Jumat, 29 Juni 2012

Membaca Tembang Tolak Bala (Beberapa Catatan Sekilas)

Raudal Tanjung Banua
http://sastra-indonesia.com/

Membaca novel Hans Gagas, Tembang Tolak Bala (LKiS Yogyakarta, Mei 2011) kita mendapatkan gambaran yang kaya tentang reog Ponorogo, tidak sekedar penampilannya yang atraktif dan indah, melainkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan di “belakang panggung”—dan ini jauh lebih menantang.
Warok, sebagai pelaku utama reog, digambarkan sosok dan laku hidupnya secara terbuka. Ia menjalani kehidupan yang tidak biasa terutama berhubungan dengan ritual-ritual khusus demi menjaga kesaktiannya. Susuk dan meditasi di sanggar pamujaan adalah dua di antaranya. Namun yang paling membedakannya dengan yang lain—karena berhubungan langsung dengan lingkungan sosial—ialah pantangannya untuk bercampur dengan perempuan. Konon, lelaku yang diturunkan dari Klonosewandono, pendiri Kerajaan Bentar Angin yang kelak dikenal sebagai Wengker, itu, pada mulanya dihasratkan untuk menjaga kesucian dirinya sebagai calon raja. Dalam prakteknya kemudian, pantangan itu memunculkan gemblak sebagai kata kunci berikutnya dalam khazanah seni reog Ponorogo, di mana warok akan memelihara seorang anak laki-laki (gemblak) sebagai “kawan intim”.

Demikianlah cerita tentang warok dan gemblak kemudian mengisi hampir separoh halaman novel ini. Lewat tokoh Aku (Hargo) kita bisa mengikuti dengan jelas dunia warok dan per-gemblak-an. Itu tak lain karena Hargo merupakan seorang bocah yang dijadikan gemblak oleh warok yang paling terkenal di wilayah bekas kerajaan Wengker: Eyang Tejowulan. Meskipun sang Eyang sebenarnya juga punya perempuan sendiri, Nyi Tejo atau Eyang Putri, dan Hargo punya orang tua juga yang bahkan masih kerabat Tejowulan. Ini menunjukkan bahwa dunia gemblak memiliki kultur sendiri yang “sah” karena semua berlangsung “sepengetahuan” ayah, ibu, istri dan anggota masyarakat semua. Bahkan tidak jarang prosesi lamaran seorang gemblak dilaksanakan secara besar-besaran, sebagaimana disaksikan sendiri oleh Hargo: Seorang dandan atau wakil dari pelamar (warok) beserta rombongannya menaiki dokar. Dokar itu taklah berlenggang tangan, di dalamnya terusung segala jenis bawaan: berslop-slop roko, gula tebu, berkarung-karung beras, abon-abon pisang raja dan sirih-kinang. Di tengah rombongan dituntun seekor sapi atau kerbau, sebagai mahar “perkawinan”. Semua bawaan itu diserahkan pada orang tua calon gemblak.” (hal. 56).

Sementara Hargo merasa “beruntung” karena tidak melalui prosesi itu,”…aku digemblak secara alami oleh “orang tuaku” sendiri.” Tentu saja “bayaran” yang diperoleh secara sosial bukan hanya benda-benda pinangan itu, namun juga kehormatan dan lebih jauh pengetahuan dan “kesaktian” warok yang biasanya diwarisi kepada si gemblak. Itulah sebabnya, sejarah dan mitologi, seni beladiri dan menabuh menjadi pelajaran setiap malam seperti didapatkan Hargo. Ia mendapatkan cerita tentang sejarah Wengker, Majapahit, Demak, SI, PKI atau Madiun. Ia pun mengenal tokoh-tokoh Ki Ageng Mirah, Ki Ageng Kutu, Raden Patah, bahkan Soekarno. Meski prosesi “pinangan” itu kadang berjalan tidak dalam keadaan “normal”: jika orang tua menolak lamaran warok akibatnya bisa fatal. Termasuk istri warok yang memiliki nestapanya sendiri: cemburu, iri dan ingin hidup normal sebagaimana keluarga lain.

Ancangan yang Meyakinkan

Namun sebelum masuk ke dunia yang sukar dinilai secara hitam-putih itu, penulis terlebih dahulu membuat ancangan yang meyakinkan, setidaknya pada rinci dan detail. Dan ia masuk lewat silsilah dan rumah. Silsilah dan rumah menjadi pembuka dalam novel ini yang membuat pembaca memiliki pijakan untuk masuk ke bagian yang lain, serta mendapat garansi bahwa cerita akan berjalan dengan cukup padat meskipun bahasanya sederhana. Maka pada halaman awal “Bab Satu: Adi Kembar” kita diperkenalkan satu persatu kepada anggota keluarga si anak, meskipun perkenalan itu tidak adil-merata, sebab ada yang diperkenalkan dengan cukup panjang ada juga yang sekedarnya. Kakak, ayah, ibu, nenek dan sahabat (Mei, Narko) diperkenalkan melalui satu atau dua paragraf. Ada yang panjang ada yang selintas, tapi itu tidak masalah sebab pada bab-bab berikutnya di antara mereka ini muncul kembali sebagai tokoh yang ikut mewarnai jalan cerita.

Tapi anehnya, perkenalannya paling sedikit dan kemunculannya pada bab berikut juga tak signifikan justru adalah orang-orang terdekat si anak. Ibu misalnya, memang meminta perkenalan satu paragraf cukup panjang, tapi kehadirannya kemudian tak terlalu “fungsional”. Begitu pula kakak-kakak si aku, bahkan nama dan jumlahnya pun tidak disebutkan, kecuali sedikit saja: …kakak-kakakku, uhh…mereka terlalu memikirkan diri sendiri. Kadang aku melihat bara persaingan di antara mereka. Ini bertolak belakang ketika ia memperkenalkan Mei Ling, sahabat masa kecil yang kemudian hidup di ingatannya. Paling penting lagi adalah perkenalan terhadap adi-kembarnya yang sudah meninggal sejak awal cerita, tapi selalu mewarnai cerita.

Di sini tampak, si aku cenderung menelisik dan menyimpan “sesuatu yang tak ada”, ketimbang merapat pada sosok yang wujudnya lebih dekat dan jelas. Ini tampaknya bukan tanpa rencana. Menurut saya, ini sebuah ancangan yang tak kalah penting untuk menciptakan dunia batin Hargo. Yakni, dunia batin yang berpaut pada dunia “tak kasat mata” sehingga ketika ia masuk ke kehidupan ganjil Eyang Tejo, ada alasan yang “masuk akal” untuk mengembara ke dalam cerita “antah-barantah” dan tak mungkin dijangkau oleh pikiran biasa.

Ancangan ini pula yang memungkinkan pengarangnya leluasa menerapkan konsep “realisme magis” dengan segala plus-minusnya. Konsep ini lebih terjelaskan lagi ketika di pengantar Hans mengatakan bahwa “ulang-alik peristiwa dan waktu di novel ini bergaya ala Tambo-nya Gus tf Sakai.” (hal. xi). Dan memang, dalam prakteknya, pola Tambo sangat terasa dalam Tembang Tolak Bala.

Ancangan berikutnya adalah soal rumah. Penulis, lewat Hargo, dengan detail dan menarik menggambarkan bagian-bagian arstitektur rumah Jawa bukan hanya dari sisi yang tampak (benda-benda dan properti) melainkan juga secara filosofis. Halaman, regol, ruang tengah, dapur, ruang belakang dan halaman belakang diuraikan sedemikian rupa. Tidak ketinggalan rumah-rumah lain yang berdiri terpisah seperti rumah pringgitan: (yang) berbentuk limasan tanpa dinding (….) berisi gamelan dan perlengkapan reog. Biasa dipakai untuk tetabuhan dan latihan reog.” Rumah belakang (…) masing-masing ada tiga kamar berderet ke belakang (…) sedangkan ruang tengah untuk sanggar pamujaan, tempat bersembahyang, semadi.”(hal. 9).

Ancangan yang Kurang Meyakinkan

Akan tetapi, ancangan yang dibangun dengan sabar dan penuh intensitas itu, kurang mendapat rujukan yang sepadan dengan “Tembang Tolak Bala” yang hendak diusung sebagai maindset cerita. Apa dan bagaimana tembang tolak bala itu kurang terjelaskan, kecuali sebuah cerita ringkas yang seolah tidak penting. Dimulai ketika Ki Ageng Kutu berseteru dengan sahabatnya Ki Ageng Mirah (soal tawaran memeluk Islam). Ki Ageng Kutu mula-mula menuju Gunung Wilis, semadi. Namun sesuara kemudian memerintahkannya berpindah ke Gunung Lawu agar menemui Sunan Lawu. Di puncak Gunung Lawu-lah ia mendengar nyanyian dari arah bayangan yang sempat membuat luruh hati Ki Ageng. “Nyanyian itu seperti syair tembang yang melenakan. Tembang yang jauh di hari depan dikenal dengan nama Tembang Tolak Bala.” (hal. 20).

Hanya itu, hanya sampai di situ. Selanjutnya apa korelasi tembang ini dengan cerita berikutnya dan bagaimana ia “bekerja”, tidak menyelusup ke bagian teks yang lain; tidak seperti bayangan adi-kembar atau Mei-Ling. Padahal, sebagai syair, sebagai suara-suara, kemungkinan teks ini untuk menyelusup secara “magis” justru lebih potensial, namun tidak dieksplorasi lebih lanjut. Bahkan ketika pecah huru-hara politik 65, tembang ini tidak “bekerja” sedikit pun, termasuk ketika Eyang Tejo dijemput musuh bebuyutannya, Wirolodaya, yang leluasa menudingnya sebagai “pengayom orang-orang PKI, maka harus dilenyapkan”. Tembang ini juga tak berfungsi ketika Mei Ling diusir dan rumahnya dibakar. Meskipun ada Bab Enam yang membahas khusus Tembang Tolak Bala, namun juga tak memberi fungsi berarti kecuali salinan baris-barisnya (hal. 102-103), tapi bagaimana ia beroperasi di dalam laku cerita tetap saja tak terjelaskan. Satu-satunya moment tembang itu berfungsi ialah ketika Hargo hendak diperkosa oleh gurunya sendiri, Martodirejo. Dalam keadaan kepepet, Hargo menembangkan syair itu dan aneh bin ajaib sang guru seketika lunglai dan berteriak,”Maafkan aku Ki Ageng, ampuni aku Ki Ageng…” (hal. 140).

Ternyata pula, Guru Martodirejo ini tak lain anak Wirolodaya, musuh bebuyutan Eyang Tejo. Leluhur mereka, Hanggodermo dan Wulunggeni, seorang antek Belanda, dulu juga bermusuhan. Kenyataan yang kebetulan ini tentu saja tanpa ancangan yang kurang meyakinkan. Hal ini sama dengan peristiwa meninggalnya ayah Hargo yang dianggap kena teluh atau guna-guna. Namun bagaimana teluh itu “bekerja” kurang terjelaskan, setidaknya berbeda saat Hargo dengan intens menceritakan hal-hal “magis” lainnya.

Puncak dari semua ini adalah ketika tanpa tedeng aling-aling, Tragedi 65 masuk ke dalam cerita. Memang, sebelumnya sudah diceritakan bahwa kelompok reog dan waroknya banyak yang berafiliasi atau sekedar bersimpati pada partai politik tertentu. Maka terkotak-kotaklah grup reog ke dalam Cakra NU, BRP PKI dan BREN PNI. Peristiwa Madiun 1948 juga dihadirkan ketika sejumlah “pemberontak” melarikan diri ke Ponorogo dan minta perlindungan Eyang Tejo (hal yang membuat Hargo berkenalan dengan Juni, anak seorang pelarian yang ditampung Eyang). Akan tetapi, kita tidak menduga bahwa “cerita tentang warok” dengan serta-merta diputus ketika Eyang Tejo dijemput massa. Tragedi 65 masuk ke dalam struktur cerita tanpa ancangan berarti. Hanya dimulai dengan cerita soal ritual bersih desa, yang seperti biasanya selalu menarik untuk diikuti sebab detail dan informatif.

“(….) ritual bersih desa diadakan setiap tahun, menjelang 1 Syuro. Pasangannya adalah sesajen yang nanti dipacak di pohon beringin tua di dekat jembatan. Sesajen berisi ayam ingkung, nasi tumpeng, jajan pasar, kembang tujuh rupa, dupa dan kopi pahit beserta rokok sebatang. Ritual ini bermaksud agar Eyang Mbaureksa melindungi penduduk dari malapetaka, baik disebabkan oleh manusia, wabah penyakit, maupun makhluk halus.

Tapi malapetaka adalah malapetaka. Musibah dan bencana tak bisa ditolak bahkan oleh kekuatan Eyang Mbaureksa. Apalagi malapetaka yang disebabkan oleh kekejaman manusia.” (hal. 88).

Demikianlah, seperti banyak informasi ritual lainnya, kita menduga ini juga hanya sekedar informasi memperkaya cerita, tetapi ternyata menjadi sesuatu yang menentukan. Kata malapetaka dijadikan kunci untuk menggambarkan malapetaka yang lebih besar yakni Tragedi 65, sampai “menghilangnya” tokoh sekaliber Eyang Tejo. Terasa sangat tiba-tiba. Hubungan kita seolah diputus dengan dunia warok, sama seperti “nestapa” Hargo sendiri yang diputus dengan dunia masa kecilnya, dengan Mei, dan adi-kembarnya!

Padahal, prosesi mencari “susuk kekebalan” bisa berpotensi menceritakan Tragedi 65 dengan cara tidak biasa, tidak seperti narasi sejarah resmi. Ini pula yang terjadi pada narasi diskriminasi etnis Cina. Banyak pernyataan yang klise dan agak berbau slogan, seperti banyak didapatkan pada Bab Tujuh “Episode Cinta Mei”. Narasi klise tentang hubungan homoseksual kemudian juga didapatkan dari surat-menyurat Hargo dengan Mei Ling, di mana rujukan Al-Kitab tentang Sodom dan Gomorah dicuplik secara utuh dalam sepucuk surat Mei Ling.

Waktu dan Kehadiran

Menghilangnya Eyang Tejo sekaligus menandai melindapnya dunia warok dalam Tembang Tolak Bala secara keseluruhan. Saya merasakan ada bangunan yang runtuh, bangunan yang sedari awal sudah dibangun susah-payah. Alih-alih penulis malah masuk ke cerita “remaja masa kini”, yakni ketika masa-masa bersekolah Hargo dan saat ia berkenalan dengan Juli, perempuan yang tanpa ancangan berarti juga hadir tiba-tiba.

Upaya perpindahan dari fokus utama ini (baca: warok dan dunianya) menurut saya didorong oleh hasrat Hans untuk merengkuh terlalu banyak peristiwa. Berbagai peristiwa dalam ranah sejarah maupun legenda, baik yang menjadi isu daerah maupun nasional, diakomodasi dengan lapang dada. Akibatnya, dunia cerita tidak lagi berkisar antara Wilis dan Lawu, namun melebar sampai ke semua tempat dan alamat. Untuk itu semua, novel ini tentu saja masih terlalu “mungil” sehingga muatannya berdesak-desakkan. Saya membayangkan, dengan mempertahankan intensitas bab-bab pembuka, niscaya “enclave” budaya di antara dua gunung ini akan memberi warna yang kaya pada lokalitas sastra Indonesia, suatu lokalitas yang selama ini berkisar pada budaya lokal yang mainstream.

Banyak pula informasi menarik yang belum sempat dikembangkan Hans, misalnya tentang warok perempuan, munculnya reog gajah-gajahan atau cerita tentang beberapa reog yang selamat karena para tentara “Pancasilais” takut kuwalat memusnahkannya. Ini sebenarnya bisa berbaur untuk mencairkan situasi umum secara lebih khas.

Hal lain yang perlu dikemukakan ialah soal waktu yang anakronis. Peng-gemblak-an Hargo dan peristiwa yang melingkupinya berkisar pada masa lawas, setidaknya sekitar tahun 60-an. Ini dibuktikan bahwa ketika Tragedi 65 terjadi, ketika Eyang Tejo dijemput massa, Hargo menyaksikan sendiri peristiwa itu (bukan dalam bayangan), bahkan ia sendiri menjadi korban. “Braaak!! Aku aget bukan kepalang! Pintuku didobrak musuh. Dalam tempo sekejap, tepat di hadapanku telah berdiri sejajar seorang berseragam menodongkan pistolnya ke kepalaku.” (hal. 95). Pembauran narasi antara nyata dan bayangan ini memang tidak asing dalam teks “realis-magis” Hans, namun dalam konteks ini Hargo benar-benar hadir secara harfiah, bukan halusinasi sehingga perpindahan dari era-Eyang Tejo ke pasca Eyang Tejo waktunya terasa kurang tepat.

Secara matematis, jika masa menjadi gemblak usia Harjo sekitar 6-10 tahun (pada tahun 60-an), maka mulai Bab Tujuh dan seterusnya, usia Harjo mestinya sudah di atas 30 tahun. Namun yang terjadi Hargo masih SMP. Tentu saja kita bisa beralasan bahwa waktu Hargo SMP bukan terjadi pada tahun 80 atau 90-an, melainkan pasca Tragedi 65 (tahun 60-an). Tapi, cobalah resapi narasi dan suasana yang terbangun sangatlah kekinian. Hargo dan kawan-kawannya biasa belajar bersama, bahkan membuat genk GAJJAH, surat-suratan dengan Mei yang sudah memasukkan unsur kemeriahan Imlek, dst. Narasi itu bahkan terasa seperti tahun 2000-an, misalnya dengan wacana tentang pemerintah yang tak mau merehabilitasi nama korban 65.

Jadi, meski tidak menyebut angka tahun secara telak, kita sebenarnya bisa merujuk waktu dengan suasana yang dibangun. Hal yang membuat kita kemudian mau tidak mau menghubungkannya dengan beberapa istilah yang penggunaannya perlu dipertanyakan. Misalnya, suara gaib yang bergema saat Raja Bantar Angin bertempur melawan Singo Ludro,”Klonoswandono, apakah janji itu serupa tinta yang diguyur airmata?” (hal. 54).

Sebagai penutup, sekali lagi saya tertarik melihat korelasi Tembang Tolak Bala dengan Tambo. Selain temanya yang sama-sama tentang asal-usul atau legenda sebuah daerah beserta puak dan punggawanya, mereka juga dihubungkan oleh teknik plot yang maju-mundur, membaurkan masa lalu dan kekinian. Bedanya, dalam Tambo pelaku-pelaku masa lalu tetaplah sosok yang hidup dalam legenda (yang kemudian hidup dalam kepala Sutan di hari ini) sehingga waktu kehadirannya logis. Dalam Tembang Tolak Bala, pada beberapa bagian, Hargo hadir bersama tokoh-tokoh lawas itu—kecuali dalam beberapa legenda yang lebih “antah-barantah”. Akibatnya, Gus tf Sakai bisa dengan lebih leluasa mengacak sejarah dan mitologi—tanpa terperangkap off side anakronisme—sementara Hans harus membuat peristiwa “hilang ingatan” pada Hargo, tokohnya. Peristiwa pertama, Hargo mati suri selama tujuh-hari tujuh malam (hal. 26) dan peristiwa kedua, ia koma selama sebulan (hal. 98). Keduanya, baik mati suri maupun koma, malah terasa mementahkan ancangan dunia adi-kembar yang magis; pulihnya Hargo, secara teknis, juga tanpa ancangan berarti; terjaga seperti biasa, didatangi ibu, lalu “normal” seketika.

Demikian beberapa catatan sekilas yang tentu saja beresiko memiliki cacatnya sendiri. Tapi semoga bisa diperbaiki melalui forum diskusi kali ini.

Lemahdadi, Desember 2011

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest