Sabtu, 13 April 2013

FRAGMEN BAWAH JEMBATAN

Bambang kempling
http://sastra-indonesia.com/

Adalah setangkai bunga rumput berkelopak ungu dalam genggam perempuan di tengah siang. Sudah tidak begitu segar dan hampir layu, seperti kisah bunga-bunga terlalu tua untuk jadi mahkota. Mengapa? Apakah hari ini telah kehilangan fantasinya juga bagi wajah yang tersembunyi dari langit terbuka di balik payung pelangi?

Jembatan kecil pada suatu jalan kecil itu sungguh telah menjadi tempat yang baik untuk membebaskan keinginan bersedih, bahkan sekali waktu bisa menggodanya untuk iseng bergembira sejenak: memilin-milin tangkai bunga rumput yang digenggamnya sejak tadi sambil bernyanyi-nyanyi lirih. Lalu memungut sempalan ranting pohon waru lantas dilemparkannya ke arah buih yang tersangkut di celah-celah batu…Plung!!, dan buih pun berlubang memanjang, berombak lembut, sebagian terberai mengikuti arus air, maka terciptalah lecut pimping dari perjalanan sunyi gericik air. Tapi masih ada satu pertanyaan yang tidak juga terjawab oleh dirinya: “Benarkah ini satu kegembiraan iseng?” Semacam perjuangan nihil untuk berusaha melegalisasikan semua jalan pelarian dengan pikiran-pikiran yang semakin menjauh. Tidak ada ketajamannya, kecuali alasan-alasan yang sempurna.

Payung pelangi diayunkannya perlahan, saat itu pula dilihatnya langit telah kehilangan warna birunya. Kelabu mendung seperti hendak membawa mala petaka. Ingin rasanya ia beranjak pergi, tetapi gerimis telah menghadirkan harapan lain bagi kangen yang terpenjara begitu hadir seorang lelaki kurus dan capek.

“Sudah lama?” sapa lelaki itu.

“Aku hampir saja pulang! Inilah keajaiban gerimis, dengan cepatnya ia menyihir niat itu menjadi fantasi sore yang indah.” jawab perempuan itu.

“Aku kangen.”

“Apa masih perlu?”

Perempuan itu menggeser duduknya. Itu adalah isyarat bagi kesepakatan tanpa kata-kata bagi lelaki itu untuk menyelinapkan wajah di balik payung.

Merdu gerimis menjadi tak berlagu di atas sepasang kepala yang semakin jelas terdengar tanpa rasa heran yang berlebihan. Dan gericik air pun kemerduannya sama sekali juga tak menimbulkan romantisme luar biasa bagi mereka. Barangkali karena mereka telah terbiasa menjalani hidup dengan kebiasaan-kebiasaan aneh.

“ Ciumlah aku…!” manja perempuan itu. Lelaki itu menyibak rambutnya yang panjang tergerai, membelainya dengan bangga, lantas mencium bibir kering terbuka.

“Peluklah aku…!”

Didekapnya perempuan itu. “Hari ini kita sama tidak merasa kehilangan, tetapi jangan terlalu berharap.” Bisik lelaki itu.

“Mengapa?”

“Tidak apa-apa.”

“Kau tidak mandi hari ini?”

“Kemarin lusa. Mari kita berlindung! Gerimis nampaknya akan deras.”

“Berlindung? Dimana?”

“Bawah jembatan.”

“Apa payung ini tidak cukup.?”

“Jelas cukup! tapi, bagaimana dengan istana kita?”

Di bawah payung, kemesraan begitu mengagumkan, muka kecut dan bahagia sepertinya sama saja, bau tanah basah tak sempat tercium oleh nafas yang diburu keinginan-keinginan dengan cepatnya. Sungguh betapa berartinya hari menjelang sore itu bagi mereka.

“Ulaaar…!!!” perempuan itu tiba-tiba menjerit.

Dari arah semak rerumputan, melata seekor ular tanggung. Perempuan itu meloncat. Karena dalam panik loncatannya justru mengenai ekornya, Ia terpeleset lalu jatuh, kepalanya hampir mengenai sebongkah batu. Payung terlempar. Dalam gerakan reflek sang lelaki menyahut lengannya, tapi sial justru hanya mengenai lubang leher rok kekasihnya hingga sobek memanjang termasuk tali kutangnya juga tersangkut dan putus satu. Dalam gerak reflek instingtif untuk survifal dalam keadaan bahaya barangkali, kepala ular itu secepat kilat menyambar dan “cap!” tepat mengenai pantat perempuan yang menginjaknya.

“Awaass!!” seru yang terlambat dari sang lelaki.

Segera dramatik peristiwa kehidupan terjadi begitu cepatnya – secepat kilat disahutnya ekor ular – disabetkan pada sebongkah batu tepi jembatan – Plak..!!,Plak..!!,Plak..!!!

“Lunglailah kau..!! Harcurlah kau..!!Bangsat..!!”

Nafas memburu dendam berlebihan, didekatinya ular itu, diperhatikannya sungguh-sungguh.

“Matilah kau.” desisnya, dan senyum kepuasan sedikit tersungging di kedua sudut bibir.

Lalu diraih lunglai tubuh ular itu, dilemparkannya jauh-jauh dari situ.

“Bukan maksudku tidak memberi hak kehidupan bagimu hai binatang! tapi kaulah yang menciptakan kesumatku!” Teriaknya sambil melirik wajah memelas kekasihnya.

“Ulaaaar!!!” tiba-tiba terdengar jeritan serentak beberapa anak perempuan dari seberang jalan. Disusul jeritan-jeritan panik serta derap sepatu yang cepat. Lelaki itu terkejut penuh tanda Tanya. “Kok … terlalu jauh ?!” Betapa kekonyolan itu akhirnya juga sedikit memberikan hiburan bagi sang kekasih di sela-sela degup jantung yang membara.

“Aduuuh…” perempuan itu mengaduh, kedua tangannya mencengkeram
luka gigitan.

“Sakit ?”

“Ya… jelas sakiiit..! Ayo cepat tolong…!Tunggu wajahku membiru apa?! Cepaaat..!!! ” bentakkan yang penuh dengan kemanjaan berbaur seringai menahan sakit dan rasa takut yang sangat.

Lelaki itu semakin panik. Kekonyolan-kekoyolan yang hadir bersamaan dengan klimaks dramatik kejadian, membangun tabir keingin-tahuan. Otak mampet. “Apakah ini ketololan?” Desisnya. Sementara jeritan-jeritan seberang jalan masih membuatnya menjadi ingin tahu tentang apa yang telah dan akan terjadi disana. Dalam kondisi seperti itu sulit baginya memberikan prioritas porsi keinginan-keinginan; antara segera menolong kekasih atau beranjak ke seberang jalan. Dalam gundah, dia berdiri mematung. “Selalu saja begini.” Desisnya. Matanya berlinang, menerawang ke atap rumah-rumah yang mencuat dari pucuk pohon-pohon.

Terdengar sayup-sayup di seberang jalan, kegaduhan berkembang menjadi umpatan-umpatan.

“Kurang ajar..! Dikira lucu apa keusilannya!! Kurang ajar..!!”

“Untung saya tidak pingsan….Hiii…!”

“Ya untung kita semua tidak pingsan!”

“Ini pasti ulah orang gila itu.”

“Orang gila yang mana!?”

“Adduuuh… Itu…tu… yang biasa….”

“Oh…Seniman itu. Kemarin dia mengirim bunga buat Rina Lho… Biasanya romantis kan dia.”

“Nyaco pikiran kamu! Itu… mereka sepasang manusia surialis penjaga taman bawah jembatan ……”

“Oh… Barangkali dengan begitu bisa membuatnya bahagia.”

“Humanis banget kamu..?! Eh!! Kamu ada yang sudah ngerjakan tugas Psykologi Sastra? Bantu aku dong..!”

Suara-suara itu semakin menjauh. Segerombol pemuda gondrong menyanyikan lagu romantis melintasi jembatan dalam gerimis yang semakin deras, mereka terlalu cuek untuk mengetahui apa yang terjadi di bawah jembatan.

“Ayo cepat !!! Jangan berpikir terlalu panjang! Aku keburu mati nanti!! sentak perempuan itu.

Lelaki itu segera sadar akan apa yang harus dilakukan segera. Ia hampiri kekasihnya, memeriksa luka bekas gigitan. “Sakit?” tanyanya.
“Tiddak!” jawab perempuan itu dengan cemberut.

“Eeehh! Kamu jangan cemberut begitu dong! Nanti aku tambah bingung. Ini tidak apa-apa.”

“Tidak apa-apa bagaimana..!?”

“Iya… tidak apa-apa… sebab ular tadi tidak berbisa.”

“Sok tahu!”

“Tidak bengkak kan..?”

“Tapi,… ini lihat! Lihat dengan sepasang matamu yang tolol! Ada sepasang luka bekas gigitan dan giginya tertinggal sebelum kau cabut. Apa bukan bukti!!”

“Bukti bahwa ular itu berbisa? Sok tahu !! Ular yang itu tadi, yang menggigitmu sayangku, kekasihku, termasuk ular yang biasa hidup di air atau yang lazim di daerahku menyebutnya sebagai ular air. Dan ular air itu tidak berbisa.:

“Tapi kok sakit.”

“Nah jelas sekarang, siapa yang tolol sebenarnya.”

“Nah!…naah!…naah!! Jangan kau mulai lagi!.”

“Maaf …maaf. Semalam nonton Film Special nggak?”

“Ngaco…!”

“Yang jadi Robin Hood itu aku lho …”

“Jangan kau goda aku dengan ketololanmu!!”

“Giginya tadi aku lempar ke mana ya? Akan aku ambil untuk leontin cinta bagi kekasihku tercinta.” godanya semakin menjadi.

“Kau sudah tahu bagaimana kalau aku marah..!?” Tiba-tiba perempuan itu memekik. Pekikan dari rasa jengkel yang meskipun tidak berlebih, tapi sudah cukup untuk menjadi ancaman berbahaya bagi lelaki itu, dan hal terbaik saat-saat demikian adalah segera menghentikan godaannya.

Darah merah tua…

Merah tua menetes dari luka kecil.

Dengan lembut lelaki itu mengusapnya tanpa sepatah kata. Sehelai sapu tangan biru dan kotor dibalutkannya, seperti bagaimana dia membalut harapan-harapan.

“Mari ke taman kita sebagaimana rencana kita tadi..!” ajak lelaki itu.

Perempuan itu mengatupkan matanya,“Payungnya..?” katanya.

“Sebentar aku ambil.”

Di bawah jembatan gericik air dan gerimis deras yang menggerimisi rimbun daun-daun bersatu di telinga dan dada. Dingin sore sangatlah berarti bagi sepasang kekasih di bawah jembatan. Kelas cinta yang murni dari manusia-manusia pinggiran. Kelas cinta yang bebas dari kebebasan burung-burung ciblek. Kemurnian cinta yang banyak dilupakan.

Bau anyir dari sungai kecil dan kotor dalam keheningannya bukanlah suatu hal yang menjijikkan. Mereka berpelukan…berpelukan mesra sekali. Kadang-kadang dilihatnya bersama luka yang terlupakan. Yaa… Tuhan, dari mana sumber kebahagiaan sebenarnya?

Dalam bahagia mereka lepas tertawa selepas-lepasnya. Lelaki itu tiba-tiba berdiri di sebongkkah batu hitam. Tangan meraih sebatang kayu penguat jembatan, menggelayutkan tubuhnya, dan dengan berekpresi selayaknya seorang pemeran dalam sebuah pertunjukan teater, dia berdeklamasi di hadapan kekasihnya, di hadapan lumut-lumut, rumput-rumput, semut-semut, dan binatang lata dari sebuah kehidupan yang sering terlupakan.

“Dan kitalah pengantin musim ini, yang mempersembahkan cinta kasihnya buat cuaca yang gundah. Tidak selalu kalah dalam pertipuan angin, tidak selalu mencaci kesewenangan nasib, tidak pernah menolak menjadi pemimpi. Wahai… pengantinku mari berdansa dalam alunan musik abadi kita!!”

Sementara itu, sang perempuan dengan mengulum kebanggaan menyibak rambutnya, menengadah ke atap surganya yakni papan-papan jembatan. Dengan khusuk mereka lantas berdansa, menyusuri air kehidupan.

Gerimis masih tetap mewarnai sore. Sebentar kemudian azan Magrib berkumandang. Mereka masih tetap bercinta.

*
Di perempatan jalan, dimana aliran air sungai membentuk pusaran, seorang tukang becak yang kebetulan sedang kencing disitu, menemukan sesuatu terapung terbawa arus air. “Kutang siapa ya ..?” tanyanya dalam hati. “Ah…masa bodoh…lumayan.” desisnya. Ia cepat-cepat mengambilnya, menyimpannya di saku kiri, lalu pergi mengayuh becaknya kembali. Ketika ada yang memanggilnya, ia tidak begitu peduli.

Langit tiba-tiba hitam, semakin hitam. Halilintar susul menyusul dengan guntur dan angin badai.Begitu cepatnya keindahan sore berubah menjadi pekat Hujan mengguyur teramat lebat. Orang-orang segera menutup pintu-pintu dan jendela. Kota menjadi sepi sampai sepanjang malam, hanya dera hujan dan genangan-genangan air mewarnai sepanjag jalan.

Dingin menusuki tulang-tulang.
Kengiluan bagi makhluk seluruh kota itu.

*
Dua hari kemudian, pagi-pagi benar seekor anjing menyalak. Tak lama seseorang yang kebetulan melintas curiga dengan tingkah anjing yang kebetulan anjing tetangganya menghampiri anjing itu. Betapa terkejutnya ia begitu dilihatnya dua sosok manusia telanjang terbujur kaku dalam pelukan.

September 2003

____________________
*) Bambang Kempling lahir di Lamongan, 17 April 1967 dengan nama lengkap Bambang Purnomo Setyo. Menyelesaikan Pendidikan terakhir di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP UMM tahun 1992. Semasa mahasiswa aktif di berbagai kegiatan berkesenian diantaranya Teater MELARAT, Kelompok Musik Seteman Ngobrol IQr.
Sekarang aktif di KOSTELA (KOMUNITAS SASTRA DAN TEATER LAMONGAN). Publikasi cerpen-cerpennya hanya terbatas di kalangan CANDRAKIRANA KOSTELA dan antologi cerpen pilihan “Pada Sebuah Alamat” oleh Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unisda Lamongan. Sedangkan untuk puisi-puisinya bisa ditemui di Antologi Tunggalnya KATA SEBUAH SAJAK 2002, Majalah Indupati, Antologi Bersama Teman-teman KOSTELA “Rebana Kesunyian”, “Imajinasi Nama”, Antologi bersama “Permohonan Hijau” yang diterbitkan oleh Festival Seni Surabaya tahun 2003, “Bulan Merayap” (DKL 2004), “Lanskap Telunjuk” (DKL 2004), “Duka Atjeh Duka Bersama (DKJT 2005), dan tabloit Telunjuk.
Dijumput dari:  http://sastra-indonesia.com/2011/10/fragmen-bawah-jembatan/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest