Minggu, 11 Januari 2009

Menyusuri Jejak Majapahit di Trowulan

Musfarayani
http://www.tempointeraktif.com/

Siang itu cuaca begitu cerah, bahkan terik, September tahun lalu. Saya pikir itu adalah waktu yang tepat untuk melakukan perjalanan ke alam terbuka seharian penuh walau saya sedang berpuasa. Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, menjadi sasaran perjalanan saya. Sudah sekian kali saya mengunjungi Jawa Timur, tapi Trowulan yang terkenal itu terlewat begitu saja. Padahal nama Trowulan sudah begitu lekatnya di dalam kepala saya, yang selama ini sangat gandrung membaca buku-buku tentang sejarah Majapahit dan kerajaan Jawa pada umumnya.

Dari Jombang, saya sendirian naik bus ekonomi yang menuju arah Surabaya dengan ongkos Rp 5.000.
Trowulan berjarak 60 kilometer dari Surabaya dan bisa ditempuh dengan bus. Adapun dari Jombang cuma butuh waktu sekitar satu jam. Saya belum tahu pasti akan turun di mana.

"Turunin di Trowulan ya, Pak!" kataku setengah berteriak kepada kenek bus karena harus beradu dengan deru mesin dan engsel-engsel tubuh bus yang berderit-derit. Bus melaju ugal-ugalan. Apa?" tanya si kenek berteriak.

Saya menjawabnya lebih keras lagi. Sebelum kenek bersuara, beberapa penumpang sudah menjawab--dengan setengah berteriak juga. "Oh, deket itu. Museum Majapahit, kan?" Tenang, Mbak, deket pinggir jalan, kok, museumnya," ujar salah seorang penumpang.

Saya pun mengangguk dan menarik napas lega. Tampaknya para penumpang mengira saya cuma hendak ke museum Majapahit. Namun, saya akan mengelilingi semua situs yang tersebar di sana dalam satu hari itu. Saya sudah membekali diri dengan kamera serta buku Tafsir Sejarah Nagarakretagama dan Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Majapahit) yang ditulis Prof Dr Slamet Muljana.

Trowulan sering disebut-sebut sebagai pusat Kerajaan Majapahit, yang diakui pada masanya sebagai kerajaan terbesar dan berpengaruh di kawasan Asia Tenggara. Nama Majapahit, menurut cerita, diawali dengan dibukanya hutan Tarik di sebelah timur Sungai Brantas atas perintah Adipati Sumenep Wiraraja, yang membantu Raden Wijaya dalam membangun kekuatan militernya kembali guna melawan Jayakatwang. Nama Majapahit diambil dari buah maja yang memang cukup banyak tumbuh di sekitar Kali Brantas. Orang Madura yang tengah membuka hutan Tarik kemudian memakan buah itu, namun rasanya sangat pahit. Kemudian tersebutlah wilayah itu sebagai Majapahit.

Ketika menyebut Trowulan dan Majapahit, maka pikiran pun langsung tertuju kepada dua nama terkenal, yaitu Raja Hayam Wuruk (1350-1389 M) dan patihnya yang terkenal, Gadjah Mada. Keduanya diyakini telah menghantarkan Kerajaan Majapahit pada masa keemasannya.

Mengingat itu semua, saya semakin antusias dan bersemangat selama perjalanan menuju Trowulan. Tidak sabar rasanya untuk membayangkan tentang gambaran kemegahan istana Majapahit seperti yang disebut Nagarakretagama. Dalam buku Tafsir Sejarah Nagarakretagama terdapat deskripsi sebagai berikut.

Tembok batu merah, tebal lebih tinggi, mengitari istana. Pintunya di sebelah barat menghadap ke lapangan luas yang dikelilingi parit (kanal). Halamannya ditanami pohon brahmastana, berjajar memanjang, bermacam-macam bentuknya. Di situlah tempat para tanda berjaga secara bergilir, meronda, mengawasi paseban. Di sebelah utara, gapuranya indah permai berpintu besi penuh ukiran. Di sisi timur pintu adalah panggung luhur, lantainya berlapis batu putih, berkilauan. Alun-alunnya membujur dari utara ke selatan, berpagar rumah berimpit-impit, memanjang sangat indah. Di situlah tempat berkumpul para prajurit tiap bulan Caitra. Di sebelah selatan alun-alun ialah jalan perempat. Luaslah gedung paseban, yang disebut menguntur, mengandung balai witana di tengah-tengahnya....

"Itu Mbak, museumnya!" kata kenek sambil menunjuk sebuah bangunan luas di pinggir jalan raya. Saya pun turun, kemudian memandangi bangunan panjang di seberang: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur. Saya masuk ke gedung yang dipenuhi dengan berbagai macam arca, stupa, dan keramik itu. Tapi, kata seorang satpam, tempat itu hanya kantor, museumnya kini dipindahkan ke Desa Trowulan, sekitar 1 kilometer dari tempat itu. Tanpa ambil pusing, saya pun langsung "mencarter" ojek setelah sepakat soal harga carterannya.

Di museum atau dikenal sebagai Pusat Informasi Majapahit (PIM), pengunjungnya hanya saya. Petugas museum pun jadi terlihat tidak peduli dengan keberadaan saya, sebagai "turis lokal" yang mungkin terasa aneh karena datang pada bulan puasa di siang yang terik. Mereka santai saja mengobrol di dekat meja informasi.

Di pintu masuk itulah saya terkesima oleh adanya lempengan Surya Majapahit, semacam emblem atau juga bentuk perisai tangan yang biasa dipakai tentara Majapahit. Waduh, keren banget, pikir saya. Saya pun mulai membuka kamera siap menjepret lempengan itu. "Mbak, dilarang mengambil foto koleksi yang ada di museum," tegur petugas, tanpa senyum, lalu menunjuk papan larangan memotret koleksi.

Saya pun ke luar gedung dan mulai menjelajahi taman yang masih dalam kawasan museum. Ketika saya akan mendekati salah satu kolam terbengkalai, saya dilarang lagi oleh satpam. "Maaf, Mbak, nggak boleh ke sana. Ada pembangunan perbaikan untuk taman," katanya.

Tukang ojek yang membawa saya mengusulkan perjalanan saya berdasarkan letak situs yang letaknya bisa ditempuh dalam satu arah, lalu kemudian dilanjutkan ke situs-situs yang memisah dari yang lain.

Ketika tiba di situs yang bertebaran hampir 100 kilometer persegi di kecamatan ini, tercekatlah hati saya. Inikah kawasan pusat kerajaan yang tersohor pada 700-an tahun lalu itu? Trowulan hanyalah kecamatan kecil yang biasa saja. Jangan harap mencari candi pencakar langit seperti Candi Prambanan di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Tapi saya kemudian mafhum. Dalam buku Slamet Muljana disebutkan Hayam Wuruk dan Gadjah Mada berfokus pada penguatan keamanan negara, politik, dan kesejahteraan rakyat. Mereka tidak tertarik melakukan pengagungan keagamaan secara mewah dan spektakuler.

Saya pun langsung menuju situs Kedaton dan Sentonorejo dengan melewati situs Segaran dan Pendopo. Menurut informasi yang saya dapat dari media, pusat Kota Majapahit diperkirakan berada di sana, di Dusun Kedaton, Desa Sentonorejo. Di sanalah beberapa bangunan ditemukan, termasuk sebuah bangunan yang disebut sebagai Candi Kedaton. Jika dilihat bentuknya, sulit sekali untuk disebut sebagai candi karena hanya berupa sebuah kaki bangunan dengan bentuk segi empat berukuran 12,6 meter, lebar 9,5 meter, dan tinggi bagian tersisa 1,58 meter dari permukaan tanah.

Di sana juga ditemukan berbagai sumur tua sebagai tempat suci yang digunakan sebelum melakukan "ibadah". Lalu ada kompleks sumur Upas yang merupakan suatu gugusan bangunan yang, menurut buku Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Trowulan, belum diketahui luasnya secara pasti. Sumur Upas semacam sumur yang terletak di tengah gugusan.

"Upas artinya racun. Tapi, menurut cerita, Upas ini sebenarnya lorong rahasia bagi raja dan keluarganya untuk mengamankan diri ketika diserang musuh. Disebut racun agar orang-orang tidak berani mendekat, apalagi memasukinya," kata petugas yang menjaga candi tersebut. Di kompleks ini pula ditengarai kuat sebagai tempat hunian dalam masa berlainan karena strukturnya yang tumpang-tindih.

Sisa kejayaan Majapahit secara fisik memang hanya berbentuk situs-situs arca, beberapa gapura, waduk/kolam kuno, dan candi-candi yang sudah tidak utuh lagi. Beberapa bangunan puing sepertinya belum direkonstruksi lebih lanjut, bahkan seperti teronggok terbengkalai tanpa ada arti dan makna. Adapun candi yang terlihat hampir utuh di sekitar Trowulan adalah Candi Tikus, Gapura Bajang Ratu dan Wringin Lawang, serta kompleks pemakaman, seperti Makam Panjang.

Dari 27 candi yang tersebut di Nagarakretagama, hanya beberapa yang ditemukan. Dari sini sulit rasanya membayangkan bagaimana kerajaan yang jauh dari lautan dan jelas agraris ini bisa menjadi penakluk bagi daerah-daerah besar seberang lautan itu?

Namun, ini pun bisa dijelaskan dengan mengacu pada penemuan Tim Geografi Universitas Gadjah Mada pada 1981. Melalui foto udara, tim ini berhasil menemukan kanal-kanal tua yang menjulur panjang di sekitar situs hingga menuju Kali Brantas. Kanal-kanal ini tentu saja tidak bisa dikenali dengan pasti di daratan. Apalagi sebagian besar telah beralih fungsi menjadi area persawahan atau perkebunan. Banyak teori tentang menghilangnya kanal-kanal itu. Ada yang percaya karena bencana semburan lumpur ganas 300 tahun lalu.

Diperkirakan kanal-kanal inilah yang menghubungkan pusat Kerajaan Majapahit menuju daerah pesisir dan lautan lepas. Jadi bisa dipahami jika Majapahit memang tidak hanya dikenal sebagai negara agraris, tapi juga sebagai negara maritim dengan kekuatan angkatan lautnya yang luar biasa.

Tata kanal dan waduk/sumur kuno peninggalan Majapahit jelas berperan dalam menjaga keamanan sekaligus pertahanan pangannya. Sebab, saat musim kemarau, Trowulan pada masa itu akan kekurangan air. Jika musim hujan, di sana terjadi banjir karena meluapnya Sungai Brantas. Hal itu bisa dilihat dengan adanya sebuah tanggul kanal penahan banjir di sekitar situs Sentonorejo.

Di sekitar situs yang tersebar di Trowulan telah ditemukan 32 waduk atau kolam kuno yang masih jelas terlihat sisanya. Kolam Segaran--ditemukan Ir Henry Mclain Pont pada 1926--adalah salah satu bukti konkret adanya tata pengairan masa kejayaan Majapahit yang apik. Kolam ini berbentuk empat persegi panjang dengan panjang 375 meter dan lebar 125 meter. Dinding kolamnya setinggi 3,16 meter dan lebar 1,6 meter.

Buku Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Daerah Trowulan menyebutkan bahan bangunan kolam ini terbuat dari batu bata yang direkatkan satu sama lain dengan cara digosokkan tanpa menggunakan perekat. Pada bagian tenggara terdapat saluran yang mengalirkan airnya ke kolam, sementara pada bagian barat laut terdapat saluran pembuangan air.

Menurut cerita rakyat sekitar, pada masa kejayaan Majapahit, kolam ini sering dijadikan tempat santai dan tempat perjamuan untuk tamu-tamu dari luar negeri. Jika telah selesai, peralatan perjamuan, seperti piring dan sendok, yang terbuat dari emas dibuang begitu saja ke kolam. Katanya sih, sekadar menunjukkan Majapahit sebagai kerajaan kaya. Namun, sejauh ini tidak pernah ditemukan emas di Segaran kecuali hanya keramik Tiongkok dari Dinasti Yuan pada abad ke-12-14 Masehi.

Selain Sagaran, sistem kanal lekat dengan keberadaan Candi Tikus di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, yang ditemukan pada 1914. Candi ini merupakan bangunan petirtaan yang dibangun di permukaan yang lebih rendah sedalam 3,5 meter. Di tengah landai rendah bangunan, ada miniatur candi yang melambangkan Gunung Mahameru--tempat para dewa bersemayam dan sumber segala kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk air mengalir dari pancuran-pancuran jaladwara yang terdapat di sepanjang kaki candinya. Kini candi ini mengering.

Pada situs Gapura Wringin Lawang, di Desa Jati Pasar, pada halaman barat daya Gapura ditemukan 14 sumur yang berbentuk silindrik dan kubus. Gapura dengan tinggi 15,50 meter dibuat dari batu bata merah yang kuat seperti ciri bangunan kuno Majapahit lainnya.

Di Desa Temon, ada Gapura Bajangratu dengan pintu gerbang beratap, tinggi 16,5 meter berwarna kemerahan. Diperkirakan gapura ini berdiri pada abad ke-13-14. Hal ini ditandai dengan adanya relief Ramayana, relief binatang bertelinga panjang, dan relief naga. Gapura ini diduga sebagai pintu masuk ke sebuah bangunan suci untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara.

Selain kanal, tentu saja ada beberapa candi yang terlihat masih utuh, seperti Candi Brahu di Desa Bejijong, dan kompleks pemakaman kuno, seperti makam Putri Campa yang terletak di sudut timur Segaran, Pendopo Agung di Dusun Nglinguk, Makam Panjang, dan Situs Klinterojo.

Secara fisik, peninggalan Majapahit mungkin tidak mengesankan. Tapi bukti sejarah kejayaan Majapahit adalah Nagarakretagama, yang berhasil mendokumentasikan betapa maju dan canggihnya sistem tata negara, budaya, bahkan kemiliteran Majapahit.

Penyusuran saya di Trowulan semakin menyesapkan kebanggaan lebih dalam lagi sebagai anak bangsa Indonesia, kendati itu hanya sebuah kenangan tersisa.

*)Penulis lepas, tinggal di Jakarta.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest