Sabtu, 13 April 2013

Semangat Perjuangan Dalam Sastra Buruh

Agus Sulton
Radar Mojokerto, 1 Nov 2009

Apa itu sastra buruh? Istilah ini adalah suatu yang baru—belum satupun para ahli yang mendefinisikan pengertian sastra buruh itu sendiri. Mungkin sastra buruh adalah sastra yang ditulis dari kalangan buruh (kasar) atau aktivis gerakan buruh atas dasar resisitensi atau semacam propaganda. Walaupun dalam konteksnya—sastra buruh sudah lama ada, namun perkembangannya kurang begitu meluas. Bisa juga karena pengaruh, sastra buruh lebih ditekankan dari latar belakang buruh. Meski begitu, beberapa waktu lalu Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Tanggerang pernah mengguncang sastra Indonesia, sebagai pusat dari bendera sastra buruh, dan Wowok Hesti Prabowo dinobatkan sebagai presiden penyair buruh dengan roda-roda puisi badayanstitut Tanggerang, budaya buruh Tanggerang, dan teater buruh Tanggerang—yang sengaja dibentuk.

Tidak dapat ditelisik kapan kronologis munculnya sastra buruh, tapi bisa dipastikan karya-karya mereka patutu diacungi jempol. Seperti dalam buku yang sempat dihasilkan oleh para buruh Indonesia: Aku Ingin Menjadi Peluru, Mencari Tanah Lapang (Wiji Tukul), Catatan Harian Seorang Pramuwisma (Rini Widyawati), Nyanyian Imigran (Lik Kismawati, dkk), Majikanku Empu Sendok (Denok K. Rokhmatika), Perempuan Negeri Beton (Wina Karnie), Hongkong Namaku Peri Cinta (Wina Karnie dan FLP Hongkong), Peri Naga Kecil (Tarini Sorrita). Dan banyak lagi jajaran penulis dari kalangan buruh atau sama sekali tidak menjadi buruh, tetapi karya yang dihasilkan mencerminkan semangat perjuangan buruh.

Kepedulian terhadap nasib kaum buruh merupakan spirit tersendiri dari non-buruh untuk memainkan ironi, paradoks, dan parodi ke dalam karyanya. Dalam hal ini, karya sastra adalah karya seni yang berbicara tentang masalah hidup dan kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Esten, 1980). Secara implisit, sastra sebagai tonggak perjuangan kaum buruh secara tidak langsung. Efektivitasnya bisa dirasakan—paling tidak mampu mengendor-ngendor sisi kemanusiaan. Tidak sebagaimana dalam dunia politik, dimana ada partai yang mengatasnamakan buruh tapi herannya, nasib buruh tetap berbanding terbalik dengan nasib mujur politisi yang jadi legislator. Sebagaimana biasa, kebanyakan politisi macam ini tidak pernah sama sekalai merasakan getir-pahitnya menjadi seorang buruh. Ah !!!

Sastra dari kalangan buruh kebanyakan menggambarkan sisi kemanusiaan atau tentang Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai problem fundamental. Begitu juga, banyak mengorek sisi eksistensi negara, sistem hukum dan implementasinya. Ketika pembahasan memasuki lingkup implementasi ini, maka kontruksi negara ini yang disebut sebagai negara hukum, juga ikut dipersoalkan. Negara hukum ikut dipertanyakan eksistensinya, misalnya ketika suatu negara berpayung hukum, ternyata lebih warga bangsanya mempertontonkan perilaku yang berlawanan dengan hukum dan hak dasar manusia..tuh kan !!!!
***

Sastra buruh bukan hanya mengungkap perasaan dan kegelisahan buruh itu sendiri, tetapi kegelisahan banyak warga negeri ini yang terjepit. Seperti dalam kumpulan sajak JJ. Kusni (yang monumental) ”Sansana Anak Naga dan Tahun-Tahun Pembunuhan”, meskipun bukan dari latar belakang buruh, tapi cendekiawan ini selalu gelisah terhadap hal-ihwal yang terjadi di dalam kehidupan manusia, terutama terhadap kehidupan kaum ekonomi lemah, segsara, dan tertindas. Terlebih, penindasan itu dilakukan oleh penguasa yang tahtanya di atas telaga keringat dan darah rakyat.

Dalam kumpulan sajak JJ. Kusni, banyak mengangkat sisi anti-kebiadaban disatu pihak, sedangkan dipihak lain—mendambakan kebenaran, kebebasan, keadilan, dan kehidupan manusia yang manusiawi.

Hal lain yang bisa diungkap dari sastra buruh adalah estetika sastra yang diusung sangat berbeda dengan perkembangan dan menjadi arus utama perkembangan sastra Indonesia. Hanya beberapa media surat kabar yang memberikan ruang untuk keberagaman estetik, dengan resiko akan dinilai tidak mencerminkan wajah sastra Indonesia yang sesungguhnya.

Seperti apa yang dikatakan Mustofa Ismail dalam ”Estetika Sastra Buruh” (Seputar Indonesia. Minggu, 20 Juli 2008) bahwa, kondisi yang semacam itu memperlihatkan betapa politik sastra masih begitu kuat mewarnai perjalanan sastra. Sebuah ”aliran” mainstream menghegomoni aliran sastra yang tumbuh disekitarnya yang mencoba mencari cara ucap lain. Puisi-pun jelas menjadi suatu wajah, satu warna, satu arus estetika. Arus estetika lainnya tidak berkesempatan tumbuh karena para ”elit” sastra cenderung memaksakan arus estetika yang dianutnya. Ini sebuah ironi !!!.

Walaupun sudah menjadi dasar bentuk perwujudan yang berbeda, tapi selayaknya tidak dijadikan suatu permasalahan. Karena sastra yang dikobarkan mereka adalah sastra sebagai alat perjuangan, sastra untuk menuntut ketidakadilan dan penindasan pada wong cilik (kaum kromo) oleh pihak kapitalis. Seperti apa yang dilakukan Buruh Migran Hongkong; Etik Juwita (penerima anugrah Pena Kencana 2008 dengan cerpennya ”Bukan Yem”), Mega Vriastian (pernah meraih ESSO Wanni Aword) untuk sebuah puisinya ditahun 2005, Kristina DS. (artikelnya banyak dimuat di surat kabar Hong Kong).

Meskipun sastra buruh migran Indonesia sempat mendapat perlakuan tidak mengenakkan dengan sebutan ”sastra babu”, namun tidak menyurutkan langkah mereka untuk tetap menulis ide-ide cemerlang yang mereka miliki, dengan berprinsip; pengkotak-kotakkan status sastra bagi Buruh Migran Indonesia tidak berpengaruh. Menulis tetap menulis, entah dapat perlakuan sebagai sastra babu atau sastra kiri. Akan tetapi, sastra yang mereka suarakan adalah memiliki visi dan misi yang jelas, yaitu dapat mencerahkan pola pikir pembacanya tanpa harus mengurangi maksud (nilai) atau memetik hikmahnya.

Yang mereka dongengkan dalam sajak-sajak dan cerpen bukanlah budaya marxis. Kalau orang politik-kiri berhasil menipu dan mengendalikan buruh (pekerja kasar) dan akhirnya memasang untuk menarik gerobak—akan disulap menjadi manifesto raksasa—monumen-monumen yang jelek (ala Soekarno) dan bangunan berarsitek soviet, berisi ratusan gerakan buruh, pemuda, waria, dan pelacur. Hanya sang buruh yang tahu perjuangan itu semua, bukan berpihak pada juragan kapitalis dan bukan menjadi budak kaum marxis, tetapi mereka menuntut hak-hak dasar yang dimiliki sebagai kaum buruh. Dan pendidikan untuk kaum buruh bisa diperoleh diantaranya melalui karya sastra; puisi, cerpen, dan dongen yang lainnya.

Banyak kekerasan atau diskriminasi yang diterima kaum buruh, sehingga dari organisasi buruh sendiri lebih cepat untuk berfikir ulang—menentang tipu muslihat yang dimainkan oleh pelopor-pelopor tua. Bukan bermaksud untuk eigenricthing (menghakimi sendiri) dan merusak budaya dasar Indonesia; budi luhur, ramah-tamah, sopan-santun, dan akhirnya menjadi masyarakat yang homo homini lupus (keras dan brutal). Lebih dalam lagi—hak asasi manusia-lah yang mereka suarakan.

Sastra buruh adalah sastra perjuangan, tetapi bukan bermaksud untuk membawa profesi pada karya yang diciptakannya—adalah tindakan yang berbau ”rasis”. Rasisme dalam konteks ini mengandalkan kelompok tertentu (kaum buruh) dan menganggap remeh karya bukan dari latar belakang jalan pikiran buruh.

Sastra buruh adalah sastra murni nyastra—atas dasar perjuangan, bukan karya picek yang tidak mau serius mendalami karya sastra buruh. Bukan juga karya yang mati estetika, struktur harmoni, atau ritme. Jakob Sumardjo dalam buku Filsafat Seni (2000) menjelaskan, penghayatan seni terbagi dalam dua bagian; (1) Philistin, maksudnya sebuah karya atau seni yang lebih menekankan pada unsur pemujaan isi, (2) Formalis, di sini sebuah karya sastra lebih ditekankan pada unsur estetik atau keindahan. Dari kedua bentuk tersebut, orang dari sastra buruh bukan termasuk di antara kedua itu, walaupun ada juga pengikut philistin.

Tetapi menurut banyak data yang penulis dapatkan, sastra buruh jelas philistin, tetapi bentuk formalis juga ditekankan—lihat saja pada karya Wiji Tukul, Dingul Rilesta, Husnul Khuluqi, dan Mahdiduri.

Seni-sastra memang saatnya untuk didekatkan pada siapapun, termasuk kalangan yang selama ini dalam kondisi termarjinalkan, yaitu buruh (kasar/kontrak) sebagai mata rantai tertindas dari hubungan produksi kapitalis, dan memperindah ”iman” perjuangan kaum buruh itu sendiri. Sebagaimana seni-sastra kapitalis selalu memperkuat ideologi dan tatanan material kapitalis, maka seni-sastra buruh juga niscaya mengekspresikan kepedinan nasib buruh dan menguatkan perjuangannya menuntut keadilan.

Kecenderungan manusia untuk mengekspresikan diri dalam sebuah karya sastra bersifat universal selama ada kondisi yang memungkinkan untuk berkarya. Entah, genre baru atau bukan, karena bisa dipastikan sastra buruh itu muncul dari kalangan buruh tulen—dalam kondisi kungkungan atau ketidakpuasan pada karya-karya yang ada. Sehingga karya-karya mereka meledak atas dasar kondisi diri dan sosialnya, tetapi bukan bermaksud sastra dikaitkan dengan profesi. Betapa runyamnya kalau akhirnya sastra dikaitkan dengan suatu profesi atau golongan: ada sastra buruh, sastra becak, sastra pengusaha, sastra wartawan, dan sebagainya.

Jadi, sastra adalah sastra, tidak boleh dilacurkan terlalu kering pada determinasi-determinasi profesi. Mereka boleh dari kalangan buruh, dan isi karyanya banyak mendeskripsikan nasib terpuruk buruh (protes), tetapi tidak bermaksud rasisme atau mengencangkan istilah sastra buruh. Tidak lain hanyalah ekspresi buruh dan perjuangan atas hak-haknya (protes-aspirasi), dengan meminjam karya sastra sebagai mediumnya.

*) Tinggal dan berkarya di Jombang. Email: soeketboe@yahoo.com

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest