Kamis, 01 Desember 2011

Antara Kho Ping Ho dan SH Mintardja

Teguh Setiawan
Republika, 14 Nov 2011

KEDUA berutang pada penerjemah Cerita Kungfu, dan keduanya membentuk identitas keindonesiaan masyarakatnya masing-masing.

“Saya menulis untuk mencurahkan hati saya. Dengan menulis, saya bisa melepaskan persoalan penindasan yang ada di dalam batin. Sebagai contoh, dalan kehidupan sehari-hari saya sering menjumpai ketidak-adilan, penindasan, dan kerakusan, tapi saya hanya bisa marah dalam hati.

Untuk mengkritik secara langsung, sung guh saya tidak memiliki keberanian. Lewat Cerita Silat saya bisa mengkritik tanpa harus menyakiti perasaan siapa pun. Saya salah satu tipe pemberontak. Ketika saya muda, karakteristik itu mendominasi. Tentunya semangat membe rontak itu dibutuhkan dalam diri seorang anak muda. Kami harus cukup berani mengatakan apa yang salah dan benar, serta mengubah tatanan yang jelas-jelas salah.”

Asmaraman S Kho Ping Ho

Di Tiongkok, penelitian terhadap Cerita Silat (Cersil) telah dimulai tahun 1925, ketika Lu Xun menulis Sejarah Singkat Novel Tiongkok. Di Indonesia, penelitian terhadap Cersil baru dilakukan tahun 2004, dengan terbentuk nya Masyarakat Tjerita Silat (MTjersil) dan diluncurkannya majalah Rimba Hijau. Sebelum 2004, Leo Suryadinata hanya sekali mengurai Cersil. Saat menjadi penyunting Sastra Peranakan Tionghoa-Indonesia, ia membuat tulisan berjudul Cerita Silat Tionghoa di Indonesia: Sebuah Uraian Ringkas.

Hiang Phek Tauwtoo mempublikasikan tulisan berjudul Perjalanan Tjerita Silat Indonesia di Ruang Baca Koran Tempo edisi 30 Oktober 2005. Empat tahun ke mu dian Aimee Davis meneliti Cersil, dan mempublikasikan dalam bentuk buku Orang Indonesia-Tionghoa: Mencari Identitas. Edward Buckingham mungkin yang paling serius meneliti Cersil di Indonesia.

Ia memfokuskan penelitiannya pada dua penulis Cersil yang melegenda; Asmaraman S Kho Ping Ho dan Singgih Hadi (SH) Mintardja, dan mempublikasikan di Singapore Society of Asian Studies Journal No 34 (Juni 2010) dengan judul The Memetic Evoluction of Indonesians Martian Arts Fiction: Two Case Studies. Buckingham menggunakan teori memetik untuk mengkaji karya-karya Kho Ping Ho (KPH) dan SH Mintardja. Ia berupaya menjelaskan Cersil sebagai produk migrasi literer, yang mempengaruhi pendifinisan identitas Tionghoa-Indonesia.

Evolusi

Cersil sebagai bentuk fantasi heroic, menurut Buckingham, adalah pengembangan tradisi mitos heroism kuno dan legenda asli Indonesia. Tradisi literer heroic berevolusi dan berubah, ketika penduduk Nusantara kemasukan gelombang budaya dari luar; India, Timur Tengah, dan Barat.

Pengaruh terbaru yang bisa dilihat dalam cerita silat adalah wuxia xiaoshuo. Leo Suryadinata dan Claudine Salmon mendokumentasikan semua ini dalam buky Literary Migration, Xu You Nian juga menuliskannya dalam The Literature of Indonesian Born Chinese.

Sebelum Kho Ping Ho berproduksi, Tionghoa Indonesia lebih banyak menikmati karya-karya penulis dari Hongkong dan Taiwan; Jin Yong, Yu Sheng, dan Gu Long. Buckingham menyebut karya-karya ketiganya, yang diterjemahkan Gan KL dan Oey Kim Tiang (OKT), sebagai Cerita Kungfu.

Cerita Kungfu, menurut Buckingham, berevolusi mempengaruhi proses penciptaan apa yang kini disebut Cerita Silat (Cersil). Ketika Cersil muncul, tingkat melek huruf terus meningkat. Hal ini mempercepat perkembangan Cersil dan replikasi memetik Cerita Kungfu. Memes atau seperangkat gagasan, gaya, dan simbol budaya dari wuxia xiaoshuo mengalami transformasi ketika diceritakan kembali, diadaptasi, dan diadopsi oleh pengarang Indonesia. Setelah sekian lama, memes wuxia xiaoshuo muncul kembali dans sepenuhnya telah menjadi literay memeplexe yang bergaung kuat di tengah masyarakat lokal.

Dalam perkembangan Cersil, hanya ada dua nama fenomenal yang mendominasi. Kho Ping Ho yang menggunakan ruang imajiner Tiongkok dan SH Mintardja yang menggunakan ruang imajiner Indonesia (khususnya Jawa). Penting disebutkan gaya KPH, yang ma sih popular sampai saat ini, tidak bisa ditiru. Bahkan KHP mungkin yang paling suk ses. Karya-karyanya lebih banyak terjual, dan dibaca khalayak pribumi dan Indonesia.

Situasi Politik

Tidak mudah memahami mengapa KPH lebih sukses dibanding SH Mintardja.
Buckingham mencoba menjelaskannya dengan lebih dulu mempelajari situasi polisik pasca 1950-an. Setelah penyerahan kedaulatan, dan Belanda angka kaki dari tanah jajahannya, norma-norma memudar dan sebuah masyarakat baru terbentuk, dan secara langsung berdampak pada status komunitas migrant Tionghoa. Tionghoa Indonesia merespon perubahan ini dengan membentuk sejumlah perkumpulan untuk melindungi hak-haknya.

Salah satunya, dan yang mungkin paling berpengaruh, adalah Baperki. Organisasi yang merangkul, dan melebur organisasi-organisasi kecil, dibentuk tahun 1954. Setahun kemudian, Indonesia menandatangani perjanjian dengan Republik Rakyat Cina untuk menghindari dual nationality dan menyelesaikan sejumlah masalah.

Namun setelah konflik separatis Permesta tahun 1958, Indonesia melarang aktivitas Kuo Min Tang (KMT). Akibatnya, pemegang passport nasionalis Cina menjadi penduduk tanpa negara. Dengan dukungan Jenderal AH Nasution, sekelompok Tionghoa menganjurkan asimilasi.

Mereka membentuk Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa. Kelompok lainnya, atas dukungan Partai Komunis Indonesia (PKI), menginginkan integrasi dengan meminta status suku atau minority status, yang memungkinkan mereka mempertahankan tradisi dan bahasa. Pemerintah Soekarno lebih menyukai asimilasi. Mereka menutup sekolah-sekolah Cina, untuk memangkas kapasitas Tionghoa yang berusaha mempertahankan bahasa leluhur.

Semua ini berlangsung sampai kudeta 1965, yang menggulingkan Soekarno. Kelompok penganjur asimilasi menang. Hampir seluruh sekolan Cina yang tersisa ditutup, atau diubah menjadi sekolah pribumi untuk kelas menengah. Akibatnya, kesempatan bagi masyarakat Tionghoa untuk belajar bahasa leluhur mereka benar-benar tertutup.

Situasi politik ini berdampak terhadap evolusi Cersil dan distribusinya. Arus besar pers menyerapa koran-koran Melayu-Tionghoa, yang sekian puluh tahun menjadi alat distribusi Cerita Kungfu. Ketika sentimen anti-Tionghoa — yang konon banyak digerakan militer untuk merenggangkan hubungan Indonesia dan pemerintahan komunis di RRC menguat, pemerintah Soekarno melarang pemuatan Cerita Kungfu secara bersambung di koran-koran berbahasa Indonesia. Dalam situasi seperti ini, Kho Ping Ho memperkaya ceritanya dengan gagasan progresif, dan bahasa yang jauh lebih baik, agar lebih bisa diterima pembacanya. KPH frustrasi dengan terjadinya sentiment anti-Tionghoa. Ia kehilangan rumahnya di Taksimalaya, dibakar massa saat kerusuhan 1963, dan pindah ke Solo.

KPH mengawali kemunculan Cersilyang ditulis secara lokal sebagai lawan karya-karya terjemahan, yang mengisi ceruk pasar Cerita Kungfu yang sudah mapan. Bahkan KPH tidak hanya menyedot pembaca dari kalangan masyarakat Tionghoa, tapi juga pribumi.

“Lewat buku ini, saya ingin menegaskan
bahwa tanah tumpah darah kami
juga memiliki material yang bisa dijadikan
bahan cerita silat.
Sayangnya, saat ini tidak banyak
orang yang bersedia menulis Cerita Silat
dengan materi yang lebih membumi.
Penulis lebih suka mengambil cerita dari
Cina dan meng aplikasikannya. Saya ingin
menciptakan cerita saya dengan ruang
imajinasi lokal.”

SH Mintardja

SH Mintardja mungkin tidak sesukses KPH. Ia memanfaatkan larangan pemuatan Cerita Kungfu secara bersambung di koran-koran, dengan menghadirkan Api di Bukit Menoreh di salah satu koran paling berpengaruh di Yogyakarta. Mintardja menjadi pelaku replikasi memetik horizontal dalam skala nasional.

Penulis Cersil kelahiran 26 Januari 1933 mungkin juga berutang pada Gan KL, OKT, dan penerjemah Cerita Kungfu lainnya. Namun, Mintardja tidak hanya mengambil meme cari Cerita Kungfu, tapi juga memanfaatkan pengetahuannya akan Babad Tanah Jawa, dan tradisi lokal masyarakatnya. Ia menciptakan Mahesa Jenar, sosok dalam Api di Bukit Menoreh, yang hampir mirip dengan Bima – tokoh dalam Mahabharata. Bahkan Mahesa Jenar menjadi memeplex yang hidup sampai saat ini.

Popularitas Mahesa Jenar, menurut Buckingham, menjadi petunjuk bagaimana konseptualisasi kepahlawanan populer berevolusi selama periode itu. Pada Nagasasra Sabukinten, Mintardja mengambil meme Wayang. Bahkan konstruksi buku ini dibuat seperti Bhara tayud ha , terutama pada klimaks. Struktur narasinya berbeda dengan KPH, karena lebih Rajah-Centric. Buckingham mengatakan Rajah Centric adalah kode etik suci politik dan sebagai fokus identitas nasional.

Lebih penting dari semua itu Nagasasra Sabukinten membantu mendefinisikan orang modern Indonesia, yang memiliki jiwa satria. Meme satria berasal dari Hindu Jawa, yang kemudian dicomot Sokarno untuk kode etik pembangunan nasional bagi pegawai negeri. Legenda lokal juga tak luput dari perhatian Mintardja, salah satunya adalah Candi Jongrang. Mintardja. Ia menggunakan pendekatan Mahabharata, tapi dengan gaya bercerita yang menyerupai wuxia xiaoshuo.

Mintardja memiliki pembacanya sendiri, yaitu masyarakat Jawa yang merindukan masa keemasan tanahnya. Lebih dari itu Mintardja, lewat semua cerita silatnya, mengajarkan pembacanya akan sejarah Jawa. Ini sejalah dengan pernyataan Soekarno untuk tidak sekalikali melupakan sejarah.

KPH dan SH Mintardja, menurut Buckingham, dalah sosok yang membentuk identitas masyarakatnya dalam bingkai keindonesiaan. Namun pembentukan itu masih terus berlangsung, dan tidak akan pernah berhenti. Oleh karena itu, karya-karya KPH dan Mintardja menjadi penting untuk terus dibaca generasi kini dan esok. Kesamaan lain dari keduanya adalah menyuarakan semangat antipremanisme, rent seeking, dan feodalisme.

Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/11/teraju-antara-kho-ping-ho-dan-sh.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest