Hasnan Bachtiar*
http://sastra-indonesia.com/
Sore lalu aku melihatnya tertunduk lesu, lelah tak bersemangat menikmati jalan hidup dengan penuh tanya. Aku mencoba membaca simbol-simbol gelisah dari mimik muka muram yang berteduh dalam senja. Menafsirkan pergumulan menjelang malam yang abu-abu, memang menampakkan keraguan dan tanya tentang sesuatu. Aku berusaha menerjemahkan prasangka. Kuingat Göethe melamun, Wie warën wir verloren? Ohn’ Lieb. Oh… aku betul-betul menyadarinya, bagaimana hidupku sungguh sia-sia? Tanpa cinta.
Rupanya semuanya berawal dari pertemuan dengan seorang gadis tiga bulan yang lalu. Ia memang pendiam, tetapi bukan berarti seorang yang beku, tak mungkin luluh oleh belaian lembut air yang mengalir.
Aku iba melihat dirinya. Lalu kusuruh orang kepercayaanku untuk mengenalkannya pada gadis istimewa itu. Keajaiban terjadi, dan atas kuasa Tuhan, benda mati seketika itu menjadi hidup dan ruh pilihan telah mengisi jasadnya. Kun, Fayakun. Dengan kuasa-Nya, wahai sesuatu yang Kuharap terjadi, terjadilah, maka terjadilah ia. Mudah sekali bagi Allah untuk menciptakan kehendak-Nya. Sungguh, mustahil bagi manusia, tiada yang mustahil bagi-Nya.
Senyumnya begitu sumringah, sejuk, nampak sekali penuh harapan. Dan ia mulai berani berbicara.
“Aku Pernah Melihatnya, melihat gadis itu, di suatu tempat beberapa bulan yang lalu. Anggun. Apa mungkin ia, malaikat itu?“
Abdiku menimpali, namun sebelumnya memang kuperingatkan agar sesantun mungkin melayaninya, sama sekali jangan sampai membikin batu yang mudah tersinggung menjadi retak. Ia bertutur;
“Iya aku tahu. Ia memang gadis pilihan untukmu. Aku ingin engkau bersamanya.“
- “Namun baginda, aku hanya seorang pria yang terluka.“
“Tetapi ia penyembuh luka bagimu, pembatas segala gelisah, peredam semurka amarah.“
- “Tidakkah pantas baginya orang yang lebih baik dari sekedar diriku, aku hanya seorang hina penuh dosa?“
“Aku tahu, bahkan ia putri terhormat, ia terlalu istimewa bagi sekedar dirimu. Tenanglah, yakinlah seteguh imanmu, ia akan merangkulmu bak gunung yang menjaga keseimbangan pejuru semesta.“
- “Aku ragu, bahkan aku tidak percaya siapapun baginda, lalu bagaimana mungkin aku hidup dengan makhluk yang tak mungkin kupercaya?“
“Ia cerminan iman anakku, ia taat, ia patuh, ia malaikat bagimu. Yakinlah dengan segenap keyakinan.“
- “Sepanjang hidupku hanyalah kegelapan dan aku terlahir sebagai durjana.“
“Tenanglah, ia berupa cahaya yang menerangi jalanmu, ia selalu menuntun langkahmu, lindungilah ia, maka ia akan melindungimu.“
Tepat saat mentari hampir memejamkan matanya, selimut hitam menyapu mesra bunga fajar dan azhan maghrib terlantun panjang semerdu rahasia ilahi yang hanya mampu terungkap oleh orang-orang shaleh. Sore itu, orang kepercayaanku menemui gadis itu;
“Ada yang ingin bertemu denganmu, wahai gadis suci.“ Itulah yang ia katakan sembari memberi sebersit senyum penuh pesona bak madu emas yang manis tiada tara.
- “Aku selalu terbuka bagi siapapun yang terhiasi dengan indahnya niat baik wahai saudariku.“ Jawab santunnya.
“Ia ingin bertemu denganmu dan siap berpisah suatu saat.“
- “Mengapa engkau menuliskan takdir yang kelam bagiku, baginya, bagi kita?“
Ia menunduk seraya mengerutkan dahi, kedua alis hitamnya bertarung. Nampak hatinya bergejolak hebat dan jiwa-jiwa yang mengisi jasadnya berdebat sengit. Ia merenung lama, namun kemudian meneteslah air mata surga dari seorang hawa mulia.
“Tak ada pilihan lain bagi ruh pilihan Allah, engkau yang terpilih, hanya engkau malaikat bersayap yang mampu menerangi kegelapan malam, bersyukurlah atas segala tulis-Nya.“
Ia tertunduk luluh, kelam, namun gelisah sangat. Sejurus kemudian menegadahkan wajahnya ke langit dengan sorot mata jauh menerawang angkasa. Menembus angkasa, menerobos kemelut prasangka. Sepertinya ia berdoa, meminta belas kasihan dari Sang Penguasa Kehidupan. Matanya nanar, bening dan terbuka lebar. Lalu cahaya di wajah gadis itu semakin bersinar, membersit senyuman ilahi, sepertinya ia mendengar jawaban langsung dari Tuhan dan seraya berkata pelan;
- “Aku akan menjalani hidupku, mewujudkan mimpiku dan dengan begitu, aku turut menuliskan takdirku, takdir kita berdua, antara aku dan dia.“
Orang suruhanku hanya menunduk sekali, simbol ikhlas menyetujui sesuatu.
Mereka saling memandang, jauh mendalami kehidupan masing-masing, larut dalam gaibnya batin, menembus lorong jiwa, menerobos kemelut ruh suci dan mengumandangkan sentuhan cinta walau tanpa bahasa. Tak ada apapun selain senyum satu sama lain, menunduk pasrah karena terbakar api asmara yang berkobar lebat dan terbuai dalam silang sengkarut pergumulan cinta yang rumit, tak kan mampu dinalar oleh para bijak sekalipun.
Hanya cahaya mereka berdua yang menerangi semesta raya. Cahaya yang menerangi segenap cahaya. Pintu surga terbuka dan menebarkan beribu aroma wangi hingga menembus tujuh selimut langit, memberkati bumi. Gelapnya mendung menjadi cerah, badai dan amukan petir mereda, tanah kering paceklik menuai kemakmuran karena terbelai mesra air kehidupan, dan segala gundah gulana, gelisah menjadi ketenangan, kebahagiaan dan rahmat.
Namun dua sisi kehidupan tetap harus ada. Baik dan buruk, dua sifat yang bertolak belakang, hampir selalu hadir dalam dimensi masing-masing. Meskipun seringkali larut dalam tata kosmos keseimbangan atas nama cinta.
Tiba-tiba malapetaka murka. Tiada daya dan upaya, hanya penyesalan, hitam dan kelam merangkul dalam harmoni sejati.
Bagiku, inilah asal mula persekutuan haram antara manusia dan malaikat, pertautan cinta terlarang sepanjang garis takdir Sang Ilahi. Manusia dengan wataknya yang pendosa dan malaikat yang harus selalu suci. Akan naif jika aku mempertukarkan kedua hal ini dan kemungkinan besar aku pasti salah, jika aku lebih berani menafsirkan simbol kodrati yang Tuhan berikan. Namun, jika aku berpengertian lain? Hasrat keingintahuanku akan sikap Tuhan terhadapku demikian menggebu. Akankah mempertukarkannya akan tetap mempertahankan harmoni kosmik?
Sore ini, aku masih memperhatikan wajahnya yang kelam penuh derita. Tak kunjung sembuh, seperti luka yang menganga merah, berbau amis dan terlalu parah. Mungkin tak akan terobati dan tak akan pernah terobati. Tapi itu hanyalah prasangka. Prasangka senja.
Aku duduk di rumah makan, menatapnya dari balik kaca bening berbentuk persegi panjang setinggi tembok dan memanjang. Rumah makan ini cukup bersih, nyaman, dengan menu bermacam-macam yang khas dan cukup ramai pengunjung. Mungkin karena harganya yang murah. Di ruang yang bingar ini, aku meniti sepi dan sendirian saja. Sembari melanjutkan lamunan, aku menikmati secangkir cappuccino.
Aku melihatnya duduk sambil berjongkok di emperan jalan, tepat di depan Unmuh kampus tiga dan bersandar di samping pohon besar yang rindang. Mukanya menunduk dan kedua tangannya merangkul kedua kakinya, meskipun sesekali menoleh tempat di mana aku duduk. Rambutnya tak tertata dan ia gemar menggaruknya walau tidak gatal. Mungkin “rasa gatal yang lain“ yang ia rasakan. Pakaiannya kaos lusuh berwarna hitam polos hampir kelabu, sama sekali nampak tak baru. Kedua kakinya terbalut celana jeans coklat yang kotor. Di alas kakinya melekat sepasang sendal jepit tipis dengan karet ungu yang hampir putus. Seluruh tubuhnya nampak dekil, berantakan, tak terurus.
Tempat di mana aku duduk, berselang satu meja kosong di depanku, aku melihat satu meja dengan empat kursi yang terisi penuh tiga orang lelaki dan seorang perempuan berkerudung putih yang rupawan, anggun dan mempesona. Sepertinya salah satu dari ketiga lelaki itu adalah kekasih perempuan itu, nampak dari sikapnya yang berbeda dari yang lainnya. Namun aku tak terlalu peduli dengan ketiganya, kecuali hanya satu hal saja, sorot mataku tak pernah lepas dari gerak mulut perempuan itu dan aku begitu teliti untuk memperhatikan setiap detail simbol petunjuknya.
Telingaku cukup terganggu dengan pembicaraan perempuan itu. Sepintas lalu aku mendengar ia berbicara tentang sahabatnya, sembari menoleh ke salah satu lelaki yang kupikir itu kekasihnya, lalu sesekali menatap ke lelaki yang sejak lama telah kuperhatikan. Lelaki yang duduk di emperan jalan dan bersandar di pohon besar, di seberang jalan.
Aku mendengar ia mengatakan, “sahabatku, Maya.“ Lalu dengan serpihan nada yang tersapu oleh angin kecil, betapa lembut, telah menggetarkan gendang pendengaranku. Ada hal yang menyentak pikiranku. Inilah alunan lagu prasangka. Simfoni nada prasangka teralun merdu sebagai cipta asa. Lalu dimensi batinku menemui persinggahannya.
Maya adalah sosok anggun dan mempesona. Parasnya manis, kulitnya sawo matang, perawakannya kecil dan tak terlalu tinggi. Pakaiannya selalu rapi dan terbalut kerudung yang tak terlalu lebar namun pantas dan pas. Tuturnya santun, nada wicaranya pelan, tata kalimatnya tertata, pilihan katanya sopan dan berbahasa baginya adalah berucap kebenaran sembari menebarkan senyum, ia selalu memberi kehidupan bagi lawan bicaranya.
Maya pernah bercerita sesuatu pada sahabatnya dan rupanya gadis cantik yang kutatap di seberang meja makan di dedapku adalah sahabatnya. Ia menceritakan sahabatnya yang lain, seorang lelaki, dan menurutku antara kedua sahabat tersebut tidak saling kenal, kecuali hanya Maya yang mengenal keduanya. Tetapi kemungkinan keduanya untuk bertemu, saling bertutur sapa dan saling mengenal itu ada, meskipun sebatas hanya bergumul dalam dinamika nalar dan menari dalam bentukan dunia imaji.
Ia melanjutkan cerita tentang derita sahabat Maya yang sungguh pilu. Tak ada jalan keluar kecuali kematian baginya. “Ya, pemuda itu kini mati. Otaknya tak berfungsi lagi selain hanya gumaman yang sama setiap saat, diulang-ulang tanpa beralih pada varian yang lain. ’Aku cinta kau kekasihku, aku cinta kau kekasihku, tetapi Tuhan tak menghendakiku.’ Hanya itu.“
Ku ingat sesuatu dari sepotong komentar itu. Kebenaran pada satu. Kebenaran mutlak pada hitungan yang sama. Seperti 1+1 dan hasilnya semua orang pasti tahu tanpa prediksi yang berarti, 2. Tiada yang mengingkari, tiada dusta di antara prasangka angka-angka. Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico Philosophicus… Prasangka ini, aku hanya ingin menyangkal “kebenaran“ yang utun dari angka-angka tidak hanya dalam angka-angka, namun manusia di balik angka itu. Si gila telah membabi-buta menghajar kebenaran itu dan menunjukkan simbol-simbol ke-gila-annya, mempermalukan kebenaran hitungan deret dengan hitungan deret yang bermakna dalam, “luka dalam“.
Bolehlah gadis itu menyebut dengan, “aku cinta kau kekasihku, aku cinta kau kekasihku, tetapi Tuhan tak menghendakiku,“ sebagai satu simbol (sign) yang menari dalam deret hitung yang sama. Namun jangan lupa, ia si gila di pohon itu juga manusia! Ada deret yang tak dimengerti, bahkan si gila itu adalah si jenius yang sedang mengejek kebenaran mutlak rasio angka-angka.
Kusruput cappuccino yang sudah tak panas lagi. O o o… nalarku mulai tak terkendali, menari-nari dalam nafas suci. Tak perlu dibatasi. Kalauku capek pastilah terjatuh lagi.
Masih kutatap pria yang jongkok itu. Si gila, atau bukan aku yang mengatakan si gila, aku hanya korban yang termakan sajian lezat perempuan cantik di depan mejaku. Lalu ia nyerocos panjang lebar tentang sahabat dari sahabatnya yang telah gila karena putus cinta dan mengulang-ulang setiap kata sebagai bagian dari irama putus cinta. Namun ingatanku masih satu, Maya sahabatku.
Semakin runyam rupanya, atas buku-buku Wittgenstein yang telah kutelan dan kumuntahkan lagi. Aduh, parah. Aku sedang kacau, lalu kusruput habis cappuccino di mejaku.
Nafasku mulai terputus-putus, kepalaku sakit sekali, jantungku berdenyut kencang… Lelahnya aku. Aku ingin mengeja alam imajiku. Pria itu menari dalam nalarku, sedangkan perempuan cantik, memainkan biola sendu mengiringinya. Lalu si Maya sahabatku, menyanyi merdu mengikuti not-not lagu yang kutimang dalam kertas melodi. Sakit hatiku karena ulah gila kekasihku, tersebutlah orkrestra romantika.
O o o… aku terlalu jauh terlempar dalam belantara imaji…, aku sadar dan harmoni ini hanya tentang prasangka peminum kopi. Ah, kuingin beranjak dari meja ini, karena cappuccinoku telah habis.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 14 Desember 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar