Kamis, 14 Oktober 2010

Generasi Terbaru Novelis Kita: Antara Marrakesh, Moskow, dan Spinoza

Seno Joko Suyono, Heru Nugroho, Imron Rosyid, Bobby Gunawan
http://majalah.tempointeraktif.com/

Perkenalkan Galih….
Ia dosen di Universitas Gadjah Mada. Dahulu tahun 1990-an tinggal di Moskow. Pernah memiliki pacar asli Rusia bernama Krasnaya. Krasnaya bekerja di Kalinin Bookstore di wilayah Kalinin Prospek. Berdua mereka dari Moskow sering ke St. Petersburg menjenguk nenek Krasnaya. Tapi, di era akhir pemerintahan Gorbachev, terjadilah tragedi itu. Suatu hari di depan pintu panti jompo sang nenek, tergeletak dua bungkusan mayat: mayat Krasnaya dan ayahnya—mereka dibunuh….

Perkenalkan juga Kejora….
Ia lulusan sebuah pesantren di Jawa, aktivis pelbagai kegiatan diskusi. Pengalamannya luar biasa. Ia menjelajah ke kota-kota, masjid-masjid, dan situs-situs kuno di Timur Tengah: Damaskus, Marrakesh, Casablanca, Tangier, El-Shareque, Amman, puing-puing kota Iram. Sering keluar-masuk kampus Universitas Qurowiyyin sampai Universitas Al-Akhawayn. Bergaul dengan mahasiswi-mahasiswi, baik Palestina maupun Yahudi. Hafal lagu-lagu Arab, Suriah, dan Maroko, dari El-Arabi Serghini, Omar Metioui, Jorge Rozemblum, Majida al-Roumi, Mayada el-Hennawi, sampai Rasheed Thaha.

Inilah tokoh-tokoh novel terbaru Indonesia. Kejora adalah tokoh dalam novel Geni Jora karya Abidah el-Khalieqy dan Galih adalah protagonis novel Tabula Rasa karya Ratih Kumala. Dua sastrawan perempuan ini adalah pemenang kedua dan ketiga penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 2003. Segera khazanah novel Indonesia mengalami perluasan setting. Sementara Nh. Dini pernah membuat novel dengan setting Jepang atau Paris, Bur Rasuanto dengan Vietnam, Ayu Utami dengan New York, dan Fira Basuki memakai setting Singapura, kini giliran Rusia dan Damaskus. “Ada kecenderungan generasi kini semakin menciptakan tokoh-tokoh yang memiliki mobilitas dalam dunia internasional,” kata Sapardi Djoko Damono, salah satu anggota dewan juri. Tokoh-tokoh tak lagi terkungkung dalam geografi lokal seperti Siti Nurbaya.

Yang menarik, perluasan lokasi itu bisa diperoleh sepenuhnya dengan riset. Kedua pengarang di atas sama sekali tak pernah ke daerah-daerah yang menjadi lokasi novel mereka. “Saya belum pernah ke Rusia. Saya tertarik mengambil setting Rusia karena bahasanya dinilai banyak orang sulit. Saya sendiri tak bisa bahasa Rusia,” kata Ratih Kumala, 24 tahun, sambil tertawa. Di beberapa bagian, mahasiswa sastra Inggris Universitas Sebelas Maret, Solo, ini menampilkan petikan kalimat-kalimat langsung berba-hasa Rusia. “…Ya zhdu tebya b Gorki Park (kutunggu kamu di Gorky Park)”—bagian ketika Krasnaya berteriak kangen kepada Galih.

Memang yang demikian bukan hal yang haram. Sebut saja Karl May, yang dengan kekuatan bahasanya mampu melukiskan sabana-sabana Amerika tanpa ia sendiri pernah pergi ke sana. Itu menandakan bahwa imajinasi bisa lebih perkasa dari pengalaman fisik. Namun lengkapnya data dan kualitas sumber informasi adalah tetap kunci utama untuk hal ini. Harus diingat, petualangan Winnetou dan Old Shatterhand sendiri, meski memikat, banyak yang ternyata tak akurat—nama-nama lokasi tak ada dalam kenyataan.

Untuk membangun setting novelnya, di samping mengandalkan buku-buku tentang Rusia, Ratih Kumala selalu berkonsultasi dengan seorang temannya, mahasiswa sas-tra Rusia Universitas Indonesia. “Saya sempat hendak mengganti setting ke Negara Jerman karena terbentur data, padahal sudah separuh lebih saya jalan. Saya kemudian memutuskan untuk mencari data tentang Rusia yang lebih lengkap dulu, kemudian baru menulisnya,” ujarnya.

Juga demikian Abidah el-Khalieqy. Ia pernah ke Mesir, tapi malah tidak memakai Mesir untuk setting Geni Jora, melainkan Maroko, Damaskus, Palestina, Libanon, dan sebagian Israel. “Saya pilih setting Timur Tengah karena saya melihat novel-novel mutakhir Indonesia lebih banyak mengambil setting negara Barat,” kata Abidah. Menurut Abidah, biasanya citra orang Timur Tengah negatif, padahal kota-kota tua Timur Tengah—setelah Athena, Yunani, dahulu—adalah jalur peradaban dunia. “Timur Tengah itu sebetulnya merupakan keseharian mimpi-mimpi saya. Kalau ada yang menawarkan perjalanan gratis ke luar negeri, saya pingin ke Timur Tengah, terutama ke daerah-daerah yang saya pakai dalam novel itu.”

Novel Geni Jora bukan novel pertama Abidah. Ia lebih dulu menghasilkan Perempuan Berkalung Sorban (2000). Novel pertamanya itu menekankan persoalan gender dan feminisme—berbeda dengan Geni Jora, yang lebih bercerita tentang gejolak perasaan cinta. Dari rumahnya di Jombang, Jawa Timur, ia menjangkau Timur Tengah lewat dua cara: buku-buku dan survei Internet. “Kalau soal lokasi, saya melihat di peta, tapi kalau soal cuaca, soal bunga, atau makanan dan bagaimana cara meramunya, saya chatting dengan teman-teman saya di Timur Tengah,” katanya.

Ketika mendeskripsikan musim dingin di Damaskus, misalnya, ia menulis dengan detail tentang segelas khamr, secangkir shahi nekna, sepiring falafel, sepiring besar dolmades…. Betapapun, mungkin karena bukan pandangan mata lang-sung, penggambarannya tak mengirim pembacanya ke suasana lokasi. Dalam soal makan tadi, misalnya, kita tak bisa membayangkan gerak-gerik mereka makan.

Juga ketika ia menyebut nama-nama masjid dan kampus, suasana atmosfer masjid atau kampus itu tak berdenyar. Maka, menurut Sapardi Djoko Damono, karena ini menyangkut soal akurasi, novel-novel pemenang ini harus diedit. Di mata Sapardi, pengarang harus rendah hati bahwa ia tak tahu tentang segala-galanya, tentang bahasa, dialek, atau detail sebuah lokasi. “Saya sering menjadi juri lomba penulisan cerita bersambung Femina. Banyak tokoh cerber itu dikisahkan tinggal Eropa dan penulisnya lalu sering menampilkan kutipan dialog dalam bahasa Inggris. Tapi 50 persen bahasa Inggrisnya salah kaprah semua,” kata Sapardi.

Perlunya diedit sebelum diterbitkan ini jadi penting karena para pemenang itu melakukan inovasi stilistika yang rumit. Diakui atau tidak, setelah Ayu Utami, makin banyak pengarang kita yang berani melakukan eksperimen struktur. Inovasi seolah tantangan yang menggairahkan. “Dari segi alur, saya melihat para novelis wanita sekarang cenderung menggunakan alur yang berbelit-belit atau tidak lurus. Naratornya juga tidak hanya satu orang,” kata Budi Darma.

Terlihat para pengarang sekarang dengan sangat sadar mengutak-atik sistem untuk menyiapkan kejutan-kejutan. Itu yang membedakan pengarang perempuan sastra Indonesia modern dengan pengarang sastra daerah. Dalam sastra daerah, perluasan tema apalagi inovasi strukturnya minim. Belum ada penelitian tentang perbandingan itu memang. Tapi kita mungkin dapat menduga penyebabnya. Para pembaca sastra Sunda atau Jawa tentu berbeda dengan segmen pembaca Dewi “Supernova” atau Djenar Maesa Ayu.

Djenar bisa dengan rileks menulis tentang kelamin, sisi bukunya yang kemudian menjadi perbincangan hangat para pembacanya. Tapi tidak begitu halnya sastrawan Sunda Holisoh. Guru dan Kepala Sekolah Dasar Cileunyi V, Bandung, yang dikenal produktif menulis novel berbahasa Sunda ini suatu kali pernah diprotes habis-habisan oleh koleganya lantaran tokoh utama novelnya, Kembang-Kembang Petingan. Mereka, para pembacanya, marah dan mempertanyakan mengapa ia sebagai pendidik malah justru mengangkat tokoh utama seorang pelacur.

Inovasi struktur dalam novel pemenang lomba penulisan Dewan Kesenian Jakarta tahun 2003 ini, misalnya, sangat tampak pada novel pemenang pertama, Dadaisme, karya Dewi Sartika. Dalam novelnya, tersebutlah tokoh yang berprofesi sebagai dokter jiwa. Namanya Dokter Aleda. Aleda adalah dokter yang menangani pasien anak kecil bernama Nedena. “Dia anak kecil yang memiliki khayalan. Dia bisa bicara dari umur 4 sampai 6 tahun. Umur 6 sampai 9 tahun tidak bisa bicara,” kata Dewi kepada TEMPO.

Alur ceritanya berpindah-pindah. Ada adegan soal Dokter Aleda yang berusaha membuat Nedena bisa bicara lagi. “Dipaksa bicara tapi tidak mau. Dia cuma bicara kepada teman khayalnya dalam hati,” kata Dewi. Teman khayalan Nedena itu bernama Michail. Dia seorang malaikat dengan satu sayap. Yang menarik, malaikat ini muncul juga di hati tokoh lain dalam novel. Misalnya ia muncul pada Ging, seorang biksu. “Michail ini karakter yang menggambarkan kesedihan saya sendiri,” kata Dewi. Dengan gagasan seperti itu, setiap karakter jadi mungkin berkisah sendiri-sendiri. Satu sama lain punya hubungan yang mengikatkan: si malaikat bersayap satu.

Yang lucu, banyak teman Dewi kaget ketika mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia ini menang. Wanita berumur 24 tahun ini memiliki taman bacaan Mochan—singkatan dari Monyet Cantik—di Jalan Saluyu B-IV Nomor 16, Kompleks Riung Bandung. Ketika TEMPO berkunjung ke sana, Tutu, teman sehari-hari Dewi, tak tahu bahwa diam-diam Dewi menulis novel. Sebab, selama ini, Dewi dikenalnya lebih suka cerita-cerita remaja. Dewi sendiri mengakui hal itu. Menurut dia, selama di SMU, ia malah sering menggambar komik dan selama ini sering mengirim cerita remaja ke media. Ironisnya, cerita remajanya tak pernah dimuat. Sebaliknya karya yang berbobot sastra: langsung menyambar hadiah. “Saya sangat suka dengan cerita remaja, tapi yang lolos malah yang sastra. Saya jadi bingung,” katanya jujur.

Struktur novel Dewi kompleks. Dan itu—menurut Sapardi—tidak mengejutkan betul. “Bagi saya, tidak ada satu pun novel yang mengikuti sayembara ini memuaskan dari segi struktur,” katanya. Sapardi melihat semua novel yang diikutsertakan dalam sayembara ini ditulis dengan tergesa-gesa. Buktinya, banyak yang datang ke panitia mendekati batas waktu pengiriman. Menurut Sapardi, kecerobohan, kekurangan, dan keteledoran banyak terjadi. Maka hasil tak memuaskan akan muncul jika buku diterbitkan begitu saja, tanpa dirapikan.

Semua karya pemenang Nobel sastra, menurut Sapardi, saat diterbitkan selalu melalui proses editing yang ketat. “Bahkan puisi T.S. Elliot, The Waste Land, yang membuat dia meraih Nobel, sebenarnya hasil editing habis-habisan Ezra Pound, temannya yang sesama penyair,” katanya. Pengalaman Sapardi menerjemahkan novel The Old Man and the Sea karya Ernest Hemingway semakin menguatkan keyakinan dia bahwa novel apa pun perlu pengeditan. Semua kata dan kalimat Lelaki Tua dan Laut begitu kompak. Tidak ada satu adegan pun yang tidak berguna atau tidak bermakna. Novel laris seperti karya John Grisham, Sidney Sheldon, dan J.K. Rowling juga hasil editing.

Menurut dia, sastrawan besar selalu menjadi sahabat karib editornya. Karena itu, proses penyuntingan selalu dalam dialog. Pengeditnya bisa bersama-sama pengarangnya melakukan penyuntingan. Novel Grisham, yang aslinya lebih dari 750 halaman, oleh editornya misalnya bisa dipadatkan menjadi 350 halaman. Tapi Grisham tetap merasa puas. Itu berlainan dengan mayoritas sastrawan Indonesia, yang marah bila diedit. Bagaimana dengan Saman, yang setelah menang sayembara Dewan Kesenian Jakarta langsung diterbitkan tanpa diubah sama sekali? “Tapi saya yakin seyakin-yakinnya, sebelum dikirimkan ke lomba, Saman mengalami editing. Jadi, sudah ada yang mengedit. Siapa? Saya tidak tahu, tapi pasti sudah ada yang mengedit karena hasilnya serapi itu,” kata Sapardi.

Tapi Sapardi mengakui yang menjadi soal sekarang adalah Indonesia kekurangan editor yang baik. “Itu krisis yang paling serius dalam dunia sastra kita,” katanya. Pengertian editor yang tumbuh di sini adalah seperti tukang yang hanya memperbaiki ejaan, abjad, dan koma. Padahal tugas editor lebih dari itu. Ia bisa menajamkan struktur, menghapuskan hal-hal yang tak relevan, pokoknya melakukan segala hal yang menajamkan gagasan. Di luar negeri, menurut Sapardi, orang bisa lebih bangga menjadi editor daripada penulis: “I am editor” bukan “I am writer.” Untuk tiga pemenang penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 2003 ini, Sapardi sebenarnya mau menjadi editor. Tapi, lantaran tak banyak waktu, ia meminta agar para novelis tersebut sabar. Tapi rupanya para novelis pemenang memilih jalan lain. Mereka lebih suka karyanya diterbitkan tanpa diedit.

Dan buku novel mereka diluncurkan di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 28 April lalu, yang dihadiri sekitar seratus orang. Novel yang kemudian dibukukan oleh penerbit Matahari itu dibahas oleh Melani Budianta dan Gadis Arivia Effendi. Melani memuji kekompleksan struktur Dadaisme dan kemampuan Dewi Sartika menyambung cerita. Tapi kritiknya, struktur membuat karakter tokoh jadi datar dan tak optimal karena ruang yang ditampilkan hanya sedikit. Penyebutan nama filsuf yang bertebaran di novel, menurut Melani, juga mengganggu. Dalam novel Dadaisme banyak terdapat paparan surat-menyurat via e-mail antara dokter jiwa Aleda dan rekannya, Magnos. Mereka berdiskusi tentang apa saja, malaikat, Tuhan.… Dan mereka banyak mengutip pendapat filsuf seperti Leibniz, Spinoza, dan Descartes. Menurut Melani, sebaiknya itu dihilangkan. Lebih nyaman ditampilkan gagasannya saja.

“Sastrawan yang tak mau diedit mengambil posisi tidak betul. Mereka seperti Gusti Allah,” kritik Sapardi. Lepas dari persoalan itu, Dewi, Abidah, dan Ratih makin memantapkan tesis Sapardi bahwa masa depan sastra Indonesia memang berada di tangan perempuan. Baik dalam lomba maupun nonlomba akhir-akhir ini, kehidupan sastra Indonesia didominasi pengarang perempuan. Dari mereka, lahir sesuatu yang kreatif. Budi Darma, misalnya, mengamati bahwa kini banyak mahasiswanya yang memiliki keinginan besar menjadi novelis—gejala yang justru banyak didapat di antara mahasiswa perempuan. “Sekarang ini saja ada empat novel karya seorang perempuan di atas meja saya. Penerbitnya minta saya memberikan kata pengantar ringkas,” kata guru besar sastra ini.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest