Jawa Pos, 12 Okto 2008
Yanusa Nugroho
Jika saja kau mengetahui di mana aku tinggal, mungkin kau akan sependapat dengan apa yang akan kuceritakan kepadamu. Di sini, di tempat tinggalku, kau tak akan menjumpai manusia. Ya. Kau tak akan menjumpai sesosok makhluk yang bisa layak kau sebut manusia.
Entah kebetulan, entah tidak, aku menempati rumah di ujung jalan. Lebih tepat lagi bila kusebutkan di ujung atas jalan kecil ini. Jauh lebih tepat, sebagai rumah yang paling atas, karena jalan ini adalah jalan buntu.
Jadi, setiap hari, jika aku ingin ke suatu tempat, aku harus melewati jalan yang sama. Pergi aku turun, pulang aku naik. Begitu setiap hari; sejak kira-kira 15 tahun yang lalu. Dengan demikian aku hafal setiap rumah di sepanjang jalan ini.
Akan kuceritakan dulu, rumah yang ada di sebelahku. Jarak antara rumahku dan tetanggaku itu --maaf aku tak benar-benar hafal namanya, mungkin Tom atau Ton, aku tak bisa dengan benar mengingatnya.
Rumah si Tom atau Ton ini bertipe 90 dan dibangun di atas tanah seluas 120 meter persegi. Bayangkan, dia tak lagi memerlukan halaman. Atau barangkali saja, di tengah ruang tamunya itulah dia membangun halaman --entahlah. Nah, dengan luas tanah yang sudah hampir penuh oleh bangunan itu, di sekelilingnya didirikan tembok tinggi menjulang, mirip Tembok China.
Dulu sekali, aku pernah mencoba mencuri-curi pandang. Mencari celah, untuk sekadar mengintip ke balik tembok itu; sia-sia saja. Ternyata, satu-satunya penghubung antara isi tembok dengan dunia luarnya hanyalah pintu kayu besar, tempat keluar masuknya Landcruiser hitam itu. Oh, tidak, aku salah, di sebelah pintu pagar besar itu, masih ada pintu kecil, untuk lalu lalang pembantunya. Juga, ada selokan yang keluar dari lingkungan benteng itu; kalau itu bisa disebut ''penghubung'' dengan dunia luar.
Bertahun-tahun aku berpikir, berandai-andai, tentang si Tom atau Ton ini. Apa saja yang dilakukannya di dalam rumah? Mengapa dia tak pernah memunculkan wajahnya? Maksudku, kapankah dia keluar rumah dan berbincang dengan tetangga --sebagaimana layaknya manusia, bukan mengendarai Landcruiser hitamnya yang ternyata berkaca rayben hitam pula. Akan tetapi, lama-kelamaan aku bosan juga memikirkan si Tom atau Ton itu.
Ternyata, setelah aku perhatikan --selama 5 tahun pertama aku tinggal di lingkungan ini-- semua orang berkelakuan sama dengan si Tom atau Ton ini. Rumah nomor 5, misalnya, seluruh halamannya dipagar besi menjulang, mirip kandang gajah. Juga yang di bawah sana. Yang pagarnya berkilau-kilau itu, juga begitu. Bayangkan, tembok pagarnya tinggi menjulang, nyaris menutup sebagian atap rumah, dan yang lebih gila lagi, menurutku, tembok itu tidak menggunakan batu bata, tetapi glassbox. Edan. Dia membangun akuarium untuk dirinya sendiri.
Jadi, kalau kau berkunjung ke rumahku, kau akan bisa menyaksikan: kandang jerapah, kandang burung, kandang gajah, goa beruang, bahkan akuarium raksasa. Satu-satunya rumah yang tak berpagar adalah rumahku. Kalaupun itu bisa disebut pagar, paling-paling hanyalah semak teh-tehan, yang setiap 2 minggu sekali kupangkas; sekadar untuk cari keringat.
***
Tetapi, maaf, barangkali aku memang salah. Barangkali saja, akulah orang yang memang tak pernah bertemu dengan mereka itu. Bisa jadi, karena kesibukanku sehari-hari, aku juga tak punya waktu untuk bertatap muka dengan mereka, barang sekalipun --selama 15 tahun!
Sebetulnya, aku malu menceritakan ini semua kepadamu. Akan tetapi, sungguh, aku tak tahan. Aku ingin bicara. Aku ingin bertegur sapa. Aku ingin ngobrol basa-basi, bergosip, atau apa sajalah hal-hal yang remeh-temeh. Bagaimana mungkin, manusia tidak ngobrol dengan sesamanya?
Ah, ngobrol? Jangankan dengan mereka, bahkan kepada anak istriku pun aku tak bisa menciptakan bahan obrolan. Apakah ''bagaimana sekolahmu?'' atau ''ada berita apa di kantormu?'' misalnya, bisa disebut obrolan?
Ya, itulah hidupku, kawan. Sepanjang hari, tujuh hari seminggu, tiga puluh hari sebulan, dan dua belas bulan setahun, aku, istriku dan anak-anakku diam-diam berubah menjadi robot. Masing-masing kami membawa kunci, jadi tak perlu saling tunggu dibukakan pintu jika ada yang pulang lebih awal atau telat. Masing-masing, kecuali pada hari Minggu, mungkin, sudah makan di luar rumah, dan sesampainya di rumah repot dengan urusan masing-masing; atau lelap dihajar lelah.
Yah, begitulah. Jadi, barangkali saja, tak ada yang salah dengan para tetanggaku. Barangkali saja, itu semua kurasakan demikian, lantaran aku yang tak bisa punya waktu menemui mereka.
***
Aku tak tahu, siapa yang harus kusalahkan. Apakah memang keadaanku ini yang membuatku jadi ''terasing'' dengan sekelilingku, atau memang...
Itulah sebabnya, aku ingin menemuimu. Paling tidak, dengan berbicara padamu, aku bisa mendapatkan perbandingan. Siapakah yang aneh: diriku atau orang-orang sekelilingku.
***
Jika kau lihat dari halaman rumahku, maka rumah yang di bawah sana itu akan tampak seperti benteng Spanyol. Ah, tahu apa aku soal benteng Spanyol. Tetapi, paling tidak, kesan itu muncul begitu saja di benakku. Mengapa tidak sekalian diberi meriam di jendela-jendela kecilnya itu? Dan mengapa pula tidak disiapkan serdadu di depan pintunya?
Aku sempat berpikir, mungkinkah mereka sebetulnya takut pada setiap orang? Atau jangan-jangan mereka sudah termakan nasihat orang bule, bahwa jangan bicara pada orang asing? Bisa jadi mereka sudah termakan filsafat bahwa ''manusia adalah srigala bagi manusia lainnya''? Ah, bisa jadi demikian.
***
Suatu kali, sepulang kerja --sebagaimana biasa, aku berjalan menyusuri jalan di lingkungan ini. Sambil menoleh ke kanan ke kiri, aku mencoba mencari tahu, kalau-kalau saja ada pintu yang terbuka dan aku berkesempatan bertegur sapa.
Ternyata sia-sia saja. Sepanjang jalan ini sepi. Senyap seperti kuburan.
Di kejauhan, rasanya aku melihat ada sesosok tubuh tergeletak. Ah, mungkinkah dia korban tabrak lari? Mustahil.
Kudekati sosok laki-laki yang tergeletak itu. Ternyata dia masih hidup. Usianya sebaya denganku. Dengan segala cara, akhirnya dia bisa kupapah dan kubawa ke rumah. Sekali lagi, tak satu pun pintu terbuka. Mungkin mereka sudah mati semua!
Setelah duduk beberapa saat, dan meminum dua gelas air sekaligus, barulah dia bisa kuajak bicara. Dia sendiri tak tahu mengapa tiba-tiba pingsan. Namun, melihat kekusutan penampilannya, dan kelayuan tubuhnya, aku bisa menduga bahwa dia kelaparan. Jujur saja aku tak bisa berbuat banyak. Mau menawarinya makan? Mana mungkin? Tak ada makanan di rumah ini.
Dia berkali-kali hanya mengucapkan terima kasih, dan akan lebih berterima kasih lagi jika diperkenankan duduk beberapa saat lagi. ''Saya masih belum kuat jalan, Pak,'' tambahnya.
Tentu saja dia tak bisa berjalan, pasti dia kelaparan. Aku harus mencarikan makanan yang bisa segera mengenyangkan. ''Sebentar, ya...,'' kataku, yang kemudian setengah berlari, meninggalkan rumah, menuju warung.
Beberapa saat kemudian aku kembali, langsung menuju dapur dan memasak mi instan. Kucari telur di lemari es. Kupecahkan dua butir. Kasihan. Dia pasti kelaparan.
***
Aku gembira. Baru kali ini aku menemukan manusia yang bisa kuajak berbincang. Sambil menunggui dan mengamati bagaimana lahapnya laki-laki ini makan, tak henti-hentinya aku bertanya. Akan tetapi, beberapa saat kemudian, barulah aku sadar, ternyata kalimat yang keluar dari bibirku tak lebih dari: ''Bagaimana, enak?'' atau ''Nambah?''
Tiba-tiba pula aku merasa begitu tolol.
***
Malamnya, sebelum tidur, istriku yang hari itu pulang larut, sempat menggerutu. Katanya, aku berkali-kali, sesore tadi ditelepon, tapi tak menyahut. ''Kenapa sih, HP-nya dimatiin?''
Dimatiin?
Rasanya sejak sore tadi aku tak mendengar HP-ku berbunyi. ''Nggak, kok. Dari siang, bahkan dari kemarin malam HP-ku aktif; aku lupa matiin.''
''Pokoknya, tadi sebelum magrib aku telepon, tapi voicemail terus..''
Sejak magrib?
Seperti tersengat tawon, aku tersentak. Bukankah tadi HP kugeletakkan di meja depan, ketika mendudukkan laki-laki itu. Segera aku ke meja depan, dan...
***
Kukutuki malam. Kumaki dinginnya. Kuteriakkan sejuta kutukan. Laki-laki yang kutolong tadi, ternyata maling! Aku jadi makin tolol. Bagaimana mungkin aku tak bisa melihat dia lewat di depan warung, sementara aku membeli mi instan tadi? Jalan ini hanya punya satu pintu, di ujung sana! Hanya satu. Jadi, mustahil orang keluar masuk jalan ini, tanpa berpapasan satu dengan yang lainnya.
Lewat mana dia? Malam itu juga dengan membawa senter, aku lihat ke sekeliling pagar tinggi yang mengepung kompleks ini; tentu saja yang berada di sekitar rumahku. Sia-sia. Selain aku tak bisa melihat dengan jelas, rasa jengkel membuatku tidak teliti.
Ya. Bagimu, barangkali sebuah HP adalah sebuah HP. Kalaupun hilang, dengan mudah bisa beli yang baru. Tetapi, si laknat itu mencurinya di depan hidungku. Ini kurang ajar. Lebih kurang ajar lagi aku yang mempersilakan dia masuk rumahku, menyuguhinya dengan mi instan dan... ah!
***
Hari ini aku mendapatkan isnpirasi dari rumah si Ton atau Tom. Aku akan melarang orang keluar masuk rumahku sembarangan. Aku akan pasang aliran listrik di pagar tembok yang akan kubuat dari perangkap hewan buruan. Jadi, kalau ada orang berusaha memanjat, dia akan mati tersengat listrik. Atau, paling apes, kakinya akan buntung terkena jebakan besi itu. Haha... Ideku lumayan cemerlang.
Sementara itu, akan kupasang kamera pengintai di keempat sudut pagar rumahku. Dengan begitu, aku bisa memonitor setiap gerakan mencurigakan yang ada di luar sana. Aku tak perlu keluar rumah. Cukup mengamati dari monitor. Kalau ada maling, atau yang kuduga sebagai maling, aku bisa lapor polisi. Aku tak perlu keluar rumah. Aku tak perlu meminta tolong tetangga. Aku bisa menguasai keadaan dengan baik.
Bagaimana, menurutmu? (*)
Bukit Nusa Indah, 982
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 15 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar