Fahrudin Nasrulloh
Pada mulanya Chairil Anwar, pada 1946, mempersembahkan dua potong sajak kepada pelukis lembah Gajah Wong yang berjudul “Kepada Pelukis Affandi” dan “Betinanya Affandi”. Dua sajak tersebut dipersembahkan Chairil kepada Affandi sebagai tanda persahabatan. Ya, sajak persembahan; di situ Chairil seperti menangkap ledakan dari segala hidup dan kenangan Affandi, tapi barangkali selalu mrucut, menjelma bayangan samar yang diikhtiarkan kelak mengekal. Meski kesunyian Affandi sendiri, sampai kapanpun, tak akan pernah utuh direngkuh. Namun jalangnya, Chairil memang bernyali besar. Sebesar kenekatannya yang meradang menerjang itu. Dan entah dengan daya apa atau serupa kegilaan mistis yang nelangsa yang coba disosokkan, hingga ia tergerak untuk membikin sajak persembahan itu seolah bersama tongkat sihirnya ia yakin pernah berhening seribu tahun lantas meledakkan dirinya dalam kehidupan mahapanjang Affandi. Bisakah pembayangan ini semata mengada-ada atau malah menjerumuskan siapa saja? Setidaknya, lantaran mereka pun telah tiada, mungkin serupa itulah gambaran remehnya. Tapi baiklah. Kita cuplik dulu beberapa larik dari dua sajak tersebut: … Dan tangan ‘kan kaku, menulis berhenti,/kecemasan derita, kecemasan mimpi;/ (Kepada Pelukis Affandi). Lalu sajak kedua: … Matamu menentang – sebentar dulu! –/Kau tidak gamang, hidup kau sintuh, kau cumbu,/sekarang senja gosong, tinggal abu…/ Dalam tubuhmu ramping masih berkejaran/Perempuan dan Laki (Betinanya Affandi).
Dari dua sajak itu, kiranya dapat saja muncul sebetik tanya: apa gerangan sehingga seorang penyair membikin sebuah sajak yang diperuntukkan bagi seseorang? Pasti di sana ada kenangan yang coba diabadikan, sebagaimana pemberian kado atau sovenir pada seseorang yang dianggap istimewa. Tapi persoalan akan menjadi lain saat tanda kenangan itu berupa sajak atau lukisan misalnya.
Karena itu, mari kita telusuri terlebih dahulu beberapa cerita berikut. Pada Jumat, 29 April 1949, Affandi juga mempersembahkan sebuah lukisan tentang Chairil. Riwayat ini bisa ditelisik dari memoar pelukis Nashar (baca: Nashar oleh Nashar: Yayasan Bentang Budaya, 2002, Jogjakarta). Suatu saat Nashar pernah dititipi secarik surat oleh Charil untuk disampaikan kepada Affandi. Surat pendek itu bertulis begini: “Affandi, kapan kau akan memulai membuat lukisan seorang Pujangga Besar?” Di bawah surat itu tertoreh tanda tangan Chairil. Pujangga Besar? Siapa pula sebutan itu, pikir Affandi mungkin, kalau bukan si Chairil sendiri yang mengaku-ngaku demikian.
Pada 29 April 1949 itu, kita pun masih menemukan tilas dua sosok ini dari sebuah buku karangan Nasjah Djamin yang berjudul Hari-hari Akhir Si Penyair (Yayasan Indonesia, 1982, Jakarta). Di sampul buku tersebut terboreh lukisan Affandi tentang Chairil. Menurut Nasjah; pada malam kematian hingga acara pemakaman Chairil di Karet, Affandi memang tidak mengikuti prosesi akhir itu. Waktu itu dia bersama Wakidjan dan Zaini yang sehabis dari pemakaman langsung meluncur ke sanggar Affandi di Senen. Mereka melihat konco-konco terdekat Chairil sedang santai mengobrol dan bercanda ceria di sebuah restoran Cina. Sungguh, bila membayangkan kawan-kawannya itu; Bukan kematian benar menusuk kalbu. Betapa, yang mati sudah benar mati, dan yang hidup masih saja meneruskan hidup. Mereka lalu menemui Affandi yang sedang membenam diri di hadapan lukisan Chairil. Saat itu Affandi berkata, “Maaf saya tidak ikut tadi mengantarkannya ke Karet, Dik! Dari CBZ (Centraal Burgerlijk Ziekenhuis. Sekarang RS. Cipto Mangunkusumo, Jakarta) saya terus pulang. Untuk menyiapkan tarikan terakhir pada lukisan Chairil. Sebab saya takut besok lusa saya tak menemukan lagi ke-Chairilan-nya Chairil.”
Cerita Nashar dan Nasjah tersebut seolah menemukan muara kisah tak terduga. Terbukti bahwa Affandi telah membalas-lunas dua sajak persembahan Chairil dengan sebuah lukisan yang diberinya judul “Chairil Anwar”. Dalam karya Affandi itu terlukis sosok Chairil yang bermata merah saga seakan-akan hendak menerjang segala apa yang menghadang. Dengan latar warna merah penuh gairah dan dibayang-bayangi paha-paha perempuan berwarna kuning keputih-putihan. Juga kuda jalang yang meringkik hendak lepas terbang. Konon, lukisan ini, sepengakuan Nasjah, sekarang menjadi milik Jusuf Ronodipuro.
Barangkali lukisan Affandi tentang Chairil sedikit terkuak riwayatnya. Kendati boleh jadi ada versi cerita lain. Namun untuk dua sajak Chairil kepada Affandi, kita cuma bisa menerka-nerka, atau coba membangkitkan Chairil dari lahatnya. Berbeda misalnya, ketika kita sekarang bertanya kepada Sitor Situmorang untuk menjelaskan kembali asal-usul kelahiran sajaknya Malam Lebaran. Sajak itu pernah dimuat di majalah Zenith tahun 50-an. Menurut Sitor, sajak itu ia gubah pada 1954. Alkisah, beberapa hari setelah Lebaran, ketika ia balik pulang sehabis mengunjungi rumah Pram, tapi ternyata Pram tidak ada. Malangnya, tatkala pulang ia tersasar melewati bangunan bertembok dan di baliknya ternyata area pekuburan orang Eropa penuh tanda salib. Serampung tahu apa yang barusan dilihatnya, segeralah ia bersigegas pulang, dan pada saat itu pula sepintas ia melihat bulan menyinar di atas kuburan (Baca tulisan Sitor, “Usaha Rekonstruksi yang Dirundung Ragu”, dalam Proses Kreatif: Gramedia,1984, Jakarta). Dan itu sekarang urusan Sitor dengan pembacanya.
Namun dengan cara bagaimana kita memaknai dua sajak Chairil itu? Di sana kita seperti diajak ke hutan lebat yang mahaluas. Kita jadi ngos-ngosan menafsirkannya. Bukan hanya soal Chairil telah tiada. Mungkin penyair sudah mati sedari sejak sebuah puisi selesai dituliskan dan menjadi milik pembaca untuk ditafsirkan dengan beragam cara. Bahwa di sana ada kehidupan yang terus bergerak menembus dan memendarkan cahaya dalam labirin tersunyi kesadaran kita. Dan atas nama daya yang hilang namun tak kunjung tergenggam itu: daya kata-kata dan cat di kanvas tetap kukuh bersekutu dalam ruang mengada mereka sendiri. Kendati Leonardo Da Vinci tampak gentar melukiskannya seraya berkata O penulis, dengan aksara-aksara apa/dapat kau ungkapkan segala rupa/sesempurna yang diberi gambar?
Ungkapan itu bisa jadi benar, Dan sebelum itu Chairil, Pada 1944, seolah telah memberi jawaban kepada Affandi dalam sebuah tulisannya yang berjudul Membuat Sajak, Melihat Lukisan: “Sajak terbentuk dari kata-kata, seperti juga sebuah lukisan dari cat dan sehelai kain, atau sebuah patung dari pualam, lempung dsb. Tapi mereka yang mengalami keterharuan ketika melihat suatu lukisan atau sebuah patung, tidak akan menganggap kualitas cat dan kain atau batu pualam sebagai soal yang penting, soal yang pokok. Bukanlah bahan-bahan yang dipakai yang penting, yang penting adalah hasil yang dicapai.” (Baca Derai-Derai Cemara: Puisi dan Prosa Chairil Anwar: Yayasan Indonesia, 2000, Jakarta).
Ya, yang terpenting adalah hasil yang diraih. Sajak-sajak Chairil memang berkabut makna dan enigmatik. Meski Chairil, dalam waham terdalamnya, juga dirundung ketakutan yang menghebat Kalau, ‘ku habis-habis kata, tidak lagi/berani memasuki rumah sendiri, terdiri/di ambang penuh kupak,/…. Ternyata Chairil lebih dulu mati. Dan Affandi masih saja hidup, terus berkarya dan berjaya menjadi legenda dalam jagat seni rupa Indonesia. Maka, Chairil hanya bisa menyindir sembari “sumeleh” tapi lantang berteriak berilah aku tempat di menara tinggi,/di mana kau sendiri meninggi/… Dan di balik semua proses berkreasi dalam seni tersimpan semacam keberuntungan dalam ketidakpastian, “Fortune cannot give us various things… character, virtue, letters or any skill. All these depend on our diligence, our interest,” demikian ucap Leon Battista Alberti dalam On Painting. Hanyalah kerja keras, bahkan keedanan yang dinamis dan mencerahkan, yang membuat seseorang mencapai puncak keberhasilan. “Ngedan, ngedano.…” pekik Affandi suatu kali pada para pelukis muda yang pernah berguru padanya.
Sementara, sajak-sajak Chairil untuk Affandi dan lukisan Affandi untuk Chairil tak lain merupakan ikhtiar tiada ujung, selalu ada yang luput ditangkap, hingga yang yang tersisa hanyalah spirit sublimitas “peristiwa puitik” juga meleburnya kematangan “daya-kreatif” dari konsistensi dan totalitas menyesap tandas sisi-sisi terahasia dari masing-masing ruang batin mereka. Sebab apa yang berakhir di sana tiada lain adalah karena kesementaraan segala/yang mencap tiap benda, lagi pula terasa/mati ‘kan datang merusak.
Chairil sungguh telah berpulang pada 28 April 1949. Dan Affandi juga telah tiada pada 23 Mei 1990. Tentu, di bulan April itu, para sastrawan khususnya, tak akan melewatkan hari bersejarah itu untuk memperingati kematian sang pelopor angkatan ’45 ini. Juga di bulan Mei 2007; Museum Affandi dalam rangka memperingati “100 tahun pelukis Affandi” akan memamerkan lukisan sang maestro ini di tiga kota; Jakarta, Yogyakarta, dan Bali. Pameran ini akan berlangsung sepanjang tahun 2007 dengan menggelar seluruh karya Affandi. Atas nama dua maestro ini, dengan segenap tabik dan takzim, semoga generasi seniman mendatang dapat memungut semangat dan daya kreatif mereka yang luar biasa itu.
Jawa Pos, 20 Mei 2007.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar