Senin, 06 April 2020

Umbu Landu Paranggi di Depanku

Sigit Susanto

Aku coba mengingat-ingat, kapan tepatnya telingaku pertama kali mendengar nama Umbu. Kalau tak salah sekitar tahun 2002, ketika aku mengikuti berbagai mailing list sastra di internet. Nama itu buatku saat itu termasuk unik, pasti bukan orang Jawa, karena di Jawa lebih populer Bumbu atau Bambu.

Nama Umbu semakin santer kudengar, ketika tahun 2004, Wayan Jengki Sunarta dan Riki Dhamparan Putra menginap di rumahku di Batubulan, Bali. Kebetulan aku datang dari Jawa dengan Puthut EA dan Nurul Khawari. Jengki banyak cerita seputar komunitas Kedai Kopi di Denpasar yang sering didatangi Umbu. Jengki cerita, cara Umbu memotivasi asuhannya. Salah satunya menimpa diri Jengki sendiri. Suatu hari Umbu datang memberi nasi bungkus kepada Jengki. “Ini nasi bungkus Republika,“ katanya singkat. Jengki masih belum paham, beberapa saat kemudian ia sadari, ternyata puisi Jengki baru saja dimuat koran Republika. Mendengar kisah unik Umbu mengapresiasi karya anak muda, sungguh sederhana, namun membekas.

Cerita Jengki tak sampai di situ, ia masih menebar kisah kemisteriusan Umbu. Menurut kawan-kawan memang Umbu sulit ditemui, termasuk Emha Ainun Nadjib mengalaminya. Kata Jengki, pernah kawannya di Denpasar ingin tahu di mana sebetulnya domisili Umbu? Kawan itu menguntit gerak-gerik Umbu yang paling sering membawa tas plastik kresek warna hitam. Kawan yang menguntit Umbu itu kehilangan jejak, entah bagaimana di pertigaan jalan Umbu sudah menghilang.

Murid-murid Umbu di Denpasar tahu, kalau sang begawan puisi itu hanya sekali setiap Sabtu malam ke dapur Bali Post, untuk menetaskan puisi-puisi pada edisi Minggu koran Bali Post. Setelah ritual yang sudah dilakukan lebih dari 30 tahun itu usai, maka ia kembali ke persembunyiannya lagi. Buat penggemar puisi yang hendak bertemu dengan Umbu, sering harus sabar menunggu di kedai remang Bali Post Jalan Kepundung No: 67-A, Denpasar, sambil rela dikeroyok nyamuk ganas. Itu pun belum tentu bisa bertemu.

Masih menurut kawan-kawan di Bali, Umbu tak pernah mendatangi acara keramaian sastra. Jika ia datang pun cukup dari kejauhan, tak mau ia muncul secara visual kepada khalayak. Jengki meyakinkan, saat kawan-kawan mengadakan acara yang khusus dikemas untuk Umbu, awalnya Umbu bersedia hadir, namun kenyataannya ia tak muncul juga.

Mendengarkan cerita-cerita unik tentang sosok Umbu, semakin menebalkan keyakinanku, manusia ini sungguh langka. Di zaman setiap orang ingin mengaktualisasikan diri agar dikenal, Umbu rupanya memilih jalan sepi dan tak populer. Meskipun begitu, namanya sudah terlanjur melegenda dalam dunia perpuisian Indonesia. Sosok Umbu untukku masih tetap abstrak. Aku belum pernah bertemu dengannya. Inginnya sih bertemu, namun mendengar barier-barier yang ada, niat itu menjadi tumbang.

Suatu sore aku berkunjung ke teman perempuan Jerman, Ibu Gita Tumbelaka di daerah Sidakarya, Denpasar. Seorang pemuda jangkung berkulit gelap asal Sumba mengeluarkan teh panas. Lelaki itu aku tanya, sekiranya tahu Umbu? Ia duduk dan bercerita, Umbu di Sumba sangat dihormati, selain termasuk dari keluarga bangsawan. Bahkan menurutnya, pernah anak lelaki Umbu menyusulnya ke Denpasar, namun Umbu hanya menemui sebentar.

Setahun berlalu, pada tahun 2005, aku punya buku catatan perjalanan Menyusuri Lorong-Lorong Dunia. Bukuku itu aku titipkan ke satpam Bali Post, untuk diberikan kepada Umbu. Tradisi itu beruntun, hingga tahun 2008 terbit bukuku jilid 2, tahun 2012 terbit lagi jilid 3 juga selalu kutitipkan satpam Bali Post, untuk sang guru Umbu.

Suatu malam, aku sedang di sebuah kafe di Denpasar dengan dua rekan, Puthut EA dan Eko Suwardono. Telepon genggamku bertalu, ternyata Jengki menelepon, mengajak bergabung, karena ia dan kawan-kawan lain sedang ngobrol dengan Umbu. Ajakan Jengki tak bisa kupenuhi, kami juga sedang merayakan kenangan kecil di tengah malam.

Waktu terus bergulir, senapas dengan minatku belajar sastra, nama Umbu sering terdengar lagi. Kadang muncul deras, kadang enyah terkubur kehidupan yang rakus. Lagi-lagi lewat Jengki, aku dikenalkan dengan Rara Gendis. Rara bilang kepadaku, saat bertemu Umbu di kantor redaktur Bali Post, Umbu sempat menanyakan kabarnya Tardji. Seketika itu, Rara langsung menelepon Tardji. Setelah telepon genggam bersambung, ia operkan ke Umbu, maka terjadilah percakapan antara Umbu dan Tardji. Rara tidak memerinci tema apa yang dibicarakan dua pendekar puisi itu.

Pada tahun 2009 aku kedatangan Shiho Sawai, mahasiswi Jepang yang sedang kuliah S3 di UGM. Kawan-kawan di Yogya tahu, Shiho ini suka mendatangi sastrawan-sastrawan yang terpencil. Kedatangan Shiho di rumahku Batubulan itu juga salah satunya punya agenda menemui Umbu. Atas bantuan Warih Wisatsana, ia berhasil bertemu Umbu. Shiho melaporkan dengan memulai bahasa simbol, mengacungkan jempol kanan, “Hebat, hebat sekali Umbu, lho, Kang Sigit.“ Aku larut dalam kisahnya.

Pada tahun 2010 kawan-kawan di Komunitas Lereng Medini (KLM) di Boja, Kendal tempat aku berasal mengundang sastrawan F. Rahardi dalam sebuah acara Parade Obrolan Sastra (POS). Buat Mas Rahardi sebenarnya bisa dibilang pulang kampung, karena ia pernah menjadi guru SD di Limbangan, Boja. Lewat Mas Rahardi diberitahu, bahwa di kebun teh Medini yang letaknya di atapnya kota Boja, dulu ada penyair yang bekerja sebagai ketua afdeling, namanya Iman Budhi Santosa. Tahun berikutnya, 2011 kawan-kawan berhasil memboyong Mas Iman dari persembunyiannya di Yogya untuk dibawa napak tilas jejaknya di kebun teh Medini. Dari Mas Iman lah kami mulai banyak lagi dengar cerita tentang Umbu dan Persada Studi Klub (PSK). Jejak Mas Iman ke gunung teh Medini itu menjadi buku berjudul Merajut Sunyi, Membaca Nurani.

Pada hari Sabtu, 6 April 2013 aku berada di Bali dengan dipandu Jengki menuju kedai Bali Post pada pukul 22.00. Jengki ditemani Helmi, aku ditemani Bob Martokoesoemo. Harap-harap cemas, apakah Umbu bersedia menemui kami? Lewat bantuan satpam, Umbu ternyata turun tangga dari gedung dan bergabung dengan kami dan duduk di bangku kayu. Tak lama lagi Jengki seperti sudah tahu ritualnya, ia keluar mencari bir bintang. Malam merambat dari waktu ke waktu, Umbu benar-benar berada di depanku. Sosok yang berwibawa dan karismatik. Rambutnya panjang dengan topi dan syal melilit leher. Baju panjangnya biru. Penampilan sang empu sangat bersahaja. Ia merokok dan minum bir yang dituangkan pada gelas plastik kecil.

Entah bagaimana, aku tak memanggil Bang Umbu seperti Jengki atau kawan-kawan lain sebut, aku langsung panggil Umbu saja. Entah, apa karena aku baru tiba dari Swiss dua hari lalu, sehingga biasa sebut orang tua dengan panggilan langsung, tapi aku tidak merasa sungkan sebut Umbu saja. Aku yakin, Umbu bukan pendamba adat hirarki.

Ternyata Umbu tidak hanya bicara tentang puisi, ia bisa dengan nyaman bicara tentang Pilkada Bali, waktu itu, tentang Jokowi, tentang tema apa saja yang saat itu terlempar di tengah obrolan. Umbu saat itu menganjurkan menulis puisi yang prosais atau prosa yang puitis. Ia sedikit berkisah tentang perantauannya di Yogya. Ia akui beruntung menemukan surganya Yogya di tahun 70 -75-an. Kisah lain, selama dua kali ia indekos di Yogya pada keluarga yang menganut kepercayaan kejawen. Sampai di sini aku sangat tertarik, meskipun Umbu hidup di alam kejawen di Jawa dan Hinduistik  di Bali, tetap saja puisi tegak berdiri.

Menurutnya sejak dari Sumba, memang Yogya dielu-elukan sebagai tempat yang banyak berkumpul orang pintar. Kenyataannya benar. Sejak di SMA Bobkri Yogya, ia sudah gemar membaca buku sastra di perpustakaan, berkat saran dari kawan seindekos asal Riau. Ia sedikit saja menyinggung komunitas PSK. Ia memuji kecerdasan Emha Ainun Nadjib, dan puisi Mas Iman Budhi Santosa yang bagus. Ia kisahkan, kawannya di PSK, Pragola yang pemberani mengkritik pemerintah dan lantang, akhirnya dia hilang. Pada tema ini kawan-kawan yang sedang asyik makan cemilan kacang goreng dan minum bir, mengaitkan dengan hilangnya Widji Thukul.

Waktu tak terasa berjalan begitu cepat, sudah pukul 02.00, maka rombongan obrolan dengam Umbu beralih tempat untuk mengisi perut di warung padang, di jalan Hayam Wuruk. Di warung ini obrolan diperpanjang sampai pukul 04.00 dan usai mengantar Umbu ke Bali Post,  kami pulang ke tempat masing-masing.

Kesempatan kedua bertemu Umbu pada Sabtu malam, 4 Mei 2013. Lagi-lagi Jengki berperan seperti Beatrice, sang pemandu dalam puisi Dante The Divine Comedy. Kali ini sebelum aku datang di kedai Bali Post, sudah menunggu pemuda asal Medan berperawakan India bernama Selwa Kumar. Ia mengaku sudah tiga kali ke situ ingin bertemu Umbu, tapi tak berhasil. Jengki datang mengajak Helmi lagi, aku datang dengan Latto Moga Uchikawa, kawan asal Ambarawa. Tak berapa lama ada beberapa orang bergabung, seorang dari balai bahasa Denpasar dan dua muda-mudi dari SMA.

Umbu turun dari tangga gedung Bali Post, kami saling bersalaman. Ia cerita banyak hal, antara lain pernah mengaku main drama Hamlet, bersama ayah Rendra. Umbu menjadi Polonius. Rendra kala itu baru datang dari Amerika, menatap Umbu dari jarak dekat. Terkait Rendra yang sering mengirim puisi ke koran yang redakturnya Umbu di Yogya kala itu, Rendra tidak dapat honor. Umbu menirukan ucapan Rendra, “Mana honorku….Umbu?” Ia jawab, “Tidak ada uang, Mas.” Rendra, “Harus ada, masak tidak ada.” Umbu, “Benar, Mas sedang tidak ada uang.” Rendra, “Pokoknya nanti diantar, ya, harus ada itu honor.” Pada kesempatan lain Umbu ke rumah Rendra, tapi ia tidak membawa uang, melainkan membawa beberapa rokok, “Ini, Mas honornya,” kata Umbu. Rendra jawab, “Nah, begitu, nulis puisi harus dapat honor.” Kesan Umbu, bahwa sebenarnya Rendra itu sangat Jawani. Perilaku dan sifat Rendra Jawa sekali.

Umbu bilang kepada seorang dari balai bahasa, bahwa tulisannya masih ia simpan. Kemudian Umbu berbalik mengatakan kepadaku, “Kafka bagus sekali, tulisan Sigit yang difotokopi dulu juga masih aku simpan.“ Aku agak kaget, ternyata tulisanku tentang Kafka yang kuberikan Jengki dulu, sampai di tangan Umbu.

Menjelang pukul 02.00 lapar membakar perut, kami semua hengkang mencari warung padang yang menjadi langganan. Di warung itu obrolan dilanjutkan. Umbu akui sebenarnya ia suka di tiga tempat, Yogya, Bandung dan Bali. Sayang ia tak sempat mampir ke Bandung, walau ia akui dulu di Bandung banyak sastrawannya. Mendekati pukul 04.00 Jengki menyuruhku mengantar Umbu ke kedai Bali Post, “Sana Umbu kamu antar, biar merasakan memboncengkan empu.“

Dari pertemuan dengan Umbu selama dua kali berturut-turut, masing-masing selama enam jam itu, aku merasa mendapat tambahan amunisi bagaimana bersetia dengan puisi. Ada pesan yang tak terucap dari Umbu, ada dorongan yang tak menggebu, mengendap dalam ketenangan batin lewat sandi-sandi yang diwakili oleh mata, rambut, dan wajah. Saat dua kali bertemu itu aku tak menyerahkan puisi satu pun, memang aku jarang menulis puisi. Namun kawanku Bob dan Uchikawa menyerahkan dua lembar kertas puisi. Pada kesempatan sebelumnya penyair Tan Lioe Le di Denpasar, membocorkan kalau kirim puisi ke Umbu jangan sedikit, yang banyak sekalian. Pertimbangan Tan, jika orang nulis puisi beberapa buah langsung dimuat, kelak penulisnya akan cepat puas, tapi setelah itu malas, tidak berlatih lagi. Namun jika menulis dalam jumlah banyak, pasti ada proses panjang yang telah dilewati.

Nah, sejak aku bertemu Umbu itu, aku merasa semakin berani untuk mencoba menuliskan puisi, sambil mengingat-ingat wangsit Tan. Maka aku tulis puisi hampir setiap hari, semacam buku harian puisi. Tak terasa setiap bulan aku bisa mengumpulkan sekitar 20 puisi. Puisi-puisi itu aku kirim semua ke Umbu lewat pos. Beberapa bulan kemudian, di luar dugaanku, Jengki lewat chating di facebook mengabarkan,“Puisimu dimuat Umbu di Bali Post.“ Aku kaget bercampur haru, karena selama ini aku tidak pernah punya puisi yang dimuat media, ya selain jarang menulis puisi. Akhirnya aku tahu puisiku pertama yang dimuat oleh Umbu berjudul Pohon Bambu di Kamarku.

Kubayangkan ulang bagaimana caraku menulis puisi panjang yang tergolong prosa liris itu. Ah, aku hanya menuliskan angan-angan yang semi abstrak dan riil. Aku sengaja tidak memakai tanda baca koma ataupun titik. Aku nekat saja ingin mencoba mengusung cara James Joyce menutup novelnya Ulysses dengan monolog interior. Hitung-hitung aku sudah ketiga kalinya khatam baca Ulysses dalam kurun waktu 8 tahun.

Biasanya aku menulis puisi pada setiap bangun pagi menjelang berangkat kerja. Jika waktu itu tidak cukup, malamnya aku lanjutkan lagi. Entah, minat menulis puisi itu tak redup dalam berbagai jeda kehidupan. Beberapa kawan dekat yang aku beritahu dengan kegiatan baruku itu, mereka menyangka pasti perlu perenungan yang mendalam, tak mungkin bisa seproduktif itu. Aku kira biasa saja menulis, toh memori itu sudah bertumpuk bertahun-tahun. Kadang aku menulis puisi dari peristiwa yang terjadi kemarin sore, tadi malam bahkan yang sudah 30-40 tahun silam di belakangku. Biasanya makin jauh jaraknya makin abstrak dan remang pada isi maupun bahasanya. Beruntung, Jengki dan kawan-kawanku di Bali kadang mengabarkan, jika ada puisiku dimuat di Bali Post edisi Minggu. Sampai saat aku menulis puisi, sekitar 17 puisiku dimuat oleh Umbu dalam setahun.

Pada akhirnya aku percaya wangsit Pablo Neruda menjelang kematiannya, “Aku selalu mengerjakan hal yang sama. Aku tak pernah akan berhenti melakukan hal itu, menulis puisi. Menulis bagiku seperti pekerjaan tukang sepatu, yang tidak makin baik atau makin buruk.”

Zug: April 2014.
(Kediaman Sigit Susanto di Bebengan, Boja, Kendal, Jawa Tengah).
Dua Foto Persada Studi Klub (PSK) Yogyakarta (dari fb Nurel Javissyarqi).
http://sastra-indonesia.com/2020/04/umbu-landu-paranggi-di-depanku/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest