Selasa, 05 Agustus 2008

SABDA KELABU

Elva Lestary

Sudah setahun lebih aku duduk di sebuah bangku yang cukup tua untuk menyusuri huruf-huruf yang berbaris rapi di bukuku. Aku seorang siswi dengan bantuan beasiswa di sebuah sekolah yang besar dan elit. Semua penghuni sekolah itu rata-rata anak orang kaya yang mempunyai wewenang dan adi kuasa di jagad raya ini. Sedangkan aku hanyalah debu kecil yang tak terlihat oleh siapa pun.

Kadang aku merasa jengah dan muak dengan semua ini. Kenapa aku dilahirkan tanpa harta yang berlimpah, kesenangan, kegembiraan dan tanpa belaian seorang ayah? Ya, aku sekarang hanya hidup berdua dengan ibu. Ayahku meninggal waktu aku berusia 3 tahun. Namun aku tidak pantas mengeluh atas berlalunya waktu. Biarkan ini semua menjadi kodratku yang hakiki. Aku masih mempunyai permata yang sangat berharga. Walaupun tinggal seorang. Ibuku.

Ku bergumul dangan air mata yang tak henti-henti menetes. Aku tengadahkan tangan yang sudah banyak memuat dosa dan kezaliman pada sang Maha Khaliq.


Hari ini berjalan dengan cepat. Baru kemarin aku sekolah, kini harus sekolah lagi. Seperti biasanya, aku mencium tangan dan pipi ibuku sebelum berangkat.
“Hati-hati ya Nak!” suara itu yang selalu menenangkan jiwaku.
“Iya Bu. Nindy berangkat. Assalamu’alaikum……”
“Wa’alaikum salam……”

Ku tata langkah dan niatku. Bismillahhirrohmanirrohim. Niat Ingsun Tholabul’ilmi Lillahi Ta’alah” Jarak sekolah dan rumahku tidak begitu jauh, sehingga aku tidak begitu capek untuk berjalan. Belum sempat aku duduk, aku dikejutkan dengan secarik kertas di atas bangkuku, yang berisi sebuah puisi.

Tak ada lagi rindu menjamah,
Serta bayangan berhias pesona
Selain wajahmu sang jelita…
***

Sudah berkali-kali aku menemukan puisi yang sama. Berribu pertanyaan hadir di pikiranku. “Siapa pengirimnya? Apakah untukku atau untuk orang lain? Tapi kenapa setiap hari ada di atas bangkuku? Mungkin salah kirim!” itu adalah jawaban yang mewakili atas semua pertanyaan-pertanyaanku. Lagi pula aku ini bukanlah seorang wanita yang cantik dan terkenal di sekelompok kaum Adam.

Cepat-cepat aku memasukkan kertas itu ke dalam tas. Aku tak mau semua orang tahu. Cukup aku dan Allah sajalah yang mengerti akan gejolak hatiku hari-hari ini.

Seminggu telah berlalu, aku masih diselimuti rasa penasaran yang semakin membuncah. Kenapa puisi-puisi itu masih datang menyapaku di setiap keheningan pagi. Dan isinya pun tetap sama.

Terakhir kutemukan kertas itu lagi. Tapi ada yang berbeda pada ungkapan akhirnya. Ada kata-kata yang membuat hatiku terkoyak.

…Would you want to be my partner forever??
Ah, siapa yang sudah berhasil meretakkan relung cinta di hatiku? Aku sudah jatuh cinta padanya. Pada seorang laki-laki misterius yang selalu menyelami mimpi-mimpi di setiap malamku. Sekarang aku lapuk karena cinta. Cinta yang semu dalam keresahan rindu.

Pagi yang cerah tak menyurutkan hatiku yang risau. Sampai saat ini, aku tak tahu siapa pengirim puisi itu. Akankah hari ini aku menemukan seorang yang kunantikan, walau hanya sekedar nama. Malam perpisahan kelas III begitu meriah. Namun aku tak bisa merasakan itu karena aku masih kelas II. Setahun lagi aku baru bisa mencerna arti malam akhir ussanah. Jam berjalan dengan cepatnya. Tak terasa sudah jam 12. Suasana agak hening. Di sisi lain ada suara di mikrofon yang terpajang di sudut-sudut sekolah. Sepertinya aku sudah hafal dengan kalimat yang diucapkannya.
“Would you want to be my partner….??”

Kalimat itu! Kalimat itu yang ada dalam benakku. Tanpa aba-aba kuberlari mencari sosok di balik suara sendu itu. Dan ternyata pengusik waktu belajarku selama ini adalah Aris. Anak kelas III yang baru saja melepas masa SMA-nya. Aku seperti patung yang hanya diam menatap wajah Aris. Kami berdua memperhatikan tiap sudut dan celah-celah mata. Mencoba mempertautkan keberagaman perasaan yang telah terpendam.

“Nindy….”. suara itu begitu lembut di telingaku.
“Ya Allah….Aris, kau adalah pria misteriusku?” begitu pikirku dalam-dalam.
“Nin kenapa kau diam saja?” Lagi-lagi Aris membuldosser hatiku dengan suaranya.
“Oh maaf. Aku ingin bertanya padamu. Apakah kau yang mengirim puisi itu padaku? Terus apa maksudnya?”
Ku beranikan untuk bertanya pada Aris. Tapi aku tak berani melihat matanya lagi. Aku takut jika terbius oleh matanya yang menyimpan berjuta rahasia itu.
“Nin, aku serius. Aku benar-benar ingin menjadi pendampingmu kelak. Walau semua mengharamkan jalinan rasa ini….”

“Tapi aku tak bisa Ris. Aku masih sekolah. Aku tak mau mengecewakan ibuku. Maafkan aku!”
Kenapa kalimat itu langsung keluar dari mulutku, padahal hatiku berbicara lain? Hatiku ingin mengiyakan kalau aku juga jatuh cinta padanya.
“Oke Nin, aku mengerti. Aku akan menunggumu sampai selesai sekolah. Tapi apakah kau mau menungguku 2 tahun lagi? Aku tahu kalau kamu juga punya rasa sepertiku. Nin, tolong jawab pertanyaanku dengan hatimu sendiri. Tanpa ada alasan yang kau buat-buat.”

“Aku harus gimana Ya Roob…??.” Aku seperti terpojok oleh cinta. Bibir ini tak dapat digerakkan. Aku hanya bisa mengangguk dengan permintaan Aris. Tapi apakah mungkin aku sanggup setia pada janji Aris. Janji kalau aku akan menunggunya dalam 2 tahun ke depan. Aris akan pergi untuk belajar di sebuah Universitas besar di Jakarta. Belum sampai 25 menit, kami melepas rindu yang memenuhi rongga hati. Aku pergi menjauh. Aku takut kalau pena merah Atid akan tergores di catatan kehidupanku. Walau rasa ini masih ingin memuja dirinya. Sungguh pribadinya begitu menyejukkan qolbu-ku. Aku akan merindukannya. Aku akan merindukan puisi-puisi itu.
***

Yang ku impikan kini semakin dekat. Aku sudah lulus sekolah. Kurang satu tahun lagi aku akan bertemu dengan Aris. Seorang kekasih yang tak sampai pada kenyataan. Tapi aku lupa akan sesuatu. Sesuatu yang kuderita dari dulu. Aku tak sanggup bila itu semua harus kuceritakan pada Aris. Selama ini aku berbohong pada diriku sendiri. Aku mendustai Aris. Aku lupa bahwa aku akan dijodohkan dengan seseorang, karena hutang keluargaku untuk biaya pengobatanku. Ya, aku sakit. Sakit yang begitu parah. Aku mengidap Sirosis yang berkepanjangan. Sebuah penyakit pembengkakkan hati dan tak dapat disembuhkan kecuali ada yang mau mendonorkan hati padaku. Pikiranku telah penuh dengan nama Aris, sehingga Mas Bagas hilang dari kehidupanku. Seorang sarjana yang telah mapan. Yang akan dijodohkan denganku. Aku memang Siti Nurbaya. Namun tanpa Samsul di dekatku.
Aris…. semoga kau cepat kembali. Tak ayal kau adalah alasan untuk menolak pinangan Mas Bagas.
***

Sudah genap 2 tahun aku menanti sebuah harapan dari Aris. Dan hari ini aku akan bertemu dengan Aris di tempat yang telah kita sepakati 2 tahun lalu. Berjam-jam aku duduk terpaku menunggu Aris, sampai semburat senja hadir di langit-langit kota.

“Sebaiknya aku pulang. Ibu pasti menghawatirkanku.” ucapku dalam kegamangan.
Berbulan-bulan aku terus mengulang adegan penantian buat Aris. Tapi tak ada jawaban apapun. Tak ada harapan. Tak ada cinta. Dan tak ada Aris yang datang. Apa dia sudah melupakan janji kita. Sedangkan desakan keluarga Mas Bagas untuk secepatnya menikah terus bertubi-tubi mengejarku, sehingga ibu sering sakit karena memikirkannya.

“Ya Allah…, aku bingung akan Qodlo’-Mu. Aku ingin menuangkan sejuta kegalauanku pada-Mu Gusti…”
Aku terus tenggelam dalam berribu pertanyaan. Air mataku terus mengalir hingga sajadahku basah. Aku labuhkan diriku pada sang Maha Nashir. Karena Dialah tempatku mengadu.

Setelah asaku untuk bertemu dengan Aris telah mematahkan hasratku, karena rinduku tuk menatap wajahnya adalah hanya sebagai penderitaan ibuku. Aku putuskan menerima lamaran Mas Bagas. Dan tanggal 10 Februari besok adalah tanggal pernikahanku dengan Mas Bagas. “Maafkan aku Ris….”

Seminggu sebelum pernikahanku, semua keluarga sibuk mengatur undangan dan yang lainnya, tak terkecuali aku. Aku gelap tiada cahaya. Kulihat undangan pernikahanku: “Akan menikah putra kami: Bagas Kurniawan dengan Nindy Maulida”. Tiba-tiba kudikagetkan dengan kedatangan Aris ke rumahku.

“Ris…” ucapku lirih. Dan tak terasa air mataku pecah berhamburan sedikit demi sedikit. Aris menatapku dengan matanya yang kurindukan selama ini. Aku tak bisa berkutik ketika Aris mengambil undangan dari tanganku. Aku menunduk. Aku takut. Aku gelisah akan perubahan wajah Aris setelah membaca undangan itu.

Kuberanikan untuk melihat matanya. Ya Allah…apa yang kulakukan padanya, sehingga matanya yang sendu itu menyemburatkan api kemarahan. Dengan tatapan yang tajam, dia melihatku seakan aku adalah orang yang bersalah seantero dunia ini. Dan tanpa pamit dia pergi meninggalkanku….
***

Janur kuning melengkung indah menghiasi rumahku. Iringan lagu qosidah menggema. Para tetangga hilir mudik seperti pembantu anyar di rumahku. Aku telah berdandan rapi. Memakai busana pengantin, serta melati putih menghiasi jilbabku. Aku telah siap menerima Mas Bagas sebagai Imamku. Aku tarik nafas dalam-dalam. Tinggal 30 menit lagi ijab qobul akan dilaksanakan. Aku berdiam di kamar, mengubur bayang-bayang Aris yang memenuhi ingatanku.

Dering telepon membuyarkan imajinasiku. Tak kudengar lagi celoteh para tetangga. Hening. Aku dengar suara ibu tersedu. Aku semakin bingung. Pikiranku melayang. Meraba-raba apa yang terjadi. Aku keluar dari persemayamanku. Mengikuti gelora hati yang membuncah.

“Bagas Nin, Bagas! Dia kecelakaan dan keadaannya sekarang kritis.”
“Astaghfirullahal’Adzim, apalagi yang kau rencanakan padaku Gusti??” seruku tersentak. Kepalaku pusing. Kuterjerembab di atas lantai. Dan aku tak ingat apa-apa lagi.
***

Kumembuka mataku yang terasa berat untuk melihat. Aku sekarang terbaring di ruangan serba putih. Bergelut dengan jarum suntik. Bau obat-obatan. Dan pakaianku kini berubah putih. Tak seindah tadi. Suara pendeteksi jantungku terus saja berdetak. Suara ibu terdengar lirih di telingaku.

“Nin, kau sudah sadar Nak!”
Aku hanya bisa mengangguk. Dan aku melihat ibu menangis.
“Bu, kenapa Ibu menangis?” suaraku masih terbata-bata.
“Nin, Ibu menangis karena sudah ada seseorang yang telah mendonorkan hatinya padamu. Dan Ibu juga menangis karena nak Bagas sudah meninggal sewaktu kau akan dioperasi”
“Innalillahi Wainna Illaihi Roji’un” ungkapku lirih. Air mataku tak bisa dibendung lagi. Aku dan ibu berduka di dalam keheningan senja.
“Ya Allah….Mas Bagas sudah pergi meninggalkanku selamanya. Kini pesta pernikahanku berubah menjadi pesta pemakaman Mas Bagas”

Kuberjalan bersama para pelayat untuk mengantarkan jenazah Mas Bagas di tempat peristirahatannya yang terahkir. Rintik hujan pun melengkapi pemakaman Mas Bagas.

Setelah pemakaman itu, aku pun pulang ke rumah. Sebelumnya, aku telah menerima surat terakhir dari Mas Bagas yang telah dititipkanya pada ibu. Surat itu kubuka dengan kegundahan hati yang begitu menggelora. Ya, surat berwarna kelabu dari Mas Bagas itu lantas ku baca.

Assalamu’alaikum Nin,
Aku menulis surat ini untuk meminta maaf padamu. Aku telah memaksamu untuk menjadi istriku. Aku sudah tahu semuanya dari ibumu. Termasuk penyakitmu dan Aris. Ternyata kau pendam rasa itu demi aku.
Maafkan aku Nin….., Aku sedih ketika aku sangat mencintaimu. Tapi hatimu berkata lain. Aku hanya bisa memberimu sebuah hati yang tidak pernah kau jamah sedikitpun. Semoga dengan ini kau menyelimuti kehangatan dalam tidur panjangku.

Wassalamu’alaikum
Bagas

Air mataku semakin deras membasahi jilbabku. Ternyata Mas Bagas yang mendonorkan hatinya untukku. Kuakui, Arislah lelaki yang telah mewarnai hidupku. Arislah yang membuat hatiku berkata CINTA. Dialah yang kucintai. Tapi bukan berarti Mas Bagas bukanlah raja di hatiku. Justru dialah hubbul kamil yang kumiliki. Aku mulai mencintainya. Mencintai seseorang yang telah pergi.

“Gusti…..Maafkan hambamu yang ingkar ini,
yang selalu menghuni ruang-ruang penyesalan hati.
Aku bukan Malaikat, yang setiap hari bersimpuh pada-Mu
melantun puji kasih untukmu.
Aku hanyalah daun-daun yang berhamburan
diterpa angin kegundahan dan kebimbangan.
Ya Rabb…..berikanlah secercah cahaya untukku,
biar menyelimuti kesendirianku,
sepi termangu di ujung kelam waktu…..” **

Lamongan, 14 Februari 2008

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest