Rabu, 27 Mei 2020

Aroma Tanah Moncongloe

Alfian Dippahatang *

EMPAT tahun sebelum bebas, petang itu di Moncongloe, ia berselonjor dan tampak letih. Ia banting tulang mengerjakan proyek perkebunan milik tentara. Cangkul telah ia biarkan tergeletak. Karena bertelanjang dada, keringat yang bercucuran seakan membuat tubuhnya mengilap. Ia menerima cerek berisi air yang saya tawarkan kepadanya. Ia buru-buru membuka mulut, mereguknya tanpa memakai gelas. Saya menyilakan untuk ia habiskan. Setelah dahaganya terpenuhi, ia berterima kasih dan mencoba mencairkan suasana dengan basa-basi.

Kamp pengasingan yang ditempati Mardi berbatasan dengan perkebunan milik keluarga saya. Hari itu, saya dalam perjalanan mengunjungi orang tua dan adik saya, Karman, yang belum pulang dari kebun. Seseorang datang memberi kabar, ada dua toko bangunan di Makassar membuka lebar lowongan kerja. Kabar bahagia itu ingin segera saya sampaikan kepada Karman, sebab ia sudah lama bercita-cita ingin merasakan pengalaman kerja selain berkebun.

Pertemuan saya dengan Mardi pun terus berulang. Saya jadi keseringan membawakannya air minum dan makanan. Semuanya tak butuh alasan. Intinya, Mardi membuat saya jatuh cinta.
***

Tahun 1977, Mardi resmi bebas dari kamp pengasingan. Lepas dari kerja paksa. Tetapi, menyandang gelar eks tapol membuat hati keluarga, terutama Karman, tak kunjung melunak. Ia terus menyuarakan penolakannya dengan segala sisi pertimbangan. Ia menyuruh saya melupakan Mardi. Karman pun sudah meninggalkan pekerjaannya di toko bangunan karena tak tahan disuruh-suruh dan merasa takdirnya hanya mengelola kebun.

”Lapangan kerja untuk eks tapol susah karena identitas yang melekat pada dirinya. Saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri saat akhir-akhir bekerja di toko. Mau dikasih makan apa Kakak sama Mardi? Malah keluarga kita akan dianggap tak bersih lingkungan. Kita akan tercemar.”

”Tercemar apa? Jaga ucapanmu.”

”Kakak pasti lebih tahu.”

”Mardi itu tak bersalah.”

”Tak mungkin ditangkap kalau tak bersalah. Kakak kan guru, mestinya bisa lebih jernih berpikir.”

”Ini tak ada hubungannya dengan diri saya sebagai guru. Kejadian ini terjadi karena kepentingan politik. Ia bisa bekerja di kebun keluarga dan membantu kebutuhan hidup saya nantinya.”

”Saya tetap tak setuju. Masih banyak lelaki yang bisa membimbing Kakak.”

”Banyak lelaki, tetapi ia telah jadi pilihan saya.”

”Keluarga kita tak akan leluasa bergerak jika Kakak bersama Mardi. Saya yakin itu. Tolong jangan siksa kami dengan pilihan Kakak.”

”Apakah lelaki lain lebih baik dari Mardi?”

”Ya.”

Karman menjawab dengan tegas dan yakin.

”Belum tentu. Kau tak bisa menjamin.”

”Ruslang. Kakak mengenalnya, kan? Hatinya baik. Guru agama pula.”

Saya benar-benar heran. Ruslang, sepupu dua kali saya yang juga belum menikah, selalu dikait-kaitkan dengan kesendirian saya. Ruslang memang cukup terbuka dan baik hati kepada adik saya, tetapi kebaikannya tak pernah saya tanggapi.

Umur saya tahun ini memasuki kepala empat. Saya ingin menikah. Saya ingin menimang anak. Saya selalu sedih jika ditanya murid-murid saya mengenai anak. Ruslang hanya bisa saya anggap sebagai keluarga.
***

Orang tua saya jika bicara selalu menyakitkan. Mereka telah kukuh memberi batasan bahwa saya tak boleh menikah dengan Mardi. Padahal, lelaki yang kini membuat saya jatuh cinta itu hanya korban politik. Saya percaya itu. Mardi dan lainnya tak bersalah.

Rekan saya, Embas, sesama guru di tempat saya mengajar, mengalami nasib serupa –juga dituduh terlibat gerakan kiri karena sering mengumpulkan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Padahal, ia hanya menjalankan tugas karena dipercaya bisa memimpin dan mengayomi penduduk. Berembuk membicarakan masalah-masalah lingkungan malah dianggap membahayakan negara.

Keluarga saya tetap tak percaya meski saya menceritakan kisah ini, yang nyata-nyata terjadi begitu dekat di sekitar saya.
***

Sepulang mengajar, saya menyambangi Mardi yang menumpang tinggal di rumah Matto, kawannya di Gowa ini. Ia baru selesai mandi dan terlihat segar. Kendati ia mencoba tegar, raut pilu memang masih terpampang nyata di wajahnya. Ia masih susah menerima kenyataan. Saya berusaha mencurahkan perhatian agar ia bisa tenang.

”Dari Embas, rekan kerjamu yang juga ditangkap, kau mungkin sudah diberi tahu banyak siapa saya sebelum dikirim ke Moncongloe.”

”Ya, saya mencari tahu yang bisa saya ketahui tentangmu selama kalian ditahan. Saya juga sudah mendatangi dan melihat keadaan Embas.”

”Saya, Matto, dan Embas akrab karena punya kesamaan ideologi dan kesamaan profesi. Embas banyak memberi informasi mengenai dirimu. Katanya, kau berbudi baik. Saya senang mendengar pujian itu.”

”Ia bilang apa lagi padamu?”

Meski rasa ingin tahu saya cukup besar, saya mencoba tetap tenang bertanya.

”Banyak. Intinya, ia memujimu.”

”Semoga tak terdengar berlebihan.”

”Saya kira tidak.”

”Kau benar-benar bebas. Saya senang melihat tanganmu lepas dari cangkul.”

”Kau menerima keadaan saya seperti ini suatu keajaiban.”

”Tak usah berkata seperti itu. Tak baik didengar.”

”Saya ingin mengatakan sesuatu. Boleh?”

Wajah saya langsung serius. Jantung saya terasa berdenyut lebih kencang.

”Jangan bilang kau menyerah melihat keadaan keluarga saya!”

Saya mencoba berspekulasi. Mardi sepertinya memang ingin meluapkan hal tersebut.

”Ya…”

Dada saya tiba-tiba sesak.

”Hanya seperti itu batas kesanggupanmu?”

Tak terasa, air mata saya meluncur ke pipi. Usia juga takluk di hadapan kesedihan.

”Setelah apa yang telah saya lakukan padamu, kau menambah luka di dada saya.”

”Saya juga kasihan melihat diri saya seolah hina dina dan tak ada baik-baiknya. Dianggap pelaku kejahatan itu menyakitkan. Padahal, kau tahu, saya hanya korban. Ini bukan kehendak saya dan saya tak pernah membayangkan ini bakal terjadi.”

”Tetapi, saya yakin kau bisa berjuang melunakkan dada keluarga saya yang keras.”

”Tak mudah, Nanni. Itu butuh waktu berlipat-lipat. Status saya juga masih seorang suami, meski saya merasa sudah tak dipedulikan lagi oleh istri saya. Saya mungkin dianggap mati sehingga tak perlu dicari-cari. Saya akan pulang ke Takalar, mencari yang tersisa di hidup saya walau kini saya seperti ampas tebu yang tak berguna.”

”Saya akan menemanimu.”

”Tak usah. Murid-murid butuh sosok guru sepertimu yang berpikiran terbuka.”

”Saya tetap mengajar di sekolah meski nantinya tinggal bersamamu di Takalar.”

”Kau harus adil.”

”Maksudmu?”

”Keluarga membutuhkanmu, meski saya juga demikian.”

Mardi terus berusaha mencairkan suasana hati saya yang tahun ini mestinya menunjukkan diri sudah matang, makin dewasa, dan lebih dari cukup untuk memiliki suami.
***

Sore hampir selesai. Saya menyambangi ibu yang mulai melipat baju yang sedari tadi ia jahit ketiaknya.

”Tak ada penghulu yang bakal menikahkanmu, Nanni!”

Ibu langsung memberi garis batas. Ia sudah membaca maksud hati saya.

”Jangan keras kepala seperti itu. Hargai saya. Saya harap kau mendengarkan saya,” tegas ibu.

Saya tak bermaksud membantah harapan keluarga, termasuk ibu saya. Tetapi, saya ingin mereka tahu bahwa saya telah bertemu lelaki yang bisa membimbing saya. Mardi bisa bekerja keras untuk saya.

”Ia hanya korban, Bu.”

Tak henti saya meyakinkan ibu saya.

”Ruslang. Kenapa kau tolak kebaikannya?”

Saya diam. Telinga saya panas mendengar nama itu. Ibu tetap tak mengerti bahwa orang-orang yang diasingkan di Moncongloe hanya korban.

”Meski Mardi berkali-kali menghadap di hadapan saya, hubungan kalian tak bakal saya restui. Ia tak bisa dapat pekerjaan layak lagi dengan statusnya.”

Ibu memang sudah begitu keras memberi batasan.

”Mardi itu orangnya pandai, Bu. Ia seorang guru. Ia bisa diajak bertukar pikiran. Ia siap kerja keras menggarap lahan keluarga jika ibu memberi kesempatan.”

”Dulu mungkin ia seorang guru, tetapi sekarang kan tidak lagi.”

”Apa ayah tidak mau menjadi penghulu buat kami?”

Saya masih tetap bersikeras.

”Kau ini sudah gila ya? Ayahmu tak akan melakukannya. Ternyata, manjur juga guna-guna lelaki pilihanmu itu. Sadar, Nanni. Sadar. Keluarga kita ini bersih. Kita susah payah membangun nama keluarga agar terhindar dari gelombang yang jahat ini.”

Ayah saya seorang penghulu yang menikahkan lumayan banyak orang di Gowa. Saat ini hanya ayah saya yang bisa membuat hubungan kami sah secara agama. Namun, sah di mata hukum juga seperti mustahil saya peroleh.

Mardi masih setia menetap di rumah Matto. Tetapi, ia sudah merasa tak enak berlama-lama menumpang. Saya berusaha menenangkannya agar bertahan dan memintanya bersabar lagi menunggu hasil dari keluarga saya. Saya yakin masih bisa membujuk keluarga.
***

Saya dan Mardi tiba di tempat kami pertama kali berjumpa. Kami ingin mengenang peristiwa masa lalu yang membuat kami bersatu. Tak lama, saya mengeruk tanah. Mardi pun ikut melakukannya. Kami cium aroma tanah Moncongloe yang pernah ditetesi keringat Mardi sendiri dan keringat orang-orang yang disiksa.

”Tanah ini bersaksi pada kita, Mardi.”

”Kehidupan saya hancur, tetapi kedatanganmu memberi harapan.”

Saya ingin menanggapi, tetapi saya tahan karena ingin sejenak hanyut dengan perkataan Mardi.

____________________
*) Alfian Dippahatang, lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan, pada 3 Desember. Sekarang tercatat sebagai mahasiswa Program Pascasarjana Bahasa Indonesia Universitas Hasanuddin. Buku kumpulan cerpennya, Bertarung dalam Sarung (2019), masuk longlist Kusala Sastra Khatulistiwa 2019. Terpilih sebagai salah satu penerima Residensi Penulis 2019 oleh Komite Buku Nasional ke Prancis.
https://www.jawapos.com/minggu/cerpen/20/10/2019/aroma-tanah-moncongloe/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest