sekolan Cina yang tersisa ditutup, atau diubah menjadi sekolah pribumi untuk kelas menengah. Akibatnya, kesempatan bagi masyarakat Tionghoa untuk belajar bahasa leluhur mereka benar-benar tertutup.
Situasi politik ini berdampak terhadap evolusi Cersil dan distribusinya. Arus besar pers menyerapa koran-koran Melayu-Tionghoa, yang sekian puluh tahun menjadi alat distribusi Cerita Kungfu. Ketika sentimen anti-Tionghoa — yang konon banyak digerakan militer untuk merenggangkan hubungan Indonesia dan pemerintahan komunis di RRC menguat, pemerintah Soekarno melarang pemuatan Cerita Kungfu secara bersambung di koran-koran berbahasa Indonesia. Dalam situasi seperti ini, Kho Ping Ho memperkaya ceritanya dengan gagasan progresif, dan bahasa yang jauh lebih baik, agar lebih bisa diterima pembacanya. KPH frustrasi dengan terjadinya sentiment anti-Tionghoa. Ia kehilangan rumahnya di Taksimalaya, dibakar massa saat kerusuhan 1963, dan pindah ke Solo.
KPH mengawali kemunculan Cersilyang ditulis secara lokal sebagai lawan karya-karya terjemahan, yang mengisi ceruk pasar Cerita Kungfu yang sudah mapan. Bahkan KPH tidak hanya menyedot pembaca dari kalangan masyarakat Tionghoa, tapi juga pribumi.
“Lewat buku ini, saya ingin menegaskan
bahwa tanah tumpah darah kami
juga memiliki material yang bisa dijadikan
bahan cerita silat.
Sayangnya, saat ini tidak banyak
orang yang bersedia menulis Cerita Silat
dengan materi yang lebih membumi.
Penulis lebih suka mengambil cerita dari
Cina dan meng aplikasikannya. Saya ingin
menciptakan cerita saya dengan ruang
imajinasi lokal.”
SH Mintardja
SH Mintardja mungkin tidak sesukses KPH. Ia memanfaatkan larangan pemuatan Cerita Kungfu secara bersambung di koran-koran, dengan menghadirkan Api di Bukit Menoreh di salah satu koran paling berpengaruh di Yogyakarta. Mintardja menjadi pelaku replikasi memetik horizontal dalam skala nasional.
Penulis Cersil kelahiran 26 Januari 1933 mungkin juga berutang pada Gan KL, OKT, dan penerjemah Cerita Kungfu lainnya. Namun, Mintardja tidak hanya mengambil meme cari Cerita Kungfu, tapi juga memanfaatkan pengetahuannya akan Babad Tanah Jawa, dan tradisi lokal masyarakatnya. Ia menciptakan Mahesa Jenar, sosok dalam Api di Bukit Menoreh, yang hampir mirip dengan Bima – tokoh dalam Mahabharata. Bahkan Mahesa Jenar menjadi memeplex yang hidup sampai saat ini.
Popularitas Mahesa Jenar, menurut Buckingham, menjadi petunjuk bagaimana konseptualisasi kepahlawanan populer berevolusi selama periode itu. Pada Nagasasra Sabukinten, Mintardja mengambil meme Wayang. Bahkan konstruksi buku ini dibuat seperti Bhara tayud ha , terutama pada klimaks. Struktur narasinya berbeda dengan KPH, karena lebih Rajah-Centric. Buckingham mengatakan Rajah Centric adalah kode etik suci politik dan sebagai fokus identitas nasional.
Lebih penting dari semua itu Nagasasra Sabukinten membantu mendefinisikan orang modern Indonesia, yang memiliki jiwa satria. Meme satria berasal dari Hindu Jawa, yang kemudian dicomot Sokarno untuk kode etik pembangunan nasional bagi pegawai negeri. Legenda lokal juga tak luput dari perhatian Mintardja, salah satunya adalah Candi Jongrang. Mintardja. Ia menggunakan pendekatan Mahabharata, tapi dengan gaya bercerita yang menyerupai wuxia xiaoshuo.
Mintardja memiliki pembacanya sendiri, yaitu masyarakat Jawa yang merindukan masa keemasan tanahnya. Lebih dari itu Mintardja, lewat semua cerita silatnya, mengajarkan pembacanya akan sejarah Jawa. Ini sejalah dengan pernyataan Soekarno untuk tidak sekalikali melupakan sejarah.
KPH dan SH Mintardja, menurut Buckingham, dalah sosok yang membentuk identitas masyarakatnya dalam bingkai keindonesiaan. Namun pembentukan itu masih terus berlangsung, dan tidak akan pernah berhenti. Oleh karena itu, karya-karya KPH dan Mintardja menjadi penting untuk terus dibaca generasi kini dan esok. Kesamaan lain dari keduanya adalah menyuarakan semangat antipremanisme, rent seeking, dan feodalisme.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/11/teraju-antara-kho-ping-ho-dan-sh.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar