Lan Fang
http://www.jawapos.com/
Hai, sudah lama kita sepi dari sapa. Aku selalu rindu bertukar kata denganmu. Mungkin hanya untuk pertanyaan remeh-temeh seperti, ''Bagaimana senjamu di sana?'' atau sekadar, ''Tahukah kau kalau di sini terang masih saja setia?'' Karena berkabar denganmu sama seperti menyapa kegembiraan.
Aku tahu belakangan ini kau sangat sibuk. Dan, bagi laki-laki, sibuk berarti tidak punya waktu untuk hal-hal yang remeh-temeh. Itu membuatku tahu diri bahwa aku juga termasuk salah satu yang remeh-temeh untukmu. Bahwa aku adalah seseorang yang tidak perlu kau masukkan ke dalam daftar kesibukanmu. Pasti terlalu sederhana untukmu bila harus meladeni pertanyaanku tentang kenapa senja tampak murung. Atau ikut mengamati sampai kapan kesetiaan terang bisa bertahan. Dan, sudah pasti mentraktirku ngopi sambil lesehan di Alun-Alun Sidoarjo (seperti pertama kali kita bertemu) menjadi sesuatu yang amat mahal.
Baiklah, Gani, begini, apakah kau ingat dengan seorang laki-laki yang kau kenalkan padaku ketika terang masih perkasa? Yah, laki-laki seperkasa terang itu! Laki-laki yang meluncur deras dengan langkah seringan angin.
''Tahanlah dia,'' katamu ketika aku hendak menghindar. ''Semoga dia membawa kebaikan untukmu,'' kata-katamu membuatku terharu, Gani. Bukankah kau juga selalu baik padaku?
Maka, ia kutahan seperti menahan tatapannya yang bagai badik membidikku terlalu dalam.
''Namaku Q,'' ujarnya ketika aku bertanya siapa namanya.
Tiba-tiba saja dia membuat dadaku terbelah. Seperti keterbelahan yang kutemukan pada huruf Q. Bukankah Q seperti yin yang? Sebuah keutuhan yang membelah dalam bentuk dan warna. Dua belahan yang berlekuk untuk saling melengkapi lekuk yang lain. Karena dada tidak pernah utuh, bukan? Selalu ada nganga yang harus kita sembunyikan. Dan, kepada belahan yang satulah, kita harus memercayakan nganga itu untuk tertutupi. Lalu, apakah dia adalah belahanku yang satu itu? Aku tidak tahu, Gani. Tetapi, yang kutahu adalah rongga dadaku menjadi begitu longgar. Kerangkanya bergeser dan tak lagi bersekat. Maka, dia begitu mudah menerabas untuk menghuninya.
Gani, bagiku mengenal Q adalah bersentuhan dengan kebahagiaan. Sekali lagi kuulangi, kebahagiaan, Gani! Bukan sekadar kesenangan. Pasti kau tahu bedanya kebahagiaan dan kesenangan, bukan?
Ia seperti Sri Khrisna. Semua yang melekat padanya adalah keindahan. Wajahnya, langkahnya, senyumnya, matanya, kata-katanya, semua merdu dan ayem.
Ia seperti lagu yang tidak perlu nada do re mi fa sol la si do, tetapi mampu meninabobokanku. Ia sehangat cokelat yang kuhirup ketika gerimis tidak terlalu lebat, tetapi sudah cukup membuat tanah basah. Ia secokelat biji-biji kopi yang digerus, tembakau yang dirajang, juga daun-daun kering yang gugur di pengujung kemarau. Daun-daun yang menimpaku sampai mataku berkedip-kedip. Tetapi, aku tidak ingin menghindarinya. Mataku tidak pernah tuntas memandangnya. Karena debar terlalu berkuasa. Sehingga, setiap kali pandanganku selalu jatuh pada dinding, meja, dan lantai. Aku malu bila sampai terjatuh di dalam tatapannya. Di sana aku cuma menjadi penikmat getar yang dihantarkannya. Bisakah kau bayangkan itu, Gani?
Q adalah mimpi yang tidak pernah kumimpikan sebelumnya. Ia selalu memenuhi apa yang kuinginkan. Ia cukup bermantra ''sim sala bim'' maka hanya dalam dua detik, aku sudah menjadi putri dengan kemanjaan yang berkelimpahan. Bila aku ingin dia elang, maka dia elang yang kokoh tetapi cakar-cakarnya tidak mencengkeram. Bila aku ingin dia langit, maka dia langit yang teduh. Bila aku ingin dia tembang, maka dia geguritan yang mengharumkanku dengan ratusan wangi ratus. Bila aku ingin dia kisah, maka dia sediakan canting agar aku bisa menulis helai-helai malam. Maka, bila ini mimpi, aku tidak mau bangun, Gani.
Kami adalah sehati yang mendiami dua dada. Satu hati yang saling mengirim dan menerima getar dari semesta. Aku menyesal pernah mengabaikan getar itu. Bahkan ketika getar menjadi debar yang terasa nyut nyut nyut tetap saja kuanggap sebagai entah yang kupertuankan. Sampai ketika getar itu menjelma menjadi telur semesta yang berbisik dalam desis aneh, ''sssttt... ini aku...'', aku baru memercayainya sebagai tuanku yang bersuara tanpa bunyi. Maka, sekarang dengan setia kuerami rasa itu.
Tetapi, tiba-tiba ada perang yang membuat mimpiku retak!
Dengarlah, perang itu hiruk-pikuk seperti gemuruh Kurusetra. Di mana-mana ada suara yang memekakkan seperti jerit sangkakala. Prajurit-prajurit kecil harus bertempur melawan dengan gajah dan kuda. Hujan lembing dan panah menjadi badai yang menderu-deru. Riuhnya membuat katup-katup jantungku merenggang. Rasa yang kuerami itu tidak aman lagi bersembunyi di sana.
Di sana aku melihat Q seperti Hector, seperti Achilles, seperti Musashi. Dia bertarung tanpa pedang, tanpa samurai. Tetapi harus terus menebas. Lalu, tampaklah dia terkepung segerombolan orang yang berbicara dengan bahasa dari pulau-pulau tersembunyi. Orang-orang dengan bahasa yang tak kumengerti. Bahasa yang menggoreskan sayatan seperti irisan pedang dan samurai. Tidak berdarah, tetapi melukai. Dan kuratapi lukanya seperti tercucur cuka.
Perang itu seperti mata pisau yang membuat puisiku mati kata. Puisiku menderita sekali di sana. Takdir memakunya sehingga tidak bisa bergeser. Ah, tepatnya, puisiku tidak mau menggeserkan diri. Karena pada wajahnya, langkahnya, senyumnya, matanya, kata-katanya, pada Q tertancap sekujur puisi.
''Perang adalah sekumpulan manusia berkartu dua. Durna yang bisa menjelma menjadi Rahwana!'' Begitulah, kuserapahi perang. Aku terbakar kemarahan sendiri.
''Begitu bengiskah kau menilai Durna? Tahukah kau bila Durna seorang resi terkemuka? Durna semulia Bisma. Ia tidak membela Kurawa. Yang dibelanya adalah Hastinapura,'' Q menegurku dengan lemah lembut. Yah, Q selalu bicara dengan nada rendah yang lemah lembut padaku. Ia selalu menegurku dengan rasa. Karena itu pula, aku tidak pernah mampu membantahnya.
Tetapi, aku tidak kenal Kurawa atau Pandawa. Mereka semua petinggi-petinggi yang berebut Hastinapura. Sedangkan, tahta Hastinapura itu bukan apa-apa untukku. Aku cuma mencari Q. Aku cuma ingin Q. Sederhana saja, bukan?
Dan bila berbicara tentang Bisma, bisa saja kumengerti bila hidup dan matinya hanya untuk Hastinapura. Karena ialah sebenarnya pemilik takhta Hastinapura yang bersupata tidak akan jatuh cinta.
Tetapi, bagaimana dengan Durna? Ia resi, ia begawan, ia guru yang begitu dihormati Pandawa dan Kurawa. Ia yang mendidik anak-anak raja itu memanah, berkuda, bergulat, bertombak, bergada, sampai menjadi para satria terkemuka. Suaranya dipatuhi Pandawa dan Kurawa. Kupikir bila ia mencintai Hastinapura, tidak seharusnya ia biarkan Bharatayudha meluluhlantakkan negara yang dibelanya, bukan?
Oh, Gani, dalam mimpiku, kulihat Q adalah Ekalaya. Dia memuja Durna sebagai sang mahaguru. Tetapi, dia tidak bisa berguru padanya karena hanya seorang satria biasa dari kaum pemburu. Dia bukan anak raja. Juga bukan putra dewa. Lalu, bagaimana caranya agar bisa menjadi murid Durna? Maka, ia mengintip ketika Durna mengajar Arjuna. Kemudian, membuat arca Durna yang diakuinya sebagai guru. Sampai Arjuna memergokinya dan menantangnya bertanding panah. Maka, dua busur sama-sama direntang. Dua anak panah sama-sama melesat. Panah Arjuna memang tidak pernah luput dari sasaran. Tetapi, panah Ekalaya membelah panah Arjuna! (bukankah Q memang keterbelahan?)
Durna terkejut. Ia tidak menyangka ada satria lain yang bisa mengalahkan murid kesayangannya, Arjuna. Kemudian, ia menanyakan siapa guru Ekalaya? Dan ia mengatakan bahwa gurunya adalah Resi Durna.
Tahukah kau apa yang terjadi setelah itu, Gani?
Durna meminta Ekalaya melakukan dakshina. ''Bila kau menganggapku guru, maka potonglah ibu jari kananmu,'' pinta Durna pada Ekalaya sebagai bukti bakti dan patuhnya.
Ekalaya pun memotong ibu jari kanannya untuk dipersembahkan kepada gurunya. Walaupun ia tahu bahwa dengan pengorbanannya itu, ia tidak bisa lagi memanah dengan baik. ''Inilah bakti dan patuhku,'' ujarnya tanpa menyesali ibu jari kanannya yang hilang. Maka, tidak ada lagi satria panah yang bisa mengalahkan Arjuna.
Oh, Gani... Apakah seorang guru boleh memenangkan muridnya yang satu dengan menyakiti muridnya yang lain?
Pasti sakit. Tetapi, Ekalaya tidak menangisi panah dan meratapi busurnya. Justru aku yang menangisi dan meratapi Q. Aku menyesali jarinya yang terluka. Sakitnya itu air mataku, Gani!
Aku begitu pilu ketika menyadari ternyata sehati belum tentu berarti sepikiran. Gani, apakah sehati saja sudah cukup kuat untuk mengikat dua perasaan? Jawablah...
Mungkin kau keheranan dan akan bertanya padaku, ''Kenapa kau sekarang begitu cengeng?''
Sudah tentu aku menjadi cengeng ketika debar berubah menjadi ketir-ketir yang setiap saat menalu. Bukankah artinya aku harus mulai mempersiapkan hati untuk menerima rasa sakit dari pikiran yang berselipan? Padahal, bukankah hati kami satu rasa?
Aku ingat, kau selalu mengatakan bahwa aku selalu berbicara dengan hati. Padahal, hati tidak pernah dipakai oleh para samurai. Yang ada pada diri petarung adalah terus bertarung atau terpancung. Yang ada pada diri samurai hanyalah menebas atau ditebas. Yang ada pada Q adalah hari-hari berangin yang tidak tahu apakah langit akan teduh atau badai.
Lalu, apa yang ada padaku?
Aku selalu mengatakan pada Q bahwa yang ada padaku adalah mimpi. Memimpikannya tentu saja. Memimpikannya sebagai pangeran berkuda yang membawaku pergi dari perang itu. Pergi ke surga kecil yang kutemukan tanpa sengaja di pedalaman Bojonegoro.
Di sana ada sendang yang dikelilingi hutan bambu. Ketika angin bernapas, batang-batangnya saling bergesekan dan daun-daunnya saling berciuman. Angin juga menggugurkan sebagian dari mereka ke permukaan sendang. Mereka terapung-apung di sana, berpayung cabang pohon-pohon besar yang diselimuti humus dan lumut.
Lalu, rumah bambu itu tidak berdinding sehingga udara bebas lalu lalang. Sebebas kebahagiaan yang menerobos ke dalam hatiku. Dan lantainya dari besek bambu, atapnya dari daun dan pelepah kering yang dijalin satu dengan yang lain dengan tali tambang. Aku menghirup harum yang luar biasa ketika berada di dalamnya. Harum dari partikel udara yang menguap dari sela-sela daun dan pelepah itu. Aku tidak mau kehilangan kesempatan itu. Diam-diam kucuri harum itu. Kuselipkan ke dalam ingatanku.
''Di sana Eden, di sana Firdaus!'' kukatakan dengan menggebu. Karena tempat yang semula hanya bisa kutemukan di dalam kitab tiba-tiba saja tercipta. Kupikir, di tempat itu kehidupan akan berjalan abadi. Karena tidak ada perang di sana. Dan di sana terlalu indah untuk berkisah tentang Durna dan Rahwana. Sehingga, senja tidak akan pernah murung dan terang akan selalu setia. Tidak seperti neraka kecil yang pernah kujumpai di sebuah gedung tua di Jember. Tempat yang membuatku mengerti bahwa neraka tidak selalu panas api.
Bahkan, di dalam rumah bambu itu kutemukan banyak buku. Bukan buku baru seperti di toko buku. Tetapi, buku-buku yang halamannya sudah menguning dan lusuh. Dan, ketika kubuka, puisi berjatuhan dari lembar-lembarnya, bertebaran di atas lantai. Puisi itu tampak berkilauan seperti permata yang bergelantungan di ujung-ujung atap rumah bambu. Puisi yang selalu membuatku teringat bahwa ia adalah puisi.
Dan, seperti biasa ia tertawa mendengar kata-kataku (ia selalu tertawa padaku, Gani). Katanya, ''Iya, semoga saja aku selalu puisi untukmu. Kita adalah puisi yang sehati dan sepikiran,'' begitulah Q padaku. Ia adalah pengharapan indah yang memberikan kebahagiaan tak berkesudahan.
Maukah kau juga mengamininya, Gani? (*)
(Pro: Q : amin)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 11 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar