Rabu, 25 Mei 2011

Tempat, Non-Tempat: Pergulatan Al-Hallaj dan Nietzsche

Asarpin *
http://sastra-indonesia.com/

Nietzsche adalah al-Hallaj yang diasingkan orang dalam negerinya. Ia lolos dari tangan para mullah, tapi terjerambab ke tangan para dokter!
–Mohammad Iqbal, Javid Namah (Kitab Keabadian), terj.Mohamad Sadikin, Panjimas, 1987, h. 80

Ia seorang sufi, yang dalam riwayat dicatat sebagai yang paling berani, dan karena itu ia dihukum mati. Para periwayat menyebutkan, ia seorang keturunan Persia dari garis kakeknya, tapi tentu saja ia bukan orang Persia tulen, atau orang Arab asli. Ia mungkin seorang hibrid. Tempatnya ada di mana-mana sekaligus tak di mana-mana. Tanah airnya seluas benua.
Sayang sekali ia hidup pada zaman ketika rahasia pengalaman puncak kebatinan hanya bisa dinyatakan lewat bahasa bisu kesyuhadaan. Rahasia pengalaman pribadinya dianggap belum sudi dibagi. Maka, ketika pergolakan kekuasaan memuncak di negerinya, ia pun sempat meninggalkan tanah airnya dan mengembara ke belahan dunia, berharap menjadi warga negara dunia. Mula-mula ia bertolak dari Jazirah Arabia untuk menyeberang ke India, Turkestan, bahkan sampai ke perbatasan negeri Cina. Dalam perjalanan mencari sumber-sumber mata air kesucian itu, sang darwis yang dekat dengan kaum papa itu ternyata masih menyempatkan diri untuk mengunjungi majelis para darwis di berbagai negeri Islam di tanah Asia.

Dalam lawatannya ke negeri seberang, bergulat dalam batinnya puspa pertanyaan: “Siapakah Kau, dia berkata, Kau! Tetapi untuk-Mu, kata ‘di mana’ berarti tak bertempat. Dan tak ada kata ‘di mana’ yang melekat padaNya. Pikiran pun tak sanggup membayangkanNya, pada suatu saat yang memberi peluang untuk mengetahui ‘di mana’ Kau berada. Engkaulah Tuhan yang meliputi setiap kata ‘di mana’, hingga sampai pada kata ‘tak ada di mana-mana’. Jadi, di manakah Kau?”

Sang sufi membayangkan ”tempat”-nya adalah ”non-tempat” (”Di mana” tidak lagi memiliki tempat, tulisnya dalam puisi terkenal). Tapi walau bagaimana pun ia menggunakan sebuah tempat tertentu pada tingkatan kosmis, di mana prinsip yang menentukan adalah hierarki para wali. Dan terbukti sejak itu, sang darwis yang menganjurkan lebih baik memberi makan yatim-piatu ketimbang pergi haji ini, memaklumkan dirinya sebagai guru sejati, dan mencoba menuliskan untaian tafsirnya tentang at tawasin al-azal wa al-Iltibas sebelum datangnya zaman nirakhir; tentang sebuah dalih menjadi dalil; tentang sebuah titik lingkaran yang tak terputus.

Kelak ajarannya menggegerkan para penguasa ketika ia berfatwa: “Dan akulah tanda penampakan-Nya: ana’l Haqq: sebuah kata yang sering diterjemahkan di sini menjadi ”Akulah Kebenaran”. Bahkan ada yang mempelintirnya menjadi ”Akulah Allah”. Sejak menyatakan ini sampai hari ini, hampir semua penyair sufi Persia pernah menyebut namanya, memujinya, menghadirkan alusi terhadap ketragisan hidupnya. Fariuddin Attar, Jalaluddin Rumi, hingga Khomeini, menabuh ”Tambur Mansur” sebagai bukti kecintaan kepada sufi yang tak lain adalah al-Hallaj ini.

II

Di sebuah tempat yang jauh, puluhan abad kemudian, muncul seorang pujangga-filsuf di tanah Jerman, yang sepanjang hidupnya telah menuliskan aforisme-afotegma perjalanan seorang suci dari Persia—sebuah negeri yang menurutnya memiliki banyak pemikir yang berani berkata jujur dan membidik lurus. Dalam usia tiga puluh tahun, ia meninggalkan kampung halamannya, mengembara turun gunung dan mendaki lembah-lemabah sunyi di belantara kusut dan sahara luas tak bertepi. Dalam suatu perjalanan ia berjumpa dengan orang suci di tengah hutan. Ketika orang suci itu sudah berpaling di hadapannya, ia pun bergumam: “Sungguhkah ini? Orang suci di tengah hutan itu belum mendengar, bahwa, Tuhan telah mati!”

Filsuf ini dikenal sebagai mistikus, walau di Eropa, kata Iqbal, tak seorang pun kenal akan liku-liku jalan mistik. Nietzsche adalah filsuf-mistik besar Jerman yang pengaruhnya masih terasa hingga kini.

Tapi siapa Nietzsche? Apakah ia metamorfosis al-Hallaj? Tak penting riwayat hidup tokoh ini. Yang jelas, ide-idenya yang anti-ide telah mengguncang singgasana kepausan dan keuskupan Jerman. Akibat untaian penanya yang paling pribadi, segalanya seolah tertidur dan bangun seketika oleh pekiknya yang terkenal: ”Tuhan telah Mati!”

Dalam jiwa yang hancur, fisik yang didera derita, sang tokoh kita tetap memaksakan untuk meneruskan perjalanan menuju negeri yang tak bertepi, ketika Tuhan tak lagi disebut-sebut sebagai dewa penolong. Dalam setiap perjalanan, ia menjumpai orang ramai di sebuah pasar yang ribut membincangkan ajarannya: “Di sana mereka tertawa, mereka tidak mengerti diriku; aku bukan mulut bagi telinga-telinga ini”, gumamnya.

Dalam fantasinya yang liar, ia pun berkhayal duduk di sebuah tempat yang belum pernah dilewati oleh telapak kaki manusia, kecuali binatang-binatang buas yang siap memangsa, lalu bersama kapal-kapal yang memuat lumpur dari muntahan bumi yang terabaikan, ia berangkat mengarungi samudera luas tak bertepi.

Sang filsuf yang sering dianggap sebagai ”pembunuh Tuhan” ini, berkali-kali menjelaskan pendiriannya tentang berfilsafat dengan palu. Dengan palu, hidupnya menjadi gairah, menjadi kreatif. Gairah pencarian dan dahaga estetiknya menghunjam sampai ke relung terdalam penafsiran. Dialah si penantang gereja paling ulung di Jerman dan pernah menyatakan Sabda Zarahustra yang menantang register Kitab Suci dan Anti-Krist yang mengingkari keberadaan Trinitas suci.

***

Nah, kisah perjalanan kedua virtuoso yang hidup di zaman yang sangat berjauhan itu, ibarat sebuah lautan pengetahuan yang paling sering digali, namun hingga kini tak pernah kering untuk ditimba kembali dari berbagai sisi.

Saya sendiri tak tahu siapa sesungguhnya Zarahustra orang Persia—si jenius yang meninggalkan jejaknya di belakang meja untuk mengembara ke dunia yang lebih luas itu—sebagaimana dikisahkan Friedrich Nietzsche lewat semangat amsal manusia pujangganya dalam Zarahustra (saya kutip dari versi terjemahan H.B.Jassin).

Apakah Zarahustra sebagai sosok alim Zoroaster yang pernah mengajarkan dualisme kehidupan di tanah Persia, yang pernah diuraikan dengan sangat mengagumkan oleh Tagore dalam salah satu bab buku The Religion of Man? Entahlah. Yang saya ketahui ialah: al-Hallaj memang orang Bagdad, tapi semua orang tahu bahwa si jenius agung yang dipancung pada masa Dinasti Abbasiyah dipimpin oleh Sultan al-Muqtadir itu seorang yang berdarah Persia dan ajarannya sangat khas para filsuf-sufi Persia.

Kita tahu, karya al-Hallaj yang terkemuka, at tawasin, telah diterjemahkan sejak abad ke-15 di Jerman melalui seorang ahli teologi Protestan jerman: F.A.D. Tholuck. Bisa jadi Nietzsche pernah bersentuhan dengan pemikiran al-Hallaj jauh sebelum ia menulis tentang Zarahustra yang mengingatkan kita pada Zoroaster di negeri Iran lama itu. Gumam-gumah lirih kedua pujangga yang kesepian itu begitu menghunjam kesadaran ratusan, atau mungkin ribuan manusia di muka bumi.

Zoroaster adalah ”penjaga malam hari, yang berdiri di puncak, sendirian menghadap ke Timur dan menyanyikan lagu-lagu pujaan cahaya kepada dunia yang tertidur ketika matahari muncul dari tepi cakrawala”, tulis Tagore.

Apakah yang kita rasakan setelah mengikuti maksim-maksim singkat dari kedua pemikir-sufi yang paling terkemuka itu? Adakah sesuatu yang bisa membuat kita ingin mencampakkannya jauh-jauh ke dasar jurang, atau membuat kita justru takzim, luluh ke dalam amor fati dan kefanaan yang masih belum habis-habisnya itu? Adakah selapis tipis makna selain nama dan makna, selain isyarat dan tempat, yang bisa membuat kita merasa bahagia tidak sebagaimana mengupas kulit bawang, dan tidak sekadar merepotkan pikiran sendiri oleh maksim-maksim dan aforisme-aforismenya yang keras kepala?

Sekali lagi, hanya Nietzsche yang tahu apa yang dimaui dengan amor fati-nya, sebagaimana al-Hallaj sendiri lebih tahu apa makna di balik kefanaan dalam ajaran Zen-Avesta—kitab suci yang dibawa Zoroaster—yang diakui kebenarannya oleh kakeknya. Namun, jika delusi John Forbes Nash—sang penderita skizofrenia yang kemudian mengantongi Hadiah Nobel itu—bisa dipercaya, barang kali Zarahustra adalah nabi bagi orang Iran lama—negeri yang “orangnya mudah bersimpati dan berbelarasa kepada orang yang kesepian”.

Zoroaster atau Zarahustra, bukan orang yang “mempunyai unta kuning” (sebagaimana ungkapan orang Iran untuk orang yang dianggap tidak waras namun cerdas). Warna kuning adalah warna gila, sebagaimana berkali-kali juga kita temukan dalam prosa-prosa Iwan Simatupang yang sangat fasih menerjemahkan kegelandangan Nietzsche.

Kita tahu, pandangan sufistik yang pernah hidup di Iran sejak Zoroaster sampai Khomeini di dasarkan pada tiga prinsip yang terkenal: kepatuhan pada imam, resistensi/revolusi terhadap tiran, kesucian diri seperti bayi. Api dianggap suci. Cahaya dan kegelapan terus berseteru. Anak-anak adalah harapan masa depan.

Para pemikir Iran dikenal sangat apresiatif terhadap dunia anak-anak, karena selain mengajarkan makna kepolosan dan kemurnian, anak-anak sering melahirkan ungkapan-ungkapan yang justru dianggap paling orisinal dan murni. Saya ingat Husein Thabataba’i—si cilik usia lima tahun yang telah fasih hapalan Quran dan meraih gelar doktor kehormatan dari Islamic University College Inggris yang hidup di zaman kita kini—sambil bermain mobil-mobilan dan menarik-narik kabel mikrofon, secara spontan ia menanggapi pertanyaan-pertanyaan penggemarnya dengan mengeluarkan ayat-ayat Quran dengan bahasa Persia yang sangat sastrawi dan syarat inspirasi.

Baik al-Hallaj maupun Nietzsche, banyak bersinggungan dengan dunia fantasi infantil. Apa yang menarik pada kedua tokoh ini bukan pada ada tidaknya pengaruh al-Hallaj terhadap Nietzsche, melainkan ketajaman imajinasi al-Hallaj yang telah menyumbang bagi perkembangan genre tafsir alegori mistikum. ”Dalam sifat dasar Adikodrati, kata al-Hallaj, terkandung sifat dasar adimanusia”. Dalam Adimanusia, kata Nietzsche, terkandung sifat Adikodrati. Di kalangan sufi, Adam sering dianggap adimanusia yang menjadi huwa huwa, ”persis Dia”, tapi kata Ibnu ’Arabi pula: ”Dia bukan Dia”.

Al-Hallaj telah mengajarkan tentang lingkaran “titik primordial”, Nietzsche seakan mengganti radar kecemasan Eropa dengan mengatakan: “kembalinya segala sesuatu secara abadi” setelah munculnya Adimanusia (Ubermensch). Dan bahala yang menimpa al-Hallaj di tiang gantungan puluhan abad lampau itu, telah mengajarkan pada kita tentang rahasia rasa pribadi yang tak sudi dibagi, sebagaimana juga bisa kita baca pada getaran imaji Albert Camus atau George Orwell ketika menuliskan adagium-adagiumnya saat menatap dingin tubuh para martir yang terkulai lemas di tiang gantungan dalam esai-esai mereka yang brilian.

”Bunuhlah aku, O sahabat-sahabatku yang terpercaya”, pekik al-Hallaj, ”karena dalam pembunuhanku adalah kehidupanku”. ”Aku mati sebagai mineral, dan menjadi tanaman. Aku mati sebagai tanaman, dan muncul sebagai hewan. Aku mati sebagai hewan, dan aku adalah manusia”, tulis Rumi dalam secarik sajak alegori mistik yang mengenang al-Hallaj.

Dalam melukiskan tragisnya kematian, al-Hallaj menjawabnya dengan prosa kefanaan—prosa kematian sekaligus kehidupan kembali. Kematiuan mesti disambut karena mempercepat pertemuan dengan Kekasih. Tragedinya, seperti halnya kisah bahala dalam legenda lama, epos atau mitos, sering kali resisten terhadap kekuasaan, dan oleh karena itu mereka tak bisa lama menghirup udara dunia. Para martir, sepanjang hidupnya, kerap kali berada dalam ruang antara dan bayang-bayang kematian. Hanya dengan begitu mereka bisa hidup dalam lorong-lorong jiwa manusia dalam setiap zaman dan masa. Al-Hallaj menggapi kehidupan yang berpuncak-puncak melalui kematian. Dan inilah tujuan para sufi. ”Maut itu indah, sebab ia menggabungkan sahabat dengan Sahabat”, tulis sufi Yahya.

Al-Hallaj dan para martir sesudahnya, telah menunjukkan kepada kita sebelum yang lain-lain tentang bagaimana cara memanusiawikan kematian. Namun, para martir kerapkali membikin orang-orang yang ditringgalkannya hidup dalam ”epidemi kematian”. Para martir tak jarang justru membius kita dengan keinginan untuk berkorban demi perubahan nilai perjuangan. Padahal, seperti ditandaskan Nietzsche, mengorbankan diri demi perubahan nilai perjuangan hanya akan menjerumuskan orang lain yang fanatik ke lembah kematian.

Dengan memilih sebagai martir, murid-murid al-Hallaj merasa apa yang diajarkannya adalah benar, bahkan menganggap dirinya sebagai wali di atas para wali. Pernahkah kita di sini membayangkan al-Hallaj menghayati Tuhannya sebagai apa yang dalam bahasa kita dengan sederhana sering dinamakan “kemanunggalan aritmetik”? Sebuah penyatuan, di mana, katanya, “Tuhan tak pernah bisa terumuskan, tak memiliki perhitungan, permulaan, atau akhir yang dapat mencapai-Nya”.

Sufi memang akrab dengan misteri-misteri bilangan, dan tak henti-hantinya mempersoalkan bilangan-bilangan yang dianggap misteri dan mengandung nilai khusus. Ketika suatu waktu al-Hallaj ingin menyampaikan kesaksian mata batinnya, seorang tiba-tiba berlari mencari pertolongan padanya dengan jiwa yang kosong. Karena takut pada percikapan kembang api yang berletusan di udara, dan tertipu oleh segala hasrat dunia, hancur, berantakan, lalu dari dalam mulutnya tampak mengeluarkan percikan lidah api.

Sebagai mana dilukiskan al-Hallaj lewat perlambangan yang agak absurd namun dahsyat ini: “Aku mengisap samudera keabadian yang dalam, karena ia yang mencapai Titik Primordial akan menyusuri tepian laut malam hari; membiarkan diri digaram olehnya, berguling dalam debu-debu api. Sayang, ia tiba-tiba menghilang dari pandanganku, dan aku melihat sekawanan burung bertebaran di tubuhnya; terbang dengan dua sayap batinnya. Sayang, ia tak percaya apa yang aku katakan; ia lebih memilih terus terbang hingga di kejauhan malam”.

Di tengah samudera yang kelam, bayangan ke hitam-hitaman seakan datang menerjang, dan sang petualang pun berkata: “Aku terbang dengan kepak sayapku, nuju Kekasihku. O, karena tak satu pun menyerupai Ia, lalu ia pun roboh; terjungkal dalam laut pemaknaan, tenggelam. Ia bertanya kepadaku soal kesucian, kujawab: retakkan sayap-sayapmu dengan pedang kefanaan. Bila tidak, jangan berharap ikut aku.”

Mari kita renungkan juga permadani kata yang diucapkan al-Hallaj ini: “Keagungan bagi Tuhan yang Mahasuci, Ia yang takkan pernah terjangkau ajaran-ajaran para ahli makrifat, bahkan intuisi para Rasulullah yang menerima wahyu suci sekali pun”. Atau, seperti kritiknya tentang dikotomi “orang awam” dan “orang terpilih” sebagai apa yang disebutnya dengan jalan ke “lorong-lorong waktu dari apa yang mereka tempuh itu ternyata lenyap; dualitas itu pun kabur, dua tonggak itu pun lebur, dua dunia keadaan itu pun hancur; dan segala bukti dan makrifat pun habis-kikis-tak berbekas!”

Dalam kitab at-tawasin bab ”Misbah Kenabian” terjemahan Muhammad Al-Fayyadl, al-Hallaj melukiskan Muhammad sebagai “substansinya cahaya, dawuhnya profetik, makrifatnya surgawi, bentuk ekspresinya berlogat Arab, bangsanya ‘bukanlah Timur atau Barat.’” itulah bangsa yang ”non-tempat”. Sebuah pandangan yang menarik dibandingkan dengan ungkapan Nietzsche yang ditulis belakangan dalam Penari Jagatnya, yang tidak lagi terikat pada suatu tempat saja, melainkan dengan ringan memutar dan beralih dari satu posisi ke posisi lain. Dan inilah yang dicari Nietzsche: Tuhan yang menari.

Penari Jagatnya Nietzsche, kata Huston Smith dalam Agama-Agama Dunia, adalah sang Warga Dunia itu, yang mengingatkan kita pada Descartes yang tetap akan menjadi putra kandung dari kebudayaan yang melahirkannya, tetapi ia akan mempunyai hubungan darah dengan semua kebudayaan yang ada. Bukan Barat bukan Timur, inilah warga dunia yang belum sempat terwujud kendati telah lama jadi impian para penyair dan kaum sufi.

—————
Asarpin lahir dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung, dengan skripsi berjudul Magi dan Religi dalam Pendekatan Fenomenologi. Selama kuliah, aktif berorganisasi di lingkungan internal kampus, dan suka baca buku religi, filsafat, dan sastra. Belakangan mulai tertarik dengan buku-buku sains.

Setelah kuliah, pernah hijrah ke Jakarta. Di kota banjir dan rawan penggusuran ini sempat magang di kampung kaum miskin kota dalam rangka pelatihan Pendampingan Komunitas Miskin Perkotaan yang dikoordinir oleh Urban Poor Consortium (UPC) Jakarta. Setelah magang kemudian bergabung dengan UPC dan sempat menjadi staf Litbang selama tiga tahun (2002-2005).

Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Pernah memimpin beberapa kali demonstrasi bersama kaum miskin di Jakarta dan di Lampung.

Tahun 2008 diundang Kepala Kantor Bahasa Propinsi Lampung sebagai penyaji tentang apresiasi sastra dalam rangka Kemah Sastra Siswa dan Guru SMA Se-Propinsi Lampung. Tahun 2009 mengikuti program penulisan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) untuk genre Esai. Terakhir sebagai pembicara pada ”Temu Sastra Nusantara MPU—V” 1-3 Oktober 2010” di Taman Budaya, Lampung.

Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post dan Radar Lampung, serta sesekali menulis tinjauan buku di media lokal dan nasional. Di antara esai-esai yang pernah dipublisir, sebagian diterbitkan kembali di buku ini dengan sejumlah revisi.

Karya yang telah diterbitkan adalah Cerita-cerita Jak Bandar Negeri Semuong (BE Press, Bandarlampung, 2009), yaitu buku kumpulan cerpen berbahasa Lampung. Buku ini meraih penghargaan Sastra Rancage dari Yayasan Rancage Bandung tahun 2010. Menulis beberapa puisi yang tidakpernah diterbitkan. Juga beberapa cerita pendek dan cerita panjang yang masih terus dalam pengolahan. Sumber: http://asarpin.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest