Balok Sf
http://terpelanting.wordpress.com/
Ketika seni tradisi, ludruk, wayang, maupun kentrung, dihadapkan pada masyarakatnya bukan lagi sebagai suatu tontonan yang menjadi tuntunan yang sebenar, tetapi hanyalah dianggap sebagai “seni pinggiran” yang sifatnya hanyalah sekilas, hiburan, temporer. Seni Tradisi tidak bermakna lagi di hati mereka. Inilah yang dinamakan tuntunan yang menjadi tontonan. Seperti yang pernah kita ketahui bahwa awal muncul seni tradisi banyak memuat ajaran-ajaran moral, baik tersurat maupun tersirat.
Dalam sejarahnya, yang pernah kita ketahui, bahwa seni tardisi, ludruk, wayang, maupun kentrung lahir dari religiusitas komunal yang membutuhkan komunikasi langsung dengan penontonnya. Antara aktor, penonton maupun pekerja seni menyatu dalam religiusitas berkesenian. Mereka merasa memiliki dan dimiliki. Seperti ada suatu kesepakatan yang harus diakui dan dipatuhi, dalam bentuknya maupun penyajiannya. Di sini seolah-olah masyarakatlah yang mencipta kesenian itu. Akhirnya kesenian ini menjadi milik masyarakat.
Tetapi, sekarang, kesenian semacam ini hilang. Seolah-olah, atau memang benar-benar, menjauh dari masyarakatnya. Misalnya: ludruk, wayang, maupun kentrung telah ditinggalkan oleh masyarakat yang pernah menciptanya. Mereka (pelaku seni tradisi) tidak bermakna lagi ketika bertutur, berkreasi di hadapan masyarakat pemiliknya. Ini menjadi semacam akibat dari konsumenisme masyarakat terhadap hasil dari produk-produk kapitalis. Sifat-sifat semacam ini merambah di dunia kesenian. Apapun pola tingkah lakunya selalu dibatasi oleh sifat-sifat itu. Sehingga dorongan-dorongan kerja kreatif dalam berkesenian tidak ada. Seolah-olah ketika mereka melihat suatu pertunjukan kesenian, ia melihat suatu produk yang dihasilkan oleh kelompok-kelompok kesenian. Sehingga menghilangkan “religiusitas” dalam berkesenian. Padahal kalau kita kaji secara mendalam, penonton dalam suatu pertunjukan adalah orang yang kreatif atau andil dalam mencipta suatu pertunjukan.
Sifat-sifat ini akhirnya melanda dunia seni tradisi. Apalagi dengan adanya televisi maupun gedung bioskop, karena merasa tersaingi dan ditinggalkan oleh masyarakat pemiliknya, maka pekerja seni tradisi menjual karcis pertunjukan dengan harga yang murah sekali agar terjangkau oleh masyarakat. Kemurahan karcis ini lambat laun mempengaruhi pertunjukan seni tradisi, penggarapan pertunjukannya tanpa diikuti dengan estetika yang tinggi. Tanpa ada pemikiran-pemikiran. Sastra, sebagai sumber pijakan pementasan yang bermutu, dikesampingkan oleh sang seniman. Pola pertunjukan tidak lagi didasari dengan kerja-kerja kreatif. Ini terlihat pada pementasan ludruk Srimulat Surabaya.
Kalau kita tilik kembali pada perkembangan seni tradisi, bahwa kesenian ini membawa akibat yang dahsyat sekali bila digali dengan serius. Seni ini dapat menghipnotis masyarakat. Seperti yang pernah kita ketahui bahwa kehebatan ini juga pernah dipakai dalam masa pemerintahan orde lama maupun orde baru. Karena seni ini dibangun dari kelisanan tahap pertama yang lebih dekat dengan masyarakatnya.
Cak Durasim pernah melakukan hal ini dalam menentang pemerintahan Jepang. Cak Durasim melakukan perlawanan terhadap Jepang bukan dengan senjata atau bambu runcing. Tetapi dengan berkesenian, ludruk. Dan ini dilakukan oleh Cak Durasim. Dengan model parikannya ia melawan Jepang. Dan ini sangat berpengaruh terhadap semangat rakyat Jawa Timur, kala itu, untuk melawan Jepang. Dengan parikan Bekupon omahe dara, melok Nippon urip sengsara. Mampu menjadikan suatu perlawanan yang dahsyat. Dan ini diketahui dan disadari sendiri oleh pemerintahan Jepang. Maka, kala itu, Cak Durasim dicari dan dibunuh.
Kelisanan tahap pertama juga pernah digunakan oleh pemerintahan Jerman dan Amerika. Walaupun kedua negara tersebut sangat kental dengan tradisi tulis. Namun tradisi lisan mempunyai dan berpengaruh yang sangat jelas terhadap masyarakat yang dituju. Hal ini pernah disadari oleh Goebbels, Menteri Propaganda Nazi yang kemudian membuat pidato Hitler seolah-olah seperti pidato dari Dewa bangsa Arya.
Sebelumnya, di Amerika pada tahun 1938, tepat pada hari perayaan Halloween, sebuah stasiun radio menyiarkan drama sebabak mengenai kedatangan pasukan planet Martian di wilayah New Jersey. Sebagian masyarakat yang mendengarkan siaran itu menjadi panik dan ketakutan. Kenyataan itu memperlihatkan bahwa berbagai bentuk media yang memanfaatkan aspek kelisanan dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Bahkan beberapa tokoh, seperti George Orwel, Aldous Huxley, dan Neil Postman, menganggap kekuatan kelisanan dapat mengancam bagi tradisi keberaksaraan dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh teknologi modern.
Dari ketiga peristiwa tersebut, perlawanan Cak Durasim di Surabaya, pidato Hitler di Jerman, dan perayaan Halloween di New Jersey, dapat dijadikan pelajaran untuk perkembangan dan keberlangsungan seni tradisi di Jawa Timur. Mereka bisa menggunakan celah-celah seni tradisi untuk keberlangsungan berkesenian. Masalah material dalam berkesenian dapat teratasi, tidak seperti ludruk atau ketoprak di THR yang berkutat pada masalah dana dan pendanaan. Memang, kita berkesenian selalu membutuhkan dana, tapi bukan suatu yang primer. Kalau masalah primernya hanya berkutat pada masalah dana dan pendanaan maka estetika pertunjukan akan tersingkir. Dan ini mengakibatkan kemunduran terhadap seni tradisi.
Cak Durasim bisa mengatasi celah-celah kekurangan dalam pementasan seni tradisi. Mengapa kita tidak bisa? Marilah kita belajar kepada Cak Durasim atau berpijak pada Teater Miskin-nya Jerzy Grotowski. Saya memilih Cak Durasim, karena ia lebih dekat dengan seni pertunjukan kita, seni kita. Saya memilih Jerzy Grotowski karena masalah yang dikemukakan sama dengan pertunjukan kita saat ini. Konsepnya bisa ditarik ke dunia seni tradisi maupun seni modern. Konsep teater miskinnya Jerzy Grotowski ini sangat lentur dan sesuai dengan perkembang seni pertunjukan kita. Sehingga dapat mengatasi kegelisahan kita dalam berkesenian, berteater. Baik yang modern maupun tradisional. Di lingkungan kampus maupun khalayak umum. Walaupun Jerzy Grotowski berangkat dari teater modern.
Jerzy Grotowski pernah mengatakan bahwa hanya ada satu unsur di mana film dan TV tidak dapat merampok teater: dekatnya organisme yang hidup. Karena kedekatan itulah, setiap tantangan dari sang aktor, setiap lakunya yang magis (yang tak bisa dihasilkan oleh penonton) menjadi sesuatu yang besar, sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang mendekati ekstase. Oleh sebab itulah kita perlu menghilangkan jarak yang ada antara aktor dan penonton dengan cara pengaturan kembali tata–pentas, menyingkirkan semua garis perbatasan. Usahakan agar adegan-adegan yang terjadi di depan para penonton, seolah-olah mereka dapat dijangkau oleh aktor, dapat merasakan tarikan napas dan mencium bau keringatnya. Untuk itu kita membutuhkan teater. Dengan ini penonton dapat dirangsang untuk mengadakan atau melakukan analisa diri ketika dihadapkan dengan aktor maka tentu sudah harus ada beberapa persamaan dasar antara keduanya —sesuatu yang dapat mereka tolak dalam suatu sikap atau mengadakan upacara bersama. Oleh sebab itu teater harus menyerang apa yang biasa disebut “kebencian-kebencian kolektif masyarakat yang tak berdasar”, akar bawah sadar kolektif atau mungkin juga terlalu sadar, mitos-mitos yang bukanlah ditemukan oleh pikiran-pikiran tetapi diwariskan lewat darah seseorang, agama, kebudayaan atau iklim.
Dengan cara-cara demikian kita dapat menumbuh kembangkan dunia seni tradisi, teater, seperti ludruk, ketoprak, kentrung. Karena kita dapat melampaui keinginan masyarakat. Dan menjadikan masyarakat sebagai penonton yang kreatif, penuh dengan pemikiran-pemikiran baru.
Bagaimana untuk menjadikan suatu pertunjukan menjadi bermakna, penuh dengan pemikiran-pemikiran yang bermutu? Ini adalah tugas seorang intelektual dan lembaga-lembaga kesenian untuk terjun langsung kepada masyarakat pemiliknya. Untuk memberi pengetahuan (bukan pengarahan) atau terjun langsung membentuk suatu pertunjukan. Seperti yang pernah kita ketahui bahwa di lingkungan kita banyak bermunculan lembaga-lembaga kesenian. Di Surabaya ada DKJT, Taman Budaya, DKS. Di Sidorajo ada Dewan Kesenian Sidoarjo. Di Malang ada Dewan Kesenian Malang. Tapi, bagaimana keterlibatan mereka untuk melestarikan seni tradisi menjadi bermakna di hadapan masyarakatnya? Keterlibatan lembaga kesenian ini diperlukan secara serius, tapi, seperti yang pernah saya lihat, keterlibatan lembaga-lembaga ini hanya sebatas sebagai penanggap. “Penanggap” seni tradisi bukan suatu solusi yang mutlak untuk melestarikan seni tradisi. Penanggap ini pun sifatnya hanya temporer.
Perlu kita ingat, bahwa Surabaya yang kental dengan kesenian ludruknya akan menghilang begitu saja ketika kesenian ludruk di hadapkan kepada publik Surabaya. Ludruk seperti katak dalam tempurung. Seperti yang pernah kita ketahui bahwa ludruk mempunyai estetika yang unik tetapi mengapa ludruk tidak bisa bergerak dengan kekayaan estetikanya. Ludruk masih kalah dengan gendangnya musik dangdut atau yang sejenisnya. Lihat saja kasus di Surabaya, Ludruk Srimulat masih kalah dengan goyang dangdutnya THR. Padahal kalau kita dilihat, bahwa untuk masuk ke dalam area goyang dang dut THR lebih mahal dari pada masuk dalam gedung pertunjukan Srimulat.
Apakah ini tanda-tanda rendahnya estetika ludruk? Atau penggarapan ludruk yang asal-asalan?
Ada yang mengatakan bahwa ketertinggalan estetika ludruk dikarenakan adanya personel ludruk itu sendiri yang tidak mau belajar dan gemar membaca untuk perkembangan ludruk. Sehingga ludruk akan ditinggalkan oleh masyarakat pemiliknya. Untuk mengatasai masalah itu seniman ludruk harus belajar untuk mengetahui selera masyarakat maupun belajar dari kesuksesan teater-teater modern. Dengan adanya wawasan ini maka kita dapat berkomunikasi langsung dengan masyarakat kesenian. Penghilangan jarak antara aktor dan penonton akan terjadi dengan sendirinya. Penghilangan garis pemisah, seperti yang pernah dikatakan oleh Jerzy Grotowski, akan terjadi sehingga akan terjadi suatu religiusitas komunal dalam berkesenian. Karena adegan-adegan yang terjadi di depan para penonton, seolah-olah mereka dapat dijangkau oleh aktor, dapat merasakan tarikan napas dan mencium bau keringatnya, dengan enak. Karena kesenian semacam ini diperlukan komunikasi “via personal”.
Seperti yang dikata oleh Max Arifin, dalam Menuju Teater Miskin, untuk memperoleh pembaruan sang seniman harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas dan mendalam tentang tradisi teater yang ada dengan segala kekayaan idiomnya. Dan sang seniman kenal dengan masyarakatnya dan merasa bagian daripadanya sehingga merasa perlu untuk berkomunikasi.
*) Balok Safarudin, Penulis adalah Penyair, Ketua Paguyuban TEKI (Teater Kentrung Indonesia).
Alamat : Jl. Sido Mukti 45 RT: ½ Ds. Ngadilangkung Kec Kepanjen Kab. Malang.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar