Rabu, 14 Desember 2011

Radhar Panca Dahana: Ada Masalah dalam Pola Relasi Kesenian Kita!

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

Teaterikalisasi puisi dari buku antologi karya penyair Radhar Panca Dahana yang berjudul Lalu Batu kemarin digulirkan Teater Kosong di Gedung Kesenian Jakarta 10-11 April. Para aktor menyajikan pertunjukan yang ekspresif. Padahal, improvisasi bahasa puisi yang menjadi ”bahasa milik aktor” bukan pekerjaan yang mudah.

Namun yang menjadi perhatian malam itu—siapa lagi—kalau bukan Radhar Panca Dahana, sang penyair yang kondisi kesehatannya sempat memburuk. Ia tampil penuh semangat. Beberapa karya puisi yang telah dihafalnya di luar kepala begitu lancar dan lantang diucapkan malam itu.

Ditemui secara terpisah oleh SH, Radhar menyatakan antologi berjudul Lalu Batu itu sangat bermakna bagi dirinya.

Bagi Radhar, manusia mengejar waktu, lewat ilmu pengetahuan dan teknologi. ”Salah satu obsesi manusia adalah mengalahkan waktu,” ujarnya. Pada intinya, perjalanan mengalahkan waktu itu adalah sebuah upaya menaklukkan si empunya waktu juga, menaklukkan Tuhan. Karena baginya pemilik waktu adalah Tuhan.

Lalu Batu punya maksud bahwa batu adalah ”tempat berdiamnya waktu”. Ketika dia menjalani proses dan akhirnya dimakamkan pun dia menjadi batu. Seperti sebuah fosil. Jadi, kalau dia menjalani sebuah proses, maka ujung akhirannya adalah batu.

Radhar, selain dikenal ”bandel” juga termasuk orang yang kreatif. Menanggapi itu, sekalipun membantah, dan mengatakan bahwa yang bandel itu pada hakikatnya bukan cuma seniman dan tak paralel dengan kreativitas yang dia lakukan selama ini.

Dalam pertemuan dengan SH, Radhar menegaskan ketertarikannya yang lebih pada puisi ketimbang prosa yang cenderung beretorika. ”Saya jenuh beretorika. Pada puisi kita bisa lebih mengutamakan makna,” tandas penyair yang telah menghasilkan beberapa antologi puisi dan satu cerpen itu.

Berikut, Radhar mengungkapkan lebih banyak lagi pandangannya tentang sastra Indonesia.

Kenapa Anda lebih tertarik pada puisi? Prosa tak menarik ketimbang puisi?

Bagi saya, bukan puisi lebih menarik dari prosa, tapi puisi lebih sulit dari pada prosa. Dunia kita sekarang adalah dunia yang dikuasai prosa, dunia yang prosaik. Dunia prosaik ini sudah dikuasai seluruh kepentingan yang ada di bumi—kepentingan politik, bisnis, agama, dan lain-lain. Semua bermain dengan prosa yang sangat bagus, retorikanya bagus, tetapi tetap dunia retorik.

Padahal, retorika yang pernah menjadi raja di abad pertengahan telah dipinggirkan pada abad ke-19. Pelajaran retorika di kuliah filsafat juga sudah tidak ada. Namun, dunia sekarang justru kembali pada retorika dan ternyata sukses.

Seorang kritikus sastra dari Prancis, Antoine Compagnon, mengatakan retorika kembali muncul pada milenium baru dengan bukti-bukti seperti itu. Dunia prosaik yang semacam itu bagi saya sangat ganas, sangat liar, karena tiba-tiba orang harus berebut untuk hidup dengan mempertahankan retorikanya, termasuk media massa. Media massa ‘kan begitu, main gede-gedean headline. Sampai sekarang yang paling banal, paling jorok sudah muncul ‘kan?

Perbedaannya dengan puisi?

Puisi adalah tempat kata-kata mendapat penghargaan setinggi-tingginya. Puisi adalah sebuah dunia tempat kata-kata dimainkan seminimal mungkin dan seefektif mungkin untuk bisa menyelami makna sedalam-dalamnya. Cuma, persoalannya ternyata kemajuan sudah begitu luar biasa. Dunia prosa membahana. Perubahan-perubahan sudah lagi tidak tertangkap dalam pikiran kita dan sudah tidak termuat lagi dalam bahasa. Bahasa apa pun sudah tidak cukup lagi menggambarkan kenyataan sekarang.

Baru-baru ini JS Badudu memunculkan kamus bahasa serapan, begitu tebal. Artinya bahasa serapan sudah begitu banyak. Dengan bahasa serapan yang berasal dari Inggris, Jawa, Sunda itu pun bahasa Indonesia belum cukup mumpuni untuk menggambarkan kenyataan sekarang. Penyair pun mengalami kesulitan. Bagaimana dengan bahasa yang semiskin itu kita harus menggambarkan realitas semesta yang begitu kayanya. Penyair mengalami krisis ketika bahasa sebagai senjata utamanya, mengalami pemiskinan yang luar biasa. Ada berbagai macam bahasa baru dari dunia teknologi, sains dan lain-lain, yang tidak begitu mudah tercerap di dalam puisi. Puisi-puisi mutakhir tiba-tiba memasukkan begitu saja kosa-kata baru, lemari es, komputer, digit, karena dia terbata-bata melihat itu. Seorang penyair sangat sensitif terhadap hal seperti itu. Seorang penyair kan sebelum ini menerakan sebuah kata misalnya ”kau” atau ”antipati”, ini kata asing. Dia harus mengerti dulu dong, apa yang disebut dengan ”antipati”, apa yang disebut dengan ”kau”. Tapi sekarang dalam dunia yang gagap seperti ini, kita main masuk-masukin kata sebelum kita tahu apa artinya. Kenapa? Kita juga mengalami kesulitan untuk memaknai kenyataan dan kehidupan melalui kata-kata itu. Kehidupan ini aku maknai dengan kata-kataku. Dan kata-kata tidak cukup.

Nah, kecepatan perkembangan hidup peradaban kita sekarang ini, seperti kata Bill Gates, tidak diukur lagi oleh kecepatan melainkan oleh percepatan. Sementara bahasa berkembang seperti siput. Kita ngomong salah sedikit aja langsung dikoreksi, ‘eh salah lo!’ Orang Minang bilang, ‘Itu bahasa Jawa’. Terus, orang Sunda bilang itu bahasa sanskrit. Orang main tuding-tudingan. Lha terus kenapa kalau bahasa Jawa?

Bahasa planet juga boleh, prokem diinjek-injek dan lain-lain. Kita harus melepaskan bahasa dari
telikungan-telikungan itu, penjara-penjara itu. Makanya waktu ”Masa Depan Kesunyian”, ”97”, kumpulan cerpen saya, dibacakan dengan 10 bahasa. Marissa Haque baca bahasa Belanda. Desy Ratnasary baca bahasa Sunda. Rano Karno bahasa Betawi, Teguh Esha bahasa prokem. Satu cerpen bisa diekspresikan dengan berbagai bahasa yang pemaknaannya jadi beda-beda. Jadi sumber kekayaan dong, bagi bahasa, pengetahuan dan bagi kebudayaan itu sendiri. Jadi kalau begitu bahasa dibatasi, begitu pula membeku peradaban.

Tanggapan Anda terhadap sejarah kesusasteraan yang berlangsung lambat dan kurang dinamis?

Saya kira yang harus ditanggapi bukan karya-karyanya saja, tetapi pola relasi antara para seniman tersebut. Saya kira, kita ada masalah dengan pola relasi tersebut. Masalahnya, adanya kecenderungan, nah ini mungkin agak sentimental, ada kecenderungan yang terciptanya satu pola relasi patronklienistik. Artinya saya sangat menyayangkan beberapa teman yang harus menggantungkan diri kepada kekuatan-kekuatan literer tertentu yang didukung oleh kekuatan non-literer, misalnya kekuatan media, ekonomi, kekuatan politik dan lain-lain sehingga kekuatan sastranya sendiri tidak cukup bisa dipertahankan karena dia juga harus mempertahankan yang lain-lainnya itu.

Termasuk politik kesenian di dalamnya?

Termasuk dong. Artinya secara langsung sastra atau dunia literer itu sudah dipolitisasi untuk menciptakan kekuatan-kekuatan ini. Yang pada akhirnya dia berkompetisi. Kalau kompetisi itu sampai pada tingkatan dunia intelektual, katakanlah melahirkan cara berpikir, cara pandang, mazhab, sesuatu yang tersendiri dalam cara melihat kehidupan kita, nggak apa-apa. Itu bagus. Tapi kan kadang-kadang yang terjadi bukan perang konsep. Perang emosi. Perang sentimentalia, perang masa lalu, itu nggak perlu kan? Makanya saya bilang patronklienistik.

Itu berpengaruh pada sejarah sastra kita?

Sangat berpengaruh. Karena kemudian beberapa pengarang atau seniman yang tidak bisa terserap atau terhisap pada pusaran-pusaran itu, dia jadi terpinggirkan, teralienasi dan dengan sendirinya kesempatannya, peluangnya berkurang. Tampil dalam forum lokal dan internasional berkurang. Ia mungkin berbakat tapi tidak mempunyai kemampuan relasional yang bagus. Kemampuan publikasi yang bagus. Tidak punya modal yang cukup untuk bergaul, tidak bisa ngumpul di kafe-kafe untuk gimana gitu. Saya adalah pengarang yang mulainya dari situ. Saya adalah seniman kere sejak dulu. Sejak SMP saya sudah menghasilkan uang sendiri.

Tren seperti itu sejak kapan?

Sejak 80-an. Ada beberapa pengarang yang tidak setuju dengan tren itu akhirnya terpinggirkan karena dia tidak mampu main lagi di sentrum.

Anda punya keinginan untuk mencari solusinya?

Saya tidak pernah membayangkan diri saya untuk jadi solusionis, orang yang menciptakan solusi solusi. Cuma saya ingin memperlihatkan kenyataan itu saja. Disetujui atau tidak. Banyak orang mungkin tidak menyetujui mungkin ya dengan cara menipu dirinya sendiri. Silakan saja. Tapi bagi orang yang bisa melihatnya dengan clear dan jernih, harus mengakuinya kan?

Bukan tak mungkin, suatu saat, Anda pun bisa saja tersesat di labirin itu?

Bisa saja! Bisa saja! Memangnya saya tidak merasakan tarikan itu? Saya ditarik-tarik. Betot kanan betot kiri. Dan saya harus melawan itu untuk bisa mempertahankan independensi kita. Menjadi manusia yang independen sekarang ini, dalam bidang apa pun sangat sulit, termasuk sastra.

Angkatan Pujangga Baru tidak dalam kondisi seperti itu?

Saya kira juga iya, tetapi dalam pengertian yang berbeda. Ada cara bermain yang lebih fair. Artinya
kalau memang berbakat walaupun mungkin bukan selebriti dinilai dengan saksama. Bukan karena ia anak presiden, kita harus memberi perhatian yang saksama sehingga penilaian karya sastranya menjadi bias. Penilaian karya sastra jangan dikaitkan dengan yang nonliterer. Jangan dikaitkan dengan yang sifatnya politis, sosial, kultural, nggak bisa dong.

Atau kesalahan semua ini karena sekarang kita tak punya pengamat sastra?

Sebenarnya pengamat sastra itu selalu ada. Selama masyarakat ada, pengamat itu ada. Karena pengamat yang paling utama adalah masyarakat itu. Kalau kamu punya pengamat seribu tapi tidak ada masyarakat, siapa yang mau beli? Untuk apa puisi diciptakan. Yang penting kan pengamatnya masyarakat itu sendiri. Kritikus mati nggak apa-apa kalau masyarakatnya tetap ada. Nah, masyarakat yang hidup apresiatif sastra itu yang harus kita tumbuhkan. Jangan menumbuhkan kritikus-kritikus
hebat tapi mayarakatnya buta. Jangan dibalik dong.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest