Irfan Budiman, Dwi Wiyana, Ardi Bramantyo, Hadriani Pudjiarti
http://majalah.tempointeraktif.com/
Jakarta, 14 Januari 1964
Saudara Pram,
Surat Saudara tanggal 28 Desember 1963 yang panjang 12 halaman telah saya baca dengan sabar dan tenang. Saya berdoa semoga Saudara kembali waras dan penyakit Saudara tidak berlarut-larut hingga jiwa Saudara tidak tertolong lagi.
Sesuai dengan permintaan Saudara, bersama ini 2 (dua) map berisi dokumen-dokumen yang Saudara minta simpan oleh saya tempo hari dan 1 (satu) kitab catatan kakek Saudara. Memoir Saudara tempo hari telah diambil kembali oleh Saudara melalui Hidajat Wikantasasmita dan Pier Santoso (tanggal 24 Januari 1962 dan 27 November 1963).
Harap Saudara terima dengan baik dan dalam keadaan tiada kurang suatu apa.
Selamat Tahun Baru buat seluruh keluarga.
Demikian surat yang ditulis H.B. Jassin kepada Pramoedya Ananta Toer pada suatu hari tahun 1964. Surat itu menyiratkan kejengkelan Jassin terhadap Pramoedya. Namun, kemarahan itu bisa dimaklumi. Saat itu keduanya tengah terlibat konflik yang terpicu karena Manifes Kebudayaan. Pram, bersama seniman Lekra lainnya, menganggap Jassin dan para penanda tangan manifes itu sebagai gerakan antirevolusi.
Politik bisa mengubah segalanya. Semula Pram menganggap Jassin sebagai sang guru. Namun, dalam perkembangan berikutnya, di mata Pram sosok guru itu lantas luntur. “Sebagai guru, dia gagal total karena ajarannya tidak mengangkat pembelaan manusia yang seharusnya ia lakukan,” kata Pram. Yang dimaksud Pram adalah sikap Jassin yang dianggap tidak membela kaum Tionghoa setelah peristiwa G30S meletus pada 1965.
Padahal, menengok ke belakang, Pramoedya Ananta Toer merupakan salah satu pengarang produktif yang lahir dari “tangan” Jassin. Ketika revolusi kemerdekaan meletus, saat itu Pramoedya, yang baru keluar dari bui, mengaku sering berdiskusi dan mempelajari karya-karya ataupun kritik Jassin. Saat itu, Pram menganggap Jassin sebagai guru.
Sepucuk surat yang ditulis H.B. Jassin kepada Pramoedya Ananta Toer yang tengah mendekam di dalam bui setengah abad silam bisa menjadi bukti. Dalam surat yang bertanggal 10 November 1949 itu, Jassin mengabarkan bahwa tiga buah cerita pendek milik Pram telah dimuat dalam majalah Mimbar Indonesia, yang dipimpinnya.
Di akhir suratnya, Jassin menulis sebaris kalimat simpatik:
Kapan Saudara keluar? Persetujuan sudah tercapai. RIS akan dibentuk 1 + bulan lagi. Kirimlah terus naskah-naskah lagi kalau ada. Bersama ini saya kirimkan juga 3 eksemplar Mimbar Indonesia yang memuat cerita-cerita pendek Saudara.
Betapapun, secarik kertas itu teramat berharga bagi sang penerima.
Kegiatan surat-menyurat itu hanyalah satu dari sekian ratus surat yang pernah ditulis dan dikirim H.B. Jassin kepada koleganya. Sepanjang hidupnya, di mana pun dia berada, tak terkecuali saat di luar negeri, Hans—demikian panggilan akrabnya—melakukan korespondensi. Kegiatan itu tak terbatas dilakukan dengan kalangan sastrawan, tapi juga wartawan, mahasiswa, atau orang awam. Seperti suratnya kepada Pramoedya, secara umum soal sastra kerap menjadi tema perbincangan mereka. Namun, bukan berarti soal-soal lain, misalnya kabar tentang keluarga dan hal-hal menarik lainnya, tidak menjadi bahan diskusi. Latar belakang dan kehidupan pengarang tentu merupakan hal penting buat Jassin dalam menulis kritik sastranya.
Surat-suratnya merupakan ajang pertukaran buah pikirannya dengan sastrawan lainnya. Melalui surat-suratnya, Jassin membahas karya sastra dan keadaan yang ikut mempengaruhi. Surat juga merupakan sarana buatnya dalam memburu karya-karya sastrawan yang belum dimilikinya. Hal itu tak hanya berlaku pada penulis senior, tapi juga penulis-penulis muda. Jassin sering kali meminta kembali naskah penulis pemula yang dicetak di majalah itu untuk disimpannya sebagai dokumentasi. “Data sastrawan terekam dengan baik sejak dia muda dan sebagai pemula,” kata Hamsad Rangkuti, Pemimpin Redaksi Horison. Jassin juga rajin dan tekun mengumpulkan kliping berbagai tulisan-tulisan yang berkait dengan kesusastraan.
Hasilnya? Ribuan lembar dokumentasi yang penuh—dan ditata dengan rapi—di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta, menjadi saksi kegigihan dan ketabahannya dalam mengikuti perjalanan sastra Indonesia.
Lahir di Gorontalo pada 31 Juli 1917, Hans Bague Jassin—putra pasangan B.M. Jassin dan Habibah—memang sudah lekat dengan bacaan sejak kecil. Sang ayah secara langsung membentuk Jassin kecil menjadi seorang kutu buku. Untuk melatih kemampuannya membaca, Jassin kecil sering diminta untuk membacakan keras-keras koran berbahasa Belanda saat sang ayah beristirahat di siang hari.
Namun, Jassin bukanlah anak yang manis. Setelah mahir, sesekali ia sering mencuri kesempatan untuk membaca buku-buku milik ayahnya. Jamadi—nama kecil Jassin—melahap bacaan koleksi ayahnya, macam Roos van Batavia dan Melati van Agam. Bahkan, ia juga membaca buku-buku dewasa, termasuk serial Sexueel Zeden in Woord en Beeld, kitab yang mengupas tingkah laku seksual dalam kata dan gambar.
Saat duduk di kelas empat HIS, Jassin mulai bersentuhan dengan sastra. Roman karya Max Havelaar, Saijah dan Adinda, merupakan buku sastra yang pertama kali dibacanya. Walau belum bisa menangkap keindahannya, rangkaian cerita buku itu berhasil menerbitkan minatnya terhadap sastra. Saat itu pula ia mulai menulis puisi yang lahir karena kekagumannya terhadap teman wanitanya. Itulah penggalan awal yang kemudian menyeret Jassin ke dalam pusaran kesusastraan.
Beranjak remaja, Hans mulai berkenalan dengan sastra Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman saat ia duduk di bangku HBS Medan, pada 1933. Pada saat bersamaan, ia mulai terlarut dengan sastra karya negeri sendiri. Dari majalah sastra Pujangga Baroe, ia menemukan karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Sanusi Pane. Baginya, karya-karya sastrawan negerinya tak kalah dengan sastra Belanda.
Tujuh tahun kemudian, atas ajakan Sutan Takdir Alisjahbana, Jassin bergabung dengan Balai Pustaka. Di sana Hans bergabung dalam tim peresensi bersama dengan sastrawan yang terkenal saat itu. Mereka menilai karya sastra yang kemudian dimuat di beberapa majalah—pekerjaan yang amat dicintainya dan dilakukannya dengan sungguh-sungguh. Pekerjaan itu pula yang membuat Jassin memperoleh banyak pelajaran, termasuk saat harus “berkelahi” dalam menilai sebuah karya sastra.
Misalnya, saat Chairil Anwar menyerahkan sajaknya. Menurut Jassin, sajak-sajak yang ditulis Chairil pada Oktober 1942 itu layak dipublikasikan di Panji Pustaka, sementara menurut Armijn Pane, sajak Chairil terlalu menonjolkan individualisme penulisnya. Elemen kebaratan Chairil yang tampil jelas dalam sajaknya tidak tepat dimasyarakatkan saat itu. Satu hal yang bertentangan dengan slogan kebersamaan Asia Raya.
“Saya melihat pengaruh ekspresionisme dalam karyanya. Lihatlah baris-baris yang terdiri dari satu atau dua kata dalam sajak yang berjudul 1943: “Mengaum! Mengguruh!” kata Jassin. Bagi Jassin, sajak-sajak Chairil lahir dari sebuah proses pengendapan yang berlangsung matang, dan kematangan sajak itu dilalui berbagai pikiran dan perasaan.
Perjuangan itu berbuah hasil. Akhirnya, sajak Aku bisa dimuat di Panji Pustaka, dengan judul yang terpaksadiubah menjadi Semangat. Nama Chairil Anwar melejit bak meteor. Pada 1945, ketika Pantja Raja terbit menggantikan Panji Pustaka, sajak-sajak Chairil mulai bertaburan. Namanya semakin menjulang.
Tanpa disadari, Jassin telah memunculkan sosok dan pengaruh Chairil Anwar yang kuat dalam peta sastra Indonesia. Saat itulah dirinya mulai menjelma menjadi seorang kritikus sastra yang awas dan jeli. Selanjutnya, ia turut membesarkan nama-nama sastrawan muda.
Pengarang lain yang secara tidak langsung menjadi besar karena sentuhan Jassin adalah N.H. Dini. Sejak cerita pendeknya yang berjudul Pendurhaka dimuat di majalah Kisah, Dini dan Jassin berkomunikasi melalui surat-menyurat. Dari korespondensi itu, Dini sebagai pengarang muda memperoleh banyak pelajaran dari orang yang dianggap sebagai seniornya.
Jassin menjadi ikon dalam sastra Indonesia. Ia tak lagi sekadar kritikus semata, tetapi dengan otoritasnya menjadikan sosoknya menjelma menjadi orang yang memiliki pengaruh kuat, hingga di suatu masa, penulis Gayus Siagian menjulukinya sebagai “Paus Sastra Indonesia”. Julukan yang disampaikannya dalam simposium sastra pada 1955 itu sebetulnya bermaksud mengejek. Namun, yang terjadi berikutnya, sebutan itu diterima sebagai penghormatan. “Saya bukan Paus, Saya hanya seorang pelajar,” ujar Jassin menanggapi ledekan itu.
Julukan lain segera bermunculan. Penulis Balfas menyebut Jassin sebagai administrator sastra karena menurut Balfas, apa yang dilakukan Jassin semata hanya mengumpulkan dokumen dan buku-buku. Sedangkan sebagai kritik sastra, Jassin dianggap kurang memiliki gagasan.
Namun, julukan yang paling keras datang dari esais Rustandi Kartakusumah. Dia menyebut Jassin sebagai diktator sastra karena apa yang dikatakan Jassin selalu diterima orang, dan kepercayaan itu kemudian dipakai Jassin dalam menilai sastra.
“Saya tak tahu kenapa Rustandi, yang juga berusaha menulis sajak itu, harus berpendapat seperti itu. Yang saya tahu, saya memang tak selalu menyukai sajak-sajaknya,” kata Jassin.
Sosok Jassin akhirnya menjadi magnet bagi pengarang muda. Tak aneh bila banyak penulis muda mengirimkan naskah karangannya untuk sekadar dibaca Jassin, untuk meminta komentar Jassin terhadap tulisannya dan menerbitkannya dalam majalah. Bila Jassin tertarik dengan sebuah naskah, sang penulis pun diajak bertemu untuk berdiskusi.
Ini dilakukan kepada siapa pun, juga pengarang muda pemula. Buat mereka, mendapatkan perhatian dari “Paus Sastra” itu bisa saja berarti karir gemilang segera terbentang. Bila dianggap layak untuk diterbitkan, naskah itu bisa segera menjadi buku. Dan penerbit akan serta-merta menerima rekomendasi Jassin.
Namun, Jassin, yang memiliki akses yang luas ke pihak penerbit, pada suatu masa bahkan bisa menentukan karangan mana saja yang layak diterbitkan. Dengan “kekuasaan” yang dimilikinya itu, Jassin dapat ikut menentukan isi sebuah karya. Itu terjadi pada novel Pada Sebuah Kapal karya N.H. Dini, saat Dini mengirim naskah itu kepada Jassin karena Dini meminta dicarikan penerbit,
Jassin menyarankan agar bagian akhir, yakni tokoh Sri yang mengalami kecelakaan dahsyat dan meninggal, diganti. Jassin menganggap akhir cerita itu terjadi secara mendadak. Dia tidak menyukainya. Walau demikian, Jassin tetap memberikan naskah itu kepada Ajip Rosidi, Direktur Pustaka Jaya, yang memutuskan kata akhir apakah naskah itu layak diterbitkan atau tidak. Setelah membaca naskah itu, Ajip pun berkomentar sama. Dia tidak mau menerima akhir cerita seperti itu. Akhirnya, N.H. Dini mengalah. Ia mengikuti saran kedua orang itu. “Mungkin kalau hanya Jassin yang bilang dan Ajip tidak bilang, tidak akan saya ganti,” kata Dini kepada TEMPO (baca: Kejutan-Kejutan Jassin).
Perjalanan hidup Jassin, yang akrab dengan buku, ternyata akrab dengan berbagai kontroversi (baca: Kontroversi di Sekitar Jassin), dari kasus cerita pendek Langit Makin Mendung yang ditulis Ki Pandjikusmin yang menyeretnya ke meja hijau, kehebohan puitisasi Alquran, hingga debat Angkatan Sastra versi Jassin, yang banyak ditentang para sastrawan. Tetapi, itu semua dihadapinya dengan tabah dan tetap teguh dengan prinsip.
Kini, telah 40 hari Jassin berpulang. Dengus napasnya bersatu dengan debu dan lapuknya berbagai buku dan naskah sastra yang dikumpulkannya dengan tekun. Kecintaan dan kesetiaannya telah ikut menentukan arah dan bentuk sastra negeri ini. Dalam peringatan 40 hari wafatnya Jassin, Rabu pekan silam, masyarakat Gorontalo di Jakarta menggelarinya “Ta Lombuta Tootodu Wulito” atau putra terbaik Indonesia. Sebuah nama yang tepat bagi dirinya.
24 April 2000
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar