KRT. Suryanto Sastroatmodjo
Memagut aku memagut
Racutan gelanggang mengurai pulut
Mematut aku mematut
Bunga pengimbang lamun bertaut.
Ikhwan yang setiawan.
Banyak bayang-bayang yang sepanjang badan; tapi lebih banyak lagi bayang-bayang yang tak lagi mengindahkan badannya, malahan bersebadan dengan rayuan yang jauh di atas ukuran wujudiah. Cara bagaimana pun untuk mengekalkan carapandang seseorang di tengah dunianya, niscaya akan membikin kecut orang lain, jika kekerasan diucapkan sebagai bahasa inti. Namun demikian, tiada seorang pun ragu akan kekuatan pribadinya, jikalau dia memang punya kekuatan untuk terbang. Siapa dapat menghadang?
Nah, pada hari menjelang Malam Ramadlan itu, telah pula aku usahakan untuk bertemu dengan Engku Syarifuddin, yang biasanya memberikan pelajaran khusus untuk anak-anakku. Sebetulnya aku teramat gembira, karena setiap dia datang, selalu juga anakku satu-satunya itu menyiapkan segelas air jeruk kegemarannya, dengan juadah seperlunya. Kemudian si Tulip itu akan memanggil dua kemenakanku yang tinggal agak jauh di belakang rumah, untuk ikut menyemarakkan pelajaran yang bersifat kekeluargaan tadi. Alangkah akrabnya, alangkah manisnya menyaksikan kanak-kanak berumur antara 8-10 tahun itu belajar membaca, berhitung dan bahasa melayu dari seorang kerabat seperti Engku Syarifuddin itu, yang sepenuh kerelaan mengajari para bocah yang haus ilmu pengetahuan. Maklum, tempatku jauh di pedalaman dan sebagai seorang perintis pengeboran minyak di kawasan hutan rindang Malawak, agaknya wajar kalau aku datangkan guru semacam itu, untuk menjaga agar anakku tak ketinggalan dalam ‘adab-budaya’ dibandingkan kanak-kanak sebaya (yang tentunya pada jam-jam sekolah mereka giat belajar) – dan tiada pilihan lain selain kebijaksanaan demikian.
“Anak-anak yang cerdas,” gumamnya suatu pagi, ketika menyeruput minumannya. Di depannya, ketiga bocah lanang cilik itu telah siap menerima pelajarannya hingga tengah hari, setelah disela istirahat sejenak (di mana mereka main karambol atau halma) dan shalat lohor. Aku terharu menyaksikan keluargaku begitu akrab dengan guru yang berasal dari kampung halamanku sendiri, di Sungai Batang-Maninjau. Di rantau orang, di pedalaman Brunei yang tua ini, aku merasa menemukan seorang sanak-saudara. Ia tergolong masih muda, penyantun, dan telah lima tahun lebih beberapa bulan meninggalkan negerinya, untuk memupu nafkah di bandar-raya itu.
“Pukul berapa Engku mengajar di Sekolah Sore Sribunga?” tanyaku agak menyelidik. Karena, alangkah lelahnya dia. Paling tidak, setelah keluar dari pelataran rumahku, dia harus menuju ke Batang Pinang, sungai yang panjang-luas, tempat perahu-perahu tambang menawarkan jasanya. Pelayaran di sungai memakan waktu kurang lebih satu jam. Maka, paling tidak baru pukul 16.00 petang dia tiba di rumahnya, ujung dusun injuk. “Ya, tuan, saya selalu menyempatkan diri untuk beristirahat barang seperempat jam, begitulah. Biasanya jam 17.00 lebih sedikit, saya harus siap mengajar di Sekolah Raja di Jalan Bendahara, hingga pukul 19.00. Itulah yang saya lakukan selalu.”
“Dan apakah Engku mendapat jemputan mobil tiap hari?”
“Tidak juga, tuan. Dari Injuk, biasanya saya numpang ojek sepedamotor yang dijajakan di mulut gang. Memang hanya itu yang mungkin saya tempuh. Soalnya Sekolah Sore tak mau tahu dengan kesulitan perjalanan guru…”
Saya menelan ludah. Aneh, pikirku. Bukankah dia masih tergolong lajang, dan di negeri kayaraya ini kehidupan ditata secara cermat?
Begitu mengherankan, sekaligus memilukan. Jika demikian, maka Engku Syarifuddin menyandang beban rangkap. Beban pertama sebagai seorang perantau muda, dia merasa kurang memiliki hari depan yang baik. Ia seperti tengah digaduh oleh kecemasan berlarut-larut, sehingga hidupnya sendiri harus ditata dari rinci-rinci terkecil. “Ah, adakah Engku sudah teringat untuk berumahtangga?” Tanya istriku pada suatu ketika. “Adikku lelaki tampaknya sebaya dengan Engku sudah beranak dua orang…” Dia tak meneruskan, sedangkan wajah Engku Syarifuddin kemerahan. Dalam memberikan pelajaran, dia tak pernah terkungkung oleh persyaratan keilmuan tertentu. Ia lebih bersifat terbuka, seperti kakak mengajari adik-adiknya; dan justru cara itu lebih memadai untuk anakku yang agak manja. Istriku sebetulnya menuntut agar pelajaran Bahasa Inggris juga diberikan. Tapi untuk sementara hal itu kutangguhkan mengingat umur para pelajar-rumah (sebutlah: sekolah kebun) di kawasan hutan ini hanya menepati peribahasa yang berbunyi: ‘tiada rotan, akarpun jadi’. Lagipula, anak-anak lekat sekali dengan guru muda yang periang-lincah.
Ikhwan yang lembut.
Minggu sore, aku sudah mengatakan kepada Engku Syarifuddin, agar hari Seninnya (yang kebetulan libur, karena bersamaan dengan perayaan Idul Adha), ia datang seperti biasa. Kami sekeluarga bermaksud mengunjungi Situ Kuala, untuk mandi-mandi dan menikmati udara gunung. Perjalanan ke sana dilakukan dengan menyewa kuda tunggang terlebih dahulu. Sungguh menggembirakan, bahwa Engku tak berkeberatan. Si Tulip, anakku dan dua keponakan, Lolong dan Dodi juga menyertai perjalanan yang penuh santai ini. Nah, jadilah empat ekor kuda, dua besar berbulu dawuk, dinaiki aku bersama istri dan Engku seorang; sedangkan dua yang agak kecil, berbulu putih, dinaiki anak dan dua keponakan. Jalan setapak di perkebunan kopi, dengan bau tanah tersiram gerimis lembut, sungguh sedap. Apalagi serujuk dengan uap hangat harum dari buah-buah kopi yang siap-petik. Suasana pagi memberikan sinar sumringah!
Tatkala mandi-mandi, di situlah terjadi pembicaraan yang berlangsung dari hati ke hati, antara kami. Usai mandi ala kadarnya, sambil mengawasi si buyung sayang berkecimpung di airjernih, sayapun bertanya kepada Engku, mengapa mengajar di Sekolah Sore yang dibangun oleh kesultanan itu, dia kurang memperoleh pelayanan memuaskan. “Bukankah sekolah itu dibiayai berjuta ringgit dari modal orang-orang Inggris?” Tanya istriku dengan mata iba. Kulihat baju dan celana Engku penuh tisikan, yang tentunya dilakukan olehnya sendiri lantaran tak begitu halus jarumannya. Dengan suara agak parau, dia menjawab: “Dugaan Uni memang tepat. Artinya bahwa seyogyanya sekolah itu memberikan segalanya yang baik. Karena saya mengajar anak orang besar-besar dan di antaranya juga sinyo-sinyo yang kepingin menuntut pelajaran di sekolah kerajaan.” Ia menghela nafas, kemudian menghembuskannya kembali. Suaranya lebih kental, begini: “Kalau saja saya mau. Tetapi rupanya hal itu memang harus lepas dari keduabelah tangan. Paling tidak untuk saat sekarang.”
“Lho, bukankah dalam usia kini, biaya hidup lebih Engku butuhkan? Tanyaku agak tak sabar. “Dan Engku bisa mengajukan usulan itu…”
“Tidak. Tidak. Karena… Zubaidah jadi kendalanya, tuan…”
“Zubaidah? Siapa gerangan yang Engku sebut ini?”
“Gadis remaja ini adalah putri Datuk Landuga, direktur Sekolah Sore Sribunga, tuan. Saya menolaknya. Itu lebih baik katimbang saya menggadaikan diri kepada keluarga bangsawan yang selalu haus kekuasaan itu.”
“Sayang,” kata istriku memotong. “Engku punya pandangan tertentu. Umpamanya memilih hidup secara zuhud, menjauhi gebyar keduniawian…” Giliran Engku tertawa agak keras. “Jangan salah kira, Uni. Dalam hal ini, saya lumrah-lumrah saja. Naluri kelelakian juga bicara. Cuma belum waktunya. Betul.”
Belum waktunya. Belum waktunya. Belum waktunya. Sungguh, belum pernah saya mendengar ihwal sepelik dan seaneh ini. Engku dari kampung, yang bersahaja dan senang mendidik-mengajar para bocah di kampung seputar hutan, toh punya sikap hidup yang pantas disimak. “Apa gunanya saya tenggelam di tengah gelora zaman yang menyilaukan, tuan – lebih-lebih jika saya menyadari, bahwa diriku teramat hina. Asal dari sesuatu yang rontang-ranting, terserpih-serpih. Aku berasal dari sebuah Panti Asuhan untuk para yatim-piatu. Siapa ayahku, siapa nama ibuku, telah samar sekali. Orang tua-tua juga bungkam setiap aku berusaha untuk menanyakan hal itu. Akhirnya aku simpulkan, Tuhan punya kehendak, agar diriku tetap berada di jalur jelata. Jalur rakyat miskin. Bersatu dengan mereka. Bergaul dan membina panggulawenthanya. Karena pada jalur seperti ini, hidupku akan senantiasa terpelihara dari kesombongan, kedustaan, jubriya, lupa pada Tuhan, mempertaruhkan hawa nafsu, mendewakan pribadi!”
Sepintas, ada yang tak kusetujui dari pilihan-batin begini. Tapi setelah kurenungkan lebih lanjut, memang tak jauhlah dari sesuatu yang telah disengaja jadi carapilih yang dalam. Kala itu, air kuala berwarna biru tua, sewaktu sinar surya dengan girang-gumirang melintaskan sorotnya, seraya melihat beberapa rumpun caldena yang berwarna ungu bercuplik-cuplik, yang menghias karang berpesanggrahan, sebagai Si Cantik di Kerajaan Timur – alur dan alir sungai ini pelan merayap ke sanubari. Aku pernah, dalam awal tugas-dinasku di kerajaan Brunei Darussalam itu menyaksikan Keraton Sultan Hasanal Bolkiah yang diliputi emas permata yang bagaikan memberikan cahaya berlapis mutiara, serta kereta kencana yang menyiratkan bayang seribusatu malam. Mungkinkah dari seorang Engku Syarifuddin dari maninjau yang hanya menganggap dirinya lara-papa dan tanpa nilai kebangsawanan, kecemerlangan yang dipamerkan oleh pusat Sri Diraja itu sungguh-sungguh merawankan…?
Ikhwan yang setiawan.
Aku mengeluh beberapa kali. Aku sering pedih, mengurut dada, meneteskan airmata bila tinggal di kawasan yang tak menjanjikan apa-apa selain bau kembang hutan dan kumbang madu yang bernafaskan arkadis. Kalau sesekali sempat bertamasya di daerah lain yang agak indah dan seronok, hati jadi terhibur. Sebenarnya, aku masih mendambakan kemuliaan hidup, yang bukan hanya di tengah pengabdian kepada tugas dan kesetiaan kepada Tajuk Mahkota Diraja, melainkan diliputi pula dengan segala yang bernama prasana dan sarana kehidupan modern yang pantas (untuk orang-orang seusia ini, dengan jenjang pendidikan tinggi dan halus kemapanan orang lain sebagai kompas) – tapi, ah, ah, ah. Istriku lebih-lebih lagi, kurang memahami arti kesyukuran dan mensyukuri nikmat. Tatkala mendengar secelah ungkapan yang digoreskan Engku Syarifuddin kepada kalbu kami berdua, kurasakan, betapa aku tiba-tiba merasa pongah, sombong dan meninggalkan Al-Khalik. Aku lupa, ada oranglain yang kurang beruntung tapi yang jauh di dasar hatinya terpeta jelas jalan munajat ke hadirat Rabbani.
Ikhwan, sahabat setia.
Kami anak-beranak dan Engku berenang sepuas-hati di Kuala itu. Airnya segar-sejuk memberikan kecambah keharuan ke lurung sukmaku. Esok, atau hari-hari kemudian, ingin aku lebih berguru kepada guru anakku yang masih muda itu. “Saya menolak Zubaidah. Sebagai balasannya, Datu memperlakukan diriku semacam ini. Dibiarkannya diriku menanggung beban sengsara. Melata dan merayap menuju sekolah, tempatku mengajar. Upah atau gajiku dibuatnya paling kecil, yang membuat diriku lebih-lebih lagi tertindas. Saya maafkan segala perlakuan itu. Bila Tuhan melimpahkan karunia, fajar pasti menyingsing nanti!”
Aku tercenung, seraya membuka bekal makanan dan minuman dari rumah. Sebentar kemudian, kami serombongan melahap hidangan sambil istirah.
---
*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar