Dulu waktu masih nyantri di Denanyar, Jombang (sekitar
2004-2007), selain sebenarnya punya bakat jiwa pesepak bola sejak usia MI,
sebenarnya saya sempat jadi atlet maraton. Ini beneran. Meskipun hanya sekitar
2 tahun. Bahkan di tahun 2006, saya pernah berhasil meraih juara 2 tingkat
kabupaten untuk kategori lari maraton jarak tempuh 5 km (dengan status santri tulen). Sangat membanggakan, waktu itu sih. Berangkat ke tempat latihan
setiap pagi pakai sarung lungset, dalaman celana pendek kesebelasan AS Roma,
pakai kaos bernomor punggung 10 milik Fransisco Totti, sambil bawa tas kresek
yang isinya sepatu Pro ATT dan kaos kaki ghosoban. Selalu rutin seperti itu,
sampai akhirnya dipercaya lanjut ke tingkat provinsi untuk tanding di Arena
Stadion Kanjuruan, Malang (yang kalau tidak salah, waktu itu masih baru).
2 tahun itu saya merasa keren betul. Sempat jadi idola
mbak-mbak santri putri bahkan (perasaan saya sih). Lantaran selain (di
tahun-tahun itu) wajah saya yang masih terhitung unyuuu banget, di satu sisi
saya punya prestasi yang jarang santri lain miliki. Orang tua juga support.
Buktinya, saya sampai dibelikan sepatu Pro ATT itu dengan harga seingat saya
dulu sekitar Rp. 250.000 (harga segitu di tahun segitu, terhitung mahal banget
lah). Meskipun sempat dighosob juga, dan pernah hilang beberapa minggu.
Rutin full saya latihan pagi sore tanpa pernah absen.
Bayangan saya, setidaknya kalau tidak jadi juara pertama, minimal trophy juara
3 bisa saya tunjukkan di hadapan orang tua sebagai ganti dari harga Pro ATT
tadi. Sampai di titik ini, saya masih optimis betul. Saya membawa nama santri
loh. Ndak bisa bayangin berapa juta santri lain yang pasti akan ikut bangga
kalau (seandainya) saya benar-benar berhasil juara.
Nama "Dzihan Zahriz Zaman" sudah terdaftar di
pertandingan provinsi untuk kategori lari maraton 5 km, beserta 1 nama lain
(siswa asal Tambak Beras seingat saya, tapi lupa namanya). Kami berdua yang
akan mewakili Kabupaten Jombang, di tahun 2006.
Tepat seminggu sebelum hari H pertandingan, tiba-tiba
badan saya demam tinggi. Benak saya, mungkin hanya kecapekan karena mengingat
tubuh saya ndak pernah istirahat latihan. 3 hari berlalu, saya masih 'krukupan'
di bilik kamar, belum kuat bangun. Pelatih saya cemas tentunya. Saya juga sudah
mulai deg-degan. Hari itu juga, saya paksa pergi ke wartel pondok untuk nelpon
orang tua mengabarkan kondisi tubuh yang kurang sehat (sambil mewek dikit).
Tancap gas, umi abi langsung jenguk ke pondok, dan akhirnya saya diantar ke
klinik untuk periksa.
Dhuaarrr !!! Fix. Saya kena typus. Dan dokter menyarankan
istirahat total kurang lebih 3 minggu. Jujur, di titik ini saya nangis
sejadi-jadinya. Saya sudah ndak mikir lagi imej wajah unyu saya berubah jadi
gimana. Kecewa campur nyerah campur pasrah campur halaluwah... mbuh lah ! Saya
langsung dipamitkan pulang untuk istirahat di rumah saja.
Sejak saat itu, saya geli setiap mendengar kata
'bedrest'. 3 minggu saya di rumah dengan halusinasi piala kejuaraan yang
melambai-lambai. Beberapa kali saya pura-pura sembuh di hadapan orang tua agar
segera bisa balik ke pondok, biar bisa ikut tanding maraton. Tapi tetap saja,
saya masih KO dengan kondisi. Yasudah. Selamat tinggal hidup sehat (ucap saya
dalam hati, sambil menyimpan dendam emosi pada kesehatan).
3 minggu lebih sudah saya di rumah. Saya sudah sembuh.
Dan pertandingan itu sudah lewat tentunya. Untuk balik ke pondok, rasanya sudah
hambar. Saya belum punya motivasi lebih. Impian yang saya bangun sudah hancur.
Lunas. Hari itu sebenarnya juga adalah 5 hari sebelum umi saya mau berangkat
ibadah haji. Satu sisi saya sudah harus kembali ke pondok, sisi lain, kalau
kembali ke pondok jelas gak akan dapat ijin pulang lagi untuk ikut ngantar
keberangkatan umi.
"Nak, sing penting sampean sehat, umi wes seneng.
Lomba-lomba ngunu iku mene digoleki maneh sik iso. Gusti Allah pasti bakal
ngganti sing luweh apik, luweh nyenengno. Wes ndang balik nak pondok. Gak melu
ngeterno umi gapopo, mene ae nek umi moleh haji, sampean melu nyusul, nggih?"
"Nggih, mi"
***
Saya balik ke pondok dengan belum bisa sepenuhnya
menerima kekalahan yang logis. Berhari-hari saya menyimpan gerutu, marah,
kecewa, tapi entah pada siapa. Saya frustasi. Pelampiasan yang paling masuk
akal adalah menyendiri. Mencoba hal-hal baru, setidaknya bisa menetralisir
hati. Apa? Ternyata ketemu; rokok dan kopi !
Ya, mungkin sebagian besar boleh menyalahkan opsi ini.
Tapi, waktu itu saya benar-benar labil. Sejak balita sampai di kelas 2 aliyah
menjelang naik kelas 3, saya adalah orang yang benci dengan rokok. Sangat
benci. Saya belum pernah mencoba barang satu hisapan pun. Karena memang ndak
suka. Saya bahkan pernah congkak di hadapan teman-teman bahwa saya ndak akan
merokok kapan pun nanti. Saya ndak suka aroma asap rokok. Pria perokok adalah
urakan, boros, ndak tertib, dll. Itu pendapat saya dulu, sebelum pernah
dikecewakan keadaan.
Saya sudah mulai persetan dengan pola hidup sehat. Rokok
harga Rp.2000 dapat 3 batang waktu itu, tentu sangat murah dibanding uang saku
saya yang numpuk di atm, yang paling-paling sejauh ini cuma keluar sebatas
untuk kebutuhan makan dan beli sabun muka. Sempurna, selamat datang kehidupan
warung kopi !
Sejak saat itu, saya sudah tidak pernah lagi lari-lari
pagi yang serius, jaga pola makan, atur stabilitas tidur, dan pola-pola sehat
lainnya. Tidak sampai 2 bulan, saya sudah resmi menjadi warga kelelawar, yang
kalau malam matanya menyala-nyala, kalau pagi sampai siang, lungset total. Tapi
tetap ngaji. Syukur saya masih punya semangat di bidang ini.
Kehidupan meja kopi adalah sebuah new normal yang saya
langsungkan sejak kegagalan itu, sampai hari ini. Menyesal? Tidak juga. Saya
bahkan juga tidak sadar, proses yang bagaimana detailnya kira-kira dulu, yang
akhirnya mampu menjadikan saya menjadi seperti keadaan hari ini. Kok bisa
tiba-tiba suka nulis, baca puisi, punya beberapa buku, kenal sama beberapa
penyair, dll, meskipun memang sebenarnya juga belum apa-apa. Bahkan, saya sudah
tidak punya cita-cita sama sekali hari ini. Entah jadi apa nantinya, dijadikan
apa, bagaimana, terserah. Rencana, ada. Tapi saya gak mau terlalu tinggi
berharap yang tidak-tidak. (Sawabiqul Himam Laa tuhriqu aswarol aqdar) Ya toh?
Saya sudah kapok.
Saya juga gak bisa bayangin seandainya waktu itu jadi
bertanding. Apalagi menang. Terus saya jadi atlet lari maraton sampai hari ini.
Mungkin beranda-beranda facebook saya gak akan banyak tulisan-tulisan sampah
seperti ini. Mungkin juga, katalog pertemanan saya juga bukan sampean-sampean.
Yang jelas ada tuh nama-nama seperti; Darmiyanto, Triyaningsih, Dedeh Erawati,
Suryo Agung Wibowo, dan atlet-atlet pelari Indonesia yang lain.
***
Setiap dari kita pernah mengalami new normal
masing-masing. Itu pasti. Dan tentunya lebih baik dari Last Normal yang sejauh
ini dijalani. Tinggal, pinter-pinteran bersyukur dan nyari sisi baiknya.
28 Mei 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar