Selasa, 24 September 2013

Catatan-catatan Tagore tentang Bali

Sugi Lanus
Bali Post, 08 Sep 2013

Rabindranath dan Suniti mencatat beberapa hal yang ditemukan dalam perjalanan ke Bali ini. Rabindranath menyajikan catatan tersebut dalam bentuk surat-surat yang ditulisnya dalam perjalanan tersebut; sementara Suniti mencatat layaknya peneliti dan menyajikannya dalam bentuk paper. Dalam surat Tagore terungkap bagaimana para raja dan pendeta Bali yang ditemui menjadi lebih sadar akan jalinan budaya Bali dengan tanah India, dan mereka yang ditemui sangat antusias serta ingin memperbaharui hubungan budaya Bali dengan India.

Rabindranath mencatat bahwa kebudayaan Bali dilihatnya sebagai kelanjutan dan kelangsungan dari ‘zaman Purana’. “Cerita-cerita dan kemeriahan upacara yang disebutkan dalam Puranadi sini menemukan harmoni mereka masyarakat, ? sifat yang telah terwujud dalam berbagai produktitas seni dan ritual”. [Surat ditulis di Karang Asem tanggal 30 Agustus 1927]. Lebih lanjut ia membandingkan Ngaben dengan Sraddha:

“Pada festival (ngaben) yang kita saksikan padahari pertama kedatangan kami, pakaian, ornamen atau perlengkapan lainnya tidak memiliki kemiripan dengan kita, atau bahkan tidak mirip dengan semangat upacara pemakaman yang kita kenal sebagai Sraddha, tetapi, terlepas dari perbedaan dalam detail dari hal-hal India, bagaimana pun, ada kesamaan sikap. Para Brahmana dengan duduk berjejer tinggi-tinggi, membunyikan genta mereka dan bermantra sesuai dengan teks yang rumusannya telah ditentukan, setiap penyimpangan akanbisa membatalkan seluruh acara. Para Brahmana, ternyata, tidak mengenakan benang suci (sacred thread). Melalui penyelidikan kita belajar bahwa merekatahu nama Gayatri, tetapi telah kehilangan kata-kata yang tepat dari mantra tersebut, beberapa dari mereka bisa mengulangi hanya potongan-potongan itu… Sepertinya, pasti adawaktu ketika mereka telah diinisiasi secara utuh ke dalam Hinduisme, dengan para dewa dan dewi, dengan sopan santundan adat istiadat, ritual dan upacara, Puranadan sastra suci.Kemudian mereka kehilangan kontak dengan asal-muasalnya, dan ketika Hindu terhalang bentang laut-pelayaran, tenggelam dalam jarak, terhadang oleh perbatasannya sendiri, lupa sama sekali bahwa ia telah memperoleh wilayah besar di luar tembok-temboknya sendiri.”[Surat ditulis di Karang Asem tanggal 31 Agustus 1927]

Dari diskusi di Puri Gianyar, Rabindranath mengetahui bahwa para pandita di Bali melaksanakan ritual Tantra dan tidak mengetahui mantra Gayatri. Para pedanda atau purohita ingin belajar mantra Gayatri dan Suniti Kumar Chatterjee melaksanakan tugas mengajari para padanda tersebut. Rabindranath berjanji akan mengirim ahli Sanskrit secara khusus yang nantinya bisa memenuhi keinginan kalangan pendeta untuk ini. Janji ini nampaknya dipenuhi Tagore, pada tahun 1928, seorang ahli Sanskrit dan pakar Indologi terbaik, Prof Sylvain Levi, yang sebelumnya menjadi pengajar tamu di Santiniketan, datang ke Bali dan melakukan riset yang lebih mendalam terhadap Surya Sewana dan berbagai text Sansekerta yang ada di lontar-lontar Bali dan melakukan interview mendalam ke para padanda (pandita) di Bali.

Tentang diskusinya di Puri Gianyar, Tagore mencatat:

“Aku datang ke istana Raja Gianjar. Suniti menjadi perhatian pusat dari sebuah pertemuan yang antusias (yang diikuti) oleh para pandita sebelum makan siang. Setelah kami makantuan rumah kami meminta saya untuk membacakan beberapa ayat Sansekerta, dan saya mengulangi sesuai aturan berbagai jenisguru-lagu. Ketika Suniti menyebut nama salah satu dari mereka-Sárdûla-vikrîdita-Raja mengulangi nama itu untuk menunjukkan bahwaia mengenalnya. Mendengar bahwa nama Sansekerta diucapkan olehnya cukup mengejutkan saya. Raja kemudian melanjutkan menyebut nama guru-lagu lainnya, Sikharinî, Srakdhará, Malini, Vasanta-tilaka, dan menambahkan beberapa nama yang saya belum pernah dengar dalam karya bahasa Sansekerta… Dia mengatakan semua nama tersebut mengunakan bahasa mereka, namun ia tidak mengetahui Mandákrántá atau Anustubha. Demi menyaksikan jejak-jejak retak dari budaya Hindu membuat saya merasa seolah-olah beberapa kota besar lama telah hancur akibat gempa dan terkubur di bawah tanah, di mana generasi berikutnya telah membangun rumah-rumah sendiri dan membuat lantai di atasnya, sedangkan bekas peninggalannya masih tampak di tempatnya, dan keduaanya lalu dikombinasikan dalam membentuk pemukiman manusia baru”.[Surat ditulis di Gianyar tanggal 31 Agustus 1927].

Di Puri Gianyar Rabindranath juga berbincang-bincang dengan Dr. R. Goris tentang keberadaan Ramayana dan Mahabarata di Bali dan Jawa.

Dalam pandangan Rabindranath, Ngaben di Bali mungkin gabungan unsur tradisi upacara pemakaman China yang digabungkan dengan tradisi Hindu India, sebuah kompromi antar adua ritusberbeda (China dan India?):

“Anda mungkin telah belajar dari suratsaya ke orang lain bahwa kami pertama kali datang untuk melihat festival pemakaman besar. Itu sangat mirip dengan tradisi Cina yang melengkapi upacara pemakaman mereka dengan dekorasi berlimpah, musik dan demonstrasi lainnya. Hanya mantra-mantra yang terucap yang memiliki kemiripan dengan cara Hindu. Mereka telah mengambil tradisi kremasi dari Hindu, namun, tampaknya tidak sepenuh hati. Pemeluk Hindu berpikir tentang jiwa yang melampaui dan berbeda dari tubuh, dan seterusnya, setelah kematian, mereka ingin mencapai kebebasan dari segala keterikatan yang terakhir dengan mereduksinya menjadi abu. Di sini mereka sering menjaga mayat tanpa dikremasi selama bertahun-tahun. Ide dari menjaga mayat itu sama seperti apa yang mendasari kebiasaan penguburan. Mereka tampaknya telah berusaha untuk membuat kompromi antara dua ritus berbeda”. [Surat ditulis di Gianyar tanggal 31 Agustus 1927].

Dua surat yang ditulisnya di Munduk adalah surat-surat terakhirnya dari Bali. Ia kembali mengulas upacara Ngaben:

“Ini adalah hari terakhir kami di Bali. Saya telah mengungsi di dak-bungalow di bukit Mundak… Selama seluruh perjalanan kami, pulau itu dalam pergolakan upacara pemakaman besar (ngaben) … Sulit untuk mengambil semua aspek-aspek yang menyusun jalannya ngaben secara keseluruhan. Hal yang terutama menarik bagi saya adalah iringan para pendukung prosesi. Dari setiap penjuru perempatan dan dari jarak yang jauh para perempuan membawa sesaji penghormatan di atas kepala mereka, satu demi satu, dalam prosesi yang panjang. Ada sebuah miniatur festival, diiringi musik gamelan, di setiap tempat dari mana prosesi tersebut dimulai. Masyarakat pulau ini turut serta mengambil bagian mereka dalam upacara dengan cara mereka sendiri…” [Surat ditulis di Munduk, tanggal 8 September 1927]

Surat

Surat Tagore yang ditulisnya di Munduk, Buleleng,mengabarkan bahwa Sunitikumar diundang untuk membacakan dari Veda untuk upacara ngaben di Ubud.

“Upacara ini sedang dilakukan oleh Raja Ubud. Ketika ia mendengar bahwa Suniti adalah Brahmana, berpengalaman dalam shastra, ia mengirim pesan kepadanya, karena upacara pemakaman tersebut, lengkap dalam semua rinciannya, tidak akan pernah terulang di negeri ini, ia akan merasa spesial dan kehormatan jika Suniti mengenakan Brahmin pakaian, membakar dupa, dan menutup ritus dengan mantram-mantra dari Kathopanishad. Berabad-abad yang lalu ada sebuah hari ketika pertama kali upacara pemakaman dilakukan di Bali dengan iringan teks Weda. Sekarang, mungkin, sama bergema mantra khidmat di dalamnya untuk terakhir kalinya …”

Tagore juga mengungkap biaya ngaben di Ubud cukup tinggi:

“Mereka memberitahu saya bahwa biaya upacara mencapai Rs. 50.000 jika disetarakan dengan uang kita. Tampaknya bagi mereka ini jumlah besaruntuk dibelanjakan, meskipun itu tidak akan dihitung begitu berlebihan oleh umat Hindu yang kayadi negara kita… Perbedaan nyata, bagaimana pun, adalah bahwa di sini obyek utama adalah untuk membuat tampilan (display) sementara di India adalah untuk mendapatkan pahala. Di negara kita sebagian besar pengeluaran terdiri dari hadiah yang dibuat untuk menjamin kesejahteraan jiwa yang berangkat, -di sini adalah dalam dekorasi yang menjadi abu bersama tubuh”.

Renungan mendalam kita tentang tradisi dan agama Bali yang disebutkan oleh Tagore sebagai ‘agam’, penting disimak disini:

“Orang-orang Hindu Bali menyebutnyamereka adalah Agama, dan upacara pemakaman (ngaben) adalah salah satu festival yang paling penting. Pasalnya, mereka percaya, bahwa jiwadapat kembali dari wilayah kabut kembali kebumi, hanya jika ritual ini sepatutnya dilakukan, setelah mencapai pembebasan dalam tempat tinggal Siwa, setelah dimurnikan melalui kelahiran berturut-turut”.

Ketika Tagore berkunjung, kata Hindu atau istilah Hindu belum begitu dikenal oleh masyarakat kebanyakan. Masyarakat Bali umumnya menyebut keyakinan dan ritual yang dijalankannya adalah Agama Bali. Dan istilah Hindu di masa kunjungan Tagore belum menjadi ‘payung’ atau ‘istilah generik’ yang memayungi keyakinan dan religi Bali. Kata ‘agama’dalam bahasa Indonesia sekarang dengan kata ‘agama’ dalam bahasa Bali konteks tahun 1927 sangat berbeda maknanya. Agama dalam bahasa Indonesia sejajar maknanya dengan kata religion dalam bahasa Inggeris. Sedangkan dalam bahasa Bali konteks masa sebelum kemerdekaan dandan para penekun lontar-lontar, kata agama berarti kepercayaan yang bersumber atau berpedoman pada kitab-kitab yang masuk genre atau kodefikasi naskah Agama – diantaranya: Lontar Siwagama, lontar Budhagama, Sundarigama, serta berbagai lontar tutur dan tattwa, dstnya. Standarisasi keyakinan dan ajaran di Bali dalam wadah atau istilah Hindu terjadi setelah kemerdekaan, tepatnya di tahun 1950-an, dalam rangka perjuangan meraih pengakuan agar Agama yang dipeluk oleh masyarakat Bali diterima sebagai agama resmi yang diakui negara. Apa yang disaksikan Tagore dalam kunjungannya adalah masyarakat Bali yang menganut lontar-lontar jenis Agama yang belum distandarisasi dalam sebutan Hindu sebagaimana nantinya terjadi semenjak tahun 1950-an dan sekarang.

*) Sugi Lanus, Penulis adalah peneliti independen, alumni Jurusan Sastra Bali Universitas Udayana.
Dijumput dari: http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid=18&id=79609

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest