Musfarayani
http://www.tempointeraktif.com/
Siang itu cuaca begitu cerah, bahkan terik, September tahun lalu. Saya pikir itu adalah waktu yang tepat untuk melakukan perjalanan ke alam terbuka seharian penuh walau saya sedang berpuasa. Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, menjadi sasaran perjalanan saya. Sudah sekian kali saya mengunjungi Jawa Timur, tapi Trowulan yang terkenal itu terlewat begitu saja. Padahal nama Trowulan sudah begitu lekatnya di dalam kepala saya, yang selama ini sangat gandrung membaca buku-buku tentang sejarah Majapahit dan kerajaan Jawa pada umumnya.
Dari Jombang, saya sendirian naik bus ekonomi yang menuju arah Surabaya dengan ongkos Rp 5.000.
Trowulan berjarak 60 kilometer dari Surabaya dan bisa ditempuh dengan bus. Adapun dari Jombang cuma butuh waktu sekitar satu jam. Saya belum tahu pasti akan turun di mana.
"Turunin di Trowulan ya, Pak!" kataku setengah berteriak kepada kenek bus karena harus beradu dengan deru mesin dan engsel-engsel tubuh bus yang berderit-derit. Bus melaju ugal-ugalan. Apa?" tanya si kenek berteriak.
Saya menjawabnya lebih keras lagi. Sebelum kenek bersuara, beberapa penumpang sudah menjawab--dengan setengah berteriak juga. "Oh, deket itu. Museum Majapahit, kan?" Tenang, Mbak, deket pinggir jalan, kok, museumnya," ujar salah seorang penumpang.
Saya pun mengangguk dan menarik napas lega. Tampaknya para penumpang mengira saya cuma hendak ke museum Majapahit. Namun, saya akan mengelilingi semua situs yang tersebar di sana dalam satu hari itu. Saya sudah membekali diri dengan kamera serta buku Tafsir Sejarah Nagarakretagama dan Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Majapahit) yang ditulis Prof Dr Slamet Muljana.
Trowulan sering disebut-sebut sebagai pusat Kerajaan Majapahit, yang diakui pada masanya sebagai kerajaan terbesar dan berpengaruh di kawasan Asia Tenggara. Nama Majapahit, menurut cerita, diawali dengan dibukanya hutan Tarik di sebelah timur Sungai Brantas atas perintah Adipati Sumenep Wiraraja, yang membantu Raden Wijaya dalam membangun kekuatan militernya kembali guna melawan Jayakatwang. Nama Majapahit diambil dari buah maja yang memang cukup banyak tumbuh di sekitar Kali Brantas. Orang Madura yang tengah membuka hutan Tarik kemudian memakan buah itu, namun rasanya sangat pahit. Kemudian tersebutlah wilayah itu sebagai Majapahit.
Ketika menyebut Trowulan dan Majapahit, maka pikiran pun langsung tertuju kepada dua nama terkenal, yaitu Raja Hayam Wuruk (1350-1389 M) dan patihnya yang terkenal, Gadjah Mada. Keduanya diyakini telah menghantarkan Kerajaan Majapahit pada masa keemasannya.
Mengingat itu semua, saya semakin antusias dan bersemangat selama perjalanan menuju Trowulan. Tidak sabar rasanya untuk membayangkan tentang gambaran kemegahan istana Majapahit seperti yang disebut Nagarakretagama. Dalam buku Tafsir Sejarah Nagarakretagama terdapat deskripsi sebagai berikut.
Tembok batu merah, tebal lebih tinggi, mengitari istana. Pintunya di sebelah barat menghadap ke lapangan luas yang dikelilingi parit (kanal). Halamannya ditanami pohon brahmastana, berjajar memanjang, bermacam-macam bentuknya. Di situlah tempat para tanda berjaga secara bergilir, meronda, mengawasi paseban. Di sebelah utara, gapuranya indah permai berpintu besi penuh ukiran. Di sisi timur pintu adalah panggung luhur, lantainya berlapis batu putih, berkilauan. Alun-alunnya membujur dari utara ke selatan, berpagar rumah berimpit-impit, memanjang sangat indah. Di situlah tempat berkumpul para prajurit tiap bulan Caitra. Di sebelah selatan alun-alun ialah jalan perempat. Luaslah gedung paseban, yang disebut menguntur, mengandung balai witana di tengah-tengahnya....
"Itu Mbak, museumnya!" kata kenek sambil menunjuk sebuah bangunan luas di pinggir jalan raya. Saya pun turun, kemudian memandangi bangunan panjang di seberang: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur. Saya masuk ke gedung yang dipenuhi dengan berbagai macam arca, stupa, dan keramik itu. Tapi, kata seorang satpam, tempat itu hanya kantor, museumnya kini dipindahkan ke Desa Trowulan, sekitar 1 kilometer dari tempat itu. Tanpa ambil pusing, saya pun langsung "mencarter" ojek setelah sepakat soal harga carterannya.
Di museum atau dikenal sebagai Pusat Informasi Majapahit (PIM), pengunjungnya hanya saya. Petugas museum pun jadi terlihat tidak peduli dengan keberadaan saya, sebagai "turis lokal" yang mungkin terasa aneh karena datang pada bulan puasa di siang yang terik. Mereka santai saja mengobrol di dekat meja informasi.
Di pintu masuk itulah saya terkesima oleh adanya lempengan Surya Majapahit, semacam emblem atau juga bentuk perisai tangan yang biasa dipakai tentara Majapahit. Waduh, keren banget, pikir saya. Saya pun mulai membuka kamera siap menjepret lempengan itu. "Mbak, dilarang mengambil foto koleksi yang ada di museum," tegur petugas, tanpa senyum, lalu menunjuk papan larangan memotret koleksi.
Saya pun ke luar gedung dan mulai menjelajahi taman yang masih dalam kawasan museum. Ketika saya akan mendekati salah satu kolam terbengkalai, saya dilarang lagi oleh satpam. "Maaf, Mbak, nggak boleh ke sana. Ada pembangunan perbaikan untuk taman," katanya.
Tukang ojek yang membawa saya mengusulkan perjalanan saya berdasarkan letak situs yang letaknya bisa ditempuh dalam satu arah, lalu kemudian dilanjutkan ke situs-situs yang memisah dari yang lain.
Ketika tiba di situs yang bertebaran hampir 100 kilometer persegi di kecamatan ini, tercekatlah hati saya. Inikah kawasan pusat kerajaan yang tersohor pada 700-an tahun lalu itu? Trowulan hanyalah kecamatan kecil yang biasa saja. Jangan harap mencari candi pencakar langit seperti Candi Prambanan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tapi saya kemudian mafhum. Dalam buku Slamet Muljana disebutkan Hayam Wuruk dan Gadjah Mada berfokus pada penguatan keamanan negara, politik, dan kesejahteraan rakyat. Mereka tidak tertarik melakukan pengagungan keagamaan secara mewah dan spektakuler.
Saya pun langsung menuju situs Kedaton dan Sentonorejo dengan melewati situs Segaran dan Pendopo. Menurut informasi yang saya dapat dari media, pusat Kota Majapahit diperkirakan berada di sana, di Dusun Kedaton, Desa Sentonorejo. Di sanalah beberapa bangunan ditemukan, termasuk sebuah bangunan yang disebut sebagai Candi Kedaton. Jika dilihat bentuknya, sulit sekali untuk disebut sebagai candi karena hanya berupa sebuah kaki bangunan dengan bentuk segi empat berukuran 12,6 meter, lebar 9,5 meter, dan tinggi bagian tersisa 1,58 meter dari permukaan tanah.
Di sana juga ditemukan berbagai sumur tua sebagai tempat suci yang digunakan sebelum melakukan "ibadah". Lalu ada kompleks sumur Upas yang merupakan suatu gugusan bangunan yang, menurut buku Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Trowulan, belum diketahui luasnya secara pasti. Sumur Upas semacam sumur yang terletak di tengah gugusan.
"Upas artinya racun. Tapi, menurut cerita, Upas ini sebenarnya lorong rahasia bagi raja dan keluarganya untuk mengamankan diri ketika diserang musuh. Disebut racun agar orang-orang tidak berani mendekat, apalagi memasukinya," kata petugas yang menjaga candi tersebut. Di kompleks ini pula ditengarai kuat sebagai tempat hunian dalam masa berlainan karena strukturnya yang tumpang-tindih.
Sisa kejayaan Majapahit secara fisik memang hanya berbentuk situs-situs arca, beberapa gapura, waduk/kolam kuno, dan candi-candi yang sudah tidak utuh lagi. Beberapa bangunan puing sepertinya belum direkonstruksi lebih lanjut, bahkan seperti teronggok terbengkalai tanpa ada arti dan makna. Adapun candi yang terlihat hampir utuh di sekitar Trowulan adalah Candi Tikus, Gapura Bajang Ratu dan Wringin Lawang, serta kompleks pemakaman, seperti Makam Panjang.
Dari 27 candi yang tersebut di Nagarakretagama, hanya beberapa yang ditemukan. Dari sini sulit rasanya membayangkan bagaimana kerajaan yang jauh dari lautan dan jelas agraris ini bisa menjadi penakluk bagi daerah-daerah besar seberang lautan itu?
Namun, ini pun bisa dijelaskan dengan mengacu pada penemuan Tim Geografi Universitas Gadjah Mada pada 1981. Melalui foto udara, tim ini berhasil menemukan kanal-kanal tua yang menjulur panjang di sekitar situs hingga menuju Kali Brantas. Kanal-kanal ini tentu saja tidak bisa dikenali dengan pasti di daratan. Apalagi sebagian besar telah beralih fungsi menjadi area persawahan atau perkebunan. Banyak teori tentang menghilangnya kanal-kanal itu. Ada yang percaya karena bencana semburan lumpur ganas 300 tahun lalu.
Diperkirakan kanal-kanal inilah yang menghubungkan pusat Kerajaan Majapahit menuju daerah pesisir dan lautan lepas. Jadi bisa dipahami jika Majapahit memang tidak hanya dikenal sebagai negara agraris, tapi juga sebagai negara maritim dengan kekuatan angkatan lautnya yang luar biasa.
Tata kanal dan waduk/sumur kuno peninggalan Majapahit jelas berperan dalam menjaga keamanan sekaligus pertahanan pangannya. Sebab, saat musim kemarau, Trowulan pada masa itu akan kekurangan air. Jika musim hujan, di sana terjadi banjir karena meluapnya Sungai Brantas. Hal itu bisa dilihat dengan adanya sebuah tanggul kanal penahan banjir di sekitar situs Sentonorejo.
Di sekitar situs yang tersebar di Trowulan telah ditemukan 32 waduk atau kolam kuno yang masih jelas terlihat sisanya. Kolam Segaran--ditemukan Ir Henry Mclain Pont pada 1926--adalah salah satu bukti konkret adanya tata pengairan masa kejayaan Majapahit yang apik. Kolam ini berbentuk empat persegi panjang dengan panjang 375 meter dan lebar 125 meter. Dinding kolamnya setinggi 3,16 meter dan lebar 1,6 meter.
Buku Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Daerah Trowulan menyebutkan bahan bangunan kolam ini terbuat dari batu bata yang direkatkan satu sama lain dengan cara digosokkan tanpa menggunakan perekat. Pada bagian tenggara terdapat saluran yang mengalirkan airnya ke kolam, sementara pada bagian barat laut terdapat saluran pembuangan air.
Menurut cerita rakyat sekitar, pada masa kejayaan Majapahit, kolam ini sering dijadikan tempat santai dan tempat perjamuan untuk tamu-tamu dari luar negeri. Jika telah selesai, peralatan perjamuan, seperti piring dan sendok, yang terbuat dari emas dibuang begitu saja ke kolam. Katanya sih, sekadar menunjukkan Majapahit sebagai kerajaan kaya. Namun, sejauh ini tidak pernah ditemukan emas di Segaran kecuali hanya keramik Tiongkok dari Dinasti Yuan pada abad ke-12-14 Masehi.
Selain Sagaran, sistem kanal lekat dengan keberadaan Candi Tikus di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, yang ditemukan pada 1914. Candi ini merupakan bangunan petirtaan yang dibangun di permukaan yang lebih rendah sedalam 3,5 meter. Di tengah landai rendah bangunan, ada miniatur candi yang melambangkan Gunung Mahameru--tempat para dewa bersemayam dan sumber segala kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk air mengalir dari pancuran-pancuran jaladwara yang terdapat di sepanjang kaki candinya. Kini candi ini mengering.
Pada situs Gapura Wringin Lawang, di Desa Jati Pasar, pada halaman barat daya Gapura ditemukan 14 sumur yang berbentuk silindrik dan kubus. Gapura dengan tinggi 15,50 meter dibuat dari batu bata merah yang kuat seperti ciri bangunan kuno Majapahit lainnya.
Di Desa Temon, ada Gapura Bajangratu dengan pintu gerbang beratap, tinggi 16,5 meter berwarna kemerahan. Diperkirakan gapura ini berdiri pada abad ke-13-14. Hal ini ditandai dengan adanya relief Ramayana, relief binatang bertelinga panjang, dan relief naga. Gapura ini diduga sebagai pintu masuk ke sebuah bangunan suci untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara.
Selain kanal, tentu saja ada beberapa candi yang terlihat masih utuh, seperti Candi Brahu di Desa Bejijong, dan kompleks pemakaman kuno, seperti makam Putri Campa yang terletak di sudut timur Segaran, Pendopo Agung di Dusun Nglinguk, Makam Panjang, dan Situs Klinterojo.
Secara fisik, peninggalan Majapahit mungkin tidak mengesankan. Tapi bukti sejarah kejayaan Majapahit adalah Nagarakretagama, yang berhasil mendokumentasikan betapa maju dan canggihnya sistem tata negara, budaya, bahkan kemiliteran Majapahit.
Penyusuran saya di Trowulan semakin menyesapkan kebanggaan lebih dalam lagi sebagai anak bangsa Indonesia, kendati itu hanya sebuah kenangan tersisa.
*)Penulis lepas, tinggal di Jakarta.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar