Kamis, 15 Juli 2021

Lelaki Berselimut Kafan

Rakhmat Giryadi
 
Setelah bertahun-tahun menjadi buronan, akhirnya seorang lelaki yang sudah tua keluar dari persembunyiannya. Hari itu adalah hari pertama ia keluar dari persembunyiannya. Lelaki yang dulu gagah perkasa, kini sudah reot. Batuknya seperti terompet. Tubuhnya menyebar bau bacin. Di bawah bayang-bayang gedung pencakar langit, ia berjalan mengendap-endap seperti tikus dengan koreng di tubuhnya.
 
Orang-orang menghindar sambil menutup hidung. Tong sampah dikorek-koreknya. Ia berebut nasi busuk dengan tikus got dan kucing liar. Seekor anjing menggertaknya. Tangan tua itu tak sempat menyentuh nasi yang penuh lalat. Nyawanya hampir lepas. Lapar, kembali mencakar-cakar perutnya. Sarung kumalnya dibebatkan diperutnya yang ceking.
 
Di tengah perutnya yang melilit-lilit, ia ingat masa keemasannya dulu. Orang-orang, meminta tabik. Segalanya telah dimiliki. Tetapi kini, keperkasaannya telah dimakan lumut yang terus menjalari tembok kekuasaannya. Sedikit demi sedikit tembok itu runtuh dan hanya tinggal lumut dan ilalang tumbuh subur di antara reruntuhannya.
 
“Dimana ada penjara untuk saya!” serunya di tengah kota yang penuh dengan asap hitam.
 
Kepada orang berbaju merah lelaki itu bertanya. Orang berbaju merah itu malah lari terbirit-birit. Orang berbaju kuning ngumpet di dekat rimbun pohon. Orang berbaju hijau berdoa semoga dia tidak dihampiri. Orang berbaju biru bergaya seperti penjual obat. Orang-orang yang berbaju hitam, mengiba-iba. Orang berbaju abu abu meraih hati dengan sekedar menunjukan jalan, meski jalan itu tidak tahu berarah ke mana.
 
Lelaki itu terus menyusuri trotoar bobrok. Bunga-bunga bogenvil tumbuh tak terawat. Di sebuah etalase toko ia melihat gambar wajahnya terpampang di sampul buku. “Ya, saya menyesal seperti dirimu, anjing! Saya ingin bertaobat. Antarkan saya pada polisi, atau kalau kau tau antarkan saya ke neraka biar saya dihukum-Nya. E..tapi surga juga boleh,” katanya, sambil pergi begitu saja.
 
Beberapa meter dari etalase toko yang kacanya pecah di sudutnya, ia melihat pamflet-pamflet tertempel di tiang-tiang listrik, tembok-tembok, sekat-sekat pembatas tanah kosong, kios-kios kecil. Warnanya buram. Tetapi ia masih mengenali foto yang ditempel dengan tulisan: BURONAN RAKYAT. Tulisan itu hampir tidak bisa dieja. Karena disana-sini telah dicoret-coret dengan cat semprot.
 
“Silahkan tangkap saya, Pak Polisi! Tolong antar saya ke penjara!” serunya pada seorang Polisi yang sedang menilang kendaraan bermotor. Polisi itu tak menggubrisnya. Uang damai segera dimasukan ke kantong celananya.
 
“Pak Polisi tunjukan saya, di mana kantor, Anda? Tangkaplah saya! Sayalah koruptor yang Anda cari-cari!” katanya dengan penuh harapan.
 
“Koruptor? Di negeri ini koruptor bukan penjahat. Tetapi profesi! Pergilah sana!" kata Polisi, sembari tersenyum kecil.
 
Lelaki bau tanah itu segera pergi. Keningnya berkerut. Kerutannya mempertegas garis ketuaannya. Ia sedang memikirkan kata-kata polisi tadi : Koruptor bukan penjahat. Korupsi sudah menjadi profesi.
 
Lebih kaget lagi, ketika mata lelaki itu melihat fotonya ditempel di tembok-tembok rumah, tiang penyangga jalan layang, tembok mal, plaza, hotel, motel, condominium, kantor polisi, gedung dewan, gedung kejaksaan. Bahkan ada yang dibuat spanduk, baliho berukuran raksasa. Poster-poster itu masih kelihatan baru. Disana tidak lagi tertulis BURONAN RAKYAT, tetapi, KEMBALILAH PAHLAWANKU!.
 
Sayang tak seorang pun yang mengenali dirinya. Foto yang dipampang itu foto seratus tahun yang lalu, atau berapa abad yang lalu atau entah tahun yang keberapa. Entahlah. Orang-orang besar gampang lupa dengan waktu yang telah berlalu. “Saya seorang pahlawan?” tanyanya kepada diri sendiri.
 
Ia tidak percaya dengan kata-kata dalam poster itu. Seorang koruptor yang telah menghabiskan trilyunan rupiah dianggap pahlawan? Apakah dunia sudah terbalik. “Ah, ini jebakan. Ini sindiran. Saya tidak percaya. Hukumlah saya, Pak Polisi. Saya sudah bosan dengan pelarian ini!” serunya, di tengah hiruk pikuk bunyi klakson dan umpatan para sopir mikrolet. Atau erangan anak-anak kecil mabuk lem.
 
Orang-orang tertawa melihat polah tingkah lekaki itu yang mengaku sebagai koruptor. Anak-anak kecil yang lupa sekolah mengira lelaki itu badut sirkus yang kehilangan rombongannya. Mereka bersorak riang. Kaleng yang biasa untuk mengemis mereka pukuli dengan uang logam. Lalu-lintas berhenti total. Para sopir dan penumpang berjoget di atap mobil.
 
Orang-orang yang menghuni gedung bertingkat juga berjoget. Sebuah helikopeter jatuh menabrak tower. Diketahui, pilotnya juga ikut berjoget di atas baling-baling. Pertunjukan itu dilaporkan langsung oleh 100 stasiun TV dalam dan luar negeri. “Ini sihir Inul Daratista, Anisa Bahar, Trio Macan. Semua menjadi ‘Kucing Garong.’” Teriak seorang reporter TV swasta sembari mengguncangkan pantatnya.
 
"Sayalah koruptor!” Tangkaplah saya," teriak lelaki tua itu.
 
Sedetik kemudian, kata-kata lelaki tua itu menyebar keseluruh negeri dan menyebar menjadi tagline baru. “Kita semua koruptor. Tangkaplah kita!” teriak orang seluruh negeri, sembari berjoget.
 
Seorang Polisi muda, mengerutkan kening. Sejurus matanya menatap lelaki yang berpakaian compang-camping. Bau bacin menebar keseluruh penjuru ruangnya.
 
“Sudahlah. Kenapa ragu-ragu. Sayalah yang menghabiskan uang negara trilyunan itu. Saya sudah bosan hidup dalam pelarian,” katanya sambil menyerahkan kedua tangannya untuk diborgol. Seribu kamera wartawan TV membidik adegan itu. Sedetik kemudian TV-TV menyetop siarannya. “Breaking News!” orang-orang mematung, melihat adegan yang mengharukan itu. Tetapi belum sempat air mata menetes, acara itu telah berganti lawak. “Ha..ha..ha..! Ternyata Srimulatan, to ini tadi!”
 
Keesokan harinya lelaki bahu tanah itu datang lagi ke kantor Polisi. “Hai orang gila mau apa lagi!” bentak Polisi muda.
 
Lelaki tua itu tak memperdulikannya. Ia menunjukan poster pada Polisi yang berpostur tambum. “Ini adalah saya. Saya ingin menyerahkan diri. Tangkaplah!” katanya dengan nada bergetar.
 
“Haaaa…haaaa….haaaa…!” Polisi itu tertawa lebar, selebar-lebarnya. Teman-temanya yang tahu, segera ikut tertawa. Siang itu, siang yang paling aneh. Ada seorang datang menyerahkan diri dan mengaku sebagai boronan kelas kakap. Tak biasanya ada penjahat yang menyerahkan diri begitu saja. Aneh sekali. “Haaaa..haaaaa…haaa!” kantor Polisi itu menjadi riuh.
 
Kotapun juga riuh penuh gelak tawa seperti gedung Srimulat tahun 1970-an. Orang-orang tertawa mendengar cerita anekdot itu. “Adu pungguk merindukan bulan. Kasihan deh aku, istruku datang bulan,” kata seorang eksekutif muda yang baru saja menikah.
 
“Tidak nyambung, blas!”
 
“Seperti dagelan!”
 
“Dia berbakat jadi politikus!”
 
“Semestinya, kamu pergi ke panti jompo atau bunuh diri saja,” ledek Polisi yang berkumis, ketika hari perlahan-lahan gelap dan lampu-lampu kota berpendar, menyambut malam.
 
Orang-orang berlarian seperti berkejaran dengan gelap. Mobil berdesak-desakan. Klakson berteriakan. Lengkingan peluit Polisi tak pernah berhenti. Adzan magrib seperti muncul dari lorong-lorong gaip kemudian menghilang begitu saja. Orang-orang tak mendengarnya. Di telingannya tersumbat handfree. Mobil-mobil bergoyang ke kiri dan ke kanan mengikuti irama housemusic. Dua atau tiga mobil saja yang terbang, mengikuti alunan seruling Sunda yang mendayu-dayu. Setiap senja, orang-orang mempersiapakan upacara adatnya sendiri-sendiri. Mereka para pertapa agung di sudut-sudut mal-mal, di kafe-kafe, bar-bar, pub, atau karaoke. Mereka para penyembah dewa malam. Dewa para pemabuk.
 
Sementara, lelaki bau tanah itu, berjalan seperti bajaj. Dilihatnya poster yang masih dalam genggamanya. Diejanya huruf demi huruf. Tetapi ia tak pernah menemukan arti dari tulisan itu. Yang ia tahu dan yakin, bahwa foto itu adalah dirinya. Tapi bagaimana orang-orang mau tau bahwa ia adalah buronan yang dicari-cari sebelumnya?
 
Sejarahpun telah menimbun namanya. Anak-anak sekolah telah membaca sejarah dengan cara terbalik. Bahwa sejarah mencatat nilai-nilai luhur. Sejarah adalah riwayat orang-orang besar. Tidak ada gembel, pecundang yang masuk dalam catatan sejarah. Buku-buku sejarah tetap seperti situs-situs purba yang menyimpan rahasianya. Anak-anak tidak tahu di balik lipatan-libatan buku sejarahnya ada darah pengingkaran.
 
“Bakar! Bakar saja!” teriak Pemimpin Kota, melihat noda darah di buku-buku sejarah.
 
Maka ribuan buku dibakar. Otak anak-anak dibaycline sampai putih bersih dan tidak amis. Maka sejarah telah lenyap. Anak-anak dan juga jutaan orang di kota ini dibuatkan sejarah baru. Sejarah yang tidak menimbun bau anyir darah.
 
“Orang-orang sudah pada pikun dengan sejarahnya,” kata lelaki tua itu sembari menyandarkan tubuhnya pada tembok berlumut. Bau pesing menusuk hidungnya. Seekor kucing garong, melompat dari tempat sampah. Giginya yang tajam, menggondol orok bayi yang busuk, dibuntal tas plastik warna hitam.
 
“Generasi baru dimatikan. Dibuang di tempat sampah. Generasi lama dibiarkan terkapar dengan segunung dosa di pundaknya,” desah lelaki itu. Sesaat kemudian terdengar dengkurnya. Orang-orang kota masih dengan darahnya yang meluap-luap.
 
“Urip gur mampir ngombe!” teriak anak muda sembari menuangkan vodka ke sloki yang dibuat dari potongan botol air mineral.
***
 
Suatu hari, menjelang magrib, lelaki itu pergi ke masjid. Ditemuinya ta’mir masjid. Ia katakan padanya, bahwa ia ingin menyerahkan diri sebagai buronan. Tak lupa ia menyodorkan poster yang dibawanya.
 
Ta’mir yang sudah tua dan sering dipanggil Pak Haji itu, berkata sambil menutup hidungya. “Kalau mau menyerahkan diri bukan di sini tempatnya, Pak, tetapi ke kantor Polisi,” sarannya.
 
Di gereja, di pura, di vihara, ia deterima dengan saran yang sama. Dilembaga peradilan tertinggi ia malah disuruh bertaubat dulu dan kemudian pergi ke panti jompo, atau terkadang digelandang Satpol Pamong Praja ke Dinas Sosial. Di kantor-kantor media massa ia dimasukan di kolom anekdot dan dibuat tertawaan para pemirsa dan pembaca. “Seorang lelaki kere, ingin merubah sejarah bangsa besar!” kata pakar sejarah dan politik di kaca-kaca televisi.
 
Ibu-ibu menangis sesenggukan. Berita tentang lelaki tua tadi seperti cerita opera sabun. “Dia pasti akan menang di endingnya nanti,” komentar ibu rumah tangga sembari mengunyah popcorn kesukaannya sebelum iklan-iklan lain mempengaruhi seleranya.
 
Lelaki tua itu bingung, ia tidak tahu harus berserah diri pada siapa. Ia pergi menyusuri kota yang disergap gelap malam. Ia melihat orang-orang seperti hidup bahagia. “Apakah mereka juga orang suci?” tanya lelaki itu dalam hati.
 
Di sudut yang lain orang-orang saling membunuh, hanya untuk merebutkan recehan. Sementara di TV-TV menyiarkan aksi pembunuhan itu secara langsung. Pemuda-pemuda dan remaja tanggung bertepuk dada. “Keren abis!”
 
Di kantor Polisi lelaki tua itu kembali ditertawakan. “Memangnya apa yang Bapak perbuat?” tanya seorang Polisi, sembari menjalankan bidak caturnya.
 
“Korupsi,” kata lelaki itu bergetar.
 
“Seorang koruptor itu, paling tidak bertampang tegar. Tidak memelas. Pakai dasi. Bawa mobil berkelas. Datang ke Polisi di dampingi dua atau tiga pengacara bonafide. Gembel semacam engkau apa yang dikorupsi? Skak! Mati!” dua Polisi itu kembali tertawa.
 
Kini, hanya tinggal satu tempat yang bisa ia tuju, rumahnya. Rumah yang telah lama ditinggalkannya dengan seluruh isinya. Lelaki bahu tanah berjalan menuju rumahnya. Namun sebenarnya ia ragu-ragu, karena ia pun sudah lupa bentuk rumahnya. Yang dia ingat hanya kata-kata kenanga. Atau Jl. Kenanga.
 
Setelah berhari-hari berjalan, lelaki itu baru menemukan Jl. Kenanga. Sebuah jalan yang penuh dengan pohon bunga kenanga. Lelaki itu mereka-reka ingatannya. Tak satupun yang ia ingat. Hanya bau harum bunga kenanga itulah yang meyakinkan dirinya bahwa di jalan itulah ia pernah tinggal.
 
Dan mobil mewah itu masih berjajar-jajar di sepanjang jalan. Hanya saja orang-orang yang hilir mudik di jalan itu semua berpakaian serba hitam dan berkaca mata hitam. Ribuan wartawan dari koran dan televisi tampak bergerombol di depan pintu gerbang. Di sepanjang pagar rumah yang tinggi itu, berjajar karangan bunga ucapan duka cita.
 
“Siapa yang meninggal dunia?” tanya lelaki itu, pada seorang yang baru turun dari BMW seri terbaru. Orang itu hanya menjawab singkat : “Eyang!”
 
Lelaki tua itu melihat foto yang dihias dengan bunga beraneka warna, dipajang dekat pintu gerbang rumah. Foto itu seperti dirinya. Bahkan sangat mirip. Di bawah foto itu ada tulisan, ‘Telah Meninggal Dunia Eyang Kakung yang Tercinta, dalam usia 100 tahun. Semoga Arwahnya Diterima Di Sisi Tuhan YME.’
 
“Kalau dia telah mati, lalu saya ini siapa? Hidup dan mati ternyata begitu dekat. Dekat sekali!” kata lelaki itu, sembari membetulkan sarungnya yang persis kafan.
 
Surabaya, Desember 2006 http://sastra-indonesia.com/2009/01/lelaki-berselimut-kafan/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest