Selasa, 04 Januari 2011

Penjaga Taman Sastra Indonesia

Irfan Budiman, Dwi Wiyana, Ardi Bramantyo, Hadriani Pudjiarti
http://majalah.tempointeraktif.com/

Jakarta, 14 Januari 1964
Saudara Pram,

Surat Saudara tanggal 28 Desember 1963 yang panjang 12 halaman telah saya baca dengan sabar dan tenang. Saya berdoa semoga Saudara kembali waras dan penyakit Saudara tidak berlarut-larut hingga jiwa Saudara tidak tertolong lagi.

Sesuai dengan permintaan Saudara, bersama ini 2 (dua) map berisi dokumen-dokumen yang Saudara minta simpan oleh saya tempo hari dan 1 (satu) kitab catatan kakek Saudara. Memoir Saudara tempo hari telah diambil kembali oleh Saudara melalui Hidajat Wikantasasmita dan Pier Santoso (tanggal 24 Januari 1962 dan 27 November 1963).

Harap Saudara terima dengan baik dan dalam keadaan tiada kurang suatu apa.

Selamat Tahun Baru buat seluruh keluarga.

Demikian surat yang ditulis H.B. Jassin kepada Pramoedya Ananta Toer pada suatu hari tahun 1964. Surat itu menyiratkan kejengkelan Jassin terhadap Pramoedya. Namun, kemarahan itu bisa dimaklumi. Saat itu keduanya tengah terlibat konflik yang terpicu karena Manifes Kebudayaan. Pram, bersama seniman Lekra lainnya, menganggap Jassin dan para penanda tangan manifes itu sebagai gerakan antirevolusi.

Politik bisa mengubah segalanya. Semula Pram menganggap Jassin sebagai sang guru. Namun, dalam perkembangan berikutnya, di mata Pram sosok guru itu lantas luntur. “Sebagai guru, dia gagal total karena ajarannya tidak mengangkat pembelaan manusia yang seharusnya ia lakukan,” kata Pram. Yang dimaksud Pram adalah sikap Jassin yang dianggap tidak membela kaum Tionghoa setelah peristiwa G30S meletus pada 1965.

Padahal, menengok ke belakang, Pramoedya Ananta Toer merupakan salah satu pengarang produktif yang lahir dari “tangan” Jassin. Ketika revolusi kemerdekaan meletus, saat itu Pramoedya, yang baru keluar dari bui, mengaku sering berdiskusi dan mempelajari karya-karya ataupun kritik Jassin. Saat itu, Pram menganggap Jassin sebagai guru.

Sepucuk surat yang ditulis H.B. Jassin kepada Pramoedya Ananta Toer yang tengah mendekam di dalam bui setengah abad silam bisa menjadi bukti. Dalam surat yang bertanggal 10 November 1949 itu, Jassin mengabarkan bahwa tiga buah cerita pendek milik Pram telah dimuat dalam majalah Mimbar Indonesia, yang dipimpinnya.

Di akhir suratnya, Jassin menulis sebaris kalimat simpatik:

Kapan Saudara keluar? Persetujuan sudah tercapai. RIS akan dibentuk 1 + bulan lagi. Kirimlah terus naskah-naskah lagi kalau ada. Bersama ini saya kirimkan juga 3 eksemplar Mimbar Indonesia yang memuat cerita-cerita pendek Saudara.

Betapapun, secarik kertas itu teramat berharga bagi sang penerima.

Kegiatan surat-menyurat itu hanyalah satu dari sekian ratus surat yang pernah ditulis dan dikirim H.B. Jassin kepada koleganya. Sepanjang hidupnya, di mana pun dia berada, tak terkecuali saat di luar negeri, Hans—demikian panggilan akrabnya—melakukan korespondensi. Kegiatan itu tak terbatas dilakukan dengan kalangan sastrawan, tapi juga wartawan, mahasiswa, atau orang awam. Seperti suratnya kepada Pramoedya, secara umum soal sastra kerap menjadi tema perbincangan mereka. Namun, bukan berarti soal-soal lain, misalnya kabar tentang keluarga dan hal-hal menarik lainnya, tidak menjadi bahan diskusi. Latar belakang dan kehidupan pengarang tentu merupakan hal penting buat Jassin dalam menulis kritik sastranya.

Surat-suratnya merupakan ajang pertukaran buah pikirannya dengan sastrawan lainnya. Melalui surat-suratnya, Jassin membahas karya sastra dan keadaan yang ikut mempengaruhi. Surat juga merupakan sarana buatnya dalam memburu karya-karya sastrawan yang belum dimilikinya. Hal itu tak hanya berlaku pada penulis senior, tapi juga penulis-penulis muda. Jassin sering kali meminta kembali naskah penulis pemula yang dicetak di majalah itu untuk disimpannya sebagai dokumentasi. “Data sastrawan terekam dengan baik sejak dia muda dan sebagai pemula,” kata Hamsad Rangkuti, Pemimpin Redaksi Horison. Jassin juga rajin dan tekun mengumpulkan kliping berbagai tulisan-tulisan yang berkait dengan kesusastraan.

Hasilnya? Ribuan lembar dokumentasi yang penuh—dan ditata dengan rapi—di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta, menjadi saksi kegigihan dan ketabahannya dalam mengikuti perjalanan sastra Indonesia.

Lahir di Gorontalo pada 31 Juli 1917, Hans Bague Jassin—putra pasangan B.M. Jassin dan Habibah—memang sudah lekat dengan bacaan sejak kecil. Sang ayah secara langsung membentuk Jassin kecil menjadi seorang kutu buku. Untuk melatih kemampuannya membaca, Jassin kecil sering diminta untuk membacakan keras-keras koran berbahasa Belanda saat sang ayah beristirahat di siang hari.

Namun, Jassin bukanlah anak yang manis. Setelah mahir, sesekali ia sering mencuri kesempatan untuk membaca buku-buku milik ayahnya. Jamadi—nama kecil Jassin—melahap bacaan koleksi ayahnya, macam Roos van Batavia dan Melati van Agam. Bahkan, ia juga membaca buku-buku dewasa, termasuk serial Sexueel Zeden in Woord en Beeld, kitab yang mengupas tingkah laku seksual dalam kata dan gambar.

Saat duduk di kelas empat HIS, Jassin mulai bersentuhan dengan sastra. Roman karya Max Havelaar, Saijah dan Adinda, merupakan buku sastra yang pertama kali dibacanya. Walau belum bisa menangkap keindahannya, rangkaian cerita buku itu berhasil menerbitkan minatnya terhadap sastra. Saat itu pula ia mulai menulis puisi yang lahir karena kekagumannya terhadap teman wanitanya. Itulah penggalan awal yang kemudian menyeret Jassin ke dalam pusaran kesusastraan.

Beranjak remaja, Hans mulai berkenalan dengan sastra Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman saat ia duduk di bangku HBS Medan, pada 1933. Pada saat bersamaan, ia mulai terlarut dengan sastra karya negeri sendiri. Dari majalah sastra Pujangga Baroe, ia menemukan karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Sanusi Pane. Baginya, karya-karya sastrawan negerinya tak kalah dengan sastra Belanda.

Tujuh tahun kemudian, atas ajakan Sutan Takdir Alisjahbana, Jassin bergabung dengan Balai Pustaka. Di sana Hans bergabung dalam tim peresensi bersama dengan sastrawan yang terkenal saat itu. Mereka menilai karya sastra yang kemudian dimuat di beberapa majalah—pekerjaan yang amat dicintainya dan dilakukannya dengan sungguh-sungguh. Pekerjaan itu pula yang membuat Jassin memperoleh banyak pelajaran, termasuk saat harus “berkelahi” dalam menilai sebuah karya sastra.

Misalnya, saat Chairil Anwar menyerahkan sajaknya. Menurut Jassin, sajak-sajak yang ditulis Chairil pada Oktober 1942 itu layak dipublikasikan di Panji Pustaka, sementara menurut Armijn Pane, sajak Chairil terlalu menonjolkan individualisme penulisnya. Elemen kebaratan Chairil yang tampil jelas dalam sajaknya tidak tepat dimasyarakatkan saat itu. Satu hal yang bertentangan dengan slogan kebersamaan Asia Raya.

“Saya melihat pengaruh ekspresionisme dalam karyanya. Lihatlah baris-baris yang terdiri dari satu atau dua kata dalam sajak yang berjudul 1943: “Mengaum! Mengguruh!” kata Jassin. Bagi Jassin, sajak-sajak Chairil lahir dari sebuah proses pengendapan yang berlangsung matang, dan kematangan sajak itu dilalui berbagai pikiran dan perasaan.

Perjuangan itu berbuah hasil. Akhirnya, sajak Aku bisa dimuat di Panji Pustaka, dengan judul yang terpaksadiubah menjadi Semangat. Nama Chairil Anwar melejit bak meteor. Pada 1945, ketika Pantja Raja terbit menggantikan Panji Pustaka, sajak-sajak Chairil mulai bertaburan. Namanya semakin menjulang.

Tanpa disadari, Jassin telah memunculkan sosok dan pengaruh Chairil Anwar yang kuat dalam peta sastra Indonesia. Saat itulah dirinya mulai menjelma menjadi seorang kritikus sastra yang awas dan jeli. Selanjutnya, ia turut membesarkan nama-nama sastrawan muda.

Pengarang lain yang secara tidak langsung menjadi besar karena sentuhan Jassin adalah N.H. Dini. Sejak cerita pendeknya yang berjudul Pendurhaka dimuat di majalah Kisah, Dini dan Jassin berkomunikasi melalui surat-menyurat. Dari korespondensi itu, Dini sebagai pengarang muda memperoleh banyak pelajaran dari orang yang dianggap sebagai seniornya.

Jassin menjadi ikon dalam sastra Indonesia. Ia tak lagi sekadar kritikus semata, tetapi dengan otoritasnya menjadikan sosoknya menjelma menjadi orang yang memiliki pengaruh kuat, hingga di suatu masa, penulis Gayus Siagian menjulukinya sebagai “Paus Sastra Indonesia”. Julukan yang disampaikannya dalam simposium sastra pada 1955 itu sebetulnya bermaksud mengejek. Namun, yang terjadi berikutnya, sebutan itu diterima sebagai penghormatan. “Saya bukan Paus, Saya hanya seorang pelajar,” ujar Jassin menanggapi ledekan itu.

Julukan lain segera bermunculan. Penulis Balfas menyebut Jassin sebagai administrator sastra karena menurut Balfas, apa yang dilakukan Jassin semata hanya mengumpulkan dokumen dan buku-buku. Sedangkan sebagai kritik sastra, Jassin dianggap kurang memiliki gagasan.

Namun, julukan yang paling keras datang dari esais Rustandi Kartakusumah. Dia menyebut Jassin sebagai diktator sastra karena apa yang dikatakan Jassin selalu diterima orang, dan kepercayaan itu kemudian dipakai Jassin dalam menilai sastra.

“Saya tak tahu kenapa Rustandi, yang juga berusaha menulis sajak itu, harus berpendapat seperti itu. Yang saya tahu, saya memang tak selalu menyukai sajak-sajaknya,” kata Jassin.

Sosok Jassin akhirnya menjadi magnet bagi pengarang muda. Tak aneh bila banyak penulis muda mengirimkan naskah karangannya untuk sekadar dibaca Jassin, untuk meminta komentar Jassin terhadap tulisannya dan menerbitkannya dalam majalah. Bila Jassin tertarik dengan sebuah naskah, sang penulis pun diajak bertemu untuk berdiskusi.

Ini dilakukan kepada siapa pun, juga pengarang muda pemula. Buat mereka, mendapatkan perhatian dari “Paus Sastra” itu bisa saja berarti karir gemilang segera terbentang. Bila dianggap layak untuk diterbitkan, naskah itu bisa segera menjadi buku. Dan penerbit akan serta-merta menerima rekomendasi Jassin.

Namun, Jassin, yang memiliki akses yang luas ke pihak penerbit, pada suatu masa bahkan bisa menentukan karangan mana saja yang layak diterbitkan. Dengan “kekuasaan” yang dimilikinya itu, Jassin dapat ikut menentukan isi sebuah karya. Itu terjadi pada novel Pada Sebuah Kapal karya N.H. Dini, saat Dini mengirim naskah itu kepada Jassin karena Dini meminta dicarikan penerbit,

Jassin menyarankan agar bagian akhir, yakni tokoh Sri yang mengalami kecelakaan dahsyat dan meninggal, diganti. Jassin menganggap akhir cerita itu terjadi secara mendadak. Dia tidak menyukainya. Walau demikian, Jassin tetap memberikan naskah itu kepada Ajip Rosidi, Direktur Pustaka Jaya, yang memutuskan kata akhir apakah naskah itu layak diterbitkan atau tidak. Setelah membaca naskah itu, Ajip pun berkomentar sama. Dia tidak mau menerima akhir cerita seperti itu. Akhirnya, N.H. Dini mengalah. Ia mengikuti saran kedua orang itu. “Mungkin kalau hanya Jassin yang bilang dan Ajip tidak bilang, tidak akan saya ganti,” kata Dini kepada TEMPO (baca: Kejutan-Kejutan Jassin).

Perjalanan hidup Jassin, yang akrab dengan buku, ternyata akrab dengan berbagai kontroversi (baca: Kontroversi di Sekitar Jassin), dari kasus cerita pendek Langit Makin Mendung yang ditulis Ki Pandjikusmin yang menyeretnya ke meja hijau, kehebohan puitisasi Alquran, hingga debat Angkatan Sastra versi Jassin, yang banyak ditentang para sastrawan. Tetapi, itu semua dihadapinya dengan tabah dan tetap teguh dengan prinsip.

Kini, telah 40 hari Jassin berpulang. Dengus napasnya bersatu dengan debu dan lapuknya berbagai buku dan naskah sastra yang dikumpulkannya dengan tekun. Kecintaan dan kesetiaannya telah ikut menentukan arah dan bentuk sastra negeri ini. Dalam peringatan 40 hari wafatnya Jassin, Rabu pekan silam, masyarakat Gorontalo di Jakarta menggelarinya “Ta Lombuta Tootodu Wulito” atau putra terbaik Indonesia. Sebuah nama yang tepat bagi dirinya.

24 April 2000

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest