Sabtu, 22 September 2012

Melawan Dehumanisasi Sastra Sutardjian

Hasnan Bachtiar *
http://sastra-indonesia.com/

“Kritik sastra…mencerminkan bukan saja kematangan estetik kita, tetapi juga kejelasan intelektual, kesungguhan moral yang sekaligus mentakrif kemanusiaan kita.” (Azhar Ibrahim Alwee)

SUATU artikulasi estetis yang dituangkan dalam karya sastra bukanlah kata-kata tanpa mutu, karena selalu memiliki kualitas-kualitas makna. Makna hidup, makna dunia, dan makna-makna yang terlahir dari nurani penciptanya. Namun yang jarang disadari adalah, sebagai goresan pena penyair, bahwa syair-syair (termasuk kritik sastra) merupakan ungkapan intelektual. Bila demikian, kata kunci intelektual akan membawa kita kepada dua hal: yang pertama adalah bagaimana konstruksi sosial di balik teks, sedangkan yang kedua adalah untuk tujuan apakah teks tersebut ditulis. Dalam konteks ini, Nurel Javissyarqi yang memperkarakan sastrawan terkemuka Sutardji Calzoum Bachri dan kritikus sastra Ignas Kleden, menarik untuk diapresiasi.

Bila dahulu kita mengenal istilah “Paus Sastra” yang ternisbat kepada nama H.B. Jassin, dalam dunia sastra Indonesia kini, terbit “Presiden Penyair” yang tertuju pada Sutardji. Penobatan Sutardji sebagai presiden, mendapat dukungan intelektual secara mantap oleh Kleden. Anugerah megah ini, tentu lebih prestisius dibanding dengan gelar-gelar akademik semacam doktor kehormatan (honoris causa) dari universitas. Sebagai gelar kultural yang dianggap mendapatkan konsensus sekaligus legitimasi publik, maka tidak jarang masih menyisakan pertanyaan, pengujian lebih lanjut dan tantangan dari pelbagai jalan. Persoalan “otoritas” inilah yang menjadi masalah utama dalam perkara yang diajukan oleh Nurel.

Paling tidak, soal otoritas yang digugat ini memiliki lima poin penting yang akan dibicarakan dalam tulisan ini. Pertama, sandangan gelar “Presiden Penyair” bukan menunjukkan absolutisme, namun sekedar pengakuan (psikologis) oleh beberapa pihak yang setuju untuk mengangkat derajat Sutardji; Kedua, diamnya suara-suara kritis menunjukkan betapa kuatnya diskursus Sutardjian dan boleh jadi membentuk dogma tertentu; Ketiga, pengakuan terhadap suatu hal yang dianggap tinggi dan penting tanpa pengungkapan kritisisme menunjukkan adanya kejanggalan dalam khazanah kepenyairan dan sastra Indonesia kini; Keempat, pemberian gelar tanpa koreksi ilmiah, namun lebih menitikberatkan pada soal kepantasan, kerabat, pertemanan atau nepotisme, berarti merupakan korupsi sejak dalam pikiran; Kelima, konstruksi dekonstruksionisme-popular yang dijadikan fundamen suatu mazhab sastra, merupakan hal yang “aneh”, mengingat kompleksitas kondisi sosial (kemanusiaan) yang dialami oleh kebanyakan rakyat miskin negeri ini.

Pertama, “Presiden Sastra” yang kultural ini boleh digugat oleh siapapun, bila memiliki alasan-alasan yang sekiranya rasional dan masuk akal. Dengan demikian, berarti absolutisme tidak pernah ada. Betapapun masyarakat sastra tidak pernah menyebut istilah absolut, namun tidak adanya suara lain yang muncul untuk mencoba menguji kualitas ilmiah sastra tersebut, berarti menunjukkan betapa anggapan absolut telah mengendap di dalam alam bawah sadar dan menunjukkan betapa kritisisme telah tumbang termakan oleh trend, tersilap oleh semarak bungkus yang mewah dan melenakan. Adanya yang absolut bukan berarti karena yang relatif telah diasumsikan terlebih dahulu, atau keduanya saling mengisi. Dalam perbincangan filsafat kontemporer pun, persoalan ini tidak terselesaikan. Bukan hal ini yang menjadi soal penting untuk kita bahas, namun menganggap gelar kultural sebagai pengakuan yang taken for granted, kiranya lebih baik untuk dipikirkan ulang. Semua sastrawan memiliki sisi kemanusiaan yang wajar, setimbang, sederajat dan dengan demikian tidak perlu secara natural menumbuhkembangkan benih-benih feodalitas dalam khazanah ini.

Kedua, tanpa disadari “masyarakat bisu” telah hadir dalam pergumulan dan pergolakan sastra tersebut. Ini menunjukkan bahwa betapa kuat diskursus yang menguasai ruang publik. Jika demikian, dampak yang paling mungkin adalah terseret kepada arus popularisme dan bahkan popularisme narsistik, desublimasi represif dan dalam bahasa yang lebih jernih sebenarnya hal-hal itu adalah dogmatisme. Diagnosa psikoanalisa memberi kejelasan pada elemen-elemen alam bawah sadar bahwa sesungguhnya dogmatisme terhadap diskursus tertentu, sebagian sebagai ketidakberdayaan perlawanan, sementara sebagian yang lain adalah hukum moral yang menjelma secara natural, per se, otonom dan sesungguhnya itulah yang mengisi imajinasi, di samping sisi lain bahan-bahan imajiner dari yang faktual. Manusia sastra merasa “biasa saja” terhadap dogma Sutardjian atau melakukan pembelaan, keduanya sama-sama terpenjara oleh kekuasaan psikologis yang menumpulkan dimensi kritisisme. Dengan demikian, the silence community merupakan representasi yang paling tepat untuk menyebut diskursus – yang mestinya diteliti ulang ini – sebagai kekuasaan yang sangat besar, terlepas bahwa apakah hal itu berkualitas, berfungsi, baik, bermutu dan memiliki fondasi epistemologis yang kokoh.

Ketiga, pengakuan terhadap Sutardjian, namun alpa kritisisme menunjukkan adanya kejanggalan dalam khazanah kepenyairan dan sastra Indonesia kini. Artinya, ini persoalan politik. Di mana pun, perbincangan mengenai politik selalu dua arah: pusat dan pinggiran. Selalu ada yang dekat dengan kekuasaan, dan selalu ada yang dikuasai. Konteks di mana kontestasi susastra terjadi kini, menampakkan kejelasan bahwa berdirinya Sutardjian di hadapan publik berarti berdiri berdasarkan aktivitas politik sastra. Bukan sastra sebagai kewajiban moral, hukum alam dan hukum akal sehat untuk menjunjung humanisme sosial, tetapi sastra sebagai perangkat, komoditas, alat jual beli dan lain sebagainya. Meskipun Sutardji sendiri pernah mengungkapkan bahwa, “Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.” Pernyataan ini sangat janggal ketika terjadi kemenangan politik dan penaklukan sastra (dominasi), berarti kata-kata, puisi, prosa, kritik sastra yang ditulisnya hanyalah alat politik, sementara di lain pihak dinyatakan bahwa, “Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.” Ini membingungkan karena bebas dari apa? Adakah kata bebas dari permainan relasi kuasa? Sementara bila pengertian kata yang bebas berarti benar-benar bebas, akan memberi beban pembenaran bahwa dogma Sutardjian tidak memberikan kepedulian terhadap naturalitas hukum alam dan kemanusiaan. Menjadi pertanyaan di sini, hendak dibawa ke mana kontradiksi argument Sutardjian ini?

Keempat, pemberian gelar tanpa koreksi ilmiah, jelas merupakan nepotisme. Bila sudah demikian, tidak heran bila terjadi korupsi intelektual, atau dengan kata lain, korupsi sejak pada pertimbangan akal sehat. Penganut Sutardjian sebenarnya bukan tidak memiliki kehendak kritis untuk menunjukkan di mana kekuarang maupun kelebihan atas apa yang didukungnya. Semua manusia punya potensi bawaan untuk membekali dirinya dengan ketajaman mata genealogis. Kiranya sulit dibantah bila ada argumen bahwa nepotisme-lah penyebab alpa kritisisme ini. Membawa persoalan ini lebih mendasar kepada relung kemanusiaan, maka tengah terjadi “korupsi intelektual” yang tengah menjangkiti para pengiman dogma Sutardjian. Lolosnya popularitas “resmi” Sutardjian (Presiden Penyair) menunjukkan bahwa, betapa kecurangan demi kecurangan ditampilkan, dilakukan terus-menerus, menjadi tradisi dan gaya sastra yang seksi, namun tercela. Apakah tidak ada yang memahami bahwa korupsi intelektual ini menghianati hukum akal sehat dan hukum hati nurani? Ataukah barangkali bergelimang dosa yang bersenjatakan penipuan-penipuan dan kelincahan metodis lebih memuaskan hati mereka?

Kelima, konstruksi dekonstruksionisme-popular yang dijadikan fundamen suatu mazhab sastra, merupakan hal yang “aneh”, yang menginjak martabat realitas. Pelbagai kredo kebebasan tanpa batas, nihilisme dan kekosongan religious menjadi kunci-kunci hermeneutis yang menjadi simbol Sutardjian. Hal ini tidak akan dianggap aneh, jika seorang penyair tidak pula memiliki tanggungjawab intelektual. Dengan demikian, “bila tidak memiliki tanggungjawab sosial.” Karena hakikat intelektual bukanlah kera yang berpikir, namun kepedulian untuk mengangkat martabat sesamanya (humanisasi) yang sedang berkesusahan oleh pelbagai persoalan sosial. Menjadikan sastra berfundamen kebebasan tanpa batas (nihilisme) yang menopang mazhab dekonstruksionisme adalah hidup yang melanggar kodrat, yaitu kodratnya sebagai manusia yang eksistensial. Manusia yang semestinya memanusiakan dirinya dan manusia di sekitarnya, berbuat baik, membikin sastra berfungsi-sosial, artikulasi estetis untuk perjuangan perlawanan terhadap rezim kekuasaan politik yang korup, untuk dogma-dogma dan ideologi-ideologi yang membelenggu, serta berjuang untuk mengentaskan kemiskinan, sangat berbeda dengan sastra untuk sastra, sastra untuk hura-hura, kenikmatan religious individual, egoisme dan keengganan berlaku ma’ruf. Hukum alam yang benar, menata agar manusia hidup rukun, berdampingan dan makan bersama-sama, serta hidup dengan penuh cinta, memberikan petunjuk bahwa itulah hidup berdasarkan akal sehat dan hati nurani. Tentu saja hal ini sama sekali berbeda bila berhukum pada diri sendiri yang termangu dalam kekosongan yang hampa, tanpa ujung pangkal realitas yang mengemuka, kecuali hanya mimpi di dalam mimpi yang sedang dimimpikan.

Mempertimbangkan kelima persoalan di atas, maka tulisan-tulisan kritis Nurel ketika menelaah Kleden merupakan hal yang patut untuk dipikirkan secara serius. Tidak sembarang orang yang berani melawan dehumanisasi sastra Sutardjian. Hanya mereka yang memiliki ketajaman mata genealogis, kekuatan kritisisme, fundamen epistemologis yang kokoh dan keberanian untuk menantang otoritas, ideologi dan dogma-lah yang mampu melakukan humanisasi sastra, agar berfungsi sosial, agar berjalan selaras kodrat hukum alam, hukum hati nurani dan hukum akal sehat. Beberapa kali penulis secara khusus mencermati tulisan-tulisan Nurel penuh dengan konsistensi dan kedisiplinan untuk menimbang dan member catatan kritis atas dogmatisme sastra kontemporer dan adanya gejala-gejala sindrom kultus teori. Lebih dari itu semua, selaras dengan pendapat kritikus Azhar Ibrahim Alwee bahwa, “Kritik sastra…mencerminkan bukan saja kematangan estetik kita, tetapi juga kejelasan intelektual, kesungguhan moral yang sekaligus mentakrif kemanusiaan kita”. Segala ikhtiar kritis Nurel janganlah pernah dianggap sebagai aktivitas untuk memperkeruh persoalan dan berniat membuat kegaduhan. Kritik sastranya adalah upaya untuk menetralkan segala dominasi sastra dan kritik sastra, agar kebebasan dan kemanusiaan berjalan beriringan, dengan penuh pertimbangan yang masuk akal. []

*) Peneliti Filsafat di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM
Diambil dari: http://sastra-indonesia.com/2012/08/melawan-dehumanisasi-sastra-sutardjian/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest