Tu-ngang Iskandar
SULIT dipungkiri bahwa dewasa ini begitu banyak seni tari
Aceh di luar Aceh yang telah kehilangan rohnya sebagai seni Aceh. Hal ini
bisa dilihat dari adanya kebosanan dan kekecewaan pada penontonnya saat
menikmati tarian Aceh dan terfokusnya para pengajar tari yang rata-rata adalah
para penari itu sendiri dalam menggubah bentuk semata, tanpa memperhatikan
konteks nilai yang harus diisi ke dalam tarian tersebut.
Maka tidak heran ketika kita menghadiri sebuah pertunjukan yang menampilkan seni tari Aceh di luar Aceh, tepukan tangan penonton hanyalah sebuah energi atau upaya terfokus untuk mengapresiasi bentuk gerakan dengan kecepatannya semata, tanpa adanya suatu roh yang bisa menenggelamkan jiwa penonton dan berusaha memperbaiki suatu krisis yang ada di dalamnya lewat rasa damai dan kepuasan rohani, sehingga tepukan bukanlah tepukan biasa.
Sebagai tanda dari adanya suatu fokus tentang bentuk yang
miskin kreatifitas tersebut, ada baiknya saya paparkan mengenai betapa banyak
tarian Aceh yang syair-syairnya tidak sesuai zamannya lagi, sehingga jangan
heran ketika konsep acara, masa, atau tempat dimana tarian itu harus
dipertunjukkan sering tidak nyambung dengan syair yang dibawakan.
Selain itu, Fenomena kesalahpahaman dalam penyebutan nam
atarian Aceh juga semakin memprihatinkan. Sebagai contoh, tari likok
pulo, tari ratoh duek, dan tari rampoe misalnya,
jenis-jenis tarian tersebut sering dianggap sebagai tarian saman.
Hal ini bukanlah sebuah kebetulan, karena penggubahan-penggubahan bentuk
yang dilakukan yang minim kreatifitas, yaitu di antaranya dengan teknik
bongkar pasang jurus dari beberapa tarian khas di Aceh lainnya ke dalam sebuah
tarian akan berdampak pada kebingungan publik untuk mengidentifikasi nama
tarian.
Kebingungan tersebut tidak cuma terjadi pada penonton,
namun juga pada pengajar dan penari itu sendiri. Maka dari itu, tari likok
pulo dan ratoh duek sendiri seiring dalam
penggubahannya terkadang harus dinamakan tari rampoe (campuran), dikarenakan
bentuknya yang tidak karuan, namun dari itu masih bisa mengelabui
penonton untuk menganggapnya sebagai tari saman yang telah diakui UNESCO
tersebut.
Hal ini tentunya sangat memprihatinkan kita, mengingat
terfokusnya sebuah karya seni pada bentuk dan untuk materialism semata tanpa
memperdulikan unsur ekstrinsiknya akan juga berdampak pada hilangnya pamor
sebuah karya seni itu sendiri. Dan jika ini terjadi, sebuah karya seni
berbentuk tari akan terusberubah-ubah secara bentuk, karena ketidaksanggupannya
memediasi nilai-nilai yang metafisik sebagai penguat sebuah tarian dan
manusianya.
Seni yang berfungsi sebagai bangunan dan harapan kultural
yang mempunyai kemampuan untuk menyaring dan mengevaluasi dunia pun bisa rubuh
bersama ketidakberdayaan manusia untuk menyaring dan mengevaluasi krisis yang
terjadi atas dirinya, maka seni dalam posisi tersebut bisa dianggap telah mati.
Sebagai Ancaman
Adanya krisis seperti ini sebenarnya bukanlah hal baru
dalam dunia tari Aceh, mengingat minimnya seniman tari baik yang berada di luar
Aceh dan di dalam Aceh sendiri yang mampu memahami dan mengajarkan tarian Aceh
secara baik dan berkualitas. Untuk itu, dibutuhkan suatu perhatian khusus dari
pemerintah Aceh terhadap persoalan ini, baik denga nmenyediakan bahan-bahan
berkualitas tentang seni tari Aceh, mengadakan seminar maupun diskusi ruti
nuntuk membahas perkembangan terkini senitari Aceh yang melibatkan
pelaku-pelaku seni taridi luar Aceh. Mengingat perkembangan seni tari Aceh di
luar Aceh yang semakin pesat dan tidak terkendali akan mengancam seni tari Aceh
secara keseluruhan dan perlahan juga akan merubuhkan citra positif dari
kebudayaan Aceh itu sendiri.
Maka dibutuhkan sebuah upaya yang serius untuk
meminimalisasi ancaman ini, mengingat kesenian tari Aceh bukan cuma soal
tari-menari semata, namun juga kualitas yang harus tetap dilekatkan di dalamnya,
supaya kesenian Aceh yang telah melegenda tersebut benar-benar mampu memberikan
suatu pencerahan dan daya pikat yang kuat bagi dunia. Hal ini penting di era
globalisasi sekarang, dimana pertarungan budaya semakin sengit dan akan
menyingkirkan kualitas-kualitas rendah dari material-material budaya yang
bersaing.
Kesenian Aceh di luar Aceh sebagai media promosi gratis
untuk Aceh yang seharusnya juga perlu didukung, seperti halnya pesta kebudayaan
di Aceh. Karena eksistensinya yang lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan
kegiatan promosi dan pesta yang hanya bisa menghamburkan uang semata tanpa
mendatangkan keuntungan yang seimbang.
Sebagai Wajah Aceh
Sebagai salah satu jenis seni yang telah dikenal dunia
tersebut, tentunya sangat sayang untuk kita coreng dan telantarkan, mengingat
tarian Aceh di luar Aceh telah pun menjadi wajah dari Aceh itu sendiri, yang
bisa menjelajah dengan luas lewat keindahan dan wacana keacehan di dalamnya,
baik untuk menegaskan eksistensi, membangun ekonomi maupun untuk membangkitkan
rasa percaya diri bagi orang-orang Aceh.
Sewajarnya jika wajah tersebut terus dijaga dan dihiasi
dengan warna-warna pelangi keacehan yang mumpuni, dan tidak tergerus oleh
nafsu-nafsu yang hanya bersifat materi namun miskin esensi. Karena yang begitu
tidaklah sebuah keberuntungan apabila terus dirayakan untuk dirusak. Semoga
para pemimpin, seniman dan penari cepat sadar dan segera memperhatikan masalah
ini, walaupun tidak mendatangkan keuntungan secara kelompok maupun pribadi.[]
*) Mahasiswa Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia
(ISI) Yogyakarta, pemerhati budaya Aceh, aktif pada komunitas Seniman
Perantauan Atjeh (SePAt).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar