Rabu, 07 Januari 2009

H a n t u

S. Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

KETIKA aku datang kali pertama di dusun itu, rumahnya bobrok ditumbuhi kebun nanas yang sulit dijangkau manusia. Rimbun pohon bambu dengan ujung-ujungnya yang menyentuh tanah menggelikan aku. Bahwa ini bukan tempat yang cocok buatku. Bila malam hari lampu teplok berbinar melawan bintang atau bulan yang terhalang.

Dua puluh lima tahun lalu aku pendatang dan merasa diriku di tempat baru bukan sebagai saudara, kerabat atau orang baru. Ya, aku lebih pas berada di kampung itu sebagai hantu. Atau lebih tepatnya aku benar-benar tidak mengenali siapa sesungguhnya diriku. Apalagi bila harus menjawab pertanyaan, angan-angan bila kelak dewasa bagaimana nasibku, hendak jadi apa aku, pergi ke mana saja aku, lalu akankah juga dikuburkan jasadku di belakang kebun nanas itu?

Membayangkan diri menjadi hantu lebih gampang ketimbang merasa diri jadi manusia, meski hantu itu sendiri tak lain adalah kata-kata buatan manusia akibat kebuntuan mencari jawab suatu pertanyaan. Jadi ia adalah ciptaan manusia juga. Barangkali cuma hasil otak-atik dari kata Tuhan. Dua hal yang entah bagaimana mulanya begitu menakutkan sampai di telingaku.

Seperti juga Tuhan, Hantu itu tiba-tiba hadir di benakku seperti bayang-bayang hitam yang membesar. Ya, meski tak pernah berkata-kata, dongeng juga cerita dari mulut ke mulut lebih cepat menyebar dan hadir menyeramkan. Jadi sesungguhnya takut benar-benar menjadi manusia itulah yang menyebabkan diriku memilih bersahabat dengan hantu. Ketidaktahuan nasib sebagai manusia jadi penyebab diriku seperti itu.

Dan ternyata menjadi hantu itu cukup enak. Setidaknya sedikit mengurangi rasa takut sebagai manusia meski tentu saja terpikir olehku ada juga hantu yang kurangajar, suka menggoda. Ini sisa rasa takut itu yang berbenih. Tapi bersaing dengan Tuhan mulai terpikir sejak itu. Tidak ada beban, tak ada kewajiban karena keberadaannya juga diragukan tentu saja oleh manusia. Tetapi terhadap sesama kaum punya persoalan tersendiri. Pendek kata antara ada dan tiada.

Selama berpuluh-puluh tahun aku hidup seperti itu, aman dan tanpa ada yang mengusik. Bila ada yang mengusik bisa dipastikan itu akibat ulah manusia juga yang usil mencoba menempatkan dirinya separuh manusia dan separuh lagi bukan. Barangkali semacam dukun yang mencoba mempengaruhi makhluk halus yang jahat untuk menjahati diriku. Dan biasanya, uanglah pemicu paling dahsyat dalam hal begitu kacau-mengkacau.

Berikutnya, pendidikan, pekerjaan, menjadi kehidupan yang di kampung itu lebih ruwet. Jumlah orang yang separuh dirinya manusia dan separuh lagi bukan, menjadi bertambah dan berlipat. Segelintir saja yang bersitahan menjadi hantu saja atau manusia saja. Salah satunya, diriku. Sekolah agama, sekolah teknik, sekolah ekonomi, ah kenapa tidak tersedia pilihan sekolah penerbang yang menempatkan guru besarnya seekor elang, sehingga aku bisa jadi penerbang seperti burung lain lalu bebas menghilang kemana aku suka.

Di depan rumah bobrok yang kuhuni itu, ada surau kecil. Bila sore hari ramai sekali anak-anak mengaji di bawah asuhan ustadz Harjito dan guru ngaji Rokemah dan Rofiah, gadis kampung yang paling cantik selain rupawan juga lantaran ramah dan murah hati. Semuanya itu sudah terbukti. Termasuk karena itu santri-santrinya dari hari ke hari bertambah banyak. Tapi mulai tumbuh keanehan bagiku, karena sekalipun aku tak pernah masuk di surau itu. Alasannya, tentu sudah bisa diketahui: takut. Apalagi lantai yang hitam dingin tersebar hingga di depan pintu. Terlebih gelap yang mengurung melebihi bayang-bayang sendiri. Aku tahu tak ada hantu di situ, tapi takut itu tak pernah sudi beranjak.

Inilah keanehan yang kurasakan mulai menjangkiti tubuhku, perasaanku dan jiwaku—menjadi makhluk setengah manusia dan sisanya tidak jelas. Apalagi bila hanya seekor hantu. Bila menjelang bulan puasa, pemilik surau Haji Sinto mengajak ustadz, para santri Mendengarkan pengajian-pengajian di pesantren. Rokemah dan Rofiah hadir pula. Dibaan dan Yasinan tak pernah sepi. Aku sendiri hanya sebagai saksi dan tak pernah hadir di tengah-tengah itu semua. Bagiku menjadi pendatang dari tempat yang telah kulupa telah jadi siksaan. Akan tetapi hidup yang tak bisa menentukan diriku sendiri di tempat ini telah terasa menyiksa lagi.

Lalu siapa yang salah, tentu sebagai anak bau kencur, aku tidak tahu. Salah besar itu padaku bila aku tak melakukan apa-apa. Kenyataannya aku beberapa waktu lamanya mencoba nyantrik, mondok pada Haji Sinto, pemilik surau. Dari situ aku mulai bisa mengintip santri-santri yang mengaji atau menyalakan lampu teplok untuk anak angkatnya, Lukman bila sedang menyalin huruf-huruf Al-Quran mengerjakan tugasnya.

Dia sekolah di pesantren dan seminggu sekali pulang. Tapi sebagian besar kesehariannya kuhabiskan bergumul dengan tahu ayam karena harus mengurus ayam-ayam peliharaan Haji Sinto yang jumlahnya ratusan itu. Aku harus mengeruk kotorannya dan membuangnya di ladang-ladang pisang atau kebun lombok miliknya. Lalu aku harus mencuci pakaian yang menggunung di sumur. Satu-satunya kenangan yang tak terhapus dalam hidupku adalah saat ustadz Harjito membelikanku sebuah pensil, kertas dan penghapus, dan ia tak berkata sepatah kata pun untuk itu.

Semenjak saat itu mulai tumbuh dalam diriku suatu pengetahuan bahwa aku bukan siapa-siapa. Aku lebih gampang mengerti bahwa diriku serupa dengan tahi ayam yang dikumpulkan untuk makan gedebok pisang atau vitamin tanaman lombok. Sebab itu semenjak itu pula aku tak punya keberanian untuk membentak sang majikan, dalam hal ini ayam. Aku selalu menyimpan seluruh rahasianya baik-baik. Karena itu di luar dugaan bila kelak di kemudian hari bagiku kehidupan seekor ayam tak kurang pentingnya dengan kehidupan seorang manusia. Biarpun manusia sempurna sepanjang zaman. Setidaknya seekor ayam adalah leluhurku atau ibu kandungku yang melahirkan aku. Meski ia melahirkan untuk kemudian membiarkan aku tumbuh berkembang sendiri secara liar. Sebelum akhirnya berujung di bawah pohon pisang.

Berbekal filosofi seekor ayam, sayap, cakar, tahi, aku meninggalkan kampung basah gelap oleh rerimbunan pohon bambu itu. Aku pergi mencangklong ransel mengembara tanpa tujuan—sesuatu yang telah diajarkan leluhurku. Persinggahan tak boleh terlampau jenak sebab hal itu justru akan membunuhku, apalagi bila sampai mengambil tempat untuk menetap. “Kau tak boleh membangun rumah lagi,” demikian tutur leluhurku itu. “Tapi peliharalah sungguh rumahmu sendiri, meski kamu memilih jadi pengembara.” Ya, sebuah pesan yang tak gampang dicerna karena bisa jadi memang tak kumengerti.

Rumah? Ah, rumahku yang sekarang adalah ransel dan sepotong ijazah lusuh di dalamnya agar aku bisa mendapatkan kerja. Bukan maksudku meremehkan nilai, bahan ajar, dan paraf atau cap jempol pada kantor keluaran Dinas Pendidikan negeri ini. Sebaliknya, justru dari situ kusimpan sejumlah gedung, bangunan, sekolah, kantor, pasar, pabrik, pemerintah, swasta, bahkan kebun dan hutan, laut dan pantai bisa tersimpan dalam ijazah itu. Lalu kupendam dalam ranselku.

Begitulah sebagai pengembara, berkat selembar kertas itu aku begitu gampang mencari kerja, gaji lumayan, meski makin susah mencari kawan. Aku keluar masuk kantor dengan leluasa. Aku bisa lakukan hal terburuk atau terbaik dari setiap perusahaan yang mempekerjakan aku. Semua tersedia dengan gratis. Itu tentu saja bila aku mau. Tapi apa boleh dikata bila itu semua pada akhirnya satu pun tak ada yang pernah kulakukan baik yang terburuk maupun terbaik bagi perusahaan. Jadi apa yang saya kerjakan hanyalah hal yang biasa-biasa saja—hal yang sama sekali tak ada dalam pesan leluhurku dan menjadi bagian hidupku. Apalagi, perihal kehidupan yang penuh dengan dunia basa-basi dan kompromi tak bisa kujalani. Jadi apa yang sebetulnya kucari tidak pernah berhasil kutemui dan tak pernah ada. Aku betul-betul merasa sendiri.

Aku sungguh-sungguh jadi orang asing, lengkap dengan segala penderitaan sebagai makhluk hidup. Anehnya, itu bisa terjadi padaku selama bertahun-tahun.

Lalu apa yang kau cari, hei bung?
Di balik itu sebuah keajaiban diam-diam muncul pada diriku: aku kembali merasa sebagai manusia di atas banyak sekali timbunan kertas. Ya, meski seringkali aku merasa terjepit diantara kertas-kertas itu. Betapa tidak, dunia ini tiba-tiba dalam pandanganku bagitu banyak disesaki kertas-kertas—ijazah, sertifikat, surat keputusan, lamaran, koran, brosur, surat pajak, uang kertas, akta kelahiran, surat nikah, sim, ktp, rekening listrik. Ah, bahkan dunia ini bisa terlihat lantaran tersusun dari kertas koran. Hebatnya lagi, seperti dalam puisi Subagio Sastrowardoyo, Tuhan pun terselip di balik surat pajak.

Begitulah, untuk pertama kalinya aku kembali menjadi manusia dan sendiri. Aku cemas bukan karena mencemaskan diriku. Melainkan mencemaskan dunia yang kelihatannya cepat berputar makin cepat tapi sebetulnya sia-sia. Ya, kesia-siaan disana-sini banyak terjadi dan kekalahan seringkali terjadi pada diri manusia. Sudah menjadi rahasia umum dunia ini antara ada dan tiada, meski disana-sini juga kian dahsyat maknanya dikorup. Buktinya, antara ada dan tiada sering nongol di layar kaca dan bintang utamanya justru bukan manusia tapi hantu.

Lalu manusia sendiri malah terus berpacu mengeruk rezeki dari hantu-hantu bikinan stasiun televisi. Apalagi untuk meresapi kata-kata ‘sebagai makhluk yang serba merugi kecuali bagi yang tahu diri.’ Tidak.
***

KINI setelah puluhan tahun bersusah payah mengembara dan sia-sia, aku pulang ke kampung halaman. Aku tak membawa buah tangan yang menempel di badan kecuali sepotong sajak penyair Hamzah Fansuri . Di Barus ke Qudus terlalu payah. Akhirnya ditemukan di dalam rumah. Di kampung halaman surau yang dulu kotor dan beratap genteng yang bocor bila musim hujan, telah berganti bangunan yang kokoh dan megah, cantik dan menarik. Gentong-gentong tempat wudlu yang dulu kini telah diganti dinding berlapis porselin indah dengan kran-kran air berwarna keemasan. Juga lantai telah berwarna-warni lebih terang dan dingin.

Tapi mengapa surau itu kini telah berubah sepi, tiada lagi anak-anak yang rajin mengaji. Loudspeaker terlihat berdebu dan tak tersentuh tangan. Sesekali saja berkumandang bila adzan magrib.

“Begitulah, Nak. Zaman sudah berganti,” ungkap Haji Sinto. “Semenjak ustadz Harjito, Rokemah dan Rofiah pergi, tak ada lagi yang mengurus surau. Tak ada lagi yang mau jadi guru ngaji. Semula saya sendiri yang menggantikan, tapi lama-kelamaan anak-anak yang nyantrik telah habis dengan sendirinya. Barangkali karena saya sudah terlampau tua untuk mereka. Jadi tidak menarik lagi. Saya sendiri juga pilih mengurus sawah sampai petang hari. Maklum, tidak ada orang lagi. Lukman memilih hidup di kota.

Jangankan untuk anak-anak mengaji, bila adzan magrib berkumandang, surau ini tetap sepi dari jamaah.”

“Terus, Rokemah dan Rofiah kemana lagi, Pak Haji?”
“Oh, dia jadi orang besar sekarang. Dia pilih bekerja di Hongkong dan Malaysia.

Rumahnya bagus dan dua tahun sekali pulang bisa beli tanah. Orangtuanya dihormati orang. Apa yang mereka cari lagi di dunia ini kecuali itu? Ya, kampung ini sepi sekarang, Nak. Mereka banyak yang ke luar negeri jadi TKI dan TKW ke Hongkong, Malaysia, Arab, Korea, Kuwait. Mereka kaya dan rumahnya kau lihat sendiri, megah-megah tapi kosong ditinggal penghuninya,” ujar Haji Sinto.

“Lalu siapa yang menempati, Pak Haji?”
“Ya, yang punya orangtua dia yang mengurus. Tapi yang sudah nggak punya, siapa yang menghuni? Nggak tahu saya.” Seperti biasa Haji Sinto Sinis dengan giginya yang gemeretak karena gemetar. “Syukurlah kamu pulang. Kamu bisa Bantu saya mengurus surau.”

“Ah, Pak Haji. Saya belum cukup untuk tahu diri seperti Pak Haji,” takut mengecewakandia.

“Setidaknya, aku tahu kamu telah pulang. Itu artinya kamu tak membiarkan rumahmu itu kosong. Biarpun rumah itu tua dan terlihat tak terurus yang penting ada penghuninya. Seperti juga surau ini apa gunanya dibangun megah bila tak ada santrinya.”

Kata ‘kosong’ Pak Haji mengganggu pikiranku. Sebagai orang yang tahu agama tentu yang ia maksud bukan cuma kosong tanpa penghuni, melainkan jiwa yang kosong. Barangkali rumah-rumah megah itu juga dihuni banyak orang, tapi mereka tidak benar-benar ada. Di rumah itu malam-malam bagi mereka hanya untuk tempat tidur. Ketenangan, kenyamanan dan hidup serba cukup mengakhiri problem mereka sebagai manusia. Tidak ada lagi yang dipersoalkan, diperbincangkan. Ada atau tidak ada bagi mereka adalah sama saja. Jadi sebetulnya mereka ini tidak sedang benar-benar ada.

Dunia pun berjalan seperti biasa, tapi sesungguhnya tidak ada sesuatu yang bergerak. Mereka makan juga dalam keadaan diam. Bekerja pun tak ada yang peduli. Manusia ataukah binatang ternak juga tak ada yang cukup punya keberanian untuk Menyimpulkan.

“Ceritakanlah padaku mengapa kamu pulang, Nak?”
“Saya tidak yakin benar, apakah saya sesungguhnya telah pulang Pak Haji. Karena saya tak punya rumah lagi di sini. Rumah itu bukan hak saya dan telah jadi milik saudara-saudara saya,” kataku.

“Baiklah, mengapa engkau kembali?” desak Haji Sinto.

“Karena ternyata yang saya cari tidak jauh dari tempat saya berdiri sekarang, Pak Haji.”

“Kamu belum jawab pertanyaanku, tentang kembali Nak.”

“Oh, soal itu. Saya sendiri tidak yakin apakah di sini adalah tempatku yang terakhir. Kapan saja, saya bisa tiba-tiba pergi kemana saja, Pak Haji.”

“Baiklah. Sekarang apa yang kamu cari ditempat ini. Setidaknya untuk hari ini?”
“Seperti juga apa yang Pak Haji cari selama bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun di tempat ini dengan mendirikan surau ini,” jawabku.

“Jadi sekarang kamu menyesal dengan kau tunjukkan kepulanganmu ini, Nak?”
“Tidak Pak Haji. Sama sekali tidak. Apalagi seperti yang saya katakan tadi, saya tidak yakin diri saya telah pulang.”

“Lalu apa artinya ini semua?”
“Selama mengembara saya telah banyak singgah di pelbagai kota, bangunan dan rumah, mencari kawan, sahabat atau saudara. Tapi semakin jauh pengembaraan saya, semakin aneh lantaran tak seorangpun saya temukan itu yang saya cari. Saya justru mengundang banyak lawan dan musuh. Saya seperti hidup sendiri di dunia ini. Saya seperti batu yang berguling-guling di dasar kali tapi tak mengenal dan tak dikenal satu sama lain di planet ini. Pekerjaan saya sehari-hari hanyalah membersihkan diri dari perbuatan dosa yang jumlahnya ternyata berlipat ganda. Baru kemudian saya menyadari dalam pengembaraan saya, bahwa persinggahan yang sesungguhnya, di tempat yang bersih tanpa noda, terang dengan cahaya dan sejuk serta nyaman untuk istirah justru ada dalam diri saya sendiri. Tak seorang pun yang boleh berlama-lama singgah di tempat saya ini yang jauh dari hiruk pikuk kemabukan zaman. Kecuali bagi yang sangat kucintai dan kukasihi. Karena itulah, jujur saja saya akui Pak Haji. Saya sendiri tak tahu mengapa pada akhirnya pengembaraanku sampai di tempat ini dan kembali bertemu Pak Haji,” kataku.

“Kalau boleh kutahu, apa rencanamu sekarang, Nak?”
“Saya tidak tahu Pak Haji. Tepatnya saya tidak punya keberanian untuk membuat Rencana-rencana, karena sesungguhnya dalam diriku telah ada kekuatan yang menggerakkan tubuh dan jiwaku dengan sendirinya. Aku sangat takut kepadanya dan aku takut mengecewakannya.”

“Katakan saja, aku yakin kamu tak akan mengecewakannya.”

“Betulkah? Maukah Pak Haji menjadi jaminanku untuknya?”
Haji Sinto mengangguk.

“Saya ingin membeli beberapa ekor kambing dan jadi penggembala untuknya.”
“Oh, semoga aku tak salah dengar. Itu keinginanku yang berpuluh-puluh tahun tak pernah terwujud, Nak.”[]

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest