Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/
Teaterikalisasi puisi dari buku antologi karya penyair Radhar Panca Dahana yang berjudul Lalu Batu kemarin digulirkan Teater Kosong di Gedung Kesenian Jakarta 10-11 April. Para aktor menyajikan pertunjukan yang ekspresif. Padahal, improvisasi bahasa puisi yang menjadi ”bahasa milik aktor” bukan pekerjaan yang mudah.
Namun yang menjadi perhatian malam itu—siapa lagi—kalau bukan Radhar Panca Dahana, sang penyair yang kondisi kesehatannya sempat memburuk. Ia tampil penuh semangat. Beberapa karya puisi yang telah dihafalnya di luar kepala begitu lancar dan lantang diucapkan malam itu.
Ditemui secara terpisah oleh SH, Radhar menyatakan antologi berjudul Lalu Batu itu sangat bermakna bagi dirinya.
Bagi Radhar, manusia mengejar waktu, lewat ilmu pengetahuan dan teknologi. ”Salah satu obsesi manusia adalah mengalahkan waktu,” ujarnya. Pada intinya, perjalanan mengalahkan waktu itu adalah sebuah upaya menaklukkan si empunya waktu juga, menaklukkan Tuhan. Karena baginya pemilik waktu adalah Tuhan.
Lalu Batu punya maksud bahwa batu adalah ”tempat berdiamnya waktu”. Ketika dia menjalani proses dan akhirnya dimakamkan pun dia menjadi batu. Seperti sebuah fosil. Jadi, kalau dia menjalani sebuah proses, maka ujung akhirannya adalah batu.
Radhar, selain dikenal ”bandel” juga termasuk orang yang kreatif. Menanggapi itu, sekalipun membantah, dan mengatakan bahwa yang bandel itu pada hakikatnya bukan cuma seniman dan tak paralel dengan kreativitas yang dia lakukan selama ini.
Dalam pertemuan dengan SH, Radhar menegaskan ketertarikannya yang lebih pada puisi ketimbang prosa yang cenderung beretorika. ”Saya jenuh beretorika. Pada puisi kita bisa lebih mengutamakan makna,” tandas penyair yang telah menghasilkan beberapa antologi puisi dan satu cerpen itu.
Berikut, Radhar mengungkapkan lebih banyak lagi pandangannya tentang sastra Indonesia.
Kenapa Anda lebih tertarik pada puisi? Prosa tak menarik ketimbang puisi?
Bagi saya, bukan puisi lebih menarik dari prosa, tapi puisi lebih sulit dari pada prosa. Dunia kita sekarang adalah dunia yang dikuasai prosa, dunia yang prosaik. Dunia prosaik ini sudah dikuasai seluruh kepentingan yang ada di bumi—kepentingan politik, bisnis, agama, dan lain-lain. Semua bermain dengan prosa yang sangat bagus, retorikanya bagus, tetapi tetap dunia retorik.
Padahal, retorika yang pernah menjadi raja di abad pertengahan telah dipinggirkan pada abad ke-19. Pelajaran retorika di kuliah filsafat juga sudah tidak ada. Namun, dunia sekarang justru kembali pada retorika dan ternyata sukses.
Seorang kritikus sastra dari Prancis, Antoine Compagnon, mengatakan retorika kembali muncul pada milenium baru dengan bukti-bukti seperti itu. Dunia prosaik yang semacam itu bagi saya sangat ganas, sangat liar, karena tiba-tiba orang harus berebut untuk hidup dengan mempertahankan retorikanya, termasuk media massa. Media massa ‘kan begitu, main gede-gedean headline. Sampai sekarang yang paling banal, paling jorok sudah muncul ‘kan?
Perbedaannya dengan puisi?
Puisi adalah tempat kata-kata mendapat penghargaan setinggi-tingginya. Puisi adalah sebuah dunia tempat kata-kata dimainkan seminimal mungkin dan seefektif mungkin untuk bisa menyelami makna sedalam-dalamnya. Cuma, persoalannya ternyata kemajuan sudah begitu luar biasa. Dunia prosa membahana. Perubahan-perubahan sudah lagi tidak tertangkap dalam pikiran kita dan sudah tidak termuat lagi dalam bahasa. Bahasa apa pun sudah tidak cukup lagi menggambarkan kenyataan sekarang.
