Sabtu, 07 Juni 2014

Penyair dan Keruntuhan Sejarah

Faisal Kamandobat
Kompas, 12/01/14

Sejauh mana sosok manusia bernama penyair mampu mengada dalam sejarah? Martin Heidegger (1947) menyebut puisi sebagai media terbaik manusia untuk mengada, karena puisi memiliki karakteristik yang paling mampu menghadirkan makna dunia yang melimpahi dan meneguhkan kesadaran.


Ucapan filsuf metafisika itu mesti dikaitkan dengan penjelasan sosio-antropologis untuk mengetahui posisi dan peran penyair secara lebih konkret. Pada suatu masa keberadaan masyarakat bergantung pada posisi dan peran para penyair, sehingga puisi menjadi teks yang memberi status ontologis masyarakat tersebut. Namun juga terdapat fase sejarah di mana masyarakat menggantungkan status ontologisnya pada selain yang bukan puisi, dan sosok penyair menjadi figur pinggiran, yang meski dipuja tetapi tak cukup didengar.

Namun yang penting, di tengah pasang surut ”kuasa” para penyair itu, kita dapat mengetahui faktor-faktor yang menguatkan, mengganggu, bahkan meruntuhkan posisi para penyair dalam sejarah. Selain itu, kita juga dapat mengetahui hal-hal yang bertahan dan berubah dalam diri penyair dari masa ke masa, sehingga kendati peruntungannya tidak selalu baik, beberapa orang berbakat masih terus menulis puisi, dan cita-cita filosofis Heidegger tetap menemukan relevansinya sebagai ”teori” kesadaran dengan puisi sebagai ”rumah utama” bagi keberadaan manusia.

Untuk mengetahui masa ”kejayaan” para penyair, bukti sejarah yang paling baik terdapat pada masa pramodern, yaitu ketika kapitalisme dan ilmu pengetahuan belum sungguh-sungguh melembaga dan otonomi individu belum menguat seiring belum kokohnya kepemilikan individu. Dalam masyarakat demikian, peran penyair dapat dikatakan penting dalam menjaga keseimbangan sosial, yang oleh orang Yunani Kuno disebut kosmos.

Pentingnya peran penyair tersebut terkait dengan kenyataan bahwa puisi (dalam bentuknya yang paling umum, yaitu sebagai produk bahasa berdasarkan permainan irama dan repetisi) masih merupakan bentuk pengucapan yang paling mewakili karakter kosmis dan transenden dari mitos dan ideologi masyarakat pramodern.

Usaha peng-kosmis-an dilakukan melalui permainan harmoni dalam irama puisi, dan transendensi dicapai melalui pola repetisi puisi yang mengantarkan pengucap dan pendengarnya menempuh tingkatan-tingkatan intensitas hingga mendekati bentuk penghayatan yang paling menyerupai tatanan semesta yang dibayangkan, sesuai mitos atau ideologi yang diacu.

Karena itu, tidak heran jika hampir semua kitab suci agama-agama ditulis dalam bentuk yang puitik, pula hampir semua teks yang dianggap suci dalam berbagai kelompok etnis. Dan tentu, kandungan dalam puisi-puisi tersebut mengacu pada peristiwa-peristiwa yang dianggap penting oleh kelompok yang menganutnya, seperti penciptaan, kelahiran, kutukan, kiamat, dan penciptaan kembali. Kitab suci agama-agama lazim diketahui menggambarkan peristiwa-peristwa penting itu, seperti juga sajak-sajak bini yang dibawakan oleh para manaholo, penyair tradisional Rote, berisi peristiwa-peristiwa penting yang dilakukan oleh para tetua adat di masa yang telah silam.

Melalui puisinya, para penyair pramodern memosisikan dirinya sebagai sumbu yang ”mengendalikan” sejarah masyarakatnya berdasarkan sumber mitis yang diacu, karena terhadap acuan mitis itulah kehidupan masyarakat sehari-hari diorientasikan dan sekaligus menemukan status historisnya. Tanpa mengacu pada sumber yang disepakati, sebuah peristiwa tidak dianggap sebagai bagian dari kosmos alias berada ”di luar dunia”, dan karena itu bersifat ekstra-historis.

Sejarah, dengan demikian, sebagaimana disebut Mircea Eliade (1991) adalah takdir menjalani peristiwa pengulangan terus-menerus sesuai pusat acuan dengan hanya sedikit partisipasi individu dari generasi setelahnya. Hal itu terjadi sejauh individu tersebut bukan seorang penyair, raja, pendeta, penyihir, atau pemberontak yang memiliki daya ledak seorang Dionysius yang mampu mengacaukan kosmos. Agar tidak terlempar dari sejarah, kehidupan sehari-hari yang paling wajar sekalipun mesti dikaitkan dengan pusat acuan, entah dengan puisi atau praktiknya, yaitu ritual.

Hidup dalam sejarah demikian itu, yang terserap secara total ke dalam harmoni kosmis, tak ubahnya tinggal dalam pandangan Plato tentang dunia ideal, di mana dewa-dewa hidup bersama manusia di alam yang sama, dan surga di langit menjadi model yang ”melembaga” dalam realitas sosial di bumi. Para penyair menjadi pewarta agung dalam sejarah yang demikian itu, mengisi makna secara penuh ke hampir seluruh realitas, sehingga ia sering dianggap suci dan bahkan setengah dewa, dan pada akhirnya ikut tenggelam dalam dunia yang mereka nubuatkan.

Kuasa yang terbatas

Pada masa selanjutnya, posisi penyair sebagai penjaga kosmos perlahan terkikis oleh perubahan sosial. Kosmos masyarakat pramodern tidak semata dibentuk oleh rima dan repetisi puisi para penyair, tetapi juga didukung oleh organisasi sosial, pembagian kerja, basis ekonomi, aturan kekerabatan, tatanan religi, yang membentuk kolektiva sosial yang melampaui eksistensi individu.

Perubahan tersebut terjadi hampir menyeluruh. Secara ekonomi, datangnya kapitalisme telah mencabut hak milik adat menjadi milik individu. Dampaknya adalah melemahnya institusi agama, kekerabatan dan adat, diikuti nilai, ritual, dan upacara yang berkaitan dengan semua hal itu. Situasi demikian telah mengubah secara paradigmatik penghayatan masyarakat terhadap sejarah mereka. Sejarah bukan lagi dipandang sebagai repetisi terhadap pusat acuan mitis yang ditegaskan melalui puisi dan ritual, melainkan interpretasi individu-individu terhadap pusat acuan tersebut yang dilakukan demi menjustifikasi posisi dan kepentingan masing-masing individu itu.

Situasi demikian telah mengubah secara paradigmatik penghayatan masyarakat terhadap sejarah mereka. Sejarah bukan lagi dipandang sebagai repetisi terhadap pusat acuan mitis yang ditegaskan melalui puisi dan ritual, melainkan interpretasi individu-individu terhadap pusat acuan tersebut yang dilakukan demi menjustifikasi posisi dan kepentingan masing-masing individu—sesuai sistem ekonomi yang baru.

Dalam konteks tersebut, konsep waktu yang semula tunggal, kolektif dan siklis, berubah menjadi plural, individual dan progresif mengikuti kehendak individu. Akibatnya, waktu dipahami oleh tiap individu sebagai arus linear yang menjelajah ke depan dan menembus gugusan teritorial, paralel dengan terjadinya diferensiasi sosial, persebaran penduduk, dan terciptanya struktur sosial baru di pusat-pusat kapitalisme yang sedang tumbuh.

Di tengah situasi tersebut, para penyair pramodern pun goyah di singgasana kosmosnya. Sebagian dari mereka tetap tenggelam dalam kosmologi lamanya, sedangkan sebagian lain yang cukup sigap mencoba menumpang perahu penyelamat dengan ikut mengkreasi sejarah modernitas. Dalam medan baru ini, posisi dan peran mereka tidak sekuat dan sekeramat dulu lagi. Ia harus berbagi kekuasaan dengan para filsuf, ilmuwan, teknolog, politisi, arsitek, pedagang, dan buruh—peran-peran yang pada masa pramodern sering hanya ditempatkan sebagai ”figuran” belaka.

Pembagian kekuasaan tersebut pada akhirnya ikut mengubah bentuk puisi. Pada masa pramodern, bentuk puisi yang diacu adalah koherensi kata, baris dan rima, yang merefleksikan ikatan historisnya dengan harmoni kosmis. Dalam puisi modern, aturan rima demikian justru dilanggar sebagai modus penghadiran individu penyair ke dalam bahasa, sekaligus merefleksikan kuasa penyair yang kian terbatas. Dengan kata lain, jika dalam masyarakat pramodern sosok penyair menjadi manifestasi dari kosmos dan kolektiva sosial, dalam masyarakat modern ia hanya sesosok individu yang berusaha sekuat tenaga menghadirkan dirinya ke masyarakat, bukan lagi ”penguasa” atasnya.

Mekanisme penegasan kuasa sosial para penyair juga ikut berubah. Dalam masyarakat pramodern, puisi dibacakan dalam kegiatan ritual untuk menegaskan status sucinya, di mana sang penyair berbagi kekuasaan dengan para dewa-dewi.

Adapun dalam masyarakat modern, penyair membacakan puisinya dalam festival yang menegaskan status sekuler dan profannya untuk mereguk sepenuhnya kekuasaan yang terbatas atas namanya sendiri. Semakin kuat dan inovatif puisi-puisinya, semakin ia diterima oleh masyarakat; semakin prestisius festival yang diikuti, semakin tegas aura kuasanya sebagai ”pewarta murung” modernitas.

Perlu mekanisme baru

Mekanisme penegasan kuasa semacam itu tentu memiliki konsekuensi. Secara estetis, kuatnya posisi individu memungkinkan pesatnya inovasi, yang secara sosiologis berarti memberi banyak pilihan orientasi terhadap masyarakat. Namun karena inovasi tersebut hanya didukung oleh mekanisme kontestasi yang tidak berkaitan secara kuat dengan institusi-institusi lainnya, baik ekonomi, politik, agama, adat maupun keluarga, kuasa penyair dalam memberi orientasi terhadap sejarah menjadi lemah. Penyair modern (setidaknya di Indonesia) dianugerahi kebesaran nama, tetapi pengaruh sosial dan politiknya telah jauh berkurang.

Untuk meningkatkan ”kuasa” para penyair dalam sejarah modern, panggung festival dan industri penerbitan saja tidak cukup. Kita membutuhkan mekanisme yang sanggup menghubungkan puisi dengan agama, keluarga, kekerabatan, perusahaan, negara, dan pemerintahan yang luar biasa kompleks karena keragamannya di negeri ini. Di samping itu, ideologi yang dibawa para penyair juga mampu menyentuh wilayah ”meta-sejarah” yang menjembatani komunikasi bangsa yang beragam ini, tidak hanya melakukan kreasi estetis berdasarkan bentuk estetis—kendati dalam kadar tertentu bentuk estetis juga menentukan ideologinya.

Jika mekanisme tersebut berhasil dilakukan, para penyair modern setidaknya bisa ikut menunda ”keruntuhan sejarah” bangsanya yang sedang mengalami atomisasi di berbagai bidang, atau bahkan menjadi dirijen sejarah berdasarkan irama puisi-puisinya, untuk bergerak mengikuti pancaran ideologi yang mereka nubuatkan.

Faisal Kamandobat, Penyair. 

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest