Senin, 12 Juli 2021

Jejak Gagasan Sutan Takdir pada Puisi Chairil Anwar

Ribut Wijoto
 
Peringatan kematian Chairil Anwar di tahun 2008 ini terasa amat istimewa. Pasalnya berbarengan dengan peringatan 100 tahun kelahiran Sutan Takdir Alisjahbana. Kedua tokoh legendaris sastra Indonesia ini, semasa hidupnya, memiliki hubungan unik. Bisa dibilang, keduanya tidaklah akur.
 
Di tahun 1940, Chairil adalah orang muda yang baru merintis tradisi kepenyairan. Sementara Sutan Takdir, seorang kritikus sastra yang telah cukup berwibawa. Merujuk pada catatan HB Jassin, Chairil tonggak angkatan 45 dan Sutan Takdir tonggak angkatan Balai Pustaka. Artinya, keduanya mewakili dua angkatan yang berbeda. Meskipun, keduanya pernah hidup dalam zaman yang sama.
 
Bila perbedaan angkatan dipahami sebagai perbedaan gagasan berkesenian atau perbedaan standar estetika, karya Sutan Takdir dan karya Chairil Anwar memang berbeda. Persepsi kemanusiaannya berbeda, pilihan kode bahasa estetiknya berbeda, dan dunia utopia yang ingin diraihnya pun berbeda. Itu jelas termaktub dalam kumpulan puisi Deru Campur Debu (Chairil Anwar) dan Tebaran Mega (Sutan Takdir). Perbedaan itu menjadi semakin tajam karena, tidak sekali dua kali, Sutan Takdir menganggap puisi-puisi Chairil tidak sesuai dengan standar puisi yang telah digariskan Balai Pustaka.
 
Perbedaan pola puitik dan kritik minor Sutan Takdir terhadap Chairil Anwar tersebut semakin mempertegas pemilahan yang dicipta HB Jassin. Hanya saja, ada sesuatu yang luput dari penilaian HB Jassin. Bahwa, Sutan Takdir dan Chairil Anwar sebenarnya memiliki hubungan unik. Sebuah hubungan sublim.
 
Tahun 1932, di usia 24 tahun, Sutan Takdir tegas-tegas memformatkan rangka cipta sastra (baca: puisi). Ialah gagasan cemerlang yang kelak diterapkan oleh Chairil Anwar: “Pada hakekatnya rayuan pungguk, nyanyian kekasih, cumbuan kembang dan tangisan hati yang sedih itu, hanyalah  perhiasan kesusastraan. Kesusastraan yang sebenarnya lebih besar dan luhur padanya, di dalamnya bernyala-nyala api kehidupan yang besar dan hebat”. Terlalu berani, memang.
 
Sutan Takdir, lelaki kelahiran 11 Februari 1908 di Natal (Sumatra Utara) ini memang tampak gerah dengan kondisional tradisi sastra tanah air ketika itu. Sebuah tradisi yang belepotan dengan “belitan absurd perumpamaan” yang dianggapnya “menepiskan inti kemanusiaan”. Melalui beberapa media, Takdir merupakan redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka, obsesinya terhadap pembaruan sastra dipresentasikan tanpa tedeng aling-aling. Sebuah presentasi yang tegas, paradigmatis, dan sarat dengan contoh-contoh konkret.
 
Tidak seperti intelektual kebanyakan, yang suka malu-malu dan bersikap akomodatif, Takdir terang-terangan memberikan klaim buruk terhadap puisi yang tidak sesuai dengan gagasan ciptanya.  Semisal rangkaian bait berikut: Laksana api membakar dupa, laksana kilat sabung menyabung, laksana langit mencium bumi. Puisi tersebut dikatakannya “basi” dan dan karenanya “tidak bermutu”. Itu puisi terlampau hebat dalam pembayangan perasaan.
 
Adapun tragisnya, disesali oleh Takdir, setengah dari sastrawan tanah air ketika itu berpijak pada aras yang melangit tersebut. Amat suka akan perkataan dan perbandingan pelik-pelik. Kemanusiaan justru sirna dari puisi. Yang tersisa hanya lamunan. Keindahan yang tak tersentuh manusia biasa.
 
Meski begitu, Takdir bukanlah penggagas sastra yang anti perbandingan. Sebagai sastrawan, yang sejak umur 15 tahun sudah terlibat dalam penulisan sastra di media cetak, Takdir percaya pada pentingnya perbandingan bagi perwujudan karya sastra. Ini dituliskannya dalam baris-baris: “Oleh sebab itu dalam syair tidaklah boleh dipakai sembarang perbandingan. Ada perbandingan yang sekali baca sedap rasanya, meresap sekali ke dalam hati, membangkitkan perasaan nikmat, tetapi sebaliknya banyak pula perbandingan yang tak tentu ujung pangkalnya, yang tak kena sedikit jua pun”. Di sini, bukan perkara boleh atau pamalinya perbandingan dalam puisi. Takdir mengisyaratkan hal ihwal penggunaan perbandingan. Bahwa, puisi itu bersyarat.
 
Lantas, bagaimanakah keterkaitan gagasan puisi Takdir dengan puisi ciptaan Chairil. Memang sulit dipastikan —seperti posisi Andre Breton bagi sastrawan surrealis Amerika Latin— sejauh mana gagasan puisi mampu menginspirasi penciptaan puisi. Tetapi, keterkaitan itu tentulah bukan suatu kemustahilan. Apalagi ada jejak-jejak yang jelas terbaca. Ada tradisi yang mengkondisikan tindak kepenyairan.
 
Jejak-jejak gagasan Takdir itulah yang di kemudian tahun melekat (inhern) dalam puisi-puisi Chairil. Begini runutannya; sepuluh tahun selepas Takdir pertama kali merepresentasikan gagasan puisinya (1932), Chairil memulai menciptakan puisi (1942). Lihatlah puisi Chairil “Lagu Biasa” berikut: Ia mengerling, ia ketawa, dan rumput kering terus menyala. Ia berkata, suaranya nyaring tinggi. Darahku terhenti berlari. Puisi Chairil ini secara tematik tidaklah bergeser jauh dari tema-tema umum; cinta, lelaki-wanita. Cara membahasakannyalah yang berbeda. Untuk cinta, Chairil mendedahkan perbandingan cukup sederhana, rumput kering terus menyala. Padahal bagi para penyair saat itu, cinta adalah sasaran empuk kemunculan perbandingan-perumpamaan yang langitan. Rayu merayu, dayu mendayu, membuluh perindu.
 
Tapi tidak untuk Chairil, perbandingan cukup sederhana saja. Pengalaman cinta dibahasakan sebagaimana pengalaman keseharian semata. Tidak lebih, tidak kurang. Justru visi kemanusiaan terejawantah oleh puisi. Sebab memakai pembahasaan yang manusiawi. Pembahasaan puisi ini, saya melihatnya, sepadan dengan gagasan Takdir: “Bahwa perkataan dan perbandingan yang terlampau tinggi membubung di awang-awang itu, sering hanya menjadi bukti kelemahan, bahkan ketiadaan perasaan penyairnya”. Klop. Gagasan puisi dan karya puisi berpaut padu.
 
Kegundahan Takdir terhadap perbandingan “membubung tinggi” terpenuhi oleh puisi ciptaan Chairil. Selain daripada itu, Takdir juga menggagaskan ciptaan bahasa puisi yang subyektif. Bahasa orisinal. Karakteristik kepenyairan yang bisa  digunakan untuk membedakannya dengan puisi ciptaan penyair lain. Bahkan lebih daripada itu, orisinalitas juga menandakan ketajaman mata penyair dalam mencermati kehidupan. Dituliskannya oleh Takdir: “Tetapi segala  pengarang yang meniru sesudah itu hanyalah membeo saja, menyatakan apa yang  dilihat dan dirasakan orang lain, tetapi tak dilihat dan dirasakannya sendiri. Mereka  sama dengan benalu, yang hanya  dapat  hidup oleh makanan yang disediakan oleh orang lain. Membuat sendiri mereka tidak sanggup”.
 
Pembeoan, setelah Takdir mengedepankan fakta kesamaan tema puisi, ia pun membongkar fakta yang lebih sensitif: reproduksi kepenyairan. Kesamaan gaya ucap dan gaya pembahasaaan tema. Satu analogi tentang pentingnya apresiasi fakta oleh Takdir adalah kisah cinta seorang penyair. Semisal penyair Mb, ia telah berulang kali jatuh cinta. Nah, pada kali terakhir, penyair Mb mendapati gadis yang melampaui ideal yang sebelumnya pernah ia bayangkan sendiri. Ia jatuh cinta yang benar-benar jatuh cinta. Jadinya, cinta transenden. Dan kerena ia penyair, Mb pun memindahkan peristiwa dirinya ke dalam peristiwa puisi. Dan semestinya, atas fakta proses kreatif kepenyairan, puisi Mb pun melebihi puisi-puisi cintanya yang telah pernah ada. Lacur yang terjadi, puisi Mb tidak lebih buruk atau lebih baik dari puisi-puisi sebelumnya. Atau juga, mirip dengan puisi cinta para penyair lain. Sama saja. Ialah tentang gaya bahasa, benalu. Penyair Mb tidak memiliki orisinalitas bahasa puisi. Gaya puisi yang ia kuasai sama seperti gaya penyair terdahulu. Gaya yang telah mentradisi. Adapun Takdir, membayangkan perlunya tiap penyair menciptakan tradisi bahasa puisi tersendiri.
 
Tiap penyair adalah pencipta tradisi. Secara kasar bisa ditajamkan: yang kentara, bukan pengalaman membentuk puisi, malahan bahasa puisilah yang mencipta pengalaman. Sebuah gaya puisi yang orisinal, akan membentuk pengalaman yang subyektif. Takdir memang memberi syarat tinggi pada penciptaan puisi. Syarat yang sulit dipenuhi oleh penyair biasa. Tentu saja, kecuali Chairil.
 
Antara stagnasi penciptaan tradisi bahasa puisi, Chairil bangkit, tegak berdiri untuk menangkap gagasan yang disorongkan Takdir. Terus, terus dulu…! Ke ruang dimana botol tuak banyak berbaris. Pelayannya, kita dilayani gadis-gadis. O, bibir merah, selokan mati pertama. Gaya ungkap dalam puisi Chairil “Jangan Kita Di Sini Berhenti” menyiratkan, juga menyuratkan, pengungkapan yang betul-betul baru. Tak ada penyair lain yang seberani Chairil. Tentang kelugasan, tentang kebanalan, dan tentang subyektivitas mempersepsi peristiwa. Sebuah puisi yang langsung menonjok pada pokok. Tak terlalu berpusingan dengan rima. Benar.
 
Sejak tahun 1932, Takdir telah terganggu dengan banyaknya puisi yang hanya mementingkan kesepadanan bunyi. Takdir menyontohkan sebuah puisi, judulnya “O, Taman”: O, taman! Kemala juita. Kelilingmu kulihat selalu rata. Tempat permainan dayang dewata. Selalu kupandang mengikat mata. Puisi ini, menurut Takdir, hanya mementingkan bunyi, sedangkan apa yang dikatakan, tidaklah terlalu dipedulikan. Di situ, Takdir mempertanyakan hubungan antara “keliling taman yang selalu rata” dengan “tempat permainan dayang dewata”. Meski begitu, Takdir menyadari, puisi berima bukannya tanpa guna. Ini perihal kebutuhan kenikmatan masyarakat terhadap puisi.
 
Masyarakat lama kerap memposisikan puisi sama dengan nyanyian. Dan memang, puisi acap kali dinyanyikan. Bersandar pada  kebiasaan tersebut, puisi berima lebih mudah untuk dinyanyikan. Lebih bisa diterima atau lebih memenuhi kebutuhan masyarakat lama. Di situ, kenikmatan terhadap puisi hanya sebagai kenikmatan perenggang waktu. Lain halnya bagi orang-orang, yang menurut Takdir, kontemporer. “Orang sekarang belum puas hatinya dengan bunyi dan perkataan belaka. Tiap-tiap perkataan itu mesti kena tempatnya dan nyata arti dan perasaan yang dikemukakannya”, tulis Takdir untuk menegaskan gagasan kepenyairan baru.
 
Tulisan Takdir tentang syarat-syarat penciptaan puisi ini rupanya membawa situasi baru bagi sastrawan-sastrawan sejaman. Tidak bisa tidak, tradisi sastra yang selama itu kukuh, telah dibekukan oleh Takdir.
 
Selanjutnya, Takdir menyodorkan gagasan tentang kepenyairan baru. Di artikel ini, perlu pula dikutipkan pengakuan Zuber Usman, seorang sastrawan yang seangkatan dengan Takdir: “Syair-syair lama yang banyak diterbitkan Balai Pustaka, setelah ada uraian St Takdir tentang kedudukan pantun dan syair yang dibicarakannya dengan panjang-lebar serta dengan gaya yang menarik, tiba-tiba menjadi sepi; kegiatan penyair-penyair yang semacam ini pun sebagai mendapat tamparan yang hebat sesudah uraiannya itu”. Begitulah, Takdir telah mengkoreksi, bisa juga dikatakan memutus, tradisi sastra lama. Menjadikan kegiatan dan penciptaan sastra berpola lama sebagai tindak yang kurang menarik. Tanpa darah, tanpa gairah, pucat pasi.
 
Takdir pun tidak berhenti pada koreksi. Digulirkannya format sastra baru. Toh, puisi-puisi yang sesuai dengan harapan Takdir tidak begitu saja mudah direalisasikan. Pun juga, Takdir menemui banyak kesulitan, apalagi  oleh para penyair sezaman. Memang sulit mencipta tradisi sastra. Gagasan kepenyairan Takdir baru bisa  terproduksi sepuluh tahun kemudian, yaitu oleh puisi-puisi milik Chairil. Cipta yang orisinal. Tak merayu, tak terbeliti rima-rima, tak berlarat-larat, tegas, menonjok pada pokok kehidupan.
 
24 September 2016, Studio Gapus, Surabaya.
http://sastra-indonesia.com/2021/07/jejak-gagasan-sutan-takdir-pada-puisi-chairil-anwar/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest