Seno Joko Suyono, Heru Nugroho, Imron Rosyid, Bobby Gunawan
http://majalah.tempointeraktif.com/
Perkenalkan Galih….
Ia dosen di Universitas Gadjah Mada. Dahulu tahun 1990-an tinggal di Moskow. Pernah memiliki pacar asli Rusia bernama Krasnaya. Krasnaya bekerja di Kalinin Bookstore di wilayah Kalinin Prospek. Berdua mereka dari Moskow sering ke St. Petersburg menjenguk nenek Krasnaya. Tapi, di era akhir pemerintahan Gorbachev, terjadilah tragedi itu. Suatu hari di depan pintu panti jompo sang nenek, tergeletak dua bungkusan mayat: mayat Krasnaya dan ayahnya—mereka dibunuh….
Perkenalkan juga Kejora….
Ia lulusan sebuah pesantren di Jawa, aktivis pelbagai kegiatan diskusi. Pengalamannya luar biasa. Ia menjelajah ke kota-kota, masjid-masjid, dan situs-situs kuno di Timur Tengah: Damaskus, Marrakesh, Casablanca, Tangier, El-Shareque, Amman, puing-puing kota Iram. Sering keluar-masuk kampus Universitas Qurowiyyin sampai Universitas Al-Akhawayn. Bergaul dengan mahasiswi-mahasiswi, baik Palestina maupun Yahudi. Hafal lagu-lagu Arab, Suriah, dan Maroko, dari El-Arabi Serghini, Omar Metioui, Jorge Rozemblum, Majida al-Roumi, Mayada el-Hennawi, sampai Rasheed Thaha.
Inilah tokoh-tokoh novel terbaru Indonesia. Kejora adalah tokoh dalam novel Geni Jora karya Abidah el-Khalieqy dan Galih adalah protagonis novel Tabula Rasa karya Ratih Kumala. Dua sastrawan perempuan ini adalah pemenang kedua dan ketiga penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 2003. Segera khazanah novel Indonesia mengalami perluasan setting. Sementara Nh. Dini pernah membuat novel dengan setting Jepang atau Paris, Bur Rasuanto dengan Vietnam, Ayu Utami dengan New York, dan Fira Basuki memakai setting Singapura, kini giliran Rusia dan Damaskus. “Ada kecenderungan generasi kini semakin menciptakan tokoh-tokoh yang memiliki mobilitas dalam dunia internasional,” kata Sapardi Djoko Damono, salah satu anggota dewan juri. Tokoh-tokoh tak lagi terkungkung dalam geografi lokal seperti Siti Nurbaya.
Yang menarik, perluasan lokasi itu bisa diperoleh sepenuhnya dengan riset. Kedua pengarang di atas sama sekali tak pernah ke daerah-daerah yang menjadi lokasi novel mereka. “Saya belum pernah ke Rusia. Saya tertarik mengambil setting Rusia karena bahasanya dinilai banyak orang sulit. Saya sendiri tak bisa bahasa Rusia,” kata Ratih Kumala, 24 tahun, sambil tertawa. Di beberapa bagian, mahasiswa sastra Inggris Universitas Sebelas Maret, Solo, ini menampilkan petikan kalimat-kalimat langsung berba-hasa Rusia. “…Ya zhdu tebya b Gorki Park (kutunggu kamu di Gorky Park)”—bagian ketika Krasnaya berteriak kangen kepada Galih.
Memang yang demikian bukan hal yang haram. Sebut saja Karl May, yang dengan kekuatan bahasanya mampu melukiskan sabana-sabana Amerika tanpa ia sendiri pernah pergi ke sana. Itu menandakan bahwa imajinasi bisa lebih perkasa dari pengalaman fisik. Namun lengkapnya data dan kualitas sumber informasi adalah tetap kunci utama untuk hal ini. Harus diingat, petualangan Winnetou dan Old Shatterhand sendiri, meski memikat, banyak yang ternyata tak akurat—nama-nama lokasi tak ada dalam kenyataan.
Untuk membangun setting novelnya, di samping mengandalkan buku-buku tentang Rusia, Ratih Kumala selalu berkonsultasi dengan seorang temannya, mahasiswa sas-tra Rusia Universitas Indonesia. “Saya sempat hendak mengganti setting ke Negara Jerman karena terbentur data, padahal sudah separuh lebih saya jalan. Saya kemudian memutuskan untuk mencari data tentang Rusia yang lebih lengkap dulu, kemudian baru menulisnya,” ujarnya.
Juga demikian Abidah el-Khalieqy. Ia pernah ke Mesir, tapi malah tidak memakai Mesir untuk setting Geni Jora, melainkan Maroko, Damaskus, Palestina, Libanon, dan sebagian Israel. “Saya pilih setting Timur Tengah karena saya melihat novel-novel mutakhir Indonesia lebih banyak mengambil setting negara Barat,” kata Abidah. Menurut Abidah, biasanya citra orang Timur Tengah negatif, padahal kota-kota tua Timur Tengah—setelah Athena, Yunani, dahulu—adalah jalur peradaban dunia. “Timur Tengah itu sebetulnya merupakan keseharian mimpi-mimpi saya. Kalau ada yang menawarkan perjalanan gratis ke luar negeri, saya pingin ke Timur Tengah, terutama ke daerah-daerah yang saya pakai dalam novel itu.”
Novel Geni Jora bukan novel pertama Abidah. Ia lebih dulu menghasilkan Perempuan Berkalung Sorban (2000). Novel pertamanya itu menekankan persoalan gender dan feminisme—berbeda dengan Geni Jora, yang lebih bercerita tentang gejolak perasaan cinta. Dari rumahnya di Jombang, Jawa Timur, ia menjangkau Timur Tengah lewat dua cara: buku-buku dan survei Internet. “Kalau soal lokasi, saya melihat di peta, tapi kalau soal cuaca, soal bunga, atau makanan dan bagaimana cara meramunya, saya chatting dengan teman-teman saya di Timur Tengah,” katanya.
Ketika mendeskripsikan musim dingin di Damaskus, misalnya, ia menulis dengan detail tentang segelas khamr, secangkir shahi nekna, sepiring falafel, sepiring besar dolmades…. Betapapun, mungkin karena bukan pandangan mata lang-sung, penggambarannya tak mengirim pembacanya ke suasana lokasi. Dalam soal makan tadi, misalnya, kita tak bisa membayangkan gerak-gerik mereka makan.
Juga ketika ia menyebut nama-nama masjid dan kampus, suasana atmosfer masjid atau kampus itu tak berdenyar. Maka, menurut Sapardi Djoko Damono, karena ini menyangkut soal akurasi, novel-novel pemenang ini harus diedit. Di mata Sapardi, pengarang harus rendah hati bahwa ia tak tahu tentang segala-galanya, tentang bahasa, dialek, atau detail sebuah lokasi. “Saya sering menjadi juri lomba penulisan cerita bersambung Femina. Banyak tokoh cerber itu dikisahkan tinggal Eropa dan penulisnya lalu sering menampilkan kutipan dialog dalam bahasa Inggris. Tapi 50 persen bahasa Inggrisnya salah kaprah semua,” kata Sapardi.
Perlunya diedit sebelum diterbitkan ini jadi penting karena para pemenang itu melakukan inovasi stilistika yang rumit. Diakui atau tidak, setelah Ayu Utami, makin banyak pengarang kita yang berani melakukan eksperimen struktur. Inovasi seolah tantangan yang menggairahkan. “Dari segi alur, saya melihat para novelis wanita sekarang cenderung menggunakan alur yang berbelit-belit atau tidak lurus. Naratornya juga tidak hanya satu orang,” kata Budi Darma.
Terlihat para pengarang sekarang dengan sangat sadar mengutak-atik sistem untuk menyiapkan kejutan-kejutan. Itu yang membedakan pengarang perempuan sastra Indonesia modern dengan pengarang sastra daerah. Dalam sastra daerah, perluasan tema apalagi inovasi strukturnya minim. Belum ada penelitian tentang perbandingan itu memang. Tapi kita mungkin dapat menduga penyebabnya. Para pembaca sastra Sunda atau Jawa tentu berbeda dengan segmen pembaca Dewi “Supernova” atau Djenar Maesa Ayu.
Djenar bisa dengan rileks menulis tentang kelamin, sisi bukunya yang kemudian menjadi perbincangan hangat para pembacanya. Tapi tidak begitu halnya sastrawan Sunda Holisoh. Guru dan Kepala Sekolah Dasar Cileunyi V, Bandung, yang dikenal produktif menulis novel berbahasa Sunda ini suatu kali pernah diprotes habis-habisan oleh koleganya lantaran tokoh utama novelnya, Kembang-Kembang Petingan. Mereka, para pembacanya, marah dan mempertanyakan mengapa ia sebagai pendidik malah justru mengangkat tokoh utama seorang pelacur.
Inovasi struktur dalam novel pemenang lomba penulisan Dewan Kesenian Jakarta tahun 2003 ini, misalnya, sangat tampak pada novel pemenang pertama, Dadaisme, karya Dewi Sartika. Dalam novelnya, tersebutlah tokoh yang berprofesi sebagai dokter jiwa. Namanya Dokter Aleda. Aleda adalah dokter yang menangani pasien anak kecil bernama Nedena. “Dia anak kecil yang memiliki khayalan. Dia bisa bicara dari umur 4 sampai 6 tahun. Umur 6 sampai 9 tahun tidak bisa bicara,” kata Dewi kepada TEMPO.
Alur ceritanya berpindah-pindah. Ada adegan soal Dokter Aleda yang berusaha membuat Nedena bisa bicara lagi. “Dipaksa bicara tapi tidak mau. Dia cuma bicara kepada teman khayalnya dalam hati,” kata Dewi. Teman khayalan Nedena itu bernama Michail. Dia seorang malaikat dengan satu sayap. Yang menarik, malaikat ini muncul juga di hati tokoh lain dalam novel. Misalnya ia muncul pada Ging, seorang biksu. “Michail ini karakter yang menggambarkan kesedihan saya sendiri,” kata Dewi. Dengan gagasan seperti itu, setiap karakter jadi mungkin berkisah sendiri-sendiri. Satu sama lain punya hubungan yang mengikatkan: si malaikat bersayap satu.
Yang lucu, banyak teman Dewi kaget ketika mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia ini menang. Wanita berumur 24 tahun ini memiliki taman bacaan Mochan—singkatan dari Monyet Cantik—di Jalan Saluyu B-IV Nomor 16, Kompleks Riung Bandung. Ketika TEMPO berkunjung ke sana, Tutu, teman sehari-hari Dewi, tak tahu bahwa diam-diam Dewi menulis novel. Sebab, selama ini, Dewi dikenalnya lebih suka cerita-cerita remaja. Dewi sendiri mengakui hal itu. Menurut dia, selama di SMU, ia malah sering menggambar komik dan selama ini sering mengirim cerita remaja ke media. Ironisnya, cerita remajanya tak pernah dimuat. Sebaliknya karya yang berbobot sastra: langsung menyambar hadiah. “Saya sangat suka dengan cerita remaja, tapi yang lolos malah yang sastra. Saya jadi bingung,” katanya jujur.
Struktur novel Dewi kompleks. Dan itu—menurut Sapardi—tidak mengejutkan betul. “Bagi saya, tidak ada satu pun novel yang mengikuti sayembara ini memuaskan dari segi struktur,” katanya. Sapardi melihat semua novel yang diikutsertakan dalam sayembara ini ditulis dengan tergesa-gesa. Buktinya, banyak yang datang ke panitia mendekati batas waktu pengiriman. Menurut Sapardi, kecerobohan, kekurangan, dan keteledoran banyak terjadi. Maka hasil tak memuaskan akan muncul jika buku diterbitkan begitu saja, tanpa dirapikan.
Semua karya pemenang Nobel sastra, menurut Sapardi, saat diterbitkan selalu melalui proses editing yang ketat. “Bahkan puisi T.S. Elliot, The Waste Land, yang membuat dia meraih Nobel, sebenarnya hasil editing habis-habisan Ezra Pound, temannya yang sesama penyair,” katanya. Pengalaman Sapardi menerjemahkan novel The Old Man and the Sea karya Ernest Hemingway semakin menguatkan keyakinan dia bahwa novel apa pun perlu pengeditan. Semua kata dan kalimat Lelaki Tua dan Laut begitu kompak. Tidak ada satu adegan pun yang tidak berguna atau tidak bermakna. Novel laris seperti karya John Grisham, Sidney Sheldon, dan J.K. Rowling juga hasil editing.
Menurut dia, sastrawan besar selalu menjadi sahabat karib editornya. Karena itu, proses penyuntingan selalu dalam dialog. Pengeditnya bisa bersama-sama pengarangnya melakukan penyuntingan. Novel Grisham, yang aslinya lebih dari 750 halaman, oleh editornya misalnya bisa dipadatkan menjadi 350 halaman. Tapi Grisham tetap merasa puas. Itu berlainan dengan mayoritas sastrawan Indonesia, yang marah bila diedit. Bagaimana dengan Saman, yang setelah menang sayembara Dewan Kesenian Jakarta langsung diterbitkan tanpa diubah sama sekali? “Tapi saya yakin seyakin-yakinnya, sebelum dikirimkan ke lomba, Saman mengalami editing. Jadi, sudah ada yang mengedit. Siapa? Saya tidak tahu, tapi pasti sudah ada yang mengedit karena hasilnya serapi itu,” kata Sapardi.
Tapi Sapardi mengakui yang menjadi soal sekarang adalah Indonesia kekurangan editor yang baik. “Itu krisis yang paling serius dalam dunia sastra kita,” katanya. Pengertian editor yang tumbuh di sini adalah seperti tukang yang hanya memperbaiki ejaan, abjad, dan koma. Padahal tugas editor lebih dari itu. Ia bisa menajamkan struktur, menghapuskan hal-hal yang tak relevan, pokoknya melakukan segala hal yang menajamkan gagasan. Di luar negeri, menurut Sapardi, orang bisa lebih bangga menjadi editor daripada penulis: “I am editor” bukan “I am writer.” Untuk tiga pemenang penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 2003 ini, Sapardi sebenarnya mau menjadi editor. Tapi, lantaran tak banyak waktu, ia meminta agar para novelis tersebut sabar. Tapi rupanya para novelis pemenang memilih jalan lain. Mereka lebih suka karyanya diterbitkan tanpa diedit.
Dan buku novel mereka diluncurkan di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 28 April lalu, yang dihadiri sekitar seratus orang. Novel yang kemudian dibukukan oleh penerbit Matahari itu dibahas oleh Melani Budianta dan Gadis Arivia Effendi. Melani memuji kekompleksan struktur Dadaisme dan kemampuan Dewi Sartika menyambung cerita. Tapi kritiknya, struktur membuat karakter tokoh jadi datar dan tak optimal karena ruang yang ditampilkan hanya sedikit. Penyebutan nama filsuf yang bertebaran di novel, menurut Melani, juga mengganggu. Dalam novel Dadaisme banyak terdapat paparan surat-menyurat via e-mail antara dokter jiwa Aleda dan rekannya, Magnos. Mereka berdiskusi tentang apa saja, malaikat, Tuhan.… Dan mereka banyak mengutip pendapat filsuf seperti Leibniz, Spinoza, dan Descartes. Menurut Melani, sebaiknya itu dihilangkan. Lebih nyaman ditampilkan gagasannya saja.
“Sastrawan yang tak mau diedit mengambil posisi tidak betul. Mereka seperti Gusti Allah,” kritik Sapardi. Lepas dari persoalan itu, Dewi, Abidah, dan Ratih makin memantapkan tesis Sapardi bahwa masa depan sastra Indonesia memang berada di tangan perempuan. Baik dalam lomba maupun nonlomba akhir-akhir ini, kehidupan sastra Indonesia didominasi pengarang perempuan. Dari mereka, lahir sesuatu yang kreatif. Budi Darma, misalnya, mengamati bahwa kini banyak mahasiswanya yang memiliki keinginan besar menjadi novelis—gejala yang justru banyak didapat di antara mahasiswa perempuan. “Sekarang ini saja ada empat novel karya seorang perempuan di atas meja saya. Penerbitnya minta saya memberikan kata pengantar ringkas,” kata guru besar sastra ini.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar