Zuniest*
Hari ini adalah hari pertama Kara masuk ke sekolah favorit di Surabaya. Gadis cantik nan manis dengan berbalutkan jilbab biru muda yang menutupi rambut hitamnya ini melangkahkan kakinya dengan perasaan gundah.
“Ah, akankah aku sanggup bertahan di sekolah elit seperti ini?! Kalau bukan karena beasiswa, mana mungkin aku bisa di sini. Di sekolah elit seperti ini.” Rasa takut, sedih, dan bingung telah tercampur menjadi satu menghiasi ruang pikirnya.
Kara berjalan dengan sedikit tergesa-gesa. Tanpa sengaja ia menabrak seorang gadis berjilbab biru muda seperti yang dikenakannya. Ia pun segera minta maaf tentang kejadian yang tidak di sengajanya. Ia merasa takut kalau-kalau ia telah berbuat sesuatu yang akan menimbulkan masalah bagi dirinya. Ia memberanikan diri untuk menatap wajah gadis yang ditabraknya.
“Kau…?!” Dengan ketidakpercayaan tentang apa yang dilihatnya, ia terbawa memasuki lorong-lorong sempit menuju kehidupan di masa lalu. Semua itu masih terekam jelas di dalam ingatannya. Gadis kecil yang bercanda dengannya sekarang telah berdiri dihadapannya.
Sebuah tepukan bahu telah membangunkan dia dari lamunan indahnya, mengingat masa lalu saat-saat bersamanya.
“Apakah kau Rena sahabatku?!” Sebuah pertanyaan keluar dari bibir manis Kara.
“Ya. Ini aku Rena sahabatmu,” jawab gadis yang bernama lengkap Rena Aulia yang ternyata adalah sahabat Kara sejak kecil. Mereka berpisah sejak tiga tahun yanag lalu. Rena melanjutkan sekolah di SMP Nusa Bangsa. Sedangkan Kara hanya melanjutkan sekolah di kampungnya, karena Kara termasuk anak yang tidak mampu. Mereka berdua saling berpelukan melepas sebuah kerinduan akan seorang sahabat
“Bagaimana kabarmu, Kara?” tanya Rena.
“Aku baik-baik saja,” jawab Kara. “Kamu sendiri bagaimana kabarnya?”
“Sama. Aku juga baik-baik saja. Eeh, tau nggak. Aku tu nggak nyangka banget kalau kita bisa ketemu lagi di sini.”
“Ya. Ini semua karena beasiswa yang kudapatkan. Kalau saja aku nggak berhasil ngedapetin beasiswa itu, mana mungkin aku bisa sekolah di sini.”
“Kamu tinggal di mana?”
“Aku tinggal di kontrakan.”
TENG-TENG-TENG
Bel tanda masuk telah berbunyi. Mereka mengakhiri perbincangannya untuk segera pergi ke kelas masing-masing.
* * *
Suatu hari, sekolah mengadakan Olimpiade Fisika antar kelas. Masing-masing kelas harus mengirimkan tiga orang siswa untuk mewakili kelasnya. Kara memiliki potensi yang baik dalam pelajaran Fisika. Potensinya itulah yang telah membawa dirinya untuk menjadi salah satu wakil kelasnya. Kara termasuk anak yang rajin. Ia tekun dalam setiap pelajaran. Maka, tidak heran jika Kara selalu menjadi yang terbaik di kelasnya. Sebagai seorang sahabat, Rena merasa bangga karena sahabat yang sejak kecil selalu menemaninya, baik dalam keadaan suka maupun duka itu berhasil memenangkan Olimpiade tersebut.
“Selamat ya, Kara,” kata Rena tersenyum menjabat tangan Kara.
“Makasih ya…”
“Kamu memang sahabatku yang paling pandai.”
“Ah, kamu bisa aja.”
Kemenangan yang telah diraih Kara mengundang simpati dari seorang lelaki yang bernama Jestine, yang memang sejak pertama kali sudah tertarik dengan Kara.
“Selamat ya, Kara,” Jestin memberi ucapan selamat.
“Sama-sama, Jes,” jawabnya.
“Aku nggak di traktir nih,” goda Jestine.
“Traktir?! Traktir apaan?”
“Ya, kamu ‘kan sudah jadi juara. Masa’ aku nggak ditraktir sih?!”
“Ya, udah. Aku traktir. Kamu bisa pesen apa aja yang kamu suka.” Kemudian mereka berdua berjalan ke kantin sekolah.
Sejak saat itulah Kara menjadi akrab dengan Jestine. Setiap pagi Jestine mampir ke tempat kost Kara untuk menjemputnya dan pergi bareng ke sekolah. Semakin hari mereka berdua semakin akrab. Dari keakraban mereka, tumbuhlah benih-benih cinta. Perasaan yang pasti dimiliki semua insan, dan setiap insan pasti akan merasakannya. Tapi, di antara mereka berdua tak ada yang berani mengungkapkan perasaannya. Mereka sama-sama menyimpan perasaan yang dirasa indah oleh setiap insan manusia. Mereka hanya mengharap adanya suatu keberanian untuk mengungkapkan perasaan cintanya masing-masing.
Kedekatan mereka berdua telah menimbulkan pertanyaan di benak Rena. Rena berusaha mencari tahu seberapa jauh hubungan kedekatan mereka.
* * *
Suatu hari Rena sengaja bermain ke tempat kost Kara. Di sana mereka saling bertukar cerita. Rena mulai menanyakan tentang bagaimana hubungan kedekatan Rena dengan Jestine. Dia sengaja menanyakan hal itu karena memang itu sudah menjadi tujuan Rena datang ke tempat kost Kara. Dan Kara yang memang sudah terbiasa terbuka sama Rena, menceritakan tentang apa yang dirasakannya.
“Kar, kamu suka sama Jestine ya?” tanya Rena.
“Kok kamu tanya gitu sih, Ren?” Kara balik bertanya.
“Ya, kamu suka nggak sama Jestine?” tanya Rena lagi.
“Iya, aku suka sama Jestine. Jestine itu orangnya baik. Dia perhatian sama aku. Itu yang membuat aku suka sama dia,” jawab Kara dengan malu-malu.
“Jadi, kamu suka sama Jestine?” Kara mengangguk.
Pandangan Rena pada Kara berubah setelah dia tau kalau Kara memang suka sama Jestine.
Kini hari semakin gelap. Sang surya tak lagi nampakkan cahayanya. Lampu-lampu mulai menyala menghiasi pinggiran kota Surabaya. Mereka mengakhiri perbincangannya. Rena berpamitan pada Kara untuk pulang karena hari sudah mulai malam.
“Aku pulang dulu ya, Kar. Sudah malam.”
“Ya udah. Hati-hati ya di jalan .”
“Iya,” jawab Rena singkat.
* * *
Setelah pembicaraan kemarin sore, sikap Rena menjadi berubah. Sedikit demi sedikit Rena mulai menjauhi Kara.
“Ren, kamu kenapa sih, kok dari tadi diem terus?! Ngomong dong, Ren.”
“Penting nggak sih?!” jawab Rena dengan ketus.
“Kamu lagi ada masalah?”
“Sok tau kamu!” Rena pergi meninggalkan Kara.
Kara yang memang tidak menganggap serius tentang sikap Rena kepadanya, membuat dia selalu berusaha mendekati Rena untuk mencari tau apa yang menyebabkan Rena bersikap diam padanya.
Rena mulai mendekati Jestine. Jestine termasuk salah satu cowok keren di SMA Harapan Bangsa. Banyak cewek-cewek cantik yang berusaha untuk mendekatinya. Namun, Jestine yang nggak terlalu perduli sama cewek-cewek yang selalu menggodanya itu, bersikap masa bodoh sama mereka. Tapi semua itu tak berlaku pada Kara. Karena sudah jelas kalau Jestine memang menyukainya.
Perhatian Jestine pada Kara sangatlah besar. Hal itulah yang membuat Rena semakin membenci Kara. Dalam hal pelajaran, Kara memang lebih unggul dari pada Rena. Tapi Rena tak peduli sama hal itu, karena dia sadar kalau bahwa Kara memang lebih pandai darinya. Sedangkan untuk masalah Jestine, Rena memang nggak mau mengalah. Dia berpikir bahwa dia lebih cantik dan jauh lebih kaya dibandingkan dengan Kara.
Sejak dulu Rena memang nggak pernah suka kalau ada cowok yang mendekati Kara, sehingga dia akan berbuat apa saja untuk mendapatkannya. Bahkan persahabatan pun rela dia korbankan hanya untuk mendapatkan cowok yang berusaha untuk mendekati Kara.
Setiap hari Rena selalu mencoba untuk mendekati dan merayu Jestine. Tapi Jestine hanya mengangap kedekatan Rena padanya cuma sekedar kedekatan antara seorang teman. Dan ia tak mampu memadamkan gelora api cintanya pada Kara.
Semakin hari rasa cinta Jestine pada Kara kian mmmbara. Hanya saja dia tak punya nyali untuk mengungkapkan isi hatinya. Dia baru sadar kalau dia bisa mengungkapkan perasaannya pada Kara melalui Rena. Karena menurutnya, Rena adalah sahabat sejatinya Kara.
Jestine mencoba untuk mencurahkan isi hatinya pada Rena. Jestine mempunyai pikiran bahwa Rena sanggup membantunya untuk mendapatkan cinta Kara, dan dia sangat berharap akan mendapatkan informasi tentang Kara yang memang sangat dia butuhkan. Dia mulai menanyakan tentang apa yang Kara suka, hingga kepribadian Kara.
Rena yang memang benci dan ingin merebut Jestine dari tangan Kara sengaja memutar-balikkan fakta. Semua kebaikan Kara dirubahnya menjadi segudang keburukan. Hal itu dilakukannya hanya untuk merusak harga diri Kara di mata Jestine, sehingga akan memudahkannya untuk merebut hati Jestine. Rena bahkan tidak segan-segan memfitnah Kara.
“Rena, kamu lagi sibuk ya?” tanya Jestine
“Enggak. Aku nggak lagi sibuk kok,” jawab Rena.
“Aku boleh tanya nggak sama kamu?”
“Tanya?! Tanya apa?”
“Ehm, kamu ‘kan teman dekatnya Kara. Aku mau nanya sama kamu soal Kara. Dia itu sudah punya pacar belum?”
Rena yang memang benci sama Kara, merasa punya kesempatan untuk menjelek-jelekkan Kara di depan Jestine.
“O, Kara,...”
“Iya, Kara.”
“Ehm, Kara itu sudah punya pacar. Dan asal kamu tau aja, pacarnya Kara itu banyak.” Jestine kaget mendengar penjelasan dari Rena.
“Sebenarnya, Kara itu hanya menguras uangnya saja. Dia ‘kan cewek matre!”
Mendengar penjelasan dari Rena, Jestine semakin tertarik untuk mengetahui tentang kehidupan pribadi Kara. Dia berpikir bahwa informasi tentang Kara yang ia dapatkan sangatlah penting untuk mempertimbangkan lagi tentang perasaannya sama Kara. Sehingga dia tidak salah dalam memilih pasangan.
Jestine sudah mulai terpengaruh dengan apa yang dikatakan Rena tentang Kara pada dirinya. Jestine juga mulai menjauhi Kara.
Sekarang ini Kara merasa sepi. Tak ada lagi tawa dan canda dari seorang sahabat. Bukan hanya Rena saja yang menjauhinya, tapi Jestine cowok yang akhir-akhir ini mengisi hari-harinya juga pergi meninggalkannya. Kara lebih sering merenung. Memikirkan apa yang telah ia perbuat sehingga orang-orang yang selama ini ia sayangi pergi meninggalkannya.
* * *
Esok harinya Kara mendengar kabar yang sangat memukul perasaannya. Kabar itu tentang hubugan Jestine dan Rena. Ternyata hubungan mereka berdua sudah resmi menjadi seorang kekasih.
“Pagi, Kara,” sapa Rena dengan menggandeng tangan Jestine.
“Oya, aku cuma mau bilang sama kamu kalau aku sudah resmi jadian sama Jestine,” tambah Rena.
Pagi yang saat itu cerah, seketika berubah menjadi mendung. Sama seperti perasaan Kara yang tadinya damai menjadi hancur berkeping-keping kala mendengar berita tentang hubungan mereka.
“ Selamat ya, Ren. Semoga cinta kalian berdua abadi sampai sang malaikat maut menjemput.”
Kara tak kuasa lagi menahan perih di hati. Kara meneteskan air matamya dan berlalu pergi meninggalkan mereka berdua. Perasaan sedih dan kecewa bercampur menjadi satu. Selama ini Kara selalu mengharap, bahwa Jestine akan mengungkapkan isi hatinya pada dirinya. Tapi sebaliknya, Jestine malah mengungkapkan perasaannya pada Rena, sahabat yang jelas-jelas telah mengerti akan perasaan cintanya pada Jestine. Kara hanya bisa meratapi suratan nasibnya. Sahabat yang selama ini menemaninya di saat suka maupun duka tega mengkhianatinya.
Di dalam kamar kos yang sempit, terdengar suara isak tangis Kara. Kara tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengembalikan kekasih pujaan hatinya yang telah pergi meninggalkanya. Dia hanya bisa menangis sebagai curahan hati yang telah hancur.
Sebuah goresan tinta hitam menari-nari di selembar kertas, hanya untuk tuliskan sebuah kata sebagai curahan jiwanya.
“Sahabat,….
Apa arti dari seorang sahabat yang sesungguhnya?! Banyak orang bilang, sahabat adalah orang yang paling dekat dengan kita. Orang yang selalu ada di saat suka maupun duka. Tapi, semua itu hanya aku dapatkan sesaat. Kau yang selalu membuat aku tersenyum, kau yang selalu menghiburku di saat aku dalam kedukaan. Dan setelah apa yang kauberikan segalanya untukku, kini tak aku dapatkan lagi darimu.
Kau sungguh tega mengkhianatiku. Pengkhianatan dari seorang sahabat yang tak akan pernah kulupakan. Kaugoreskan luka di hatiku. Kaurebut seseorang yang sangat jelas kau tau bahwa aku sungguh menyayanginya.
Sahabat,... kau begitu kejam padaku. Kau tega menyakitiku.”
Kara
Akhir-akhir ini Rena lebih sering terlihat diam, seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Wajah Rena pun terlihat pucat. Sudah beberapa hari ini Rena sering pingsan di sekolah. Badannya terlihat lemas. Rena lebih sering menyendiri, dan hal itu menimbulkan tanda tanya besar di benak Kara. Ia berusaha mencari tau tentang apa yang terjadi pada Rena, sahabat yang pernah menyakiti hatinya.
Kara memberanikan diri untuk menanyakan hal itu pada Jestine. Apa yang menyebabkan Rena sering pingsan di sekolah.
“Jestine!” panggil Kara dengan sedikit ragu.
“Kara,” jawab Jestine.
“Aku ganggu kamu nggak?”
“Ehm, enggak.”
“Aku boleh nanya nggak sama kamu?”
“Soal apa?”
“Soal Rena. Jes, akhir-akhir ini aku lebih sering melihat Rena menyendiri. Dia kelihatan lemas dan terlebih lagi dia sering pingsan di sekolah. Wajahnya pun terlihat pucat. Mungkin kamu tau apa yang terjadi pada Rena?”
“Aku juga punya pikiran yang sama seperti kamu.”
“Kamu tau apa penyebabnya?” Jestine menggelengkan kepalanya.
“Jadi kamu juga nggak tau?”
“Iya.”
Pada saat jam istirahat, terdengar suara ribut. Suara itu datang dari arah kamar mandi. Kara mencoba mengikuti anak-anak yang berlari menuju sumber suara. Di sana sudah banyak anak-anak yang mengerubungi sosok tubuh seorang gadis yang tergeletak di lantai. Gadis itu tak lain adalah Rena. Dia pingsan setelah minum obat, dan dari mulutnya mengeluarkan busa. Jestine yang melihat hal itu langsung memanggil ambulan untuk membawa Rena ke rumah sakit.
Setiba di rumah sakit, Rena langsung dibawa ke ruang ICU untuk mendapatkan perawatan intensive. Jestine dan Kara sabar menunggu kabar dari dokter tentang apa yang terjadi pada Rena.
Dokter yang menangani Rena sudah keluar. Jestine dan Kara menghampirinya untuk menanyakan bagaimana keadaan Rena. Dokter itu memberi penjelasan mengenai apa yang terjadi pada Rena.
“Dokter, bagaimana keadaan Rena?” tanya Jestine.
“Iya, dok. Gimana keadaan Rena?” sahut Kara.
“Rena terlalu banyak mengkonsumsi obat. Dia terlalu terobsesi dengan keinginannya untuk sembuh. Dan mungkin saat ini umur Rena tinggal sebentar. Penyakit yang diderita Rena sangatlah berat. Sangat sedikit harapan untuk sembuh dan jalan satu-satunya hanyalah operasi. Itu pun kalau berhasil. Kalau tidak, nyawa menjadi taruhannya. Umur Rena hanya tinggal menghitung hari.”
“Memang Rena sakit apa, dok?” tanya Kara dengan sedikit ragu.
“Rena mengidap penyakit kanker otak,” jawab dokter.
“KANKER OTAK?!” Kara dan Jestine bagai disambar petir di siang hari saat mendengar penyakit yang di derita Rena.
“Dokter, selamatkan Rena. Aku mohon,...”
“Seperti apa yang saya bilang, hanya ada satu jalan, yaitu operasi. Itu pun kalau ada mukjizat dari Allah sebagai tanda kebesarannya. Tapi kalau tidak,…” Dokter memutuskan pembicaraannya dan dia pun berlalu meninggalkan mereka berdua.
Rena terbaring lemah di rumah sakit. Kara dan Jestine dengan sabar menjaga dan merawat Rena. Mereka sangat berharap agar Rena bisa sembuh seperti dulu lagi. Tapi apalah daya, manusia hanya bisa merencanakan. Jodoh, rizki, dan maut ada di tangan Tuhan.
“Rena… Bangun, Ren. Aku mohon. Bangunlah,… agar aku bisa lihat Rena yang dulu. Rena yang selalu ceria. Bangunlah, Ren...” bisik Jestine.
“Rena. Ini aku Kara. Sadarlah, Ren. Kami semua sayang sama kamu. Aku dan Jestine masih butuh kamu. Sadarlah, Ren...” desah Kara.
Rena pun siuman. Dia meneteskan air matanya saat melihat wajah sahabatnya yang pernah ia sakiti perasaannya. Hanya satu kata yang terucap dari bibir Rena untuk sang sahabat.
“Maafkan aku.” Rena menutup mata untuk selama-lamanya
“RENA,…” teriak Jestine dan Kara histeris.
Sang malaikat maut telah menjemput. Rena telah pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan seorang kekasih yang sangat disayanginya dan sahabat sejati yang pernah di sakitinya. Rena tinggallah Rena. Tak ada lagi seorang Rena yang selalu ceria. Hanyalah sebuah nama yang terukir “RENA”, yang terukir abadi di batu nisan di atas pusara tempat persemayaman terakhirnya.
“Ah, mengapa engkau begitu cepat meninggalkan dunia ini. Selamat jalan, Rena. Selamat jalan, sahabat,” desah Kara lirih.
* * *
Kara masih tetap melamun. Lagunya UNGU tetap mengalun di kamarnya yang berantakan bak kapal pecah. Lirik lagu itu dirasakannya sangat mirip dengan kisah tragis yang dialami Rena.
“Andai ku tahu
Kapan tiba ajalku
Ku akan memohon
Tuhan tolong panjangkan umurku….” 1
Mendadak lamunannya terganggu. Terdengar seseorang sedang mengetuk pintu. Kara bangkit dari duduknya, kemudian melangkahkan kakinya menuju pintu dan membukanya. Kini di hadapannya telah berdiri sosok tubuh yang tinggi dan tegap. Sosok itu amat sangat dikenalnya.
“Jestine,” sapa Kara. “Tumben kamu datang ke sini?” sahutnya lagi.
“Aku ke sini hanya ingin mengantarkan surat yang dititipkan Rena padaku sebelum dia pergi untuk selamanya. Surat ini untukmu.” Jestine menyodorkan sebuah surat pada Kara dengan bertuliskan sebuah kata “Untuk sahabatku”. Kemudian pergi meninggalkan Kara yang masih terpaku dengan selembar kertas berwarna ungu yang ada di tangannya.
Kara menyandarkan dirinya di atas kursi goyang yang selalu menjadi teman di saat ia dalam kesedihan. Kara kembali menarik nafas. Kali ini lebih panjang dan berat. Kara menatap kertas berwarna ungu di tangannya, kemudian membaca baris-baris kalimat yang tertera di sana.
“Sahabat,...
Maafkan aku, untuk masa lalu dan untuk kelancanganku yang telah merebut Jestine darimu. Aku sungguh tak bermaksud untuk menyakitimu. Aku tau, aku memang salah. Aku telah mengkhianati kepercayaan yang engkau berikan kepadaku…..
Sahabat,… Maafkan! Aku mencintainya. Aku tak bermaksud untuk membuatmu sungguh tak berarti.”
Sahabatmu
Rena
Kara tak bisa lagi menahan rasa sedih yang ia rasakan. “O, Tuhan. Mengapa semua ini harus terjadi padaku?! Kau ambil semua orang yang aku sayangi. Apa aku memang tak pantas mendapatkan semua ini?! Apa semua ini terlalu indah untukku?! Jawab, Tuhan. Aku butuh jawaban darimu,” teriak Kara.
Setelah puas dengan semua gelora jiwa yang dituangkan lewat teriakan, ia pun bangkit dan melangkahkan kakinya menuju sebuah ruangan yang sempit dan gelap. Di sana dia membasuh muka dengan siraman air wudhu. Diambilnya mukenah yang terlipat rapi di atas meja. Kemudian menenggelamkan semua gelora jiwanya di atas sajadah cinta sang Illahi Robbi.
“Ya, Allah. Ampunilah semua dosa-dosaku. Dosa yang telah aku perbuat. Dan atas semua kesalahan yang tidak aku sengaja. Aku telah banyak berbuat salah pada sahabatku. Aku telah menganggap dia sabagai seorang pengkhianat. Pantaskah aku membencinya?! Sedangkan kau sendiri, ya Tuhan... Engkau maha pengampun. Aku yang hanya manusia biasa sungguh tak pantas untuk membencinya. Walau sebesar apapun kesalahan yang telah ia perbuat padaku. Dia tetap sahabatku. Sahabat sejatiku.
Ya, Allah. Aku sadar bahwa semua yang ada dalam hidupku, semuanya adalah milikmu. Aku hanyalah hambamu yang berlumurkan dosa. Ya, Allah. Tunjukkanlah hambamu akan jalan yang engkau ridlai, untuk menggapai singgasana surgamu. Berikanlah penerang dalam setiap langkahku.
Ya, Allah. Aku sungguh takut akan semua dosa-dosa yang pernah aku perbuat. Aku sungguh takut akan siksamu. Ampuni aku, ya Allah. Ampunilah semua dosa yang telah aku perbuat. Kuserahkan hidup dan matiku kepadamu.
Ya, Allah. Aku hanya manusia biasa yang takut akan semua siksa neraka. Dan aku juga manusia yang tak pantas merasakan nikmatnya surgamu. Amin.”
Kara mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Ah, andai saja kanker itu tak meracuni otak sahabatku,” bisiknya lirih.
Kini Kara telah terbuai dalam ruang mimpi indahnya. Hanya sebaris kata yang masih terlintas di benaknya.
“Sobat…
Maafkan aku mencintainya
Aku tak bermaksud untuk membuatmu sungguh tak berarti” 2
Catatan
1 Salah satu lirik lagu “andai ku tahu” dari kelompok band Ungu
2 Salah satu lirik lagu “sobat” dari kelompok band Padi
* Penulis adalah Pelajar MA. Matholi’ul Anwar.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar