Minggu, 06 Juni 2010

Keyakinan tidak Perlu Bukti

”Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” (Yohanes 20: 29)

Judul: Larutan Senja
Penulis : Ratih Kumala
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, 2006
Peresensi: Mikael Johani
http://www.ruangbaca.com/

Ada kecenderungan nihilistis dalam tulisantulisan Ratih Kumala. Tabula Rasa-nya diisi penuh karakter-karakter yang gagal hidupnya: drug addicts, dosen yang satu cintanya mati satunya lagi tak berbalas, lesbian yang wanita pujaannya (salah satu drug addicts tadi) mati OD, etc. Kecapan Budi Darma di belakang buku ini cukup akurat: ”kalau perkembangan zaman menuntut kehidupan orang-orang modern menjadi kosong dan tidak bermakna, maka cinta kasih manusia modern pun menjadi kosong dan tidak bermakna.”

[Kecenderungan nihilistis, sinisisme, ini, kalau dilihat dalam konteks sejarah sastra Indonesia, bisa juga merupakan reaksi Ratih terhadap ke”lugu” an (v. esei Intan Soewandi di Jurnal Perempuan edisi ”Perempuan dalam Seni dan Sastra”) dan ”pretensi” (v. esei Katrin Bandel, ”Vagina yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami”, sudah dikumpulkan di bukunya Sastra, Perempuan, Seks) pengarang-pengarang (perempuan) lain di jamannya. Bandingkan dua penggalan dari Saman dan Tabula Rasa berikut ini: ”... garis-garis cahanya memanasi birahi hingga tanak seperti nasi.” (Saman, hlm. 2), ”... hatiku tidak lagi bergelora cintanya seperti nasi yang telah tanak.” (Tabula Rasa, hlm. 68.) Alusi. Sindiran. Parodi.]

Satu novel lagi, Genesis, dan 14 cerpen kemudian yang dikumpulkan dalam Larutan Senja, apakah Ratih masih senihilis ini?

Pertama kali membaca, kelihatannya, ya. Ini daftar karakter- karakter Larutan Senja urut berdasar susunan ceritanya: dukun bayi yang (hampir) dibakar hidup-hidup, pasien rumah sakit jiwa, pekerja proyek di hutan Kalimantan, pencipta ”larutan senja” yang ciptaannya dibajak Tuhan, wanita yang ditinggalkan suami karena me-laser tahi lalat di punggungnya— klangenan suaminya, penggesek biola yang dituduh jadi anggota Lekra, hantu yang menghadiri upacara pengabenannya sendiri, penduduk Berlin Timur yang mati berusaha menyeberang ke Berlin Barat (saat Tembok Berlin masih berdiri tentu), ”Wanita Berwajah Penyok”, perempuan hamil tiga bulan yang bunuh diri di kos-annya yang sempit, Yesus (dan Maria si pencerita kisahnya), kakek-kakek yang ditembak mati Belanda karena radio gerilyanya, pengusaha peti mati yang tak laku-laku dan terpaksa mengobral mereka, dan seorang tattooist yang mengaku pernah melihat Muhammad dan buroqnya (dan tentu saja, tidak ada yang percaya). Semuanya orang-orang yang tersingkirkan, mereka yang dilumpuhkan oleh dunia sekitarnya atau mereka sendiri.

Di akhir Tabula Rasa, Raras (si lesbian tadi) berkata pada Violet (cintanya yang terlanjur dikremasi), ”Aku dilahirkan sebagai batu tulis kosong. Aku tabula rasa, aku adalah dogma dari aliran empiris dan aku terbentuk dari jalannya hidup.” (Tabula Rasa, hlm. 183) ”Terbentuk.” Bukan ”membentuk”. Manusia dalam Tabula Rasa tak punya daya cipta, terserah Tuhan mau mencoreti batu tulis-batu tulis kosong itu dengan apa, menghapus yang sudah dicoreti, atau menimpanya dengan garis-garis nasib baru sementara yang lama pun masih samar-samar terlihat di baliknya. Arti hidup tokoh-tokoh dalam Tabula Rasa (kalaupun ada artinya) disusun satu-satu dari pengalaman mereka, dari apa yang mereka alami di dunia ini, yang kasat mata. Ini memang terdengar seperti aliran empiris, versi sebelum Kristus, Aristotelian, bukan versi Locke, misalnya, yang memberikan hak alami pada manusia untuk mengarang hidupnya sendiri.

Tabula Rasa berakhir dengan Raras memohon, ”Temani aku, sebab sebenarnya aku takut sendiri.” Ini konsekuensi logis dari epistemologi novel ini, tentu Raras akan, sudah seharusnya, begitu takut sendiri, karena tanpa orang lain betapa sepi nanti jalan hidupnya, dan dengan begitu betapa sedikit makna yang bisa ia punguti sepanjang perjalanannya!

Nah, perbedaan pertama yang saya lihat antara Larutan Senja dan Tabula Rasa adalah bahwa karakter-karakter dalam 14 cerita pendek ini lebih berani daripada Raras & Co. Si penemu ”larutan senja” di akhir cerita berjudul sama mengancam bahwa kalau tuhan (ya, dengan t kecil) tidak mau mengakui bahwa ”sebagian ‘dunia’-mu adalah ciptaanku”, ia akan meneteskan ”Larutan yang akan membuat dunia tak sempurna, tak lagi indah!” ke dunia tuhan, dunia yang baru saja disempurnakan dengan ”larutan senja” yang dicuri tuhan dari si penemu itu. Karena tuhan tidak mau juga mengakui hak cipta si penemu, cerita ini tamat dengan ”dua orang anak manusia” yang ”menangis ketakutan” karena dunia mereka, yang tadinya sempurna, ditelan ”awan-awan bergulung, suasana … hitam,” hasil ramuan si penemu. Dua orang ini berdoa, ”Ya Tuhan (ya, dengan T besar—mereka berdoa kepada si penemu yang telah mengalahkan tuhan dengan t kecil!) apa salah kami hingga Kau (ya, dengan K besar) ciptakan bencana alam?” (Semuanya Larutan Senja, hlm. 43.) Manusia di sini bukan lagi tabula rasa ex nihilo yang baru akan ”terbentuk” kemudian. Ia ”membentuk”, ”mencipta”, Ia Tuhan itu sendiri. Lengkap dengan (paling tidak dua) umat yang mengakui kebesaran-Nya.

Saya tidak tahu apakah ini agenda Ratih Kumala secara sadar untuk menjungkirbalikkan tatanan dunianya sendiri. Saya rasa itu tidak penting. Yang penting adalah bahwa tatanan itu memang berubah.

Satu cerita lagi yang bagi saya akhirnya mengurai benang merah kumpulan cerpen ini adalah ”Anakku Terbang Laksana Burung”, cerpen yang ”diadaptasi dari Injil Mathius, Kitab Perjanjian Baru.” Ratih Kumala mengakhiri versi gospelnya, yang diceritakan oleh Perawan Maria (jadi The Gospel According to Mary the Virgin, bukan Mary Magdalene the Whore), di bagian pas kedua Maria itu mengunjungi kubur Yesus yang ternyata kosong. Malaikat yang turun dari langit menjelaskan (seperti yang dia lakukan dalam Mathius, Markus, Lukas, dan Yohanes), ”Dia telah bangkit,” dan Perawan Maria pun menurut, mengulangi kata-katanya pada Maria Magdalena, ”Ia telah bangkit.” Sebagai narator cerita ini kemudian ia melanjutkan, ”Saat itu aku tahu, anakku telah terbang.” (Semuanya Larutan Senja, hlm. 113.) Tahu. Maria tahu bahwa anaknya telah bangkit.

Saya tidak ingin membahas konsep ”bangkit” Ratih Kumala yang di sini kelihatannya campuran antara ”terbang” laksana burung dan ”moksa” laksana dewa (cf. Yohanes 20: 17, ”Kata Yesus kepadanya [Maria Magdalena], ‘Janganlah engkau memegang Aku terus, sebab Aku belum naik kepada Bapa …’”), tapi konsep ”tahu” Maria tadi sangat penting. Perbedaan paling mendasar antara cerpen ini dan The Gospel According to Matthew adalah bahwa dalam versi cerpen ini, according to Mary/-rk- (begitu Ratih Kumala menulis inisialnya di akhir cerita), Yesus tidak perlu membuktikan kebangkitannya. Tidak perlu marah-marah (”Ia mencela ketidakpercayaan dan keheranan hati mereka, oleh karena mereka tidak percaya kepada orang-orang yang telah melihat Dia sesudah kebangkitan- Nya.” (Markus 16: 14)), tidak perlu merasa tidak diperhatikan muridnya nama-Nya pun mereka lupa (”… datanglah Yesus sendiri mendekati mereka …Tetapi ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia.” (Lukas 24: 15-16)), tidak perlu meyakinkan seorang pun skeptis seperti Tomas (”Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” (Yohanes 20: 29)).

Saya sering berpikir bahwa The Gospel According to Jesus Christ, novel Saramago itu, adalah sebuah apokrifa, sebuah gospel sekuler, yang membuat kita percaya. Nah, ”Anakku Terbang Laksana Burung” ini rasanya bagi saya seperti apokrifa (mungkin harus ditulis di antara [kurung tegak] seperti teksteks Alkitab yang ”tidak terdapat dalam naskah-naskah yang dinilai paling baik atau kuno”) yang justru ultra-religius, sebuah gospel yang menuntut kita untuk percaya.

[Saya ingin tahu apakah -rksengaja memilih mengadaptasi Matius dan bukan Markus, Lukas, atau Yohanes karena di antara gospel-gospel itu Matius jugalah yang paling tidak peduli tentang keaslian, kemurnian cerita- ceritanya. Seperti ditulis dalam buku Pastur Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru, terbitan Kanisius: ”Dalam Mat tidak ada bekasnya bahwa penulis menjadi saksi mata (telinga) tentang apa yang diceriterakannya. Sebaliknya, ia menggantungkan diri pada tradisi sebelumnya (mrk, Q, dll.). Seorang saksi mata pasti tidak berbuat demikian. ... mrk dan Luk kadang-kadang nampaknya lebih asli dan murni daripada Mat. Ternyata Mat menyusun, mengatur dan mengartikan ucapan-ucapan Yesus dengan bebas sekali.” (Hlm. 87.)

Juga apakah dengan begitu arah pandangan -rk- dalam menulis cerita ini sama dengan arah pandangan Matius & Co. yang ”persis terbalik dari arah pandangan seorang sejarawan ... yang tidak mempunyai minat ‘historis’ [sehingga tidak perlu bukti] … [yang tidak ingin membawa pembaca] kepada Yesus dahulu, tetapi sebaliknya: Yesus dahulu dibawa kepada jemaat sekarang … [yang] berupa pewartaan yang mau membina, memperteguh dan menjernihkan iman kepercayaan yang diandaikan saja.” (Masih buku Groenen, hlm. 77.)

Apakah ”Anakku Terbang Laksana Burung” ingin membawa Yesus yang telah bangkit/ terbang entah ke mana kepada kita sekarang?]

Kedua perbedaan ini sangat penting karena dalam cerita-cerita yang lain di Larutan Senja kita pun ditantang untuk percaya tanpa ada bukti, ataupun kalau ada bukti, itu pun berupa bukti-bukti mistis yang membutuhkan kepercayaan tersendiri, ekstra, untuk percaya bahwa mereka memang bukti, bukan kebetulan-kebetulan saja, juga untuk tahu apa itu yang mau dibuktikan.

Dalam ”Gin Gin dari Singaraja” misalnya, si pencerita yang ”antara percaya tidak percaya” bahwa Gin Gin yang baru saja berkenalan dengannya di bus sebenarnya sudah meninggal tiga tahun lalu akhirnya percaya juga setelah kartu nama yang ia berikan ke Gin Gin waktu itu suatu pagi ia temukan ”tergeletak di bantal sebelah”. (Larutan Senja, hlm. 72.)

Untuk mempercayai logika sebuah cerita hantu kita dituntut untuk percaya hantu itu ada, bahwa Gin Gin yang tiga tahun lalu mati mendaki gunung sekarang sudah siap untuk turun gunung ke Singaraja untuk dingabenkan (akhirnya). Bagaimana kita harus percaya? Bukan dengan bukti tentu, karena kalau begitu kita akan selama- lamanya terombang-ambing antara percaya tidak percaya. Kita harus yakin saja.

Sistem kepercayaan ini juga pembalikan dari sistem yang dulu ada di Tabula Rasa. Tokoh- tokoh di situ mencoba untuk memperbaiki hidup (walau gagal terus) dengan prinsip: ”Tak pernah lagi kugubris suara hatiku, terlalu cengeng. Itu tidak membuatku kuat. Maka, aku mulai menggunakan otakku. Logikaku ternyata lebih bisa membawaku ke tahap hidup yang lebih baik.” (Tabula Rasa, hlm. 135.)

Destination: sebuah utopia Lockean? Bisa saja. Yang jelas trayek rute maskapai Tabula Rasa akhirnya tak pernah sampai ke situ.

Karena skeptisisme Ratih Kumala pada daya otak membahagiakan manusia itu sudah ada waktu itu pun. Contohnya waktu Galih pertama kali ketemu Krasnaya di Mausoleum Lenin: ”Sedetik kemudian hati —dan bukan akal—mendorongku untuk tak melepaskan pandangan dari dia. Tiba-tiba akalku memanggilku kembali, mengingatkanku akan pemenuhan rasa ingin tahu pada Lenin … Di jalan keluar baru aku sadar—dan ini saat—[sic] saat penuh di mana aku menggunakan akalku kembali [—] bahwa aku tak dapatkan keduanya: Lenin dan gadis itu.” (Tabula Rasa, hlm. 14)

Saya tidak tahu apakah sekarang ini hati yang digubris lagi, yang dituntut untuk percaya, supaya dunia dalam ceritacerita di Larutan Senja berputar; tapi paling tidak cerita-cerita itu kelihatannya memang berusaha menunjukkan, dengan serentetan kejadian, bahwa untuk membuat manusia jadi lebih kuat, diperlukan lebih daripada hanya otak.

Cerita terakhir di Larutan Senja juga tentang keyakinan (dan mereka yang tidak yakin). Qatrun/Cimeng setelah dewasa bermimpi melihat Nabi Muhammad yang ”penuh wibawa berdiri di atas buroq.” Wajah Muhammad tidak terlihat jelas (cf. Lukas 24: 16 tadi) tapi Qatrun melihat jelas buroq seperti apa, ”Seperti sampan yang panjang.” Waktu ditanya ustaznya, ”… bagaimana kau tahu Muhammad naik buroq, bukan naik sampan?” Qatrun menjawab, ”Tahu! Aku tahu, Ustaz! Itu buroq, bukan sampan.”

Sekali lagi, Cimeng, seperti Maria, seperti teman baru Gin Gin, tahu. Mereka yakin, sehingga tidak perlu bukti. Mereka bisa melihat, karena mereka percaya.

[Bahwa keyakinan saat ini sedang di atas angin dalam pertarungannya melawan otak/akal bukan hal yang terjadi tiba-tiba dalam fiksi Ratih Kumala. Kemungkinan bahwa mungkin keyakinanlah senjata pamungkas melawan otak/akal yang (mungkin—kita belum tahu sebenarnya untuk yakin itu kita perlu apa, hati? rasa?, tapi kelihatannya memang bukan otak/akal) berkongsi dengan nihilitas, kekosongan, ketabularasaan, mulai ditulisnya dalam Genesis, novel keduanya—yang nyaris nihil ada di pasaran. Pertarungan ini dalam Genesis diumpamakan sebagai perang batin Pawestri/Suster Maria Faustina untuk percaya atau tidak percaya. Dan, waktu ia pergi ke Ambon untuk menjadi biarawati di tengah-tengah konflik Acang vs. Obet, Suster Maria berpikir, “Perang di depan mataku adalah gambaran nyata perang batinku selama ini. Manusia dan manusia dan setan dan Tuhan?” (masih T besar). (Genesis, hlm. 124.)

Di sinilah, dalam kitab Kejadian versinya ini, dunia -rkyang dulunya hanya batu tulis kosong, nihil, mulai diisi. Pertama dengan keyakinan. Kemudian dengan Tuhan: ”Manusia tidak bisa melihat Allah, tetapi dia ada.” (Genesis, hlm. 43.)—yang mulai disetip lagi di halaman kedua dari terakhir: ”There is no God.” (Genesis, hlm. 201), dan kembali lagi di kalimat terakhirnya, ”Tuhan telah memberi, Tuhan telah mengambil.” (Genesis, hlm. 202.) Pekerjaan untuk mengisi hidup (dengan makna) di dunia -rkmemang kelihatannya begitu susah payah, penuh keraguan, sikap mendua, (ada atau tiada makna itu? Bisakah manusia menciptakannya? Bisa, tidak, ah bisa, ah, tidak.), tidak bisa tujuh hari langsung jadi, sudah tiga buku dan bertahun-tahun belum selesai juga, harus dengan perang!

Sekarang, dalam cerita-cerita di Larutan Senja ini, keyakinan (sedang) menang. Manusia bisa melakukan apa saja, asal ia percaya. Ia tidak hanya mampu menciptakan Tuhan, ia mampu mengecilkan(t-)nya, kemudian menggantikannya. Setelah itu terserah dia (Dia) hidup ini punya arti atau tidak.]

MIKAEL JOHANI disajikan dalam Meja Budaya, PDS HB Jassin, 1 September 2006.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Tulisan Anda sangat inspiratif. Dalam rangka memuculkan penulis-penulis Kristen kreatif, akan diselenggarakan festival penulis dan pembaca kristiani. Salah satu pre-event adalah lomba menulis cerpen dan novelet berdasar Alkitab. Anda mungkin berminat untuk ikut? Info lengkap dapat Anda klik di Lomba Menulis Cerpen dan Novelet Berdasar Alkitab

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest