Damiri Mahmud
lampungpost.com
SANG Empu dikelilingi beberapa muridnya. Langit sedikit gelap. Tak ada angin. Burung-burung masih hinggap di pepohonan, bersahut-sahutan, mungkin memberitakan ziarahnya hari itu dan perolehan rezeki dari padang ke padang.
"Maukah kamu mendengarkan sebuah kisah, Muridku?"
"Tentu Guru," murid menjawab takzim. "Kami akan menelaahnya baik-baik."
"Terima kasih, Anak..." menggenang pelupuk matanya. "Kisah anak manusia di negeri yang jauh, tapi sangat mirip dengan kita, baik tubuh dan tingkah lakunya."
"Barangkali kisah kita sendiri, Guru?"
"Dengar sajalah, Muridku."
"Ya, Guru..."
"Tolooongng..." itu bukan jeritan. Berasal dari seseorang, entah siapa. Yang pasti salah seorang penduduk negeri itu. Hanya semacam keluhan. Tentang suatu hal yang ia sangat riskan memikirkannya. Mungkin pula dia mengeluh pada seseorang di hadapannya atau sekelompok orang atau semua yang ada di sana. Mungkin juga kepada kita. Atau hanya pada diri sendiri. Itu tidak penting benar, Anakku. Dengarlah seterusnya...
"Tolong beri tahu tentang sebuah kepala. Kepala berserakan di mana-mana. Bertimbun di mana-mana. Menggunung di mana-mana."
"Aduh, Guru. Apakah mereka sedang berperang?"
"Mereka baik-baik saja. Sekarang aku teruskan."
"Hamba, Guru...."
"Sekarang ada tender satu triliun satu kepala!" cetus suara itu lagi.
"Maaf, Guru. Apa artinya kata-kata itu?"
"Dia menyatakan keheranannya atas penawaran atau harga kepala itu yang luar biasa besar, yang engkau dan keluargamu makan-minun selama seribu tahun dan engkau bangunkan rumah berpuluh-puluh ribu banyaknya, jumlah uang itu masih belum habis juga sebagai pembayarnya. Sudahlah! Engkau tak akan pernah paham kalaupun kusebutkan berulang-ulang."
"Baik, Guru. Tapi..." murid itu takut-takut. "Ada apa tentang kepala itu?"
"Inilah yang mau kukisahkan. Dengarlah!"
"Ampun, Guru."
Seorang kere menemukan sebuah kepala. Dibolak-baliknya. Masih utuh, gumamnya. Biasanya ia tidak tertarik. Diangkatnya dekat ke hidungnya. Belum bau, gumamnya lagi. Malah ada aroma harum yang menyegarkan kerongkongannya. Kuambil sajalah, putusnya.
Karena temuan yang satu ini dirasanya unik, tak dimasukkan goni plastik tempat barang butut yang biasa diperolehnya. Dicantolkannya saja di ikat pinggangnya yang dibuatnya asal-asalan dari tali plastik. Lalu dia jalan ke mana-mana dengan goni dan cantolannya mencari timbunan dan barang bekas lain untuk penambah penghasilannya. Dalam hatinya, kepala temuannya itu mau digantungkannya saja di dinding kardus gubugnya sebagai hiasan. Jelek-jelek juga dia kan manusia. Perlu hiburan.
"Kejam sekali, Guru," ujar seorang murid lagi. "Sepertinya bukan kisah tentang manusia."
"Ah, Muridku!" Sang Empu menarik napas. "Engkau belum bertemu dengan sebuah keadaan sehingga makhluk itu sama saja nilainya. Belajarlah dulu, nanti akan tahu!"
"Maaf, Guru...."
Ia mendengar suara klakson, ah biasalah, setiap hari ngelampah di jalan raya. Tapi yang sekali ini berkepanjangan, ttttttteeeeetttttttttt, tttttttuuuuuueeeeeettttttt, sehingga dia menyumpah-serapah. Sialan! Sok! Eh, bukannya menjauh, mobil itu malah mendekat dan berhenti. Seorang lelaki berdasi, membuka daun pintu mobil dan tersenyum.
"Dijual, tu,..."
"Apanya...?!"
"Tuuu....! Kepala!"
Baru si kere tersadar kembali dan mendekap bawaannya.
"Ah, nggak, ah..! Sayang...."
Sesayang-sayangnya kere, kalau sudah disodori segepok kertas yang diidamkan dan dimimpikan itu, yang dibilangnya sayang itu pun segera berpindah tangan. Tapi, tidak sesederhana yang ia bayangkan sebagaimana mengilokan barang-barang bututnya sehari-hari kepada kulak.
"Apa itu segepok kertas, Guru?"
"Ya, uang. Duit, penukar barang. Sebagaimana engkau kusuruh membelikan terompahku."
"Dijualnya, Guru?"
"Bukankah sudah kukatakan kepadamu, di negeri itu semuanya hanyalah barang? Benda, yang nilainya dapat dihitung dengan angka-angka."
"Ya, Guru. Hamba betul-betul bodoh. Ampun..."
Dia dibawa ikut naik mobil menuju rumah si lelaki berdasi. Di sana ia dirawat para pelayan. Dimandikan dalam kamar mandi yang harum, masuk bak dan pakai shower, eh, apa itu namanya, air yang muncrat dari saluran pipa yang ujungnya dilubangi halus-halus. Enak kali, ah! Tak pernah dibayangkannya, akan pernah menemukan satu hari, seorang gelandangan yang sudah imun dengan ejekan, gertakan dan tendangan sehingga pantatnya sudah kebal, kini diperlakukan bak raja-raja, hanya karena telah menemukan sebuah kepala.
Pakaiannya yang kumal dan bau dicampakkan dan dibakar, sebagai menghabisi masa lalunya, meskipun ada terasa sedih dan terhina juga ketika dia menatap sekilas kain dekil ysng berubah jadi asap dan abu itu. Setengik-tengiknya, bau itulah yang diendusnya setiap menit, telah menjadi bagian hidupnya, menjadi angan-angannya, kerinduannya, akan terasa ada yang hilang kalau dia kehilangan bau itu. Hanya sekilas lalu sirna bersama padamnya gundukan arang itu ketika dia didandani dengan pantalon dan kemeja apik dan resik lengkap dengan jas dan dasinya sekalian.
Bengong dia menatap dirinya di cermin. Betul-betul terpelongoh. Dia, kere, yang setiap hari terlunta-lunta di sepanjang jalanan kota, mirip binatang, yang mampir di setiap tong sampah dan mencakar-cakar isinya yang busuk dan bau, kini tak ada bekasnya lagi. Hanya tinggal sinar matanya yang dungu, dan itu lebih karena faktor keterkejutan belaka. Sebentar lagi akan lenyap juga. Sekarang, tampangnya tak beda dengan seorang manajer sebuah perusahaan ternama atau salah seorang wakil rakyat yang terhormat!
"Nah! Sudah ganteng, kau! Sudah smart!" kata lelaki berdasi berseru. "Kita sekarang ke sana!"
Kepala itu sendiri telah dikemas rapi dalam kotak yang artistik dan bening serta mengeluarkan aroma harum dan sakral. Gelembung-gelembung udaranya mengeluskan sesuatu yang hening. Di luar sirene mengaum meminggirkan semua mobil dan kendaraan lapis baja di jalan raya. Fantastis. Sekali kere kita, ah, siapa namanya yang pantas kita sebut sekarang? Melongok dari kaca jendela mobil yang melaju. Dia berteriak. Mobil dihentikan. Para pengawal segera mengamankan dan mengapitnya. Seluruh bagian kendaraan diperiksa dan dideteksi. Tapi aman-aman saja.
"Ada apa, Pak?" sopan dan ramah. Kere terhormat kita, hanya melongo. Teriakannya hanyalah gumam melihat gundukan tempat ditemukannya kepala. Sial! Gegabah betul dia. Tapi ia membawa pengalaman baru yang lain. Bapak? Aduh, aduh! Bapak aku sekarang. Bapak. Dijaga keselamatannya, diperhatikan apa yang dikehendakinya. Dia barang berharga betul. Mobil jalan.
Prosesi dan arak-arakan begitu meriah. Dia dielu-elukan dengan gegap-gempita. Lantai jalan masuk menuju ruang utama telah dihamparkan permadani merah. Bunyi-bunyian telah ditabuh orang. Serunai dan nafiri bersahut-sahutan. Dan para penari berlenggang lenggok di hadapannya, bahasa gerak menyambut dan mengelu-elukan selamat datang.
Dalam kerapatan lengkap dan luar-biasa atau kakaplu telah diputuskan dengan suara bulat bahwa kere kita ditabalkan dengan gelar Sang Aksalinsor, dengan segala kemuliaan yang melekat padanya dan segala kemudahan yang berhak dimilikinya, dengan syarat kepala itu diserahkan menjadi milik negara. Barang siapa yang melanggar dan menyimpang dari ketentuan ini, akan diancam hukuman kurungan dan denda menurut yang diatur dalam perundang-undangan.
"Luar biasa...."
"Penting sekali kepala itu, Guru?"
"Ah, engkau! Belum dapat engkau bayangkan dengan pikiranmu itu."
"Ya, Guru. Ampun sekali lagi."
Kepala temuan Sang Aksalinsor telah diteliti dan diselidiki dengan saksama, yang untuk itu telah dibentuk Dewan Khusus atau Desus yang telah melibatkan para resi dari seluruh padepokan, ternyata inilah dia jenis yang dicari-cari sejak lama.
Bahkan, telah diperdebatkan bertahun-tahun, diumumkan lomba dan sayembara dengan hadiah yang luar biasa, dibuatkan kriteria dan undang-undangnya, dilakukan studi banding ke manca negara, berbondong-bondong mencarinya ke delapan sudut dan penjuru dunia, ternyata dia berada di depan mata kita, telah ditemukan oleh Sang Aksalinsor tanpa mengharapkan hadiah apa-apa.
Negeri kita ini memang serba-aneh dan membingungkan. Begitu simpul mereka, para pengetua negeri itu. Dan kesimpulan ini diambil dalam waktu yang cukup lama, dibahas dalam berbagai sidang terbatas yang menguras dana luar biasa. Tak terumuskan. Cobalah pikir. Mereka hampir saja mau menjual tanah airnya ini, tapi karena istilah untuk melembutkan pindah milik itu tak juga mereka dapatkan, meskipun mereka telah mengumpulkan ahli bahasa, kehendak itu lama-lama menjadi urung.
"Ampun, Guru," seorang murid gemetar. "Hamba tak dapat menahan diri. Tapi mengapa mereka hampir bertindak gegabah seperti itu, Guru? Ampun, Guru...."
"Engkau wajar, murid. Berarti engkau memperhatikan benar kisahku."
"Terima kasih, Guru...."
"Mereka serbasalah. Mereka dihujat dari kiri dan kanan, bahkan oleh para suhu dari negeri-negeri seberang. Para pengetua itu dikatakan melakukan korupsi gergasi atas harta negara."
"Korupsi, apa artinya itu, Guru? Kalau gergasi hamba tahu, raksasa...."
"Oo, Muridku, Muridku! Kata-kata itu sangatlah terkenalnya di sana. Melebihi siapa pun juga. Kasihan engkau. Tapi ada bagusnya juga. Begini, anak! Kalau engkau kuberi uang dan kusuruh membelikan jubahku, apa yang engkau lakukan?"
"Hamba akan melaksanakan tugas itu dengan sebaik-baiknya, Guru, mudah-mudahan. Hamba pilihkan yang sebaik-baiknya. Durhaka hamba, kalau terbersit setitik niat yang menyimpang dari amanat Guru, ampun Guru...."
Dalam rekomendasi yang dibacakan Setia Usaha Desus, disebutkan, inilah dia temuan yang sedang dicari-cari sejak lama. Kepala ini sangat ideal. Memenuhi segala persyaratan tentang apa yang sangat dibutuhkan negeri ini. Telah diselidiki dengan saksama, sorot matanya begitu memancarkan kewibawaan. Seseorang yang terpantul sinarnya, semua partikel kejelekan yang ada dalam tubuhnya menjadi sirna. Orang itu langsung menjadi kreatif. Dapat berusaha sendiri tanpa setiap hari membawa map masuk kantor keluar kantor ngemis jadi pegawai negeri. Dengan begitu, sorot mata yang berwibawa itu telah dapat menciptakan lapangan kerja dan membasmi pengangguran.
Embusan napasnya setara dengan sejuta mata sinso yang langsung dapat mengiris pepohonan dalam sejuta hektare hutan belantara seketika. Ini sangat menguntungkan eksploitasi produksi kayu karena berapa devisa yang dapat dihemat, kalau harus mengoperasi puluhan ribu begu setiap hari? Kalau dia menghirup, sekali teguk, satu danau bisa kering, laut bisa dikuras, dengan begitu para nelayan dapat menangkap ikan begitu saja, tak perlu cemas menghadapi topan dan gelombang. Rawa-rawa menjadi delta, bisa ditanami berpuluh juta petani dengan bibit unggul yang membahagiakan anak negeri.
Belum lagi kemampuan program yang tersimpan dalam jaringan otaknya. Kalau Einstein, Edison, Newton atau Stephen Hawkings sekalipun, maksimal 5 persen bagian otaknya saja yang mampu bekerja, setelah diselidiki di lab. ternyata reputasi otak kepala temuan kita ini sungguh luar biasa. Dia mampu menghadapi 77 masalah berskala besar sekali gus secara simultan dengan derap antisipasi dan solusi cumlaude.
Tak lupa, dalam akhir rekumendasinya, Desus yang terhormat menyimpulkan pasangan yang cocok dan ideal untuk Sang Kepala ini adalah penemunya sendiri, yang kini telah mendapat gelar Aksalinsor itu. Mereka telah menelitinya dengan cermat dan mengobservasinya di laboratorium, bahwa organ-organ tubuhnya memang unggul dan memiliki reputasi luar biasa pula. Kakinya memiliki tulang dan otot yang kuat dan pejal. Ini sangatlah menguntungkan dalam kondisi negeri kita yang seluruh jalan raya di kota-kotanya sudah terjebak kemacetan. Dalam keadaan begitu, apabila sedang dinas, beliau siap berjalan dan berlari tanpa lelah sepanjang hari, apalagi dia pun telah berpengalaman dan mengenal lekuk-liku kota ini sampai ke gang dan lorongnya yang terpencil dan terbecek sekalipun.
Kedua lengan dan jari-jemarinya pula, begitu terampil bekerja dan menyortir benda-benda yang ada dalam genggamannya. Dia dapat meraba dan mengenal sesuatu barang yang paling kecil dan sepele sekalipun, tanpa harus mengesampingkan apalagi membuangnya begitu saja. Dia tak segan-segan mengerjakan apa saja, siang dan malam, sehingga apa yang ada di depannya tak akan bersisa.
Apalagi nanti kepala itu sudah dilekatkan pula kepada pasangannya. Akan luar biasa. Dia tinggal mengangkat kedua lengannya saja, maka mengalirlah segala air kehidupan dari sana. Tak ada lagi air mata. Borok-borok dan segala penyakit yang mewabah dan membudaya disembuhkannya. Semuanya akan sirna. Inilah saatnya kita menikmati gemah ripah loh jinawi tata tenterem kerta raharja sebagaimana yang kita nyanyikan bersama itu.
Dengan upacara yang sangat khidmat, kepala itu pun diserah-terimakan kepada Pengetua Lela, ditutup dengan doa-doa. Tak lupa Sang Pengetua yang baru dilantik itu menyerahkan nilai yang telah disetujui bersama. Tapi upacara yang satu ini di bawah meja.
"Satu triliun untuk satu kepala?" suara itu lagi. Kini seperti bernyanyi mengiringi prosesi. Sepertinya ada bunyi musik yang mendayu-dayu, menyinggahi setiap anak telinga yang kedua helai daunnya masih terbuka.
Tiba-tiba Sang Empu tak dapat menahan hatinya, menembang menutup kisahnya di hadapan murid-muridnya tercinta, tentang sebuah wiracarita ketika Resi Bhisma maju ke medan laga membela tanah airnya dan kehausan di padang Kurusetra; lalu Arjuna melepas busurnya tepat di tengah kerongkongan yang sedang mendambakan seteguk air itu.
"Terima kasih, cucuku. Inilah yang aku tunggu-tunggu."
Entah apa maksudnya.
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 23 Februari 2018
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar