Minggu, 14 November 2010

SIMBOLISME PETAK—UMPET: “MENGUAK—NEGERI AIR MATA” ABDUL KADIR IBRAHIM

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Melayu dengan tradisi panjang kesusastraannya, hingga kini tetap kokoh menjadi bagian kesusastraan Indonesia. Dalam peta perkembangan kesusastraan Indonesia, dunia Melayu dengan keagungan ketamadunannya—tidak hanya menempatkan diri sebagai cikal-bakal bahasa dan kesusastraan Indonesia, tetapi juga terus-menerus ikut menyemarakkan capaian-capaian estetiknya. Lihat saja capaian estetik yang dipancangkan Ibrahim Sattah yang kemudian menjadi makin kokoh melalui Sutardji Calzoum Bachri. Dua penyair penting ini, tempatnya menjadi begitu khas, unik, dan nyeleneh sendiri, sehingga posisinya seperti tidak dapat lagi digoyahkan.

Di sana masih bertebaran nama-nama penting seperti Idrus Tintin, BM Syamsuddin, Ediruslan Pe Amanriza, Taufik Ikram Jamil, Hoesnizar Hoed, Samson Rambah Pasir, Junewal Muchtar, Fakhrunnas MA Jabbar, Abdul Kadir Ibrahim, dan sederet panjang sastrawan—penyair dengan kultur Melayu berada di belakang karakteristik kesastrawannya. Tentu saja mereka secara kualitas masuk kategori sastrawan Indonesia yang dalam bahasa politik sebagai sastrawan nasional.

Begitulah, kepenyairan dalam tradisi Melayu telah berhasil melahirkan, menumbuhkan, dan memberi kontribusi penting bagi pemerkayaan kesusastraan Indonesia. Sumbangannya yang berkelanjutan itu menunjukkan sebuah iklim yang kondusif. Iklim dalam suasana yang seperti itulah yang memungkinkan para penyair dapat melakukan berbagai usaha penggalian dan pemanfaatan yang tiada henti atas kekayaan kebudayaannya. Bukankah puisi, dan secara keseluruhan kesusastraan, merupakan ekspresi kreatif kegelisahan kultural sastrawannya sebagai manifestasi tindak keterlibatannya dalam berkebudayaan? Di situlah kedalaman estetik kepenyairan dapat ditelusuri dan diuji melalui sejauh mana mereka menyerap dan sekaligus melakukan pemberontakan atas tradisi estetik yang telah menjadi bagian inheren dari sejarah masyarakat dan keagungan kebudayaannya?

Abdul Kadir Ibrahim –yang lebih dikenal dengan sebutan AKIB—adalah salah seorang penyair dari sekian banyak penyair lain yang lahir dan dibesarkan dalam lingkaran kebudayaan Melayu. Kehadirannya dalam kesusastraan Indonesia terjadi sekitar pertengahan tahun 1980-an. Meski di awal kepenyairannya, AKIB bergerak di seputar Tanah Melayu, kemunculannya belakangan cukup mengejutkan. AKIB secara meyakinkan tampil sebagai sosok penyair yang lahir dari tradisi kebudayaan Melayu, yang di satu pihak, ia menyerap estetika pantun, syair, gurindam, dan mantra, dan di lain pihak, ia berusaha justru melakukan pemberontakan atas tradisi estetik yang diserapnya sendiri. Ia secara serius tampak berusaha melakukan penggalian dan pencarian model estetik yang hendak ditawarkannya. Di sinilah posisi kepenyairannya seperti telah sampai pada jati dirinya yang khas yang tidak gampang dipersamakan dengan penyair lain.

Dalam sejumlah puisinya, AKIB seolah-olah seperti hendak menyerap dan sekaligus memancarkan capaian estetik sebagaimana yang telah ditanamkan Ibrahim Sattah atau Sutardji Calzoum Bachri, tetapi di sana tampak pula usahanya justru hendak mengedepankan keterpengaruhnya lebih jauh dari itu, dari ruh kebudayaan yang telah melahirkan dan membesarkannya, tradisi kebudayaan Melayu. Maka, yang muncul kemudian adalah ekspresi keterpengaruhannya itu dalam semangat mengukuhkan monumen kepenyairannya sendiri, dan bukan sekadar keterpukauan pada tradisi estetik yang telah digulirkan penyair sebelumnya.

Sikap, pandangan, dan perspektif kepenyairan Abdul Kadir Ibrahim laksana hendak menawarkan ruh masa lalu keagungan kebudayaannya dalam semangat manusia kontemporer yang visioner. Jadilah visi kepenyairannya bersifat universal yang dalam bahasa Lucien Goldmann sebagai pandangan dunia, jika kita menempatkannya dalam strukturalisme genetik. Ia bukan jenis manusia epigon. Ia menerima dan menyerap keterpengaruhannya, justru sebagai titik berangkat melakukan pemberontakan, mencari dan menemukan jati diri, dan membangun monumen estetika sendiri. AKIB menunjukkan dirinya berada dalam ketegangan antara tradisi dan inovasi, antara konvensi dan eksperimentasi.

Dalam konteks itu, membaca puisi-puisi Abdul Kadir Ibrahim, baik yang terhimpun dalam antologi Puisi 66 Menguak (Riau: Unri Press, 2004), maupun dalam antologi Negeri Air Mata (Riau: Unri Press, 2004), kita seperti berjumpa dengan semangat estetik Ibrahim Sattah atau Sutardji Calzoum Bachri, tetapi tokh AKIB berhasil membangun jalannya sendiri berdasarkan ruh kebudayaan leluhurnya, berdasarkan akar sosiologis yang menjiwai kehidupan kepenyairan di Tanah Melayu.

Di situlah pentingnya penyair melakukan penggalian, pencarian, dan sekaligus pemberontakan atas tradisi estetik kepenyairan yang lahir, bergulir dan berkembang sebelumnya. Maka, ketika kita coba menelusuri semangat estetik puisi-puisi yang terhimpun dalam antologi ini, kita merasa seperti menemukan pantun, gurindam, dan mantra dalam kemasan yang justru penuh simbolisme.

Pancaran keindahan puitik, kesamaan bunyi, dan pola tipografi yang unik seperti sengaja dikemas sedemikian rupa untuk menunjukkan jati diri kepenyairan sosok seorang Abdul Kadir Ibrahim. Ia telah membangun bentuk estetik yang kaya simbolisme dengan jiwa kerinduannya pada Sang Khalik. Jadi, dalam hal tradisi estetik, AKIB menerima dan menyerapnya secara kreatif, lantaran ia sekaligus telah berhasil meretas bentuk estetikanya sendiri dalam kemasan dan semangat yang berbeda.

Periksalah sejumlah puisinya dalam bagian Puisi 66 Menguak. Di sana, AKIB seperti hendak mewartakan 66 episode persenggamaannya dengan Tuhan, dengan alam, dan dengan kegelisahan batinnya dalam melakukan pencarian tentang apa pun. Maka, bentuk tipografi yang dibangun sedemikian rupa, hadir justru untuk mendukung efek kekuatan bunyi, selain pola-pola repetisi, sebagaimana yang menjadi kekuatan mantra, tetapi jiwanya adalah pencarian tentang apa pun itu. Di sana, jadinya permainan tipografi tidak sekadar bentuk kemasan, melainkan fisik yang membungkus jiwa puisi itu sendiri. Artinya, pola tipografi sebagai bentuk simbolik yang dapat dicantelkan pada makna larik-larik puisinya.

Cobalah secara sembarangan kita membuka lembaran antologi puisi ini, maka di sana kita akan menjumpai sejumlah hal yang disebutkan tadi.

Periksa misalnya, puisinya berikut ini:

18

umurku berlalu

mampu

kuhitung tahunnya

tapi lagulaganya

tak kutahu di mana

yang kurasa sia di atas

mesra

dan

cela di atas menghamba

merenta tua semakin terasa

bila hamba

menutup mata

di kau peluk yang

hamba minta

cerita doa

demikianlah

hamba telah

Tipografi seperti berjalan seenaknya. Tetapi perhatikan secara serius pola enjambemen –pemenggalan suku kata, kata atau kalimat untuk membangun kekuatan efek bunyi— dalam tipografi itu. Pertama, dalam soal bentuk, dengan tipografi model itu, maka AKIB mengintegrasikan pola bait ke dalam larik. Dan itu dimungkinkan dengan tipografi. Jadi, bisa saja kata sambung /dan/ pada larik kedelapan, berfungsi sebagai bait yang menghubungkan tujuh larik pertama dan larik kesembilan dan seterusnya. Lalu apa maknanya?

Kedua, kesatuan makna. Tujuh larik pertama mewartakan perilaku aku liris dalam kesadaran introspektif tentang kebahagiaan yang sia-sia ketika aku liris (: seseorang) tidak menyadari keberadaannya –dalam hubungan dengan Tuhan, alam, atau apa pun. Larik kedelapan /dan/ yang menjorok itu, seolah menyampaikan pewartaan berikutnya yang di belakangnya ada kekosongan, kehampaan, ketidaksadaran, atau ketakpahaman, dan di depannya ada kesadaran introspektif lainnya sampai pada pesan menjelang kematian yang di sana, permohonan doa seperti menegaskan kegamangan aku liris dalam menghadapi kematian. Lalu, larik berikutnya /demikianlah/ juga berfunsgi sebagai larik dan sekaligus juga bait yang menunjukkan selesailah pewartaan itu. Bagaimana pula dengan larik terakhir /hamba telah/?

Itulah keunikan model puisi AKIB. Larik /hamba telah/ bisa berfungsi membangun efek kesamaan bunyi, tetapi bisa juga sebagai kesengajaan penyair untuk menggantung penyelesaian –puisi itu—dengan medan tafsir. Di sini, terbuka peluang seluasnya bagi pembaca untuk melakukan berbagai tafsir semantik. /hamba telah/ bisa bermakna introspeksi yang sempurna, kesadaran penuh, penemuan atas serangkaian pencarian, atau penyelesaian sebuah episode untuk melanjutkan pada episode berikutnya. Jadi, pola tipografi model itu sekaligus telah menjelma jadi medan tafsir yang berlimpah.

Meskipun secara formalistik tipografi dibangun untuk mengemas makna dan menciptakan medan tafsir, pola persajakannya sendiri masih dapat kita telusuri pada tradisi persajakan mantra yang memberi tekanan pada repetisi dan kekuatan bunyi. Perhatikan lagi puisinya yang berikut:

27

wahai jiwa nan tenang

khusuk dan rafakurlah kau

dalam diam indahnya bulan

dalam diam indahnya matahari

dalam diam indahnya langit

dalam diam indahnya seisi bumi

diamlah kau diindahnya

kenangku

di

kau

ya allah

Meski dalam puisi ini tidak digunakan bentuk tipografi yang justru dimanfaatkan betul dalam sebagian besar puisi dalam antologi AKIB, kita masih menemukan usaha penyair menciptakan enjambemen di dua larik terakhir: /di/ dan /kau/. Sebagai puisi, tentu saja kita mesti mencurigai kesengajaan penyair memenggal /dikau/ jadi /di/ dan /kau/. Secara semantik /di/ sebagai kata depan memang menyatakan pada atau kata depan untuk mengiringi tempat, hal, atau benda tertentu. Tetapi mengingat /kau/ di sana bermakna sebagai Tuhan atau dialog aku lirik dengan Sang Khalik, maka /dikau/ atau /di/ dan /kau/ penekannya jadi berbeda. Oleh karena itu, enjambemen /dikau/ menjadi /di/ dan /kau/ harus ditarik dan dicantelkan pada keseluruhan pesan puisi itu.

Secara tematik, puisi itu hendak mengusung penyadaran penyair pada fenomena alam yang bersumber dan bermuara pada Sang Khalik. Dengan pemanfaatan repetisi, maka puisi itu menyimpan semangat mantra yang bermain dengan repetisi dan kekuatan kesamaan bunyi. Di sinilah, penyair kembali seperti hendak menegaskan kembali hakikat puisi yang menyimpan medan tafsir.

Jadi, pada akhirnya pola bait yang dihancurkan penyair ini, bukan tanpa maksud. Ia bersengaja melakukan itu justru untuk mengintegrasikan larik dan persajakan dalam keseluruhan makna dan sekaligus juga pesan puisi yang bersangkutan. Dalam hal ini, AKIB jelas hendak menegaskan semangat estetiknya dalam keutuhan, terintegrasi, bulat—inheren, menyeluruh, tanpa perlu ada transisi (: bait) yang sesungguhnya tidak berpengaruh apa pun ketika puisi tampil sebagai keseluruhan, totalitas yang tak dapat dipecah-pecah ke dalam bait-bait. Bukankah pemahaman pembaca pada sebuah teks puisi pada akhirnya pemahaman keseluruhan puisi yang bersangkutan. Jika begitu, mengapa perlu ada bait, jika tanpa itu, pemahaman dan apresiasi pembaca tidak terganggu?

***

Dalam antologi Negeri Air Mata, penyair Tanjungpinang ini kembali berusaha memaksimalkan berbagai bentuk tipografi untuk kepentingan pemaknaan dan penghancuran fungsi bait. Tetapi ada hal yang khas yang hendak ditawarkan Abdul Kadir Ibrahim berkenaan dengan pemanfaatan tipografi itu, yaitu: permainan kata dalam lompatan-lompatan gagasan. Bukankah gagasan kerap juga dibangun oleh lompatan-lompatan kata yang kadangkala terpaksa dibangun kembali dengan mempersatukannya sebagai keseluruhan makna. Dengan tipografi itu pula, kata-kata, bahkan suku kata, seolah-olah berada dalam kondisi cerai-berai, berantakan, berceceran yang jika disusun kembali, justru menghasilkan koherensi yang kokoh dalam keseluruhan maknanya.

Permainan tipografi, tanpa tujuan membangun makna tentu saja akan sangat berbahaya. Tentu Saja AKIB sangat menyadari benar bahaya itu. Permainan tipografi yang dibangunnya justru dengan kesadaran mengusung estetika kepenyairannya. Oleh karena itu, memahami puisi-puisi AKIB, kita jangan terjebak sebatas pada permainan tipografi, melainkan pada cantelannya dengan pesan puisi yang bersangkutan. Maka, di sana kita akan menemukan sejumlah pesan yang jika ditarik lebih jauh, cenderung merupakan manifestasi pengembaraan spiritual tentang hubungan manusia dengan alam, dengan Tuhan, dan dengan kegelisahannya sendiri. Bukankah relasi manusia—Tuhan, manusia—alam, dan manusia—manusia, bersifat universal, tetapi sekaligus juga individual.

Demikianlah, betapapun puisi-puisi Abdul Kadir Ibrahim tampak begitu rumit lantaran permainan tipografinya, kita masih dapat menikmatinya sebagaimana juga menikmati puisi lain, jika kita tidak terjebak hanya sebatas pada bentuk tipografi. Dalam hal ini, seperti telah dinyatakan tadi, tipografi harus dicantelkan pada makna puisi yang bersangkutan. Dengan cara demikian, kita akan melihat pancaran maknanya yang justru merepresentasikan kegelisahan penyairannya dalam berhadapan dengan Tuhan, alam, dan dirinya sendiri.

Secara keseluruhan, membaca puisi-puisi AKIB, saya seperti berhadapan dengan permainan petak—umpet, melacak bentuk tipografi untuk menemukan makna. Atau mengikuti larik-larik puisinya, lalu terpaksa harus menelusuri pola lariknya yang disusun dalam tipografi. Dari sana, berjumpalah dengan maknanya yang sedang meringkuk dan bersembunyi dalam deretan kata-kata.

Bahwa puisi-puisi Abdul Kadir Ibrahim meneroka tradisi leluhurnya, tampak dari bertaburannya kosa-kata arkais bahasa Melayu, sebagaimana yang pernah dieksploitasi Amir Hamzah. Bagusnya, AKIB tidak berhenti sampai di sana. Ia justru kemudian coba menghancurkan tradisi estetik yang pernah dibangun penyair lain. Di sinilah posisi kepenyairan AKIB seperti bergerak sendiri di jalannya, menempati kotaknya sendiri yang khas, unik, tetapi sekaligus juga menyentuh aspek universalitas kemanusiaan.

Sebuah tarian kata-kata dalam bungkusan tipografi yang beraneka telah berhasil dikukuhkan Abdul Kadir Ibrahim sebagai monumen kepenyairannya. Dan saya menikmati permainan petak—umpetnya.

Tahniah, AKIB!

Bojonggede, 15 Maret 2007

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest