Elva Lestary
Sudah setahun lebih aku duduk di sebuah bangku yang cukup tua untuk menyusuri huruf-huruf yang berbaris rapi di bukuku. Aku seorang siswi dengan bantuan beasiswa di sebuah sekolah yang besar dan elit. Semua penghuni sekolah itu rata-rata anak orang kaya yang mempunyai wewenang dan adi kuasa di jagad raya ini. Sedangkan aku hanyalah debu kecil yang tak terlihat oleh siapa pun.
Kadang aku merasa jengah dan muak dengan semua ini. Kenapa aku dilahirkan tanpa harta yang berlimpah, kesenangan, kegembiraan dan tanpa belaian seorang ayah? Ya, aku sekarang hanya hidup berdua dengan ibu. Ayahku meninggal waktu aku berusia 3 tahun. Namun aku tidak pantas mengeluh atas berlalunya waktu. Biarkan ini semua menjadi kodratku yang hakiki. Aku masih mempunyai permata yang sangat berharga. Walaupun tinggal seorang. Ibuku.
Ku bergumul dangan air mata yang tak henti-henti menetes. Aku tengadahkan tangan yang sudah banyak memuat dosa dan kezaliman pada sang Maha Khaliq.
Hari ini berjalan dengan cepat. Baru kemarin aku sekolah, kini harus sekolah lagi. Seperti biasanya, aku mencium tangan dan pipi ibuku sebelum berangkat.
“Hati-hati ya Nak!” suara itu yang selalu menenangkan jiwaku.
“Iya Bu. Nindy berangkat. Assalamu’alaikum……”
“Wa’alaikum salam……”
Ku tata langkah dan niatku. Bismillahhirrohmanirrohim. Niat Ingsun Tholabul’ilmi Lillahi Ta’alah” Jarak sekolah dan rumahku tidak begitu jauh, sehingga aku tidak begitu capek untuk berjalan. Belum sempat aku duduk, aku dikejutkan dengan secarik kertas di atas bangkuku, yang berisi sebuah puisi.
Tak ada lagi rindu menjamah,
Serta bayangan berhias pesona
Selain wajahmu sang jelita…
***
Sudah berkali-kali aku menemukan puisi yang sama. Berribu pertanyaan hadir di pikiranku. “Siapa pengirimnya? Apakah untukku atau untuk orang lain? Tapi kenapa setiap hari ada di atas bangkuku? Mungkin salah kirim!” itu adalah jawaban yang mewakili atas semua pertanyaan-pertanyaanku. Lagi pula aku ini bukanlah seorang wanita yang cantik dan terkenal di sekelompok kaum Adam.
Cepat-cepat aku memasukkan kertas itu ke dalam tas. Aku tak mau semua orang tahu. Cukup aku dan Allah sajalah yang mengerti akan gejolak hatiku hari-hari ini.
Seminggu telah berlalu, aku masih diselimuti rasa penasaran yang semakin membuncah. Kenapa puisi-puisi itu masih datang menyapaku di setiap keheningan pagi. Dan isinya pun tetap sama.
Terakhir kutemukan kertas itu lagi. Tapi ada yang berbeda pada ungkapan akhirnya. Ada kata-kata yang membuat hatiku terkoyak.
…Would you want to be my partner forever??
Ah, siapa yang sudah berhasil meretakkan relung cinta di hatiku? Aku sudah jatuh cinta padanya. Pada seorang laki-laki misterius yang selalu menyelami mimpi-mimpi di setiap malamku. Sekarang aku lapuk karena cinta. Cinta yang semu dalam keresahan rindu.
Pagi yang cerah tak menyurutkan hatiku yang risau. Sampai saat ini, aku tak tahu siapa pengirim puisi itu. Akankah hari ini aku menemukan seorang yang kunantikan, walau hanya sekedar nama. Malam perpisahan kelas III begitu meriah. Namun aku tak bisa merasakan itu karena aku masih kelas II. Setahun lagi aku baru bisa mencerna arti malam akhir ussanah. Jam berjalan dengan cepatnya. Tak terasa sudah jam 12. Suasana agak hening. Di sisi lain ada suara di mikrofon yang terpajang di sudut-sudut sekolah. Sepertinya aku sudah hafal dengan kalimat yang diucapkannya.
“Would you want to be my partner….??”
Kalimat itu! Kalimat itu yang ada dalam benakku. Tanpa aba-aba kuberlari mencari sosok di balik suara sendu itu. Dan ternyata pengusik waktu belajarku selama ini adalah Aris. Anak kelas III yang baru saja melepas masa SMA-nya. Aku seperti patung yang hanya diam menatap wajah Aris. Kami berdua memperhatikan tiap sudut dan celah-celah mata. Mencoba mempertautkan keberagaman perasaan yang telah terpendam.
“Nindy….”. suara itu begitu lembut di telingaku.
“Ya Allah….Aris, kau adalah pria misteriusku?” begitu pikirku dalam-dalam.
“Nin kenapa kau diam saja?” Lagi-lagi Aris membuldosser hatiku dengan suaranya.
“Oh maaf. Aku ingin bertanya padamu. Apakah kau yang mengirim puisi itu padaku? Terus apa maksudnya?”
Ku beranikan untuk bertanya pada Aris. Tapi aku tak berani melihat matanya lagi. Aku takut jika terbius oleh matanya yang menyimpan berjuta rahasia itu.
“Nin, aku serius. Aku benar-benar ingin menjadi pendampingmu kelak. Walau semua mengharamkan jalinan rasa ini….”
“Tapi aku tak bisa Ris. Aku masih sekolah. Aku tak mau mengecewakan ibuku. Maafkan aku!”
Kenapa kalimat itu langsung keluar dari mulutku, padahal hatiku berbicara lain? Hatiku ingin mengiyakan kalau aku juga jatuh cinta padanya.
“Oke Nin, aku mengerti. Aku akan menunggumu sampai selesai sekolah. Tapi apakah kau mau menungguku 2 tahun lagi? Aku tahu kalau kamu juga punya rasa sepertiku. Nin, tolong jawab pertanyaanku dengan hatimu sendiri. Tanpa ada alasan yang kau buat-buat.”
“Aku harus gimana Ya Roob…??.” Aku seperti terpojok oleh cinta. Bibir ini tak dapat digerakkan. Aku hanya bisa mengangguk dengan permintaan Aris. Tapi apakah mungkin aku sanggup setia pada janji Aris. Janji kalau aku akan menunggunya dalam 2 tahun ke depan. Aris akan pergi untuk belajar di sebuah Universitas besar di Jakarta. Belum sampai 25 menit, kami melepas rindu yang memenuhi rongga hati. Aku pergi menjauh. Aku takut kalau pena merah Atid akan tergores di catatan kehidupanku. Walau rasa ini masih ingin memuja dirinya. Sungguh pribadinya begitu menyejukkan qolbu-ku. Aku akan merindukannya. Aku akan merindukan puisi-puisi itu.
***
Yang ku impikan kini semakin dekat. Aku sudah lulus sekolah. Kurang satu tahun lagi aku akan bertemu dengan Aris. Seorang kekasih yang tak sampai pada kenyataan. Tapi aku lupa akan sesuatu. Sesuatu yang kuderita dari dulu. Aku tak sanggup bila itu semua harus kuceritakan pada Aris. Selama ini aku berbohong pada diriku sendiri. Aku mendustai Aris. Aku lupa bahwa aku akan dijodohkan dengan seseorang, karena hutang keluargaku untuk biaya pengobatanku. Ya, aku sakit. Sakit yang begitu parah. Aku mengidap Sirosis yang berkepanjangan. Sebuah penyakit pembengkakkan hati dan tak dapat disembuhkan kecuali ada yang mau mendonorkan hati padaku. Pikiranku telah penuh dengan nama Aris, sehingga Mas Bagas hilang dari kehidupanku. Seorang sarjana yang telah mapan. Yang akan dijodohkan denganku. Aku memang Siti Nurbaya. Namun tanpa Samsul di dekatku.
Aris…. semoga kau cepat kembali. Tak ayal kau adalah alasan untuk menolak pinangan Mas Bagas.
***
Sudah genap 2 tahun aku menanti sebuah harapan dari Aris. Dan hari ini aku akan bertemu dengan Aris di tempat yang telah kita sepakati 2 tahun lalu. Berjam-jam aku duduk terpaku menunggu Aris, sampai semburat senja hadir di langit-langit kota.
“Sebaiknya aku pulang. Ibu pasti menghawatirkanku.” ucapku dalam kegamangan.
Berbulan-bulan aku terus mengulang adegan penantian buat Aris. Tapi tak ada jawaban apapun. Tak ada harapan. Tak ada cinta. Dan tak ada Aris yang datang. Apa dia sudah melupakan janji kita. Sedangkan desakan keluarga Mas Bagas untuk secepatnya menikah terus bertubi-tubi mengejarku, sehingga ibu sering sakit karena memikirkannya.
“Ya Allah…, aku bingung akan Qodlo’-Mu. Aku ingin menuangkan sejuta kegalauanku pada-Mu Gusti…”
Aku terus tenggelam dalam berribu pertanyaan. Air mataku terus mengalir hingga sajadahku basah. Aku labuhkan diriku pada sang Maha Nashir. Karena Dialah tempatku mengadu.
Setelah asaku untuk bertemu dengan Aris telah mematahkan hasratku, karena rinduku tuk menatap wajahnya adalah hanya sebagai penderitaan ibuku. Aku putuskan menerima lamaran Mas Bagas. Dan tanggal 10 Februari besok adalah tanggal pernikahanku dengan Mas Bagas. “Maafkan aku Ris….”
Seminggu sebelum pernikahanku, semua keluarga sibuk mengatur undangan dan yang lainnya, tak terkecuali aku. Aku gelap tiada cahaya. Kulihat undangan pernikahanku: “Akan menikah putra kami: Bagas Kurniawan dengan Nindy Maulida”. Tiba-tiba kudikagetkan dengan kedatangan Aris ke rumahku.
“Ris…” ucapku lirih. Dan tak terasa air mataku pecah berhamburan sedikit demi sedikit. Aris menatapku dengan matanya yang kurindukan selama ini. Aku tak bisa berkutik ketika Aris mengambil undangan dari tanganku. Aku menunduk. Aku takut. Aku gelisah akan perubahan wajah Aris setelah membaca undangan itu.
Kuberanikan untuk melihat matanya. Ya Allah…apa yang kulakukan padanya, sehingga matanya yang sendu itu menyemburatkan api kemarahan. Dengan tatapan yang tajam, dia melihatku seakan aku adalah orang yang bersalah seantero dunia ini. Dan tanpa pamit dia pergi meninggalkanku….
***
Janur kuning melengkung indah menghiasi rumahku. Iringan lagu qosidah menggema. Para tetangga hilir mudik seperti pembantu anyar di rumahku. Aku telah berdandan rapi. Memakai busana pengantin, serta melati putih menghiasi jilbabku. Aku telah siap menerima Mas Bagas sebagai Imamku. Aku tarik nafas dalam-dalam. Tinggal 30 menit lagi ijab qobul akan dilaksanakan. Aku berdiam di kamar, mengubur bayang-bayang Aris yang memenuhi ingatanku.
Dering telepon membuyarkan imajinasiku. Tak kudengar lagi celoteh para tetangga. Hening. Aku dengar suara ibu tersedu. Aku semakin bingung. Pikiranku melayang. Meraba-raba apa yang terjadi. Aku keluar dari persemayamanku. Mengikuti gelora hati yang membuncah.
“Bagas Nin, Bagas! Dia kecelakaan dan keadaannya sekarang kritis.”
“Astaghfirullahal’Adzim, apalagi yang kau rencanakan padaku Gusti??” seruku tersentak. Kepalaku pusing. Kuterjerembab di atas lantai. Dan aku tak ingat apa-apa lagi.
***
Kumembuka mataku yang terasa berat untuk melihat. Aku sekarang terbaring di ruangan serba putih. Bergelut dengan jarum suntik. Bau obat-obatan. Dan pakaianku kini berubah putih. Tak seindah tadi. Suara pendeteksi jantungku terus saja berdetak. Suara ibu terdengar lirih di telingaku.
“Nin, kau sudah sadar Nak!”
Aku hanya bisa mengangguk. Dan aku melihat ibu menangis.
“Bu, kenapa Ibu menangis?” suaraku masih terbata-bata.
“Nin, Ibu menangis karena sudah ada seseorang yang telah mendonorkan hatinya padamu. Dan Ibu juga menangis karena nak Bagas sudah meninggal sewaktu kau akan dioperasi”
“Innalillahi Wainna Illaihi Roji’un” ungkapku lirih. Air mataku tak bisa dibendung lagi. Aku dan ibu berduka di dalam keheningan senja.
“Ya Allah….Mas Bagas sudah pergi meninggalkanku selamanya. Kini pesta pernikahanku berubah menjadi pesta pemakaman Mas Bagas”
Kuberjalan bersama para pelayat untuk mengantarkan jenazah Mas Bagas di tempat peristirahatannya yang terahkir. Rintik hujan pun melengkapi pemakaman Mas Bagas.
Setelah pemakaman itu, aku pun pulang ke rumah. Sebelumnya, aku telah menerima surat terakhir dari Mas Bagas yang telah dititipkanya pada ibu. Surat itu kubuka dengan kegundahan hati yang begitu menggelora. Ya, surat berwarna kelabu dari Mas Bagas itu lantas ku baca.
Assalamu’alaikum Nin,
Aku menulis surat ini untuk meminta maaf padamu. Aku telah memaksamu untuk menjadi istriku. Aku sudah tahu semuanya dari ibumu. Termasuk penyakitmu dan Aris. Ternyata kau pendam rasa itu demi aku.
Maafkan aku Nin….., Aku sedih ketika aku sangat mencintaimu. Tapi hatimu berkata lain. Aku hanya bisa memberimu sebuah hati yang tidak pernah kau jamah sedikitpun. Semoga dengan ini kau menyelimuti kehangatan dalam tidur panjangku.
Wassalamu’alaikum
Bagas
Air mataku semakin deras membasahi jilbabku. Ternyata Mas Bagas yang mendonorkan hatinya untukku. Kuakui, Arislah lelaki yang telah mewarnai hidupku. Arislah yang membuat hatiku berkata CINTA. Dialah yang kucintai. Tapi bukan berarti Mas Bagas bukanlah raja di hatiku. Justru dialah hubbul kamil yang kumiliki. Aku mulai mencintainya. Mencintai seseorang yang telah pergi.
“Gusti…..Maafkan hambamu yang ingkar ini,
yang selalu menghuni ruang-ruang penyesalan hati.
Aku bukan Malaikat, yang setiap hari bersimpuh pada-Mu
melantun puji kasih untukmu.
Aku hanyalah daun-daun yang berhamburan
diterpa angin kegundahan dan kebimbangan.
Ya Rabb…..berikanlah secercah cahaya untukku,
biar menyelimuti kesendirianku,
sepi termangu di ujung kelam waktu…..” **
Lamongan, 14 Februari 2008
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 05 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar