Senin, 04 Agustus 2008

Kucintai Kekasihmu

Zuniest*

Hari ini adalah hari pertama Kara masuk ke sekolah favorit di Surabaya. Gadis cantik nan manis dengan berbalutkan jilbab biru muda yang menutupi rambut hitamnya ini melangkahkan kakinya dengan perasaan gundah.

“Ah, akankah aku sanggup bertahan di sekolah elit seperti ini?! Kalau bukan karena beasiswa, mana mungkin aku bisa di sini. Di sekolah elit seperti ini.” Rasa takut, sedih, dan bingung telah tercampur menjadi satu menghiasi ruang pikirnya.

Kara berjalan dengan sedikit tergesa-gesa. Tanpa sengaja ia menabrak seorang gadis berjilbab biru muda seperti yang dikenakannya. Ia pun segera minta maaf tentang kejadian yang tidak di sengajanya. Ia merasa takut kalau-kalau ia telah berbuat sesuatu yang akan menimbulkan masalah bagi dirinya. Ia memberanikan diri untuk menatap wajah gadis yang ditabraknya.

“Kau…?!” Dengan ketidakpercayaan tentang apa yang dilihatnya, ia terbawa memasuki lorong-lorong sempit menuju kehidupan di masa lalu. Semua itu masih terekam jelas di dalam ingatannya. Gadis kecil yang bercanda dengannya sekarang telah berdiri dihadapannya.

Sebuah tepukan bahu telah membangunkan dia dari lamunan indahnya, mengingat masa lalu saat-saat bersamanya.
“Apakah kau Rena sahabatku?!” Sebuah pertanyaan keluar dari bibir manis Kara.

“Ya. Ini aku Rena sahabatmu,” jawab gadis yang bernama lengkap Rena Aulia yang ternyata adalah sahabat Kara sejak kecil. Mereka berpisah sejak tiga tahun yanag lalu. Rena melanjutkan sekolah di SMP Nusa Bangsa. Sedangkan Kara hanya melanjutkan sekolah di kampungnya, karena Kara termasuk anak yang tidak mampu. Mereka berdua saling berpelukan melepas sebuah kerinduan akan seorang sahabat

“Bagaimana kabarmu, Kara?” tanya Rena.
“Aku baik-baik saja,” jawab Kara. “Kamu sendiri bagaimana kabarnya?”
“Sama. Aku juga baik-baik saja. Eeh, tau nggak. Aku tu nggak nyangka banget kalau kita bisa ketemu lagi di sini.”

“Ya. Ini semua karena beasiswa yang kudapatkan. Kalau saja aku nggak berhasil ngedapetin beasiswa itu, mana mungkin aku bisa sekolah di sini.”
“Kamu tinggal di mana?”
“Aku tinggal di kontrakan.”

TENG-TENG-TENG
Bel tanda masuk telah berbunyi. Mereka mengakhiri perbincangannya untuk segera pergi ke kelas masing-masing.

* * *

Suatu hari, sekolah mengadakan Olimpiade Fisika antar kelas. Masing-masing kelas harus mengirimkan tiga orang siswa untuk mewakili kelasnya. Kara memiliki potensi yang baik dalam pelajaran Fisika. Potensinya itulah yang telah membawa dirinya untuk menjadi salah satu wakil kelasnya. Kara termasuk anak yang rajin. Ia tekun dalam setiap pelajaran. Maka, tidak heran jika Kara selalu menjadi yang terbaik di kelasnya. Sebagai seorang sahabat, Rena merasa bangga karena sahabat yang sejak kecil selalu menemaninya, baik dalam keadaan suka maupun duka itu berhasil memenangkan Olimpiade tersebut.

“Selamat ya, Kara,” kata Rena tersenyum menjabat tangan Kara.
“Makasih ya…”
“Kamu memang sahabatku yang paling pandai.”
“Ah, kamu bisa aja.”

Kemenangan yang telah diraih Kara mengundang simpati dari seorang lelaki yang bernama Jestine, yang memang sejak pertama kali sudah tertarik dengan Kara.
“Selamat ya, Kara,” Jestin memberi ucapan selamat.
“Sama-sama, Jes,” jawabnya.
“Aku nggak di traktir nih,” goda Jestine.
“Traktir?! Traktir apaan?”
“Ya, kamu ‘kan sudah jadi juara. Masa’ aku nggak ditraktir sih?!”
“Ya, udah. Aku traktir. Kamu bisa pesen apa aja yang kamu suka.” Kemudian mereka berdua berjalan ke kantin sekolah.

Sejak saat itulah Kara menjadi akrab dengan Jestine. Setiap pagi Jestine mampir ke tempat kost Kara untuk menjemputnya dan pergi bareng ke sekolah. Semakin hari mereka berdua semakin akrab. Dari keakraban mereka, tumbuhlah benih-benih cinta. Perasaan yang pasti dimiliki semua insan, dan setiap insan pasti akan merasakannya. Tapi, di antara mereka berdua tak ada yang berani mengungkapkan perasaannya. Mereka sama-sama menyimpan perasaan yang dirasa indah oleh setiap insan manusia. Mereka hanya mengharap adanya suatu keberanian untuk mengungkapkan perasaan cintanya masing-masing.

Kedekatan mereka berdua telah menimbulkan pertanyaan di benak Rena. Rena berusaha mencari tahu seberapa jauh hubungan kedekatan mereka.
* * *

Suatu hari Rena sengaja bermain ke tempat kost Kara. Di sana mereka saling bertukar cerita. Rena mulai menanyakan tentang bagaimana hubungan kedekatan Rena dengan Jestine. Dia sengaja menanyakan hal itu karena memang itu sudah menjadi tujuan Rena datang ke tempat kost Kara. Dan Kara yang memang sudah terbiasa terbuka sama Rena, menceritakan tentang apa yang dirasakannya.

“Kar, kamu suka sama Jestine ya?” tanya Rena.
“Kok kamu tanya gitu sih, Ren?” Kara balik bertanya.
“Ya, kamu suka nggak sama Jestine?” tanya Rena lagi.
“Iya, aku suka sama Jestine. Jestine itu orangnya baik. Dia perhatian sama aku. Itu yang membuat aku suka sama dia,” jawab Kara dengan malu-malu.
“Jadi, kamu suka sama Jestine?” Kara mengangguk.

Pandangan Rena pada Kara berubah setelah dia tau kalau Kara memang suka sama Jestine.
Kini hari semakin gelap. Sang surya tak lagi nampakkan cahayanya. Lampu-lampu mulai menyala menghiasi pinggiran kota Surabaya. Mereka mengakhiri perbincangannya. Rena berpamitan pada Kara untuk pulang karena hari sudah mulai malam.
“Aku pulang dulu ya, Kar. Sudah malam.”
“Ya udah. Hati-hati ya di jalan .”
“Iya,” jawab Rena singkat.
* * *

Setelah pembicaraan kemarin sore, sikap Rena menjadi berubah. Sedikit demi sedikit Rena mulai menjauhi Kara.
“Ren, kamu kenapa sih, kok dari tadi diem terus?! Ngomong dong, Ren.”
“Penting nggak sih?!” jawab Rena dengan ketus.
“Kamu lagi ada masalah?”
“Sok tau kamu!” Rena pergi meninggalkan Kara.

Kara yang memang tidak menganggap serius tentang sikap Rena kepadanya, membuat dia selalu berusaha mendekati Rena untuk mencari tau apa yang menyebabkan Rena bersikap diam padanya.

Rena mulai mendekati Jestine. Jestine termasuk salah satu cowok keren di SMA Harapan Bangsa. Banyak cewek-cewek cantik yang berusaha untuk mendekatinya. Namun, Jestine yang nggak terlalu perduli sama cewek-cewek yang selalu menggodanya itu, bersikap masa bodoh sama mereka. Tapi semua itu tak berlaku pada Kara. Karena sudah jelas kalau Jestine memang menyukainya.

Perhatian Jestine pada Kara sangatlah besar. Hal itulah yang membuat Rena semakin membenci Kara. Dalam hal pelajaran, Kara memang lebih unggul dari pada Rena. Tapi Rena tak peduli sama hal itu, karena dia sadar kalau bahwa Kara memang lebih pandai darinya. Sedangkan untuk masalah Jestine, Rena memang nggak mau mengalah. Dia berpikir bahwa dia lebih cantik dan jauh lebih kaya dibandingkan dengan Kara.

Sejak dulu Rena memang nggak pernah suka kalau ada cowok yang mendekati Kara, sehingga dia akan berbuat apa saja untuk mendapatkannya. Bahkan persahabatan pun rela dia korbankan hanya untuk mendapatkan cowok yang berusaha untuk mendekati Kara.

Setiap hari Rena selalu mencoba untuk mendekati dan merayu Jestine. Tapi Jestine hanya mengangap kedekatan Rena padanya cuma sekedar kedekatan antara seorang teman. Dan ia tak mampu memadamkan gelora api cintanya pada Kara.

Semakin hari rasa cinta Jestine pada Kara kian mmmbara. Hanya saja dia tak punya nyali untuk mengungkapkan isi hatinya. Dia baru sadar kalau dia bisa mengungkapkan perasaannya pada Kara melalui Rena. Karena menurutnya, Rena adalah sahabat sejatinya Kara.
Jestine mencoba untuk mencurahkan isi hatinya pada Rena. Jestine mempunyai pikiran bahwa Rena sanggup membantunya untuk mendapatkan cinta Kara, dan dia sangat berharap akan mendapatkan informasi tentang Kara yang memang sangat dia butuhkan. Dia mulai menanyakan tentang apa yang Kara suka, hingga kepribadian Kara.

Rena yang memang benci dan ingin merebut Jestine dari tangan Kara sengaja memutar-balikkan fakta. Semua kebaikan Kara dirubahnya menjadi segudang keburukan. Hal itu dilakukannya hanya untuk merusak harga diri Kara di mata Jestine, sehingga akan memudahkannya untuk merebut hati Jestine. Rena bahkan tidak segan-segan memfitnah Kara.

“Rena, kamu lagi sibuk ya?” tanya Jestine
“Enggak. Aku nggak lagi sibuk kok,” jawab Rena.
“Aku boleh tanya nggak sama kamu?”
“Tanya?! Tanya apa?”
“Ehm, kamu ‘kan teman dekatnya Kara. Aku mau nanya sama kamu soal Kara. Dia itu sudah punya pacar belum?”

Rena yang memang benci sama Kara, merasa punya kesempatan untuk menjelek-jelekkan Kara di depan Jestine.
“O, Kara,...”
“Iya, Kara.”
“Ehm, Kara itu sudah punya pacar. Dan asal kamu tau aja, pacarnya Kara itu banyak.” Jestine kaget mendengar penjelasan dari Rena.
“Sebenarnya, Kara itu hanya menguras uangnya saja. Dia ‘kan cewek matre!”

Mendengar penjelasan dari Rena, Jestine semakin tertarik untuk mengetahui tentang kehidupan pribadi Kara. Dia berpikir bahwa informasi tentang Kara yang ia dapatkan sangatlah penting untuk mempertimbangkan lagi tentang perasaannya sama Kara. Sehingga dia tidak salah dalam memilih pasangan.
Jestine sudah mulai terpengaruh dengan apa yang dikatakan Rena tentang Kara pada dirinya. Jestine juga mulai menjauhi Kara.

Sekarang ini Kara merasa sepi. Tak ada lagi tawa dan canda dari seorang sahabat. Bukan hanya Rena saja yang menjauhinya, tapi Jestine cowok yang akhir-akhir ini mengisi hari-harinya juga pergi meninggalkannya. Kara lebih sering merenung. Memikirkan apa yang telah ia perbuat sehingga orang-orang yang selama ini ia sayangi pergi meninggalkannya.
* * *

Esok harinya Kara mendengar kabar yang sangat memukul perasaannya. Kabar itu tentang hubugan Jestine dan Rena. Ternyata hubungan mereka berdua sudah resmi menjadi seorang kekasih.
“Pagi, Kara,” sapa Rena dengan menggandeng tangan Jestine.
“Oya, aku cuma mau bilang sama kamu kalau aku sudah resmi jadian sama Jestine,” tambah Rena.

Pagi yang saat itu cerah, seketika berubah menjadi mendung. Sama seperti perasaan Kara yang tadinya damai menjadi hancur berkeping-keping kala mendengar berita tentang hubungan mereka.
“ Selamat ya, Ren. Semoga cinta kalian berdua abadi sampai sang malaikat maut menjemput.”

Kara tak kuasa lagi menahan perih di hati. Kara meneteskan air matamya dan berlalu pergi meninggalkan mereka berdua. Perasaan sedih dan kecewa bercampur menjadi satu. Selama ini Kara selalu mengharap, bahwa Jestine akan mengungkapkan isi hatinya pada dirinya. Tapi sebaliknya, Jestine malah mengungkapkan perasaannya pada Rena, sahabat yang jelas-jelas telah mengerti akan perasaan cintanya pada Jestine. Kara hanya bisa meratapi suratan nasibnya. Sahabat yang selama ini menemaninya di saat suka maupun duka tega mengkhianatinya.

Di dalam kamar kos yang sempit, terdengar suara isak tangis Kara. Kara tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengembalikan kekasih pujaan hatinya yang telah pergi meninggalkanya. Dia hanya bisa menangis sebagai curahan hati yang telah hancur.
Sebuah goresan tinta hitam menari-nari di selembar kertas, hanya untuk tuliskan sebuah kata sebagai curahan jiwanya.

“Sahabat,….
Apa arti dari seorang sahabat yang sesungguhnya?! Banyak orang bilang, sahabat adalah orang yang paling dekat dengan kita. Orang yang selalu ada di saat suka maupun duka. Tapi, semua itu hanya aku dapatkan sesaat. Kau yang selalu membuat aku tersenyum, kau yang selalu menghiburku di saat aku dalam kedukaan. Dan setelah apa yang kauberikan segalanya untukku, kini tak aku dapatkan lagi darimu.
Kau sungguh tega mengkhianatiku. Pengkhianatan dari seorang sahabat yang tak akan pernah kulupakan. Kaugoreskan luka di hatiku. Kaurebut seseorang yang sangat jelas kau tau bahwa aku sungguh menyayanginya.
Sahabat,... kau begitu kejam padaku. Kau tega menyakitiku.”
Kara


Akhir-akhir ini Rena lebih sering terlihat diam, seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Wajah Rena pun terlihat pucat. Sudah beberapa hari ini Rena sering pingsan di sekolah. Badannya terlihat lemas. Rena lebih sering menyendiri, dan hal itu menimbulkan tanda tanya besar di benak Kara. Ia berusaha mencari tau tentang apa yang terjadi pada Rena, sahabat yang pernah menyakiti hatinya.

Kara memberanikan diri untuk menanyakan hal itu pada Jestine. Apa yang menyebabkan Rena sering pingsan di sekolah.
“Jestine!” panggil Kara dengan sedikit ragu.
“Kara,” jawab Jestine.
“Aku ganggu kamu nggak?”
“Ehm, enggak.”
“Aku boleh nanya nggak sama kamu?”
“Soal apa?”

“Soal Rena. Jes, akhir-akhir ini aku lebih sering melihat Rena menyendiri. Dia kelihatan lemas dan terlebih lagi dia sering pingsan di sekolah. Wajahnya pun terlihat pucat. Mungkin kamu tau apa yang terjadi pada Rena?”
“Aku juga punya pikiran yang sama seperti kamu.”
“Kamu tau apa penyebabnya?” Jestine menggelengkan kepalanya.
“Jadi kamu juga nggak tau?”
“Iya.”

Pada saat jam istirahat, terdengar suara ribut. Suara itu datang dari arah kamar mandi. Kara mencoba mengikuti anak-anak yang berlari menuju sumber suara. Di sana sudah banyak anak-anak yang mengerubungi sosok tubuh seorang gadis yang tergeletak di lantai. Gadis itu tak lain adalah Rena. Dia pingsan setelah minum obat, dan dari mulutnya mengeluarkan busa. Jestine yang melihat hal itu langsung memanggil ambulan untuk membawa Rena ke rumah sakit.

Setiba di rumah sakit, Rena langsung dibawa ke ruang ICU untuk mendapatkan perawatan intensive. Jestine dan Kara sabar menunggu kabar dari dokter tentang apa yang terjadi pada Rena.
Dokter yang menangani Rena sudah keluar. Jestine dan Kara menghampirinya untuk menanyakan bagaimana keadaan Rena. Dokter itu memberi penjelasan mengenai apa yang terjadi pada Rena.

“Dokter, bagaimana keadaan Rena?” tanya Jestine.
“Iya, dok. Gimana keadaan Rena?” sahut Kara.
“Rena terlalu banyak mengkonsumsi obat. Dia terlalu terobsesi dengan keinginannya untuk sembuh. Dan mungkin saat ini umur Rena tinggal sebentar. Penyakit yang diderita Rena sangatlah berat. Sangat sedikit harapan untuk sembuh dan jalan satu-satunya hanyalah operasi. Itu pun kalau berhasil. Kalau tidak, nyawa menjadi taruhannya. Umur Rena hanya tinggal menghitung hari.”

“Memang Rena sakit apa, dok?” tanya Kara dengan sedikit ragu.
“Rena mengidap penyakit kanker otak,” jawab dokter.
“KANKER OTAK?!” Kara dan Jestine bagai disambar petir di siang hari saat mendengar penyakit yang di derita Rena.
“Dokter, selamatkan Rena. Aku mohon,...”

“Seperti apa yang saya bilang, hanya ada satu jalan, yaitu operasi. Itu pun kalau ada mukjizat dari Allah sebagai tanda kebesarannya. Tapi kalau tidak,…” Dokter memutuskan pembicaraannya dan dia pun berlalu meninggalkan mereka berdua.

Rena terbaring lemah di rumah sakit. Kara dan Jestine dengan sabar menjaga dan merawat Rena. Mereka sangat berharap agar Rena bisa sembuh seperti dulu lagi. Tapi apalah daya, manusia hanya bisa merencanakan. Jodoh, rizki, dan maut ada di tangan Tuhan.
“Rena… Bangun, Ren. Aku mohon. Bangunlah,… agar aku bisa lihat Rena yang dulu. Rena yang selalu ceria. Bangunlah, Ren...” bisik Jestine.
“Rena. Ini aku Kara. Sadarlah, Ren. Kami semua sayang sama kamu. Aku dan Jestine masih butuh kamu. Sadarlah, Ren...” desah Kara.

Rena pun siuman. Dia meneteskan air matanya saat melihat wajah sahabatnya yang pernah ia sakiti perasaannya. Hanya satu kata yang terucap dari bibir Rena untuk sang sahabat.
“Maafkan aku.” Rena menutup mata untuk selama-lamanya
“RENA,…” teriak Jestine dan Kara histeris.

Sang malaikat maut telah menjemput. Rena telah pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan seorang kekasih yang sangat disayanginya dan sahabat sejati yang pernah di sakitinya. Rena tinggallah Rena. Tak ada lagi seorang Rena yang selalu ceria. Hanyalah sebuah nama yang terukir “RENA”, yang terukir abadi di batu nisan di atas pusara tempat persemayaman terakhirnya.
“Ah, mengapa engkau begitu cepat meninggalkan dunia ini. Selamat jalan, Rena. Selamat jalan, sahabat,” desah Kara lirih.
* * *

Kara masih tetap melamun. Lagunya UNGU tetap mengalun di kamarnya yang berantakan bak kapal pecah. Lirik lagu itu dirasakannya sangat mirip dengan kisah tragis yang dialami Rena.
“Andai ku tahu
Kapan tiba ajalku
Ku akan memohon
Tuhan tolong panjangkan umurku….” 1


Mendadak lamunannya terganggu. Terdengar seseorang sedang mengetuk pintu. Kara bangkit dari duduknya, kemudian melangkahkan kakinya menuju pintu dan membukanya. Kini di hadapannya telah berdiri sosok tubuh yang tinggi dan tegap. Sosok itu amat sangat dikenalnya.

“Jestine,” sapa Kara. “Tumben kamu datang ke sini?” sahutnya lagi.
“Aku ke sini hanya ingin mengantarkan surat yang dititipkan Rena padaku sebelum dia pergi untuk selamanya. Surat ini untukmu.” Jestine menyodorkan sebuah surat pada Kara dengan bertuliskan sebuah kata “Untuk sahabatku”. Kemudian pergi meninggalkan Kara yang masih terpaku dengan selembar kertas berwarna ungu yang ada di tangannya.

Kara menyandarkan dirinya di atas kursi goyang yang selalu menjadi teman di saat ia dalam kesedihan. Kara kembali menarik nafas. Kali ini lebih panjang dan berat. Kara menatap kertas berwarna ungu di tangannya, kemudian membaca baris-baris kalimat yang tertera di sana.

“Sahabat,...
Maafkan aku, untuk masa lalu dan untuk kelancanganku yang telah merebut Jestine darimu. Aku sungguh tak bermaksud untuk menyakitimu. Aku tau, aku memang salah. Aku telah mengkhianati kepercayaan yang engkau berikan kepadaku…..
Sahabat,… Maafkan! Aku mencintainya. Aku tak bermaksud untuk membuatmu sungguh tak berarti.”

Sahabatmu
Rena


Kara tak bisa lagi menahan rasa sedih yang ia rasakan. “O, Tuhan. Mengapa semua ini harus terjadi padaku?! Kau ambil semua orang yang aku sayangi. Apa aku memang tak pantas mendapatkan semua ini?! Apa semua ini terlalu indah untukku?! Jawab, Tuhan. Aku butuh jawaban darimu,” teriak Kara.

Setelah puas dengan semua gelora jiwa yang dituangkan lewat teriakan, ia pun bangkit dan melangkahkan kakinya menuju sebuah ruangan yang sempit dan gelap. Di sana dia membasuh muka dengan siraman air wudhu. Diambilnya mukenah yang terlipat rapi di atas meja. Kemudian menenggelamkan semua gelora jiwanya di atas sajadah cinta sang Illahi Robbi.


“Ya, Allah. Ampunilah semua dosa-dosaku. Dosa yang telah aku perbuat. Dan atas semua kesalahan yang tidak aku sengaja. Aku telah banyak berbuat salah pada sahabatku. Aku telah menganggap dia sabagai seorang pengkhianat. Pantaskah aku membencinya?! Sedangkan kau sendiri, ya Tuhan... Engkau maha pengampun. Aku yang hanya manusia biasa sungguh tak pantas untuk membencinya. Walau sebesar apapun kesalahan yang telah ia perbuat padaku. Dia tetap sahabatku. Sahabat sejatiku.

Ya, Allah. Aku sadar bahwa semua yang ada dalam hidupku, semuanya adalah milikmu. Aku hanyalah hambamu yang berlumurkan dosa. Ya, Allah. Tunjukkanlah hambamu akan jalan yang engkau ridlai, untuk menggapai singgasana surgamu. Berikanlah penerang dalam setiap langkahku.

Ya, Allah. Aku sungguh takut akan semua dosa-dosa yang pernah aku perbuat. Aku sungguh takut akan siksamu. Ampuni aku, ya Allah. Ampunilah semua dosa yang telah aku perbuat. Kuserahkan hidup dan matiku kepadamu.

Ya, Allah. Aku hanya manusia biasa yang takut akan semua siksa neraka. Dan aku juga manusia yang tak pantas merasakan nikmatnya surgamu. Amin.”


Kara mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Ah, andai saja kanker itu tak meracuni otak sahabatku,” bisiknya lirih.
Kini Kara telah terbuai dalam ruang mimpi indahnya. Hanya sebaris kata yang masih terlintas di benaknya.
“Sobat…
Maafkan aku mencintainya
Aku tak bermaksud untuk membuatmu sungguh tak berarti” 2

Catatan
1 Salah satu lirik lagu “andai ku tahu” dari kelompok band Ungu
2 Salah satu lirik lagu “sobat” dari kelompok band Padi


* Penulis adalah Pelajar MA. Matholi’ul Anwar.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest