Eko Windarto
Membaca puisi Rindu Indra Intisa, seperti merasa berada dalam kenangan diwaktu mengajak anakku melempar kapal dari kertas bekas yang saya buatkan, ketika itu Si Kecil melempar kapal kertas itu ke sungai, maklum rumah kami di atas tebing sungai Brantas, hingga kapal itu hanyut, dan hilang dari pandangan mata. Seperti saya yang sedang menyelami puisi Rindu.
Saya terhanyut oleh rindu yang terantuk batu kali, atau hancur sebelum sampai muara? Entahlah. Mari kita nikmati puisi RINDU di bawah ini:
RINDU
Indra Intisa
kautulis rindu di riak-riak sungai
di antara gemercik air
batu-batu runcing dan pusaran
mengalir terus menerus.
jika hujan, riakmu membesar
bibir sungai pecah-pecah
kau meluap ke rumah-rumah
ke jalanan
ke sawah-sawah.
jika kemarau, riakmu mengecil
airmu jernih
ikan-ikan memutih
2017
Indra Intisa rupanya menyimpan rindu yg begitu panjang. Sampai sampai tak bisa kutebak rindunya. Kadang rindu itu membahayakan, kadang mengasyikan. Tapi aku gagal mengerti jarak tempuh rindu itu. Rindu yg meliuk-liuk.
Rindu adalah rasa yang tak bisa dipungkiri. Sebab rindu itu adalah perasaan kebatinan setiap orang. Tinggal bagaimana mengolah rindu yang tidak beriak di atas batu-batu hitam legam, maupun bisa tenggelam tersedot pusaran air.
Jika sang penulis Indra Intisa, pasti rindunya adalah rindu yang tawaduk alias mempunyai sajadah tempat rindu bersujud. Jika tersedak dan terantuk batu runcing, baru rindu diisi rindu Sang Rindu Yang Paling Maha Rindu.
Terus terang, saya belum bisa menangkap puisi Rindu Indra Intisa secara utuh, karena yang mengetahui rindu paling utuh hanya Indra Intisa dengan Yang Maha Rindu saja. Amin.
Batu. 3062017
https://www.kompasiana.com/agungp/5c0ff64cab12ae2ff5285318/menyelami-rindu-indra-intisa
Membaca puisi Rindu Indra Intisa, seperti merasa berada dalam kenangan diwaktu mengajak anakku melempar kapal dari kertas bekas yang saya buatkan, ketika itu Si Kecil melempar kapal kertas itu ke sungai, maklum rumah kami di atas tebing sungai Brantas, hingga kapal itu hanyut, dan hilang dari pandangan mata. Seperti saya yang sedang menyelami puisi Rindu.
Saya terhanyut oleh rindu yang terantuk batu kali, atau hancur sebelum sampai muara? Entahlah. Mari kita nikmati puisi RINDU di bawah ini:
RINDU
Indra Intisa
kautulis rindu di riak-riak sungai
di antara gemercik air
batu-batu runcing dan pusaran
mengalir terus menerus.
jika hujan, riakmu membesar
bibir sungai pecah-pecah
kau meluap ke rumah-rumah
ke jalanan
ke sawah-sawah.
jika kemarau, riakmu mengecil
airmu jernih
ikan-ikan memutih
2017
Indra Intisa rupanya menyimpan rindu yg begitu panjang. Sampai sampai tak bisa kutebak rindunya. Kadang rindu itu membahayakan, kadang mengasyikan. Tapi aku gagal mengerti jarak tempuh rindu itu. Rindu yg meliuk-liuk.
Rindu adalah rasa yang tak bisa dipungkiri. Sebab rindu itu adalah perasaan kebatinan setiap orang. Tinggal bagaimana mengolah rindu yang tidak beriak di atas batu-batu hitam legam, maupun bisa tenggelam tersedot pusaran air.
Jika sang penulis Indra Intisa, pasti rindunya adalah rindu yang tawaduk alias mempunyai sajadah tempat rindu bersujud. Jika tersedak dan terantuk batu runcing, baru rindu diisi rindu Sang Rindu Yang Paling Maha Rindu.
Terus terang, saya belum bisa menangkap puisi Rindu Indra Intisa secara utuh, karena yang mengetahui rindu paling utuh hanya Indra Intisa dengan Yang Maha Rindu saja. Amin.
Batu. 3062017
https://www.kompasiana.com/agungp/5c0ff64cab12ae2ff5285318/menyelami-rindu-indra-intisa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar