Judul Buku: Hadrah Kiai
Penulis: Raedu Basha
Penerbit: Gading Pustaka
Cetakan: 2017
Peresensi: Iskandar Zulkarnain *
Kita mengenal penyair ialah orang yang sekadar
mengandalkan imajinasi dan secangkir kopi. Melamun dan merenungkan sesuatu yang
ada dan yang mungkin ada, atau merespons segala semesta. Sehingga pada titik
jenuh yang telah ditentukan oleh penyair, jadilah sebuah karangan puisi.
Namun,
ketika membaca Hadrah Kiai tidak bisa mengatakan seorang penyair seperti halnya
di atas. Raedu Basha mengajak pembaca mengembara dalam samudra suci para aulia
dan kiai. Dari itu, penulis Hadrah Kiai tidak lepas dari historis para aulia
atau kiai. Dan, keberadaan kultur pesantren merupakan lembaga pendidikan paling
berpengaruh di Nusantara ini.
Minderop
(2010) Psikologi Sastra menyatakan, karya akan mencerminkan jiwa seorang
pengarang. Itu terbukti jelas ketika saya membaca karangan Raedu Basha yang
mencerminkan jati dirinya sebagai santri. Kehidupan dalam keseharian santri,
karakter serta sikap mental santri yang semuanya tidak pernah lepas dari takzim
atau rasa hormat pada seorang guru.
Mayoritas
menggunakan kitab klasik sebagai pedoman keilmuan tauhid, fikih, tarikh, dan
akhlak. Sehingga dalam salah satu puisinya yang berjudul Di Hadapan Mbah Moen;
di jantungku yang basah/ berdegup dingin dan pasrah/ kibasan serbanmu memoles
jiwa/ keringlah sejarah kelam/ yang terkapar deru hujan/ menghantamkan pasal
keperihan/ dan murung nazam//.
Cuplikan
bait puisi tersebut menggambarkan seorang penulis yang takzim terhadap Kiai
Maimun Zubair sebagai salah satu guru besar NU yang marwahnya tidak diragukan
sampai detik ini. Penulis menunjukkan karakter kesantriannya manakala
berhadapan dengan kiai. Dilanjutkan dalam bait keduanya; dadi wong iku
kudu dewe/ kalambi jobo lan kalambi jero/ (orang harus punya baju perisai/ baju
luar dan baju dalam)/ ujar engkau/ aku sunyi/ seperti jantungku//. Dalam lanjutannya
ini semakin memperkuat jati dirinya sebagai seorang santri, yang tak berani
sedikit bergerak saja manakala berhadapan dengan guru. Layaknya jantung yang
sunyi bahkan detaknya sulit untuk diketahui orang lain.
Hadrah
Kiai dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berisi pepujian bagi wali Allah
dan kiai yang sudah meninggal. Pengarang menamainya Hadrah Arwah.
Sementara bagian kedua adalah puisi pepujian bagi kiai yang masih hidup Hadrah
Hayah. Kedua puisi ini amat lekat dengan puisi-puisi pesantren, nusantara
secara umum.
Semua
puisi hampir mirip dengan syi’ir, tembang, pepujian, dan
barzanji atau burdah, dan diba’ yang merupakan model puisi Timur Tengah
yang banyak dijadikan tradisi, di pesantren nusantara. Puisi yang laksana
tembang atau syi’ir begitu sangat mengangkat kultur pesantren. Puisi yang
tertib dan teratur. Apalagi, disokong dengan karakteristik kepesantrenan
seperti tawaduk, takzim, dan khidmat serta mengharap berkah pada ucapan
berbentuk kata maupun kalimat.
Pada
bagian Hadrah Arwah para tokoh agama Islam, baik yang menyebarkan maupun yang
membesarkan, dinarasikan dalam bentuk puisi begitu indah dan telaten. Bagian
pertama yang sangat menggugah ketika seorang penulis mencoba
berdialog mistis dengan seorang sufi Siti Jenar.
Puisi
ini dikemas dengan judul Gerbang Siti Jenar dalam bait ketiga; gerbang terbuka
belum tutup/ sampai tiba mata terkatup/ khusyuk/ masuk/ dekaplah/ merasuk/
dekaplah/ lepaslah/ pulang arah hilang/ pulang hilang arah/ hilang arah pulang/
hilang pulang arah/ arah pulang hilang/ aku tahu apa yang kutahu/ aku tak tahu
apa yang kutahu/ aku tahu apa yang tak kutahu/ aku tak tahu apa yang tak
kutahu/ biar hanya zat yang tahu//.
Begitu
kata per kata dimainkan dengan indah, per kalimat dirangkai begitu apik. Dari
sajian puisi tersebut tidak lepas dengan pesan yang ingin disampaikan, sehingga
puisi yang serupa dialog bersama Siti Jenar ini mengalir layaknya air. Tidak
pernah bisa dipisah layaknya Siti Jenar yang tak dapat membedakan dirinya
dengan zat.
Puisi
bagian Hadrah Hayah juga tidak jauh beda dengan bagian pertama. Mengangkat
corak tradisionalisme Islam. Para kiai-kiai nusantara yang berpengaruh banyak
dijabarkan dalam narasi, baik digali secara historis maupun pemikiran.
Termaktub dalam puisi ini ekspresi para kiai, wajah santri, dan nilai
tradisi.
Puisi
Raedu Basha hampir mirip dengan puisi-puisi pepujian Sunda yang maknanya tidak
jauh beda dengan nazam atau kasidah. Sehingga, sentuhan tradisional begitu
lekat dan seakan-akan abai terhadap keberadaan modern. Akan tetapi, karangan
Raedu Basha yang berjudul Hadrah Kiai ini amatlah sangat menarik dibaca.
Membacanya seperti membaca biografi para kiai nusantara yang tidak akan pernah
lepas dengan pahala dan barokah yang akan siap mengalir.
__________
*) Wartawan Freelance Institut Keislaman Annuqayah
(Instika) https://radarmadura.jawapos.com/read/2018/02/25/52386/kidung-puisi-untuk-para-kiai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar