Minggu, 06 Juni 2010

SENI TRADISI: BERTOLAK DARI TEATER MISKIN

Balok Sf
http://terpelanting.wordpress.com/

Ketika seni tradisi, ludruk, wayang, maupun kentrung, dihadapkan pada masyarakatnya bukan lagi sebagai suatu tontonan yang menjadi tuntunan yang sebenar, tetapi hanyalah dianggap sebagai “seni pinggiran” yang sifatnya hanyalah sekilas, hiburan, temporer. Seni Tradisi tidak bermakna lagi di hati mereka. Inilah yang dinamakan tuntunan yang menjadi tontonan. Seperti yang pernah kita ketahui bahwa awal muncul seni tradisi banyak memuat ajaran-ajaran moral, baik tersurat maupun tersirat.

Dalam sejarahnya, yang pernah kita ketahui, bahwa seni tardisi, ludruk, wayang, maupun kentrung lahir dari religiusitas komunal yang membutuhkan komunikasi langsung dengan penontonnya. Antara aktor, penonton maupun pekerja seni menyatu dalam religiusitas berkesenian. Mereka merasa memiliki dan dimiliki. Seperti ada suatu kesepakatan yang harus diakui dan dipatuhi, dalam bentuknya maupun penyajiannya. Di sini seolah-olah masyarakatlah yang mencipta kesenian itu. Akhirnya kesenian ini menjadi milik masyarakat.

Tetapi, sekarang, kesenian semacam ini hilang. Seolah-olah, atau memang benar-benar, menjauh dari masyarakatnya. Misalnya: ludruk, wayang, maupun kentrung telah ditinggalkan oleh masyarakat yang pernah menciptanya. Mereka (pelaku seni tradisi) tidak bermakna lagi ketika bertutur, berkreasi di hadapan masyarakat pemiliknya. Ini menjadi semacam akibat dari konsumenisme masyarakat terhadap hasil dari produk-produk kapitalis. Sifat-sifat semacam ini merambah di dunia kesenian. Apapun pola tingkah lakunya selalu dibatasi oleh sifat-sifat itu. Sehingga dorongan-dorongan kerja kreatif dalam berkesenian tidak ada. Seolah-olah ketika mereka melihat suatu pertunjukan kesenian, ia melihat suatu produk yang dihasilkan oleh kelompok-kelompok kesenian. Sehingga menghilangkan “religiusitas” dalam berkesenian. Padahal kalau kita kaji secara mendalam, penonton dalam suatu pertunjukan adalah orang yang kreatif atau andil dalam mencipta suatu pertunjukan.

Sifat-sifat ini akhirnya melanda dunia seni tradisi. Apalagi dengan adanya televisi maupun gedung bioskop, karena merasa tersaingi dan ditinggalkan oleh masyarakat pemiliknya, maka pekerja seni tradisi menjual karcis pertunjukan dengan harga yang murah sekali agar terjangkau oleh masyarakat. Kemurahan karcis ini lambat laun mempengaruhi pertunjukan seni tradisi, penggarapan pertunjukannya tanpa diikuti dengan estetika yang tinggi. Tanpa ada pemikiran-pemikiran. Sastra, sebagai sumber pijakan pementasan yang bermutu, dikesampingkan oleh sang seniman. Pola pertunjukan tidak lagi didasari dengan kerja-kerja kreatif. Ini terlihat pada pementasan ludruk Srimulat Surabaya.

Kalau kita tilik kembali pada perkembangan seni tradisi, bahwa kesenian ini membawa akibat yang dahsyat sekali bila digali dengan serius. Seni ini dapat menghipnotis masyarakat. Seperti yang pernah kita ketahui bahwa kehebatan ini juga pernah dipakai dalam masa pemerintahan orde lama maupun orde baru. Karena seni ini dibangun dari kelisanan tahap pertama yang lebih dekat dengan masyarakatnya.

Cak Durasim pernah melakukan hal ini dalam menentang pemerintahan Jepang. Cak Durasim melakukan perlawanan terhadap Jepang bukan dengan senjata atau bambu runcing. Tetapi dengan berkesenian, ludruk. Dan ini dilakukan oleh Cak Durasim. Dengan model parikannya ia melawan Jepang. Dan ini sangat berpengaruh terhadap semangat rakyat Jawa Timur, kala itu, untuk melawan Jepang. Dengan parikan Bekupon omahe dara, melok Nippon urip sengsara. Mampu menjadikan suatu perlawanan yang dahsyat. Dan ini diketahui dan disadari sendiri oleh pemerintahan Jepang. Maka, kala itu, Cak Durasim dicari dan dibunuh.

Kelisanan tahap pertama juga pernah digunakan oleh pemerintahan Jerman dan Amerika. Walaupun kedua negara tersebut sangat kental dengan tradisi tulis. Namun tradisi lisan mempunyai dan berpengaruh yang sangat jelas terhadap masyarakat yang dituju. Hal ini pernah disadari oleh Goebbels, Menteri Propaganda Nazi yang kemudian membuat pidato Hitler seolah-olah seperti pidato dari Dewa bangsa Arya.

Sebelumnya, di Amerika pada tahun 1938, tepat pada hari perayaan Halloween, sebuah stasiun radio menyiarkan drama sebabak mengenai kedatangan pasukan planet Martian di wilayah New Jersey. Sebagian masyarakat yang mendengarkan siaran itu menjadi panik dan ketakutan. Kenyataan itu memperlihatkan bahwa berbagai bentuk media yang memanfaatkan aspek kelisanan dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Bahkan beberapa tokoh, seperti George Orwel, Aldous Huxley, dan Neil Postman, menganggap kekuatan kelisanan dapat mengancam bagi tradisi keberaksaraan dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh teknologi modern.

Dari ketiga peristiwa tersebut, perlawanan Cak Durasim di Surabaya, pidato Hitler di Jerman, dan perayaan Halloween di New Jersey, dapat dijadikan pelajaran untuk perkembangan dan keberlangsungan seni tradisi di Jawa Timur. Mereka bisa menggunakan celah-celah seni tradisi untuk keberlangsungan berkesenian. Masalah material dalam berkesenian dapat teratasi, tidak seperti ludruk atau ketoprak di THR yang berkutat pada masalah dana dan pendanaan. Memang, kita berkesenian selalu membutuhkan dana, tapi bukan suatu yang primer. Kalau masalah primernya hanya berkutat pada masalah dana dan pendanaan maka estetika pertunjukan akan tersingkir. Dan ini mengakibatkan kemunduran terhadap seni tradisi.

Cak Durasim bisa mengatasi celah-celah kekurangan dalam pementasan seni tradisi. Mengapa kita tidak bisa? Marilah kita belajar kepada Cak Durasim atau berpijak pada Teater Miskin-nya Jerzy Grotowski. Saya memilih Cak Durasim, karena ia lebih dekat dengan seni pertunjukan kita, seni kita. Saya memilih Jerzy Grotowski karena masalah yang dikemukakan sama dengan pertunjukan kita saat ini. Konsepnya bisa ditarik ke dunia seni tradisi maupun seni modern. Konsep teater miskinnya Jerzy Grotowski ini sangat lentur dan sesuai dengan perkembang seni pertunjukan kita. Sehingga dapat mengatasi kegelisahan kita dalam berkesenian, berteater. Baik yang modern maupun tradisional. Di lingkungan kampus maupun khalayak umum. Walaupun Jerzy Grotowski berangkat dari teater modern.

Jerzy Grotowski pernah mengatakan bahwa hanya ada satu unsur di mana film dan TV tidak dapat merampok teater: dekatnya organisme yang hidup. Karena kedekatan itulah, setiap tantangan dari sang aktor, setiap lakunya yang magis (yang tak bisa dihasilkan oleh penonton) menjadi sesuatu yang besar, sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang mendekati ekstase. Oleh sebab itulah kita perlu menghilangkan jarak yang ada antara aktor dan penonton dengan cara pengaturan kembali tata–pentas, menyingkirkan semua garis perbatasan. Usahakan agar adegan-adegan yang terjadi di depan para penonton, seolah-olah mereka dapat dijangkau oleh aktor, dapat merasakan tarikan napas dan mencium bau keringatnya. Untuk itu kita membutuhkan teater. Dengan ini penonton dapat dirangsang untuk mengadakan atau melakukan analisa diri ketika dihadapkan dengan aktor maka tentu sudah harus ada beberapa persamaan dasar antara keduanya —sesuatu yang dapat mereka tolak dalam suatu sikap atau mengadakan upacara bersama. Oleh sebab itu teater harus menyerang apa yang biasa disebut “kebencian-kebencian kolektif masyarakat yang tak berdasar”, akar bawah sadar kolektif atau mungkin juga terlalu sadar, mitos-mitos yang bukanlah ditemukan oleh pikiran-pikiran tetapi diwariskan lewat darah seseorang, agama, kebudayaan atau iklim.

Dengan cara-cara demikian kita dapat menumbuh kembangkan dunia seni tradisi, teater, seperti ludruk, ketoprak, kentrung. Karena kita dapat melampaui keinginan masyarakat. Dan menjadikan masyarakat sebagai penonton yang kreatif, penuh dengan pemikiran-pemikiran baru.

Bagaimana untuk menjadikan suatu pertunjukan menjadi bermakna, penuh dengan pemikiran-pemikiran yang bermutu? Ini adalah tugas seorang intelektual dan lembaga-lembaga kesenian untuk terjun langsung kepada masyarakat pemiliknya. Untuk memberi pengetahuan (bukan pengarahan) atau terjun langsung membentuk suatu pertunjukan. Seperti yang pernah kita ketahui bahwa di lingkungan kita banyak bermunculan lembaga-lembaga kesenian. Di Surabaya ada DKJT, Taman Budaya, DKS. Di Sidorajo ada Dewan Kesenian Sidoarjo. Di Malang ada Dewan Kesenian Malang. Tapi, bagaimana keterlibatan mereka untuk melestarikan seni tradisi menjadi bermakna di hadapan masyarakatnya? Keterlibatan lembaga kesenian ini diperlukan secara serius, tapi, seperti yang pernah saya lihat, keterlibatan lembaga-lembaga ini hanya sebatas sebagai penanggap. “Penanggap” seni tradisi bukan suatu solusi yang mutlak untuk melestarikan seni tradisi. Penanggap ini pun sifatnya hanya temporer.

Perlu kita ingat, bahwa Surabaya yang kental dengan kesenian ludruknya akan menghilang begitu saja ketika kesenian ludruk di hadapkan kepada publik Surabaya. Ludruk seperti katak dalam tempurung. Seperti yang pernah kita ketahui bahwa ludruk mempunyai estetika yang unik tetapi mengapa ludruk tidak bisa bergerak dengan kekayaan estetikanya. Ludruk masih kalah dengan gendangnya musik dangdut atau yang sejenisnya. Lihat saja kasus di Surabaya, Ludruk Srimulat masih kalah dengan goyang dangdutnya THR. Padahal kalau kita dilihat, bahwa untuk masuk ke dalam area goyang dang dut THR lebih mahal dari pada masuk dalam gedung pertunjukan Srimulat.

Apakah ini tanda-tanda rendahnya estetika ludruk? Atau penggarapan ludruk yang asal-asalan?
Ada yang mengatakan bahwa ketertinggalan estetika ludruk dikarenakan adanya personel ludruk itu sendiri yang tidak mau belajar dan gemar membaca untuk perkembangan ludruk. Sehingga ludruk akan ditinggalkan oleh masyarakat pemiliknya. Untuk mengatasai masalah itu seniman ludruk harus belajar untuk mengetahui selera masyarakat maupun belajar dari kesuksesan teater-teater modern. Dengan adanya wawasan ini maka kita dapat berkomunikasi langsung dengan masyarakat kesenian. Penghilangan jarak antara aktor dan penonton akan terjadi dengan sendirinya. Penghilangan garis pemisah, seperti yang pernah dikatakan oleh Jerzy Grotowski, akan terjadi sehingga akan terjadi suatu religiusitas komunal dalam berkesenian. Karena adegan-adegan yang terjadi di depan para penonton, seolah-olah mereka dapat dijangkau oleh aktor, dapat merasakan tarikan napas dan mencium bau keringatnya, dengan enak. Karena kesenian semacam ini diperlukan komunikasi “via personal”.

Seperti yang dikata oleh Max Arifin, dalam Menuju Teater Miskin, untuk memperoleh pembaruan sang seniman harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas dan mendalam tentang tradisi teater yang ada dengan segala kekayaan idiomnya. Dan sang seniman kenal dengan masyarakatnya dan merasa bagian daripadanya sehingga merasa perlu untuk berkomunikasi.

*) Balok Safarudin, Penulis adalah Penyair, Ketua Paguyuban TEKI (Teater Kentrung Indonesia).
Alamat : Jl. Sido Mukti 45 RT: ½ Ds. Ngadilangkung Kec Kepanjen Kab. Malang.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest