Syaf Anton Wr
http://mediamadura.wordpress.com/
Sejak kapan sastra Madura mulai berkembang, sampai kini belum ditemukan bukti otentik. Namun tampaknya dari beberapa keterangan, di Madura sudah mengenal tulis menulis pada jaman kejayaan Singosari. Namun pada waktu sebelumnya, sekitar abad 18, pernah berkembang sastra yang berbentuk cerita lisan, yang kemudian mengimplementasi dalam kisah-kisah babat Madura.
Cerita yang umumnya dalam bentuk fable dan farable tersebut, tampaknya sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan sastra lisan selanjutnya.
Sastra Madura mengalami tahapan perkembangan kemudian digambarkan sebagai priodisasi perkembangan sastra Madura, yaitu : priode pertama; tahapan sastra Madura lama; sampai tahun 1920; priode kedua; tahapan sastra Madura baru: sampai tahun 1945: dan priode ketiga; tahapan sastra Madura modern; sampai 1977 (sampai kini);
Sejak berdirinya Balai Pustaka, tampaknya mulai terbangun kondisi segar peta sastra Madura. Sejumlah karya sastra yang umumnya ditulis dalam bentuk cerita, baik karangan asli maupun terjemahan mulai menunjukkan bumi. Demikian juga sastra lisan terus bertahan dari mulut ke mulut, namun untuk jenis sastra ini secara lambat makin kehilangan penuturnya.
Tampaknya fenomena sastra Madura dalam perkembangannya, banyak dipengaruhi oleh kehidupan sastra Jawa, hal ini tentu sangat beralasan mengingat selain wilayahnya yang berdekatan, pengaruh pergaulan antar kedua etnis, termasuk didalamnya, hubungan perdagangan, politik, pendidikan dan kebudayaan antara Jawa dan Madura, terdapat benang merah yang erat. Bahkan penggunaan bahasa komunikasi dan bahasa tulis Jawa sangat dikenal dengan sebutan Carakan Madura, atau Aksara Jaba, atau Jaban, hampir tidak ada beda. Untuk menunjukkan tingkat kesamaan dan pengaruh sastra Jawa dalam kehidupan sastra Madura, dapat diperhatikan dalam puisi-puisi (lisan) yaitu dalam bentuk tembang, seperti contoh: Salanget (Kinanthe), Pucung, Mejil, Maskumambang, Durma, Kasmaran, Senom dan seterusnya.
Sebuah Potret
Meski sastra Madura banyak ditulis, namun sastra lisan tampak lebih menguat dan berkembang dihati masyarakat. Alasan ini kemungkinan, karena dunia membaca kurang mendapat perhatian dan minat, karena kondisi masyarakat (pedesaan) yang masih hidup secara tradisional, sehingga perkembangan sastra lisan tersosialisasi melalui pengaruh lingkungan dan pergaulan. Karena pemikiran dan pengkhayatan lingkungan kerap terjadi perubahan-perubahan, sastra lisan juga kerap mengalami penambahan-penambahan sesuai konteks perkembangan masyarakatnya. Bahkan sering terjadi, dalam bentuk sastra yang sama, bisa mengalami perbedaan antar wilayah (kampung) yang satu dengan wilayah lainnya.
Beberapa contoh bentuk sastra (puisi lisan) Madura:
1. Gancaran (prosa liris);
Karangan bebas dalam bentuk surat, cerita/dongeng, pidato/sambutan, atau tulisan/penyampaian dengan bahasa yang puitis. Dalam gancaran ini, ada dua bentuk, yaitu gancaran yang menggunakan okara kakanthen, yaitu dalam pengucapannya lebih menekankan dalam tingkat bahasa tinggi dan gancaran yang tidak menggunakan okara kakanthen, biasanya dilakukan dalam bentuk pergaulan sehari-hari.
2. Lok-alok.
Puisi yang diucapkan oleh pembacanya (tokang lok-alok) pada saat menjelang dilaksanakan kerapan sapi atau menjelang pelepasan perahu ketika para nelayan menuju laut.. Tokang lok-alok (deklamator) biasanya orang pilihan yang mempunyai kemampuan lebih ketika tampil di tengah massa, sehingga .lok-alok memberi semangat untuk bertanding. Salah satu contoh lok-alok kerapan sapi:
baja mangken dhung-ondhung are
nemor kara, bentar tonggga’ dhalem aeng
kaula andhi’ bur-leburan dua’
ne’-kene’ cabbi lete’
moga daddi sampornana
ka se nangga’ sareng se nenggu
ka se etangga’ sareng se etenggu
se panglowar e sebut se gambar
se pangdhelem ajajuluk se gambu
dhu tang ana’ se sa pasang
ana’ gambar rembi’ tabungkos
etella’ temmo ceyaran
ngabas are ta’ solap
nedda’ teppong ta’ alampat
adhu kacong buwana ate
tadha’ bunga andhi’ ana’ kantha ba’na
eabas dhari adha’ gaga’
eabas dhari ereng mantereng
akantha arjuna kembar
adhu kacong pola ba’na
atapa pettobelas taon e gunong maraong
salbak macan lopot.
Arti Indonesianya:
saat ini mentari condong ke barat
kemarau kering, pecah tonggak dalam air
aku punya dua kekasih
kecil-kecil cabe rawit
semoga jadi sempurnanya
bagi yang nanggap maupun penonton
bagi yang ditanggap dan yang ditonton
yang bagian luar (kiri) disebut si gambar
yang bagian dalam (kanan) disebut si gambu
wahai anak-anakku sepasang
anak kembar lahir terbungkus
dicubit sedikit saja bungkusnya pecah
menatap matahari tidak seilau
tidak menjejak menginjak tepung
wahai anak buah hatiku
betapa bahagia punya anak seperti kalian
dipandang dari depan gagah
dipanding dari samping mentereng
seperti Arjuna kembar
wahai anakku mungkin kamu
bertapa tujuh belas tahun di gunung raung
diterkam harimau terlepas.
Dalam lok-alok lebih menekankan pada irama dan rima, sehingga makna kata dan bahasanya terbebas. Uniknya Lok-alok diucapkan/dibacakan dengan nuansa teatrikal sehingga kesan yang diterima dominan menciptakan vocal dengan intonasi yang mengesankan sebagaimana pembacaan puisi/declamation. Lok-alok, tampaknya sudah tidak dikenal lagi di masyarakat, mungkin pertimbangan praktis dari masyarakat (modern) atau para pelaksana kerapan sapi telah beralih di tangan pemerintah.
3. Puisi anak-anak.
Puisi anak-anak (mainan anak-anak – folklore – ) umumnya dalam bentuk lagu atau nyanyian. Syair-syairnya kadang sulit dimengerti, karena sebagaimana puisi Madura lama lazimnya, unsur bunyi lebih kuat tekanannya. Karena kekuatan bunyi itulah, kerap anak-anak kurang memahami maknanya. Karena puisi dicipta sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya, maka puisi-puisi yang ditulis, juga mempunyai kepentingan yang berbeda.
Dimensi pembinaan dan pendidikan tampaknya menjadi syarat dalam puisi lisan Madura, sebagaimana contoh dalam lirik seperti dibawah ini
Pak-kopak eling/Elingnga sakoranji/Eppak olle papareng/Ana’ tambang tao ngaji/Ngaji babana cabbi/Ka’angka’na sarabi potthon/Ecocco’ dhandhang pote, keba mole/Ecocco’ dhangdhang celleng, keba melleng
Cong-kong konce/Koncena lo-olowan/Sabanyon saketheng/Na’kana’ markong-markong/Baba’anna kapong-kapong/Ngek-serngegan, rot sorodan/Pangantan tao abajang/Abajanga keta’ kedung/Ondurragi jung baba’an.
Di’dindi’kapas/Kapassa lema-lema/Lemanto/Sapa nyamana manto/Mantogi/Sapa nyamana togi/Togilar/Sapa nyamana gilar/Larbais/ Sapa nyamana bais/Baisto/Sapa nyamana isto/Istopa’ balang kette’ tetteng
Pak-rampak kokkonengan/Nemmo sello’ elang pole/Katopa’ tojuk nengkong/Abali pole manjeng
Dhi-padhi cemplok, lo’ling/Entara kana’ supang, nyang sayang/Ambu’ ambang atutup pindhang, alalap kacang nyang pettis/Tis kontrolir, bu’ ayu/Dhadah’aran kundang kali Mansur, jaran garejjeggan jaran
Gareneggan, no’-lenno’ nyodhu tajin
Ba-baba bulan bulanna sapa/Bulanna ………/Agaleppa’ agalebber, noro’ ompossa penang/Buru dha’emma’anna/Buru ka gerrungnganna
Di’dindi’ liya leyo/Pocedda koddhu’/Na’kana’ alekaya/Gi’ bellun toddu/Teng-jeliteng/Ma’ towana soro dhateng/Dhatengnga laggu’ malem/Dika pagar bato/Bula pagar carang/Dika ana’na rato/Bula ana’na pangeran/Assem bang-labang/Manja’ etem neng salokke’/Mesem paraban/Kare mesem ekekke’ pate’/Geddhang karepe’/Orang ngandung takepe’/Takepe’ babana lombung/Kothak-kathek ondur dhateng./(catatan R. Wongsoprayitno)
Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang/Nangnganang nganang nong dhe’/Nong dhe’ ne’ nang jaga jaggur/La sa sayumla haeto lella/Ya amrasul kalemas topa’/Haena haedheng haena dhangkong/Pangantanna din ba’aju din tamengkong/(dst)
Contoh-contoh penggalan puisi tersebut diatas, dalam sastra Madura, lebih dikenal sebagai jung-kejungan, yaitu puisi yang dilagukan dan mempunyai perbedaan dengan kejung (kidung) yang menjadi ciri umum, sebagaimana kidung dalam gending-gending Jawa dan Madura.
4. Puisi Ritual
Puisi-puisi ritual mempunyai nilai sakral, karena didalamnya terdapat unsur-unsur permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Puisi ritual digunakan untuk kepentingan-kepentingan masyarakat secara umum, semisal permohonan minta hujan, tolak balak, Selamatan laut, panen dan kepentingan lainnya. Puisi-puisi jenis ini mempunyai sugesti kuat karena didasarkan keyakinan masyarakat, khususnya masyarakat Madura tradisional di pedesaan atau di pesisir. Puisi ini dilakukan sebagai pokok upacara adat, seperti pantil, cahhe’, ratep dan pojian.
Sebagaimana puisi-puisi Madura lama umumnya, unsur bunyi tampak lebih mendominasi daripada kata itu sendiri, sehingga sulit memaknai kata-katanya. Dalam proses ritualnya si pelaku atau jamaahnya diajak lebih khusuk bahkan trance. Semisal dalam pojian dikenal syair
dari dhilang sonar sondhing adhung ana’ etemanga
(Sodhir Sonar)
leya rentang sandhurandhing dhing dhing dhing
adhu rentang sandurandheng
(Lentang Sandhurandhing)
atau liya lilli ta’liya lingsir
Intensitas bunyi dari penggalan syair tersebut, mampu menggantikan alat musik lainnya, dan banyak pihak menyebutkan, contoh puisi diatas masuk bagian dari seni primitif yang berkembang sejak berabad sebelumnya. Namun tampaknya puisi-puisi ritual yang hidup di tengah masyarakat, lambat laun mengalami gesekan dan perubahan, ketika Islam mulai berkembang yang ditiupkan oleh pesantren. Untuk menangkal proses ritual yang berselebahan dengan norma-norma agama (Islam), maka mulai berkembang puisi-puisi dari pesantren yang ditulis dan disebarkan oleh kalangan kiyai yang kemudian dikenal dengan syi’ir-syi’irnya, yang banyak mengajarkan tentang baik buruk di mata Islam.
5. Syi’ir
Sebagaimana diketahui, bahwa pulau Madura banyak terdapat pondok pesantren, dan tumbuh subur dari tahun ke tahun. Dalam kondisi seperti itu, pesantren tampaknya menjadi ladang berkembangnya kehidupan sastra. Banyak bermunculan kalangan sastrawan justru dari wilayah pesantren. Karena pesantren sebagai pusat pendidikan agama, maka sastra yang tumbuhpun mengarah pada bentuk sastra keagamaan.
Syi’ir merupakan sastra yang hidup dan berkembang dari pesantren yang tentu menjadi salah satu bentuk sastra/puisi Arab. Umumnya syi’ir ditulis oleh para santri jaman dahulu di luar waktu belajar, yang kemudian sering dijadikan salah satu bentuk pengantar dzikir saat menjelang waktu sholat Maghrib di surau, langgar atau musholla dan dilantunkan dengan suara merdu, yang kemudian merambah ke luar pesantren, dengan berbagai variasi irama atau lagu-lagunya.
Bentuk syi’ir tak beda dengan syair-syair Melayu lama sebagaimana contoh:
//Astaughfirullah heran kaula/zaman samangken banynya’ se gila/banynya’ rosagan se bala-bala/jau kalaban zaman se bila//
(//astaughfirullah heran saya/jaman sekarang banyak yang gila/banyak kerusakan antar keluarga/jauh dengan zaman yang dahulu//)
//ngimanagee dha’ naraka/neko enggun reng durhaka/labangnga petto’ banynya’na/kapantha petto’ barnana/egiring oreng se kafer/kalaban oreng se mongker/para’ ka pengggirra/nangis aeng mata dhara/malaekut laju ngoca’/ma’ ta’ nanges ka Allah lamba’/erantai tanang le’erra/acabbur ka tengnga’anna/kalabang olar ban kala/laju nyander ka reng sala/dhalem apoy reng-cerrengan/laban thowat long-tolongan//
(//percaya pada neraka/tempat orang yang durhaka/pintunya ada tujuh/dibagi tujug warna (macam) /digiring orang yang kafir/bersama orang yang mungkir/hampir ke tepian/ia menangis aer mata darah/malaikat lalu beracap/mengapa sejak dulu tidak mengangis kepada Allah/tangan dan lehernya dirantai/lalu diceburkan ke tengahnya/kelabgang, ular dan kala/lalu mendatangi orang yang salah/dalam api menjerit-jerit/dan berteriak minta tolong//)
//neserra badan bila pon mate/coma e bungkus labun se pote/kalamon ta’ esaporana Guste/ta’ burung ancor tolang se pote//
(//kasihan bila diri telah mati/hanya dibungkus kain yang putih/apabila tidak mendapat ampunan Gusti/tentulah hacur belulang yang putih//)
//Ajja’ denggi sasamana/Makhluk Alla dha-padhana/Gutong rojung/Gampang olle//(Moh. Tayib)
(//jangan dengki sesama/mahluk Allah sama saja/gotong royong/mudah didapat//)
6. Bak-Tebbagan (teka teki):
contoh: – mon egagap badha, nangeng bila etole’e tadha’ (kopeng)
- ka bara’ calat, ka temor calat (calatthong)
- ta’ tol jan bat (ata’na butol ojanna lebat)
- solorra ka taman, konco’na ka accem (ajam)
dan semacamnya.
7. Paparegan
Puisi pendek yang memakai sampiran dengan menggunakan pola rima seperti contoh:
Blarak klare
Trebung manyang
Baras mare
Tedung nyaman
Atau
Ka gunong ngala’ nyarowan
Kope bella kabadhdha’a
Pekker bingong ta’ karowan
Nape bula katamba’
Selain contoh-contoh tersebut, masih banyak bentuk-bentuk sastra lainnya, baik yang ditulis maupun yang diucapkan, yang tidak mungkin semua dapat ditulis dalam makalah ini, namun tampaknya saat ini telah menghilang dari peredaran. Bahkan ditengarai budaya-budaya yang secara tradisional awalnya semarak, kini tidak lagi mendapat perhatian masyarakat, karena berbagai faktor klasik, yang memungkinkan pada saatnya nanti akan punah.
8. Puisi Madura Mutakhir
Puisi Madura mutakhir, yaitu puisi-puisi yang ditulis oleh generasi tahun tujuan puluhan sampai kini. Sulit didata nama-nama yang secara kontiniu menulis karya-karya sastra berbahasa Madura, barangkali hal ini disebabkan media yang dijadikan acuan publikasi belum ditemui sebagai wilayah eksplorasi karya sastra Madura.
Memang pernah terbit sebuah media yang diharapkan mampu mencipta fenomena sastra Madura, seperti bulletin “Konkonan”, namun sifatnya hanya lokal di Sumenep, format dan kemasannyapun sangat sederhana dan hanya dibaca kalangan terbatas (pendidikan). Jadi agak sulit perkembangan sastra Madura (modern) mampu melaju sebagaimana yang diharapkan.
Apakah hal tersebut menjadi alasan mandegnya sastra Madura?. Untuk menyebut sebagai indikasi, barangkali masih menjadi perdebatan, karena sastra sendiri sangat bergantung pada kemungkinan kesadaran sastrawan sendiri dalam melahirkan karya-karyanya. Paling tidak, dua nama dibawah ini, meski tidak mewakili fenomena yang berkembang, namun (minimal) menjadi penyejuk, bahwa sebagaimana yang selama ini disinyalir “sastra Madura modern telah mati”, masih mencoba bernafas kembali meski dalam tahapan kecil.
DHARA CAMPOR MARDHA
Sasembaa’an dha’ Jeng Ebu Pertiwi
Tareka ka’dinto ebu, medal dhari sokma
Se talempet dhalem nespa tor nyangsara
Arastosan taon
Tareka ebugel, sowara edunggem
Roba ta’ odhar, labang ta’ adhardhar
Naleka Hirozima Nagasaki epajunge kolat mardha
Samoray taselpet, Hinomaru aleppet
Nippon gippon, ta’ kobasa namba’
Mok-amok Sakutu
Pottra nyelpettagi tareka, akerek mera pote
Majunge bume Nusantara
Tareka mardika agarudhu’ magundhek jagat
Raga se kendhur sakojur, odhar
Nyaba se ta’ kababa, abangbang alapes baja
Kacong cebbhing pada asabung, aorak, arakrak
Ta’ marduli dhara se nyapcap
Ta’ marduli mardha se nyapsap
Dhara campor mardha
Agaluy dhalem dhadha
Tojjuwan nonggal
Mardika, jaja, raja.
1988
(Arach Djamali)
DAMAR BADHA E PARTELLON
Capcabba dhara ban nana noro’ lanjangnga lorong
agili dhari kol-tongkolan mate’e damar
ojan
molae derres e konco’na malem
adharak sakalengngadha’ padhana etotta’ dhari langnge’
balaburra ngaracak ta’ bisa alanyo’ merana dhara
ban antemma nana
pajung se epatabar ba’na
buru epakalowar saellana kalambi
ban sakabbiyanna ban-giban padha kopo kabbi
malarat rassana abida’agi gaga’anna tananga ba’na
e attassa loka ban poro
karana padha peddina
osaban lere sarat kalaban kaparatenan
e nga’-tengnga’anna mergi’ tombuna tobba
se molae badha naleka sengko’ molae kasambu’
ka bulan pornama moncar dhari mowana ba’na
ba’na molae nganggi’ bintang dhalem mempe
ban naleka tajaga karana badha senter bato sapolo
dhateng ngellone atena ba’na
dhaksakala ba’na andhi’ bungkana kabangalan
saabidda abuwa copa
nyembur tang mowa naleka sengko’ lebat e babana
tape ropana ba’na ecapo’ balat
nang-konang se ekasanggu bintang
gan settong mate
naleka ba’na molae pelka’ ka aeng
se nyembur dari nga’-tengga’anna bintang
se pajat bisa esebbut bintang
mangkana ba’na sateya duli berka’
naleka damar e partellon
akantha ta’ tao ja’ noro’ lorong
mare nyapcap dhara ban nana
ban ta’ losso tekka’a ecapo’ ojan
se para’ maabi’a gel-togellanna malem
sengko’ bingong majejjeng e nga’-tengnga’anna partellon
kottha e adha’ padha elang
naleka ngedhing ba’na ra’-era’an ban ba’-koba’an
antara abali, terros otaba ka kacer
menangka peleyan sepadha mamate ka aba’
ojan aherra dhateng pole
naleka sengko’ ban ba’na padha badha e partellon
(Abd. Gani)
Menggali Puing yang Tersisa
Tergesernya sastra Madura dalam kehidupan masyarakat Madura, bisa disebabkan oleh beberapa faktor yang berhubungan dengan makin meningkatnya kebutuhan masyarakat di luar kebutuhan “sastra” sendiri. Demikian pula, lajunya “pembangunan” makin melaju pula ragam jenis budaya yang (konon) melampauI batas kemampuan budaya masyarakat setempat, yang terus menyentuh dan mengelabuhi sistem kehidupan sampai ke wilayah pelosok pedesaan.
Kekhawatiran akan punahnya sastra Madura sebenarnya erat hubungannya dengan makin lemahnya posisi bahasa Madura. Indikasi ini bisa jadi disebabkan.
1. Penggunaan bahasa Madura kurang intense dalam bahasa tutur di masyarakat;
2. Pembina/pendidik kurang layak dalam menerapkan pengajaran bahasa dan sastra Madura, karena keterbatasan kemampuan dalam mengkomunikasikan dengan anak didik;
3. Media dan penerbitan buku berbahasa Madura nyaris tidak ada, kalau ada sifat lokal dan untuk kalangan sendiri.
4. Kurang maraknya peristiwa apresiasi sastra Madura, baik dalam bentuk pertemuan, diskusi maupun sayembara/lomba;
5. Dan sebab-sebab lainnya, yang menjadikan sastra Madura terpinggirkan;
Barangkali, akan menjadi pembenaran bahwa sastra merupakan cermin dari masyarakat, dan ketika sastra tersisihkan dari masyarakatnya, ketika itu pula manusia mulai kehilangan indentitas diri, kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya. Apakah ini juga akan menjadi cermin masyarakat Madura?
Dijumput dari: http://mediamadura.wordpress.com/2008/08/18/menggali-puing-puing-sastra-madura-yang-tersisa/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar