Sigit Susanto
Aku coba mengingat-ingat, kapan tepatnya telingaku pertama kali mendengar nama Umbu. Kalau tak salah sekitar tahun 2002, ketika aku mengikuti berbagai mailing list sastra di internet. Nama itu buatku saat itu termasuk unik, pasti bukan orang Jawa, karena di Jawa lebih populer Bumbu atau Bambu.
Nama Umbu semakin santer kudengar, ketika tahun 2004, Wayan Jengki Sunarta dan Riki Dhamparan Putra menginap di rumahku di Batubulan, Bali. Kebetulan aku datang dari Jawa dengan Puthut EA dan Nurul Khawari. Jengki banyak cerita seputar komunitas Kedai Kopi di Denpasar yang sering didatangi Umbu. Jengki cerita, cara Umbu memotivasi asuhannya. Salah satunya menimpa diri Jengki sendiri. Suatu hari Umbu datang memberi nasi bungkus kepada Jengki. “Ini nasi bungkus Republika,“ katanya singkat. Jengki masih belum paham, beberapa saat kemudian ia sadari, ternyata puisi Jengki baru saja dimuat koran Republika. Mendengar kisah unik Umbu mengapresiasi karya anak muda, sungguh sederhana, namun membekas.
Cerita Jengki tak sampai di situ, ia masih menebar kisah kemisteriusan Umbu. Menurut kawan-kawan memang Umbu sulit ditemui, termasuk Emha Ainun Nadjib mengalaminya. Kata Jengki, pernah kawannya di Denpasar ingin tahu di mana sebetulnya domisili Umbu? Kawan itu menguntit gerak-gerik Umbu yang paling sering membawa tas plastik kresek warna hitam. Kawan yang menguntit Umbu itu kehilangan jejak, entah bagaimana di pertigaan jalan Umbu sudah menghilang.
Murid-murid Umbu di Denpasar tahu, kalau sang begawan puisi itu hanya sekali setiap Sabtu malam ke dapur Bali Post, untuk menetaskan puisi-puisi pada edisi Minggu koran Bali Post. Setelah ritual yang sudah dilakukan lebih dari 30 tahun itu usai, maka ia kembali ke persembunyiannya lagi. Buat penggemar puisi yang hendak bertemu dengan Umbu, sering harus sabar menunggu di kedai remang Bali Post Jalan Kepundung No: 67-A, Denpasar, sambil rela dikeroyok nyamuk ganas. Itu pun belum tentu bisa bertemu.
Masih menurut kawan-kawan di Bali, Umbu tak pernah mendatangi acara keramaian sastra. Jika ia datang pun cukup dari kejauhan, tak mau ia muncul secara visual kepada khalayak. Jengki meyakinkan, saat kawan-kawan mengadakan acara yang khusus dikemas untuk Umbu, awalnya Umbu bersedia hadir, namun kenyataannya ia tak muncul juga.
Mendengarkan cerita-cerita unik tentang sosok Umbu, semakin menebalkan keyakinanku, manusia ini sungguh langka. Di zaman setiap orang ingin mengaktualisasikan diri agar dikenal, Umbu rupanya memilih jalan sepi dan tak populer. Meskipun begitu, namanya sudah terlanjur melegenda dalam dunia perpuisian Indonesia. Sosok Umbu untukku masih tetap abstrak. Aku belum pernah bertemu dengannya. Inginnya sih bertemu, namun mendengar barier-barier yang ada, niat itu menjadi tumbang.
Suatu sore aku berkunjung ke teman perempuan Jerman, Ibu Gita Tumbelaka di daerah Sidakarya, Denpasar. Seorang pemuda jangkung berkulit gelap asal Sumba mengeluarkan teh panas. Lelaki itu aku tanya, sekiranya tahu Umbu? Ia duduk dan bercerita, Umbu di Sumba sangat dihormati, selain termasuk dari keluarga bangsawan. Bahkan menurutnya, pernah anak lelaki Umbu menyusulnya ke Denpasar, namun Umbu hanya menemui sebentar.
Setahun berlalu, pada tahun 2005, aku punya buku catatan perjalanan Menyusuri Lorong-Lorong Dunia. Bukuku itu aku titipkan ke satpam Bali Post, untuk diberikan kepada Umbu. Tradisi itu beruntun, hingga tahun 2008 terbit bukuku jilid 2, tahun 2012 terbit lagi jilid 3 juga selalu kutitipkan satpam Bali Post, untuk sang guru Umbu.
Suatu malam, aku sedang di sebuah kafe di Denpasar dengan dua rekan, Puthut EA dan Eko Suwardono. Telepon genggamku bertalu, ternyata Jengki menelepon, mengajak bergabung, karena ia dan kawan-kawan lain sedang ngobrol dengan Umbu. Ajakan Jengki tak bisa kupenuhi, kami juga sedang merayakan kenangan kecil di tengah malam.
Waktu terus bergulir, senapas dengan minatku belajar sastra, nama Umbu sering terdengar lagi. Kadang muncul deras, kadang enyah terkubur kehidupan yang rakus. Lagi-lagi lewat Jengki, aku dikenalkan dengan Rara Gendis. Rara bilang kepadaku, saat bertemu Umbu di kantor redaktur Bali Post, Umbu sempat menanyakan kabarnya Tardji. Seketika itu, Rara langsung menelepon Tardji. Setelah telepon genggam bersambung, ia operkan ke Umbu, maka terjadilah percakapan antara Umbu dan Tardji. Rara tidak memerinci tema apa yang dibicarakan dua pendekar puisi itu.
Pada tahun 2009 aku kedatangan Shiho Sawai, mahasiswi Jepang yang sedang kuliah S3 di UGM. Kawan-kawan di Yogya tahu, Shiho ini suka mendatangi sastrawan-sastrawan yang terpencil. Kedatangan Shiho di rumahku Batubulan itu juga salah satunya punya agenda menemui Umbu. Atas bantuan Warih Wisatsana, ia berhasil bertemu Umbu. Shiho melaporkan dengan memulai bahasa simbol, mengacungkan jempol kanan, “Hebat, hebat sekali Umbu, lho, Kang Sigit.“ Aku larut dalam kisahnya.
Pada tahun 2010 kawan-kawan di Komunitas Lereng Medini (KLM) di Boja, Kendal tempat aku berasal mengundang sastrawan F. Rahardi dalam sebuah acara Parade Obrolan Sastra (POS). Buat Mas Rahardi sebenarnya bisa dibilang pulang kampung, karena ia pernah menjadi guru SD di Limbangan, Boja. Lewat Mas Rahardi diberitahu, bahwa di kebun teh Medini yang letaknya di atapnya kota Boja, dulu ada penyair yang bekerja sebagai ketua afdeling, namanya Iman Budhi Santosa. Tahun berikutnya, 2011 kawan-kawan berhasil memboyong Mas Iman dari persembunyiannya di Yogya untuk dibawa napak tilas jejaknya di kebun teh Medini. Dari Mas Iman lah kami mulai banyak lagi dengar cerita tentang Umbu dan Persada Studi Klub (PSK). Jejak Mas Iman ke gunung teh Medini itu menjadi buku berjudul Merajut Sunyi, Membaca Nurani.
Pada hari Sabtu, 6 April 2013 aku berada di Bali dengan dipandu Jengki menuju kedai Bali Post pada pukul 22.00. Jengki ditemani Helmi, aku ditemani Bob Martokoesoemo. Harap-harap cemas, apakah Umbu bersedia menemui kami? Lewat bantuan satpam, Umbu ternyata turun tangga dari gedung dan bergabung dengan kami dan duduk di bangku kayu. Tak lama lagi Jengki seperti sudah tahu ritualnya, ia keluar mencari bir bintang. Malam merambat dari waktu ke waktu, Umbu benar-benar berada di depanku. Sosok yang berwibawa dan karismatik. Rambutnya panjang dengan topi dan syal melilit leher. Baju panjangnya biru. Penampilan sang empu sangat bersahaja. Ia merokok dan minum bir yang dituangkan pada gelas plastik kecil.
Entah bagaimana, aku tak memanggil Bang Umbu seperti Jengki atau kawan-kawan lain sebut, aku langsung panggil Umbu saja. Entah, apa karena aku baru tiba dari Swiss dua hari lalu, sehingga biasa sebut orang tua dengan panggilan langsung, tapi aku tidak merasa sungkan sebut Umbu saja. Aku yakin, Umbu bukan pendamba adat hirarki.
Ternyata Umbu tidak hanya bicara tentang puisi, ia bisa dengan nyaman bicara tentang Pilkada Bali, waktu itu, tentang Jokowi, tentang tema apa saja yang saat itu terlempar di tengah obrolan. Umbu saat itu menganjurkan menulis puisi yang prosais atau prosa yang puitis. Ia sedikit berkisah tentang perantauannya di Yogya. Ia akui beruntung menemukan surganya Yogya di tahun 70 -75-an. Kisah lain, selama dua kali ia indekos di Yogya pada keluarga yang menganut kepercayaan kejawen. Sampai di sini aku sangat tertarik, meskipun Umbu hidup di alam kejawen di Jawa dan Hinduistik di Bali, tetap saja puisi tegak berdiri.
Menurutnya sejak dari Sumba, memang Yogya dielu-elukan sebagai tempat yang banyak berkumpul orang pintar. Kenyataannya benar. Sejak di SMA Bobkri Yogya, ia sudah gemar membaca buku sastra di perpustakaan, berkat saran dari kawan seindekos asal Riau. Ia sedikit saja menyinggung komunitas PSK. Ia memuji kecerdasan Emha Ainun Nadjib, dan puisi Mas Iman Budhi Santosa yang bagus. Ia kisahkan, kawannya di PSK, Pragola yang pemberani mengkritik pemerintah dan lantang, akhirnya dia hilang. Pada tema ini kawan-kawan yang sedang asyik makan cemilan kacang goreng dan minum bir, mengaitkan dengan hilangnya Widji Thukul.
Waktu tak terasa berjalan begitu cepat, sudah pukul 02.00, maka rombongan obrolan dengam Umbu beralih tempat untuk mengisi perut di warung padang, di jalan Hayam Wuruk. Di warung ini obrolan diperpanjang sampai pukul 04.00 dan usai mengantar Umbu ke Bali Post, kami pulang ke tempat masing-masing.
Kesempatan kedua bertemu Umbu pada Sabtu malam, 4 Mei 2013. Lagi-lagi Jengki berperan seperti Beatrice, sang pemandu dalam puisi Dante The Divine Comedy. Kali ini sebelum aku datang di kedai Bali Post, sudah menunggu pemuda asal Medan berperawakan India bernama Selwa Kumar. Ia mengaku sudah tiga kali ke situ ingin bertemu Umbu, tapi tak berhasil. Jengki datang mengajak Helmi lagi, aku datang dengan Latto Moga Uchikawa, kawan asal Ambarawa. Tak berapa lama ada beberapa orang bergabung, seorang dari balai bahasa Denpasar dan dua muda-mudi dari SMA.
Umbu turun dari tangga gedung Bali Post, kami saling bersalaman. Ia cerita banyak hal, antara lain pernah mengaku main drama Hamlet, bersama ayah Rendra. Umbu menjadi Polonius. Rendra kala itu baru datang dari Amerika, menatap Umbu dari jarak dekat. Terkait Rendra yang sering mengirim puisi ke koran yang redakturnya Umbu di Yogya kala itu, Rendra tidak dapat honor. Umbu menirukan ucapan Rendra, “Mana honorku….Umbu?” Ia jawab, “Tidak ada uang, Mas.” Rendra, “Harus ada, masak tidak ada.” Umbu, “Benar, Mas sedang tidak ada uang.” Rendra, “Pokoknya nanti diantar, ya, harus ada itu honor.” Pada kesempatan lain Umbu ke rumah Rendra, tapi ia tidak membawa uang, melainkan membawa beberapa rokok, “Ini, Mas honornya,” kata Umbu. Rendra jawab, “Nah, begitu, nulis puisi harus dapat honor.” Kesan Umbu, bahwa sebenarnya Rendra itu sangat Jawani. Perilaku dan sifat Rendra Jawa sekali.
Umbu bilang kepada seorang dari balai bahasa, bahwa tulisannya masih ia simpan. Kemudian Umbu berbalik mengatakan kepadaku, “Kafka bagus sekali, tulisan Sigit yang difotokopi dulu juga masih aku simpan.“ Aku agak kaget, ternyata tulisanku tentang Kafka yang kuberikan Jengki dulu, sampai di tangan Umbu.
Menjelang pukul 02.00 lapar membakar perut, kami semua hengkang mencari warung padang yang menjadi langganan. Di warung itu obrolan dilanjutkan. Umbu akui sebenarnya ia suka di tiga tempat, Yogya, Bandung dan Bali. Sayang ia tak sempat mampir ke Bandung, walau ia akui dulu di Bandung banyak sastrawannya. Mendekati pukul 04.00 Jengki menyuruhku mengantar Umbu ke kedai Bali Post, “Sana Umbu kamu antar, biar merasakan memboncengkan empu.“
Dari pertemuan dengan Umbu selama dua kali berturut-turut, masing-masing selama enam jam itu, aku merasa mendapat tambahan amunisi bagaimana bersetia dengan puisi. Ada pesan yang tak terucap dari Umbu, ada dorongan yang tak menggebu, mengendap dalam ketenangan batin lewat sandi-sandi yang diwakili oleh mata, rambut, dan wajah. Saat dua kali bertemu itu aku tak menyerahkan puisi satu pun, memang aku jarang menulis puisi. Namun kawanku Bob dan Uchikawa menyerahkan dua lembar kertas puisi. Pada kesempatan sebelumnya penyair Tan Lioe Le di Denpasar, membocorkan kalau kirim puisi ke Umbu jangan sedikit, yang banyak sekalian. Pertimbangan Tan, jika orang nulis puisi beberapa buah langsung dimuat, kelak penulisnya akan cepat puas, tapi setelah itu malas, tidak berlatih lagi. Namun jika menulis dalam jumlah banyak, pasti ada proses panjang yang telah dilewati.
Nah, sejak aku bertemu Umbu itu, aku merasa semakin berani untuk mencoba menuliskan puisi, sambil mengingat-ingat wangsit Tan. Maka aku tulis puisi hampir setiap hari, semacam buku harian puisi. Tak terasa setiap bulan aku bisa mengumpulkan sekitar 20 puisi. Puisi-puisi itu aku kirim semua ke Umbu lewat pos. Beberapa bulan kemudian, di luar dugaanku, Jengki lewat chating di facebook mengabarkan,“Puisimu dimuat Umbu di Bali Post.“ Aku kaget bercampur haru, karena selama ini aku tidak pernah punya puisi yang dimuat media, ya selain jarang menulis puisi. Akhirnya aku tahu puisiku pertama yang dimuat oleh Umbu berjudul Pohon Bambu di Kamarku.
Kubayangkan ulang bagaimana caraku menulis puisi panjang yang tergolong prosa liris itu. Ah, aku hanya menuliskan angan-angan yang semi abstrak dan riil. Aku sengaja tidak memakai tanda baca koma ataupun titik. Aku nekat saja ingin mencoba mengusung cara James Joyce menutup novelnya Ulysses dengan monolog interior. Hitung-hitung aku sudah ketiga kalinya khatam baca Ulysses dalam kurun waktu 8 tahun.
Biasanya aku menulis puisi pada setiap bangun pagi menjelang berangkat kerja. Jika waktu itu tidak cukup, malamnya aku lanjutkan lagi. Entah, minat menulis puisi itu tak redup dalam berbagai jeda kehidupan. Beberapa kawan dekat yang aku beritahu dengan kegiatan baruku itu, mereka menyangka pasti perlu perenungan yang mendalam, tak mungkin bisa seproduktif itu. Aku kira biasa saja menulis, toh memori itu sudah bertumpuk bertahun-tahun. Kadang aku menulis puisi dari peristiwa yang terjadi kemarin sore, tadi malam bahkan yang sudah 30-40 tahun silam di belakangku. Biasanya makin jauh jaraknya makin abstrak dan remang pada isi maupun bahasanya. Beruntung, Jengki dan kawan-kawanku di Bali kadang mengabarkan, jika ada puisiku dimuat di Bali Post edisi Minggu. Sampai saat aku menulis puisi, sekitar 17 puisiku dimuat oleh Umbu dalam setahun.
Pada akhirnya aku percaya wangsit Pablo Neruda menjelang kematiannya, “Aku selalu mengerjakan hal yang sama. Aku tak pernah akan berhenti melakukan hal itu, menulis puisi. Menulis bagiku seperti pekerjaan tukang sepatu, yang tidak makin baik atau makin buruk.”
Zug: April 2014.
(Kediaman Sigit Susanto di Bebengan, Boja, Kendal, Jawa Tengah).
Dua Foto Persada Studi Klub (PSK) Yogyakarta (dari fb Nurel Javissyarqi).
http://sastra-indonesia.com/2020/04/umbu-landu-paranggi-di-depanku/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest






Tidak ada komentar:
Posting Komentar