Baru-baru ini JS Badudu memunculkan kamus bahasa serapan, begitu tebal. Artinya bahasa serapan sudah begitu banyak. Dengan bahasa serapan yang berasal dari Inggris, Jawa, Sunda itu pun bahasa Indonesia belum cukup mumpuni untuk menggambarkan kenyataan sekarang. Penyair pun mengalami kesulitan. Bagaimana dengan bahasa yang semiskin itu kita harus menggambarkan realitas semesta yang begitu kayanya. Penyair mengalami krisis ketika bahasa sebagai senjata utamanya, mengalami pemiskinan yang luar biasa. Ada berbagai macam bahasa baru dari dunia teknologi, sains dan lain-lain, yang tidak begitu mudah tercerap di dalam puisi. Puisi-puisi mutakhir tiba-tiba memasukkan begitu saja kosa-kata baru, lemari es, komputer, digit, karena dia terbata-bata melihat itu. Seorang penyair sangat sensitif terhadap hal seperti itu. Seorang penyair kan sebelum ini menerakan sebuah kata misalnya ”kau” atau ”antipati”, ini kata asing. Dia harus mengerti dulu dong, apa yang disebut dengan ”antipati”, apa yang disebut dengan ”kau”. Tapi sekarang dalam dunia yang gagap seperti ini, kita main masuk-masukin kata sebelum kita tahu apa artinya. Kenapa? Kita juga mengalami kesulitan untuk memaknai kenyataan dan kehidupan melalui kata-kata itu. Kehidupan ini aku maknai dengan kata-kataku. Dan kata-kata tidak cukup.
Nah, kecepatan perkembangan hidup peradaban kita sekarang ini, seperti kata Bill Gates, tidak diukur lagi oleh kecepatan melainkan oleh percepatan. Sementara bahasa berkembang seperti siput. Kita ngomong salah sedikit aja langsung dikoreksi, ‘eh salah lo!’ Orang Minang bilang, ‘Itu bahasa Jawa’. Terus, orang Sunda bilang itu bahasa sanskrit. Orang main tuding-tudingan. Lha terus kenapa kalau bahasa Jawa?
Bahasa planet juga boleh, prokem diinjek-injek dan lain-lain. Kita harus melepaskan bahasa dari
telikungan-telikungan itu, penjara-penjara itu. Makanya waktu ”Masa Depan Kesunyian”, ”97”, kumpulan cerpen saya, dibacakan dengan 10 bahasa. Marissa Haque baca bahasa Belanda. Desy Ratnasary baca bahasa Sunda. Rano Karno bahasa Betawi, Teguh Esha bahasa prokem. Satu cerpen bisa diekspresikan dengan berbagai bahasa yang pemaknaannya jadi beda-beda. Jadi sumber kekayaan dong, bagi bahasa, pengetahuan dan bagi kebudayaan itu sendiri. Jadi kalau begitu bahasa dibatasi, begitu pula membeku peradaban.
Tanggapan Anda terhadap sejarah kesusasteraan yang berlangsung lambat dan kurang dinamis?
Saya kira yang harus ditanggapi bukan karya-karyanya saja, tetapi pola relasi antara para seniman tersebut. Saya kira, kita ada masalah dengan pola relasi tersebut. Masalahnya, adanya kecenderungan, nah ini mungkin agak sentimental, ada kecenderungan yang terciptanya satu pola relasi patronklienistik. Artinya saya sangat menyayangkan beberapa teman yang harus menggantungkan diri kepada kekuatan-kekuatan literer tertentu yang didukung oleh kekuatan non-literer, misalnya kekuatan media, ekonomi, kekuatan politik dan lain-lain sehingga kekuatan sastranya sendiri tidak cukup bisa dipertahankan karena dia juga harus mempertahankan yang lain-lainnya itu.
Termasuk politik kesenian di dalamnya?
Termasuk dong. Artinya secara langsung sastra atau dunia literer itu sudah dipolitisasi untuk menciptakan kekuatan-kekuatan ini. Yang pada akhirnya dia berkompetisi. Kalau kompetisi itu sampai pada tingkatan dunia intelektual, katakanlah melahirkan cara berpikir, cara pandang, mazhab, sesuatu yang tersendiri dalam cara melihat kehidupan kita, nggak apa-apa. Itu bagus. Tapi kan kadang-kadang yang terjadi bukan perang konsep. Perang emosi. Perang sentimentalia, perang masa lalu, itu nggak perlu kan? Makanya saya bilang patronklienistik.
Itu berpengaruh pada sejarah sastra kita?
Sangat berpengaruh. Karena kemudian beberapa pengarang atau seniman yang tidak bisa terserap atau terhisap pada pusaran-pusaran itu, dia jadi terpinggirkan, teralienasi dan dengan sendirinya kesempatannya, peluangnya berkurang. Tampil dalam forum lokal dan internasional berkurang. Ia mungkin berbakat tapi tidak mempunyai kemampuan relasional yang bagus. Kemampuan publikasi yang bagus. Tidak punya modal yang cukup untuk bergaul, tidak bisa ngumpul di kafe-kafe untuk gimana gitu. Saya adalah pengarang yang mulainya dari situ. Saya adalah seniman kere sejak dulu. Sejak SMP saya sudah menghasilkan uang sendiri.
Tren seperti itu sejak kapan?
Sejak 80-an. Ada beberapa pengarang yang tidak setuju dengan tren itu akhirnya terpinggirkan karena dia tidak mampu main lagi di sentrum.
Anda punya keinginan untuk mencari solusinya?
Saya tidak pernah membayangkan diri saya untuk jadi solusionis, orang yang menciptakan solusi solusi. Cuma saya ingin memperlihatkan kenyataan itu saja. Disetujui atau tidak. Banyak orang mungkin tidak menyetujui mungkin ya dengan cara menipu dirinya sendiri. Silakan saja. Tapi bagi orang yang bisa melihatnya dengan clear dan jernih, harus mengakuinya kan?
Bukan tak mungkin, suatu saat, Anda pun bisa saja tersesat di labirin itu?
Bisa saja! Bisa saja! Memangnya saya tidak merasakan tarikan itu? Saya ditarik-tarik. Betot kanan betot kiri. Dan saya harus melawan itu untuk bisa mempertahankan independensi kita. Menjadi manusia yang independen sekarang ini, dalam bidang apa pun sangat sulit, termasuk sastra.
Angkatan Pujangga Baru tidak dalam kondisi seperti itu?
Saya kira juga iya, tetapi dalam pengertian yang berbeda. Ada cara bermain yang lebih fair. Artinya
kalau memang berbakat walaupun mungkin bukan selebriti dinilai dengan saksama. Bukan karena ia anak presiden, kita harus memberi perhatian yang saksama sehingga penilaian karya sastranya menjadi bias. Penilaian karya sastra jangan dikaitkan dengan yang nonliterer. Jangan dikaitkan dengan yang sifatnya politis, sosial, kultural, nggak bisa dong.
Atau kesalahan semua ini karena sekarang kita tak punya pengamat sastra?
Sebenarnya pengamat sastra itu selalu ada. Selama masyarakat ada, pengamat itu ada. Karena pengamat yang paling utama adalah masyarakat itu. Kalau kamu punya pengamat seribu tapi tidak ada masyarakat, siapa yang mau beli? Untuk apa puisi diciptakan. Yang penting kan pengamatnya masyarakat itu sendiri. Kritikus mati nggak apa-apa kalau masyarakatnya tetap ada. Nah, masyarakat yang hidup apresiatif sastra itu yang harus kita tumbuhkan. Jangan menumbuhkan kritikus-kritikus
hebat tapi mayarakatnya buta. Jangan dibalik dong.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar