Selasa, 12 April 2011

Sabha..., Sabha Ning Sabha

Arus Balik Gedong Kirtya
IBM. Dharma Palguna
http://www.balipost.com/

TAK berlebihan bila sastra itu diibaratkan seperti air, yang mengalir ke tempat yang lebih rendah. Jika sastra atau pengetahuan itu diibaratkan Dewi Saraswati, maka seperti mungkin telah kita ketahui bersama bahwa Saraswati itu adalah juga nama salah satu sungai suci. Jadi, sastra bukan hanya air yang mengalir, tapi air suci yang mengalir. Tepatnya, air yang disucikan oleh orang yang bersastra. Air suci itulah yang menyucikan. Orang disebut bersastra (nyastra) bukan karena ia punya pengetahuan tentang sastra, atau ia punya koleksi buku sastra, atau ia sering membuat tulisan tentang sastra, atau rajin mawirama, mabebasan, mapepaosan. Semua itu bukan, tapi karena ia berpikir dengan sastra, dan ia adalah seakan perwujudan dari sastra itu sendiri.

Seperti aliran sungai, jiwa sastra mengembara untuk mencari dan menemukan jodohnya, yaitu orang-orang yang mengikhlaskan dirinya untuk dijadikan apa saja oleh sastra, termasuk untuk tidak dijadikan apa-apa pula. Pada zamannya jiwa sastra itu mengembara berbadankan lontar. Rasa hormatlah yang menyebabkan lontar itu kemudian disebut-sebut sebagai pustaka, sebagai pusaka, sebagai candi-sastra. Di depan candi-sastra itu laki-laki duduk bersila dan perempuan bersimpuh memusatkan pikiran, memusatkan penglihatan, mengatur nafas, dan mengeluarkan suara dituntun oleh huruf demi huruf yang tertatah pada lempir demi lempir lontar itu. Bunyi dan arti bergerak ke segala penjuru bersaranakan udara dan angin. Dengan cara itulah jiwa sastra menyusup ke ruang-ruang dalam rumah, dan ke ruang-ruang dalam pikiran, dan ruang dalam hati.

Misalnya, ketika Mpu Tantular selesai mengarang kekawin Sutasoma, tentulah pada saat itu hanya ada satu lontar Sutasoma, yaitu lontar milik Mpu tantular dengan tulisan tangan Mpu Tan Tular. Kakawin dalam lontar itu kemudian menemukan jodohnya, yaitu orang yang jatuh cinta pada kakawin dalam lontar itu. Terjadilah kemudian 'pernikahan' yang sah, karena direstui oleh Mpu Tantular. Upacara pernikahannya terjadi ketika kakawin itu disaling huruf demi huruf, kata demi kata, baris demi baris, ke dalam sebuah lontar baru. Maka lahirlah turunan lontar Sutasoma sebagai hasil pernikahan itu.

Itulah ilustrasi pernikahan dewasaksi dan manusasaksi. Saraswati yang ada dalam setiap candi-aksara adalah dewasaksi. Mpu Tantular dan peminjam yang menyalin lontar itu serta orang yang mengetahui proses penyalinan itu adalah manusasaksi. Dalam ilmu Philology lontar salinan itu memang disebut saksi. Karena dalam perjalanan waktu yang panjang, sering terjadi lontar asli yang berisi tulisan tangan pengarangnya sudah tidak lagi tersedia, sedangkan yang tertinggal hanya salinan-salinan keberapa kalinya. Lontar salinan itulah saksi yang ada. Misalnya, lontar-lontar Sutasoma yang ada di Bali dan Lombok saat ini, adalah lontar-saksi dari lontar Sutasoma yang berisi tulisan tangan Mpu Tantular.

Jadi, ketika satu buah lontar menemukan jodohnya, lontar itu kemudian disalin. Demikian seterusnya, sehingga dari satu lontar pertama setelah melewati perjalanan waktu sekian abad akhirnya menjadi ratusan bahkan mungkin ribuan lontar. Sebuah lontar telah beranak, bercucu, berbuyut, dan entah apa lagi sebutannya.

Demikianlah lebih kurang proses perkembangbiakan sebuah karya sastra klasik, dengan contoh Kakawin Sutasoma dan lontarnya. Kakawin dalam lontar itu menyebar sampai ke pelosok-pelosok. Keberadaannya dijaga dan diapresiasi oleh komunitasnya sendiri-sendiri. Sakralisasi lontar dan proses penyalinan ke dalam lontar baru adalah salah satu bentuk penjagaan. Mabebasan, mawirama, mapepaosan, adalah salah satu bentuk apresiasi yang paling populer. Apresiasi terjadi dalam komunitasnya sendiri yang bersifat mandiri. Karena itulah, komunitas seperti itu seperti sebuah republik kecil yang independen. Ia mengadakan dirinya sendiri, mengisi dirinya sendiri, dan ketika kelompok ini menonaktifkan dirinya tentulah juga karena diri mereka sendiri. Memang seperti itulah sastra, dan seni pada umumnya, yang ciri utamanya adalah kreativitas.

Namun demikian, sejarah telah memberitahu kita bahwa kehidupan tidak semata masalah sastra dan sakral itu. Kehidupan adalah juga masalah politik dalam arti luas. Salah satu pertanyaan politis adalah: di manakah pusat kehidupan sastra/ lontar itu? Jawabannya bisa seperti ini: di mana ada orang bersastra, benar-benar bersastra, di sanalah sastra itu berpusat, baik pada diri orang itu, maupun di tempat kediaman orang itu. Jika ada beberapa orang benar-benar bersastra dalam satu wilayah, maka akan ada beberapa pusat sastra di sana. Pusat sastra seperti itu disebut sabha dalam bahasa Kawi, dan figur pemimpinnya disebut sabha ning sabha.

Lalu, mengapa dulu didirikan Gedong Kirtya di Singaraja yng bertujuan mengumpulkan dan menyimpan lontar-lontar? Jawabannya akan sama dengan jawaban dari pertanyaan, mengapa kemudian Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali didirikan di Denpasar yang juga mengumpulkan dan menyimpan lontar-lontar? Singaraja adalah pusat pemerintahan ketika itu, sama seperti Denpasar adalah pusat pemerintahan masa sekarang. Jadi, jawabannya: ada pemikiran menjadikan pusat pemerintahan sebagai pusat sastra.

Pusat sastra. Apa pula itu? Bukan hanya lokasinya yang ada di pusat kekuasaan, lebih dalam lagi, Gedong Kirtya dan juga Pusdok itu sendiri latar belakang cita-cita politik kebudayannya adalah pemusatan lontar. Ke pusat sanalah orang-orang diharapkan datang. Dari pusat sanalah penyebarluasan sastra diharapkan akan mulai. Dan dengan sendirinya, di dalam pusat sanalah kendali itu dipegang. Kendali itu dibahasakan sebagai pelayanan publik.

Gagasan pemusatan itulah yang menarik perhatian, karena beberapa alasan. Pemusatan adalah terminologi politik praktis, yang dalam arti luas adalah kendali, pengawasan, pembatasan, dan pengajaran dengan metodologi yang dianut oleh kuasa ilmu dan politik. Sedangkan, sastra adalah sebuah dunia kreatif yang semakin berkembang justru ketika pengwasan seperti itu muncul dari dalam sastra itu sendiri.

Seperti diuraikan di atas, penyebaran sastra itu seperti aliran air ke tempat lebih rendah, yang selalu mencari dan menemukan jodohnya pada orang-orang yang jatuh cinta padanya. Oleh karena itu, pemusatan lontar adalah sebuah arus balik. Air mengalir ke pusat. Pusat itu adalah hulu. Itulah arus balik namanya, ketika air mengalir ke hulu. Arus balik pula namanya ketika mahasiswa diajarkan berpikir menyusuri lontar-lontar saksi untuk mencari otograf tulisan tangan Mpu Tantular, misalnya.

GEDONG Kirtya dan juga Pusdok memberitahu kita bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah kolonial ketika itu ditiru oleh pemerintah orde-orde berikutnya. Jika pelanjutan itu sebuah pilihan yang dilakukan oleh intelektual dan birokrat Indonesia modern, tentu mereka memiliki sejumlah argumentasi pembenarnya. Tepat-tidaknya sebuah pilihan sangat ditentukan oleh apa yang ingin mereka capai. Tapi jika ini bukan sebuah pilihan, melainkan hanya kelanjutan begitu saja dari apa yang sudah ada, maka kita masih akan menyaksikan pertunjukan seperti yang saya coba ilustrasikan di bawah ini.

Masyarakat membuat sungai-sungai kecil untuk mengalirkan sastra ke dalam komunitas-komunitasnya, dan pemerintah membuat bendungan untuk menampung air-sastra itu dan kemudian pemerintah yang mengatur ke mana dan dengan cara bagaimana air-sastra itu dialirkan.

Atau, seperti dua buah pertunjukan berbeda. Yang satu pertunjukan mahal-kolosal di atas panggung besar berwibawa tapi sepi penonton, karena masyarakat peminat merasakan ada jarak antara diri mereka dengan suasana dan tempat pertunjukan itu. Yang kedua adalah pertunjukan rakyat sederhana di panggung kecil tapi sangat meriah. Masyarakat-peminat datang dengan senang hati, karena merasa itu memang dunianya.

Sastra membutuhkan kuasa politik dalam arti pengayoman. Raja Dharmawangsa Teguh pernah mencontohkannya. Ia mensponsori dan memotivasi para sastrawan untuk membahasa-jawakunakan parwa-parwa Mahabharata. Seperti sungai besar, karya itu mengalir jauh sampai sekarang hingga ke pelosok-pelosok.

Minggu, 07 Juni 2009 | BP

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest