KETIKA hendak merayakan terbitnya buku ini,
sayup-sayup saya berusaha mengingat kembali suara penyair Anwar dalam orasinya
yang terkenal itu. Saya memanggil suara itu atas nama suatu cerita: “Sebuah
cerita yang menjadi adalah sebuah dunia.”
Bukan saja karena setiap lahirnya buku—seperti
halnya sajak atau cerita—musti dirayakan sebagai karnaval keragaman suara
(bahasa, tanda, wacana) melainkan juga lantaran buku ini adalah karya cipta,
ciptaan.
Juga karena saya membutuhkan semacam iktiar
menempatkan karya cipta cerita dalam buku ini benar-benar sebagaimana cerita
dan bukan berita. Suatu realitas dan bukan aktualitas. Suatu cerita yang dilahirkan
sebagai saudara kandung sajak, dan mungkin saudara tiri dari berita.
Sebuah cerita yang menjadi adalah sebuah dunia.
Dunia yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si pencerita, dibentuk dari
materi, rohani, keadaan alam dan penghidupan sekelilingnya serta tetek mbengek
jiwa dan segala daya kreativitas menjadi suatu dunia baru yang utuh. Dengan
kata lain, dunia ciptaan—suatu cerita—yang tidak pernah selesai dibaca. Atau
tepatnya suatu dunia yang menolak untuk diselesaikannya. Oleh karena suatu
cerita adalah medium yang memang ditakdirkan sebagai tempat berlabuhnya segala
kerinduan pembaca pada apa saja.
Pendeknya, sebagai suatu cerita buku ini berpusar
pada perihal kerinduan-kerinduan. Pertanyaan yang musti dijawab, atau
setidaknya direnungkan pembaca adalah kerinduan terhadap apa? Nah, dalam
konteks ini saya menduga pengantar ini tidak menjadi hal yang penting. Jika pun
penting, saya kira oleh karena sebagai pembaca pun saya tak henti mencari,
menemukan, dan merenungi kerinduan yang sama atas nama diri saya sendiri.
Memang, salah satu simpul pencarian saya adalah
betapa sebanyak 38 cerita dalam buku ini memperlihatkan kesungguhan pencerita
dalam menciptakan realitas dan bukanlah sekadar menampilkan aktualitas belaka.
Betapa pencerita adalah dia yang memahami dan menggambarkan suatu pengalaman
individual sembari melestarikan keunikan dan kehidupannya. Betapa pencerita
buku ini tidak merusak atau melumpuhkan pengalaman kemanusiaannya, melainkan
mempercantiknya, mengindahkannya.
Kerinduan-kerinduan yang diterbitkan pencerita dalam
buku ini terhampar baik diurai secara sederhana maupun dalam kompleksitasnya.
Barangkali kesederhanaan itu terwakili sebagai cerita mini. Namun, tentu
sebagai semacam karnaval, bilamana semakin kompleks, semakin pelik, rumit dan
berbelit bisa menjadi daya tarik yang memukau.
Sebagian besar kerinduan itu jalin kelindan dengan
persoalan cinta, keluarga, emansipasi. Menyebut beberapa saja, ada soal
perdukunan dalam keluarga, pilihan hidup di dunia seni, perihal kenangan,
cemburu, laki-laki yang operasi kelamin jadi perempuan, kepelikan memilih suami
diantara dua orang lelaki, Lelaki yang ingin terkenal dengan memanfaatkan media
sosial, lelaki yang ditolak cintanya dan lain sebagainya.
Menariknya, cerita mini tak lantas membuat pencerita
sepenuhnya bersetuju dengan tujuan cerita—atau cerita yang bertujuan.
Katakanlah, semisal nasihat, dakwah, perintah, terlebih dogma dan sejenisnya.
Sebaliknya, kelucuan, kenakalan, kejutan bisa malah diketengahkan pencerita
dari balik kesederhanaan peristiwa, bahasa, maupun pengalaman estetik
pencerita. Saya sendiri sangat terkesan dengan kompleksitas yang memukau; kisah
tentang kehidupan para penari, dalam cerita Penari-Penari. Perihal percintaan,
keluarga, masa lalu, dan juga termasuk perilaku lesbian.
Sampai di sini saya ingin katakan, bahwa tutur
kalimat saya boleh jadi tidak penting. Sebaliknya, buku inilah yang penting.
Penting keberadaannya. Penting dibaca. Penting dikaji. Oleh karena setiap
cerita bagi pencerita yang bersungguh-sungguh menciptakan dunianya—bahwa cerita
yang menjadi adalah sebuah dunia—tak lain menampilkan kejujuran-kejujuran dalam
proses penciptaannya.
Proses penciptaan adalah pencarian, pertemuan,
penemuan serta kematangannya dalam berbahasa di dunia barunya tersebut.
Kejujurannya, kesungguhannya, ketenangannya dalam mencipta boleh dikata adalah
nyawa pencerita. Ambisi, emosi, tujuan praktis bukanlah darah pencerita. Karena bukankah proses yang tidak bernafsu
untuk mencapai tujuan tertentu secara emosional dalam penulisan sastra adalah
yang tertinggi dalam bersastra?
Buku ini membuat saya menyadari kembali, atau
semacam refleksi bahwa dunia baru ciptaan pencerita adalah citra pikiran
penulisnya. Baik citraan dari pikiran yang pasif maupun yang aktif. Baik
pemikiran-pemikiran pencerita yang merefleksikan dunia luar dari cerita-ceritanya,
maupun pemikiran yang benar-benar baru yang memancarkan cahaya penulisnya
sendiri.
Pada saat saya merefleksikan hal demikian, dalam
benak saya terlintas dengan apa yang pernah ditulis oleh pengarang Budi Darma.
Katanya, sebetulnya menulis merupakan ujicoba setiap penulis terhadap
kepribadiannya sendiri, yang hakikatnya suatu percakapan dengan dirinya
sendiri. Bagi saya kalimat ini bukanlah suatu jalan untuk menemukan jawaban.
Melainkan, melalui membaca buku ini pada satu sisi saya merasa semakin mengenal
penulisnya. Namun pada sisi lain, justru saya makin sulit menjangkau alam
pikiran, misi maupun visinya sebagai pencipta suatu dunia yang baru ini.[]
Tabik
*) Pengantar Buku Kumpulan Cerita Mini “Lelaki
Pemetik Embun” Karya Iva Titin Shovia.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar