Sabtu, 10 Agustus 2013

NASIONALISME BAHASA DALAM KRISIS

Acep Iwan Saidi *
Pikiran Rakyat, 20 Des 1997

Ernest Renan, di dalam Nationalism: 1st Meaning and History memaknai nasionalisme sebagai solidaritas tinggi yang tercipta dari sentimen pengorbanan bersama demi sebuah masa depan. Mereka memiliki masa lampau yang melanjutkan diri dalam masa kini dengan membentuk suatu fakta yang jelas, yakni mufakat. Para “penganut nation” ini mempunyai kehendak yang dinyatakan dengan jelas untuk meneruskan kehidupan (Kohn, 1965: 139).

Bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional dan pemersatu bangsa, tercipta dari kegelisahan semacam itu. Enam puluh sembilan tahun yang lalu, bahasa Indonesia lahir dari pergumulan dan pengorbanan yang sangat besar dari para penggagasnya. Sumpah nasionalisme 28 Oktober 1928 betul-betul merupakan sumpah yang mengorbankan egoisme kesukuan yang telah mengakar.

Secara historis, tingkat kesulitan terciptanya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dapat dipaparkan sebagai berikut. Pertama, para penggagas bahasa nasional berasal dari berbagai daerah yang menganggap dirinya memiliki keturuan dan mitos-mitos tersendiri yang terwujud melalui adat dan bahasa tersendiri. Kedua, mereka telah membentuk atau memiliki nation-nation tua dengan identitas kebangsaan tersendiri, seperti Sunda, Jawa, Minang, Batak, dan lain-lain. Ketiga, beberapa daerah telah memiliki aksara tersendiri sebagai lambang dari identitas dirinya. Keempat, daerah-daerah bahkan telah menyusun perilaku kemasyarakatannya melalui pembentukan struktur kenegaraan. Di sini dapat ditunjuk beberapa kerajaan, kesunanan, dan kesultanan.

Nation-nation tua dengan struktur kenegaraan yang dimaksud, antara lain, Kerajaan Bone, Wajo, Goa, Soppeng, Ternate, Sidenreng, dan Roppeng di Sulawesi, Kerajaan Deli, Asahan, Langkat, Serdang dan Siah Sri Indrapura di Sumatera Timur, Kerajaan Buleleng, Jembrano, Badung, Tabanan, Klungkung, dan Bangli di Bali, Kerajaan Bima dan Sumbawa di Sumbawa, Tidore dan Ternate di Halmahera, Kesunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta dan Mangkunegara di Jawa.

Dalam fase berikutnya, pengaruh dari luar tidak dapat dielakkan. Datangnya bangsa Belanda yang kemudian menjadi penjajah selama kurang lebih 350 tahun, telah berpengaruh besar ke dalam perilaku bahasa yang beraneka ragam tersebut. Bahasa Belanda kemudian menjadi bahasa elit, mereka yang mau dianggap terpelajar harus menguasai bahasa ini. Sejarah mencatat, tahun 1921 kongres guru lulusan Kweekschool dan Kweekschoolbond memutuskan agar pengajaran bahasa Melayu di sekolah-sekolah dihapuskan. Tahun 1926 keputusan tersebut mendapat dukungan dari Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) melalui referendumnya. Tahun 1930 (dua tahun setelah Sumpah Pemuda) dr. Sutomo bahkan masih mengusulkan agar pengajaran bahasa Melayu di sekolah-sekolah pribumi yang berpola modern diganti dengan bahasa Belanda. Usul ini langsung mendapat sambutan dari sekolah-sekolah di Jawa dan Madura. Tahun 1932, pengaruhnya telah meluas ke seluruh sekolah di luar Jawa dan Madura.

Baru ketika Jepang datang (tahun 1942), bahasa Belanda mulai tersisih. Jepang kemudian melarang sama sekali penggunaan bahasa Belanda di nusantara dan bahasa Melayu harus (boleh) kembali digunakan. Dalam fase itulah, bahasa Indonesia hasil Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 menunjukkan akarnya yang kuat. Dan tahun 1945 kemerdekaan pun “diterjemahkan” ke dalam bahasa tercinta ini.

Dari kilas pandang historis di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa Indonesia nyaris tidak mungkin terbentuk sebagai bahasa persatuan jika tidak didasari rasa nasionalisme yang kuat. Solidaritas yang begitu tinggi dari para penggagasnya menunjukkan bahwa bahasa Indonesia tidak lahir hanya karena sebelumnya bahasa Melayu—sebagai cikal bakal bahasa Indonesia—telah menjadi bahasa pergaulan yang dominan di antara kaum terpelajar di nusantara. Ada proses pergumulan batin cukup dahsyat yang diakhiri pengorbanan egoisme kedaerahan dari masing-masing anggota perintis kemerdekaan yang berasal dari aneka ragam suku itu, sehingga kemudian terbentuk nasionalisme kebahasaan.

Kini, enam puluh delapan tahun sudah bahasa Indonesia berusia. Berkali-kali kongres bahasa telah dilaksanakan. Beratus-ratus bahkan beribu-ribu kali diskusi, seminar, simposium, dan yang lain sejenisnya telah dilakukan di seluruh pelosok negeri ini. Semuanya pasti diselenggarakan dengan salah satu tujuan untuk meningkatkan atau mengangkat martabat  bahasa Indonesia di tengah-tengah pesatnya kemajuan zaman. Pertanyaannya adalah, apakah bahasa Indonesia telah dapat mengimbangi kemampuan itu? apakah nasionalisme bahasa masih mengakar dalam data bangsa kita?

Realitas menunjukkan bahwa dari aspek komunikasi bahasa Indonesia telah komunikatif. Hampir seluruh warga masyarakat bangsa memahami bahasa ini, meskipun beberapa suku di pedalaman masih kesulitan di dalam hal pengucapan (salah satu contohnya dituturkan Adi Kurdi dalam diskusi film “Surat untuk Bidadari” Garin Nugroho, dua tahun lalu di Unpad. Menurut Adi, sangat sulit mencari warga yang fasih berbahasa Indonesia di pedalaman Sumba, tempat film tersebut dibuat).

Aspek komunikasi dalam bahasa memang merupakan hal yang sangat penting. Aspek inilah yang menjadi sasaran utama pemakaian bahasa Indonesia di masa lalu. Dengan tercapainya aspek komunikasi, terbukti, beribu-ribu pulau di nusantara dapat dipersatukan. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, tinjauan terhadap bahasa tidak hanya cukup sampai pada aspek ini. Kajian terhadap bahasa juga tidak hanya berhenti sampai pada kajian fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Bahasa memiliki imbuhan yang sangat kompleks yang melekat pada dirinya. Persoalan-persoalan idiologi, kekuasaan psikologis, filsafat, sampai moralitas bangsa adalah aspek-aspek yang sangat rumit yang senantiasa menempel pada permasalahan bahasa. Di sinilah bahasa Indonesia harus dikaji lebih intens. Soalnya, ditinjau dari segi-segi tersebut, bahasa Indonesia berada pada tingkat yang mengkhawatirkan.

Raja Ali Haji, seorang ahli bahasa dan pujangga besar Melayu, mengibarkan bahasa sebagai lambang martabat bangsa. Menurut Ali Haji, “kalau hendak tahu orang berbangsa, lihat kepada budi bahasa.” Ungakapan ini kemudian menjadi sangat terkenal dalam cogan yang lebih singkat, “bahasa menunjukkan bangsa.” Bahkan anak-anak sekolah dasar pun telah hapal benar ungkapan ini. Jadi, apa yang terjadi dalam sebuah bangsa akan tercermin dalam bahasanya. Moralitas bahasa itu tidak lain adalah moralitas bangsa.

Ditinjau dari aspek tersebut, seperti telah dijelaskan di atas, bahasa Indonesia kini tengah menghadapi persoalan yang sangat rumit. Moralitas bahasa Indonesia tengah menunjukkan kondisinya yang “rusak” berat. Bahasa Indonesia hanya menjadi alat berbagai pihak untuk melegitimasikan segala kehendaknya. Secara garis basar, kerusakan tersebut dapat dibagi atau dikategorikan ke dalam tiga tingkatan.

Pertama, kerusakan bahasa tingkat tinggi, yakni kerusakan bahasa karena kekuasaan. Di sini, bahasa diciptakan semata-mata karena kepentingan kekuasaan. Apapun boleh diucapkan atau ditulis demi tegaknya kekuasaan tersebut. Demi tegaknya persatuan dan kesatuan, demi stabilitas nasional, karena dapat meresahkan masyarakat, untuk menunjang pembangunan, dan untuk mensejahterakan rakyat adalah beberapa contoh “klausa bebas” yang sering digunakan untuk melegitimasi kesewenang-wenangan penggunaan bahasa di tingkat kuasa.

Kedua, adalah kerusahan bahasa tingkat menengah. Pada tataran ini, eufemisme adalah gejala yang boleh ditunjuk. Penghalusan-penghalusan bahasa dilakukan orang untuk mencapai berbagai tujuan. Pada mulanya eufemisme memang boleh disebut sebagai bahasa sopan santun orang Melayu yang tidak berani secara langsung mengungkapkan sesuatu. Akan tetapi, dalam perkembangan berikutnya, eufemisme menjadi semacam “jembatan legitimator” penguasa dan golongan tertentu. Ungkapan-ungkapan semacam penyesuaian harga (sebenarnya penaikan harga), pencekalan (sebenarnya pelarangan), dan diamankan (sebenarnya dipenjara)  adalah beberapa contoh kecil yang boleh ditunjuk.

Kerusakan bahasa tingkat ketiga adalah pengrusakan bahasa yang disebabkan karena ketakutan para pemakainya. Kerusakan ini sebenarnya lebih disebabkan oleh dua faktor yang pertama. Di sini orang mengucapkan sesuatu karena itulah yang boleh atau harus diucapkannya. Panggilan Bung terhadap tokoh politik di negeri ini, misalnya, bagi seorang pegawai—“objek politik”—sebuah desa di pedalaman pasti akan dirasakan sebagai sebuah keharusan. Di tingkat ini kaya ya bisa berarti tidak, atau sebaliknya, tidak dapat berarti ya.

Penggolongan tersebut, seperti telah dijelaskan, hanya “berbicara” pada tingkat global, belum dapat menjelaskan bagaimana pengrusakan bahasa Indonesia secara mendetil. Tulisan ini masih belum menyebut kekacauan bahasa di bidang ekonomi (iklan dan papan nama), bahasa media massa (realitas yang dipalsukan dalam berita tertentu), bahasa teknologi (penyerapan istilah teknologi mutakhir dan istilah asing lainnya yang semrawut), sampai ke merebaknya akronim yang diciptakan secara sewenang-wenang oleh berbagai kalangan. Akan tetapi, dari keseluruhannya dapat disimpulkan bahwa semua itu terjadi karena moralitas bangsa ini sedang mengidap penyakit yang cukup membahayakan.

Penghormatan orang terhadap bahasa Indonesia semakin hari semakin menipis. Merebaknya penggunaan bahasa Inggris—dalam hal tertentu memang baik mengingat bahasa Inggris sebagai bahasa dunia—kian memperkecil kepercayaan orang terhadap kemungkinan terciptanya bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Hal ini, tentu saja merupakan keadaan yang sebaliknya dari sejarah terciptanya bahasa Indonesia itu sendiri, seperti yang telah dijelaskan di awal tulisan ini. Jika dahulu bahasa Indonesia tercipta dari nation-nation tua yang meleburkan dirinya demi sebuah tujuan bersama, kini tujuan bersama itu telah menyebar menjadi tujuan masing-masing individu dan golongan. Nasionalisme bahasa Indonesia yang dibangun dari nation-nation tua itu sekarang betul-betul sedang berada dalam krisis.

*) Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB.
Dijumput dari: http://acepiwansaidi.com/2013/05/24/nasionalisme-bahasa-dalam-krisis/
 

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest