Rabu, 13 April 2011

Ibu Bumi

Rodli TL
http://sastra-indonesia.com/

Sinopsis:
Seorang ibu, bagi anak-anaknya adalah bumi. Wajahnya adalah dedauanan menyambut fajar, sejuk menyelimuti. Jiwanya adalah ladang berbenih, penuh dengan kicauan burung pagi.

Anak-anak kemudian bertanya tentang bapaknya. Ibu berkata bahwa bapaknya adalah matahari, pergi dalam gelap datang membawa cahaya. Anaka-anak terus menuntut jawaban yang lebih tentang ayah yang matahari itu. Ibu kemudian sulit bersikap, lalu dengan berat hati pergi meninggalkan anak-anaknya.

Lama ibu tak kembali. Anak-anak mencarinya. Kepergian ibu akan mencerabut akar-kar tumbuhan, padahal anak-anak masih ingin melihat taman di rumah yang bunganya bermekaran, kebun yang biji-bijiannya bisa dimakan. Kepergian ibu membuat anak-anak lunglai, dedaunan layu, tiada lagi nyanyian kumbang dan tarian kupu-kupu.

Anak-anak kemudian memutuskan untuk mencari ibu yang lama tak kembali. Mereka tak menemukannya. Yang mereka temukan hanyalah pertengkaran-pertengkaran tentang apa saja yang mereka temukan di pinggir jalan.

Setting:
Setting cerita ini adalah diawali di taman rumah yang penuh dengan bunga-bunga. Kemudian berlanjut di jalanan yang gersang.

Tokoh:
1. Ibu, mulai terlihat garis pada wajahnya, lantaran beban yang ditanggungnya.
2. Sia, anak perempuan yang paling kecil. Masih terlihat paling manja.
3. Bam, kakak laki-laki Sia yang gagap.
4. Mata, kakak Bam, anak perempuan yang paling cerewet dan kadang egois.
5. Manto, anak laki-laki yang agak jahil, juga tidak mau mengalah kalau berdebat.
6. Ifik, Anak laki-laki yang karakternya biasa-biasa saja
7. Ovan, saudara tertua. Anak laki-laki yang jiwanya sudah mulai dewasa.

Ibu Bumi
Karya: Rodli TL

Suara musik bertalu dalam gelap.
Nyanyian sluku bathok memanggil cahaya.
Cahaya temaram, cahaya terang menyisir gelap panggung,
menyirami kerumunan anak-anak berwajah putih.
Sumber dari musik, sumber dari nyanyian.

Sluku-sluku bathok
Bathoke ela-elu
Si Romo menyang solo
Le-olee payung modo
Mak jentit loloba
Sing mati ora oba
Sing oba medeni bocah
Sing urip goleko duwit

Musik diam
Nyanyian diam
Tubuh-tubuh statis dengan tarian,
Wajah-wajah mengekpresikan nyanyian.

Hening

Seorang ibu muncul dengan nyanyiannya. Ia menari dengan menggendong bayi, Ia lambaikan selendang gendongan mengudang bayinya. Nyanyiannya sama seperti pembuka adegan.

1. Ibu : Anakku, kau adalah anak bumi dan matahari

Jiwamu akan tenang bersama ibu. Ibu adalah bumi yang mengandung sari patih, penuh dengan akar-akar tumbuhan

Sedangkan ayahmu
Ia adalah matahari,
Pergi dalam gelap datang membawa cahaya
(lalu Menyanyi)
Puk-upuk ubang
Gedindang nabo gendang
Percil nabo gender
Kodok mbegogok
Ceblong megal-megol

Tubuh-tubuh yang statis ikut bergoyang, ikut menyanyi dengan gemulai tubuh yang menggemaskan, seperti bayi yang sedang dikudang.

2. Anak-anak : (menyanyi mengikuti nyanyian Ibu)

Ibu diam pada satu tempat. Menyaksikan anak-anaknya yang sedang menyanyi dan menari dengan senyuman

3. Sia : Ibuku, kau adalah bumi

Wajahmu adalah dedauanan menyambut fajar,
Sejuk menyelimuti
Jiwamu adalah ladang berbenih,
Penuh dengan kicauan burung pagi

Aku menyusumu ibu, bagai samudra
Tidak pernah habis kasih sayangmu

Upuk-upuk ubang, engkau mengajakku bermain
Bagai anak-anak katak menyambut hujan

Anak-anak bermain dan menyanyi. ia bergerak berenang, melompat-lompat seperti anak katak dalam deras hujan.

4. Mata : Hujan telah reda, hujan telah reda…….!
Berhenti menyanyi!

5. Manto : Kenapa mesti berhenti?
6. Mata : Lihat langit, ia sedang meminta kita berhenti menyanyi
7. Bam : Apa bukti ia mengatakannya?
8. Mata : Lihat, langit tidak menurunkan hujan lagi, hujan telah reda
9. Manto : Justru katak-katak akan semakin nyaring bernyanyi kalau hujan mulai reda

10. Mata : Tapi kita bukan katak-katak, kita adalah anak-anak beribu bumi dan berayah matahari

Anak-anak kembali bernyanyi dan menari. tariannya mempertegas tentang keluasan kasih sayang ibu dan keperkasaan ayahnya.

Ibuku bumi
Ayahku matahari
Berhenti

11. Ifik : Ya, saya berpendapat, kita memang harus berhenti bernyanyi bila kita ingin bertemu dengan ayah kita

12. Ovan : Ya, bila jiwa-jiwa kita menjadi katak, ayah akan takut datang, bukan lantaran malu melihat kita yang kerdil, ayah yang matahari itu takut akan menyakiti kita. Katak adalah binatang yang takut akan sengatan matahari.

Tiba-tiba ibu muncul lagi dengan nyanyiannya. Lembut ia menyanyi. Ada rasa gundah menunggu sang ayah datang untuk menyinari jiwanya.

13. Bam : Lihat ibu, jiwanya berlinang ia harus dihibur dalam hujan jangan biarkan mendung terus menebal kita harus bernyanyi lagi seperti katak-katak dalam hujan

14. Mata : Tapi hujan telah berhenti
15. Manto : Apa, hujan telah berhenti?

Tidakkah engkau melihat bahwa ada gerimis pada mata ibu, ada mendung tebal dalam jiwanya

16. Bam : Dan kita akan menjadi katak-katak yang bernyayi.

Syairnya adalah dendang tawa riuh.
Rasa damai pada jiwa-jiwa yang mendengarkannya

17. Mata: Tidak, kita tidak boleh bernyanyi, kita tidak boleh tertawa bila ada satu bagian dari kita yang duka

18. Manto : Justru ibu akan bertambah sedih bila kita ikut bersedih.
19. Mata : Tapi, kita adalah satu tubuh dengan ibu, bila satu bagian ada yang sakit, maka bagian yang lain ikut merasakannya

20. Bam : Tapi, tidakkah kau tahu, bahwa kebahagiaan seorang ibu apabila melihat buah hatinya bahagia

21. Ifik : Akan tetapi, pantaskah kita bergembira ria sedangkan ibu menderita

22. Mata : Perlu saya tegaskan, kita adalah satu tubuh, dalam suka dan duka kita harus berbagi bersama

Ibu berjalan mendekati anak-anaknya. Ia membelainya satu bersatu dengan kasih sayang.

23. ibu : Menyanyilah anak-anaku!

Dirimu yang masih putih adalah deretan syair-syair keceriaan.
Kalian ciptakan menara-menara tawa. Kalian yang membuatku hidup penuh harap, berharap sang matahari datang, menyinari isi taman
rumah.

Daun-daun hijau menyambutnya dengan mekar bunganya.
Musik sedih
Ibu kemudian diam menerawang. Raut wajahnya mulai terlihat sedih. Lama-lama mengalir air matanya. Tiba-tiba ibu bergegas pergi meninggalkan anak-anaknya

24. Sia : (berteriak memanggil) Ibu……! Engkau kemana……!

Jangan tinggalkan kami ibu………..!

Sia berusaha mengejar ibu. suasana menjadi sepi, anak-anak saling berpandangan.
Tak lama kemudian, Sia kembali pada saudara-saudaranya.

25. Sia : Ibu, jangan kau tinggalkan kami!

Kepergianmu akan mencerabut akar-akar tumbuhan.
Aku masih ingin melihat taman di rumah yang bunganya bermekaran.
Kebun yang biji-bijiannya bisa dimakan.
Kepergianmu ibu, membuat kami lunglai.
Dedaunan akan layu.
Tiada lagi nyanyian kumbang dan tarian kupu-kupu.

Anak-anak menangis, mereka bergerak dengan tatapan mata yang sedih. tangisannya menjadi nyanyian duka.

Sia melantunkan nyanyian sedihdi iringi musik

26. Sia :

Oh, ibu air matamu
Ku ingin bersimpu padamu
Nyanyikan dongeng belaianmu
Surga ditelapak kakimu

27. Manto : (berteriak marah) Ini semua gara-gara kamu!
28. Mata : Apa, gara-gara aku?
29. Manto : Ya, gara-gara kamu!
30. Mata : Justru kamu yang membuat gara-gara
31. Manto : Apa, justru aku yang membuat gara-gara?

Anak-anak mulai bertengkar lagi, mereka saling menyalakan. Mereka bergerak berkelompok menjadi dua. gerakanya menjadi tarian yang saling menyerang.

32. Mata : Gara-gara kamu!
33. Manto : Mukamu yang membuat gara-gara!
34. Mata : Gara-gara kamu
35. Manto : Mukamu!
36. Mata : Kamu!
37. Manto : Mukamu!
38. Mata : Kamu!
39. Mata : Mukamu!

Terus mereka bertengkar, semakin lama semakin bergejolak
Semakin lama kemudian mereka mengalami kelelahan

Anak-anak lalu memanggil ibu secara bergantian

40. Anak anak : Ibu, aku kehausan
Aku ingin menyusui kasih sayangmu. Berulangkali mereka memanggil-manggil ibunya, namun tak kunjung datang. Sia melantunkan nyanyian sedih

41. Sia :

Oh, ibu air matamu
Ku ingin bersimpu padamu
Nyanyikan dongeng belaianmu
Surga ditelapak kakimu

42. Ovan : Saudaraku, kita sedang merasakan penderitaan yang sama.

Ibu yang merupakan ladang kasih sayang buat kita telah pergi. Kita menjadi itik yang kehilangan induknya. Kita harus mencari ibu sampai ketemu
Mereka bergerak bersama mencari ibunya. Lama kemudian mereka belum menemukan.

Malam hari terus mencarinya dengan membawa lenter. Mereka bergerak seperti perahu terombang-ambing ombak di malam hari

Pagi harinya mereka tertidur lelap.

Sia bangun lebih awal. lalu ia membangunkan saudaranya dengan nyanyian.
Nyanyiannya cukup ceria kali ini.

43. Sia :

Inilah pagi ayam jantan berkokok
Membangunkan matahari
Embun-embun bercengkrama
Pada rerumputan

Anak-anak tersentak bangun. Ia seakan mendengar nyanyian yang seringkali dilantunkan ibunya ketika pagi hari.

44. Mata : Ibu, kau datang ibu
45. Manto : Ya ibu, aku rindu
46. Bam : Ibu, kemana saja engaku pergi
47. Ifik : Aku ingin memelukmu ibu
48. Ovan : Ayo kita pulang ibu

Anak-anak seakan betul-betul menemukan ibunya

49. Sia : Ibu masih belum kita temukan
50. Mata : Tapi aku sudah menemukan, aku menemukan suarahnya
51. Manto : Ya, ia melantunkan tembang yang biasa ia nyanyikan ketika membangunkan kita

52. Mata : Dimana ibu, dimana ia sekarang?
53. Sia : Aku yang menyanyikan tembang itu untuk membangunkan kalian. Aku ingin kalian segera bangun dan cepat melanjutkan pencarian. Aku sungguh merindukan ibu. (melamun)

54. Ovan : Ayo kita kemasi barang-barang dan melanjutkan perjalanan

55. Mata : Sebelum berangkat, saya berpendapat sebaiknya kita berpencar

56. Bam : Ya, saya setuju. Kita harus berpencar, bergerak ke empat Penjuru, dan disini adalah titik poros dimana kita berpisah dan bertemu

57. Manto : ya, mulai hari ini kita bergerak mencari ibu ke beberapa penjuru yang berbeda.

Anak-anak bergerak dengan memanggil-manggil ibunya. Pencarian itu berlangsung beberapa waktu.

Tiba-tiba Mata dan Manto bertemu pada satu tempat.

58. Manto : Hai, kenapa kau berada di sini?
59. Mata : Ini wilayahku
60. Manto : Wilayah ini adalah mata angin yang kutujuh
61. Mata : Kamu salah arah. kamu mungkin menikung dalam perjalanan

62. Manto : Kamu yang mungkin tidak konsisten dalam pencarian, sehingga kau kini berada di wilayaku

63. Mata : Tidak, kau yang salah. Ini adalah arah yang aku tujuh
64. Manto : Tidak, kau yang salah. ini adalah arah mata anginku. ini daerah kekuasaanku

65. Mata : Arah mata anginku

Mereka berdua terus berdebat merebutkan kebenaran mata angin yang masing-masing mereka tujuh.

Tiba-tiba satu persatu muncul pada tempat yang sama, yaitu daerah yang kini sedang dipersengketakan.

66. Ifik : Hai, kenapa kalian bertengkar di sini?

Mata dan Manto berhenti berdebat, dan saling menatap dengan tatapan tanya.

67. Mata : Kenapa kalian semua kemari
68. Ifik : Kalian juga kenapa berada di sini?
69. Ovan : Pertanyaan itu sama seperti apa yang ada dalam benakku, kenapa kalian berada di wilayah di mana kita berada. Pasti diantara kita ada yang tidak konsisten dalam melakukan pencarian. Tidak setia pada tujuan masing-masing. Peristiwa semacam inilah yang merupakan awal dari pertengkaran, penyebab perang saudara. Ingat, pasti diantara kita semua mengalaminya. Kita pernah berbelok dalam meniti arah tujuan. kita pernah lengah.

70. Ifik : Ya, aku akui itu. semacam ada godaan yang membuatku lengah. Aku menemukan banyak wajah di jalan-jalan, di perempatan-perempatan.

71. Bang : Sama, aku juga menemukannya
72. Ifik : Itu persis terjadi pada diriku, kemudian aku berfikir, pasti diantara wajah-wajah yang dipamerkan itu ada wajah ayah kita

73. Manto : Pasti, pasti. ya aku bisa memastikan
74. Mata : Maksud kamu?
75. Manto : Pasti diantara wajah-wajah itu tidak ada wajah ibu, karena aku mengenal betul wajah ibu.

76. Mata : Pikiran yang tolol itu jangan diutarakan
77. Manto : Maksud kamu?
78. Mata : Siapa yang tidak mengenal ibu diantara kita. Ibu bukanlah

Politkus murahan yang dipamerkan di perempatan-perempatan.
Ibu tidak memiliki banyak wajah apalagi banyak rupa. Ibu kita adalah satu bumi yang memiliki akar-akar kasih sayang, yang jiwanya terus-menerus menjadi tempat tinggal anak-anaknya.

79. Manto : Dosa besar kamu, melakukan apa yang kamu larang
80. Mata : Maksud kamu?
81. Manto : Kamu mengatakan bahwa fikiran-fikiran itu adalah ketololan, sedangkan yang kamu ungkapkan tadi apa, apa bukan ketololan juga?

82. Mata : Ketololan itu adalah kita yang masih berusaha membandingkan ibu kita dengan para perempuan yang hanya ingin menjadi selebritis di jalan-jalan. Sekali lagi, ibu kita hanya ingin anak-anaknya punya cita-cita besar dan berakhlaqul karimah, berani menolak yang dholim karena akan mendapat lebih dari sepuluh kebaikan dari yang ia tolak.

83. Manto : Pandai juga kamu berdeplomasi. Apa yang kau sampaikan tidak sama dengan tabiat yang kamu perbuat. Jangan-jangan kau iri dengan para politikus-politikus itu yang berkesempatan memamerkan wajahnya di slokan-slokan tempat sampah. Terus terang aja, irilantaran tidak punya kendaraan, iri lantaran tidak punya uang.

84. Mata : Shut up! tutup mulutmu. Aku anak ibu bumi dan ayah matahari. Aku adalah saudaramu seibu dan seayah. kamu tahu sendiri. Ibu dan ayah tidak pernah mengajari anak-anaknya tentang kemunafikan. Ibu dan ayah tidak pernah mengajari anak-anaknya menggunakan segala cara untuk menggapai keinginannya.

85. Ovan : Hentikan!……… hentikan semua omong kosong itu!

Selama ini aku adalah orang yang paling kuat menahan amarah. Namun kali ini dadaku terasa membuncah, telingaku mau pencah mendengar ocehan-ocehan itu. Sungguh amarahku ingin meledak setiap kali mendengar kemunafikan yang terus-menerus diperdagangkan, terlebih lagi kemunafikan itu mulai menyusup dalam darah dan fikiran kita. Ini adalah penyakit yang paling akut. (berteriak-teriak dengan menangis) Aku benci! Aku muak! Aku marah! Aku tak mau lagi omong kosong itu!

Tiba-tiba semua anak ikut berteriak histeris

86. Anak-anak : Hentikan omong kosong kemunafikan. Aku, juga saudara-saudaraku tak mau menderita penyakit yang paling nista, menjadi pembohong, menjadi penipu. Aku masih ingin setia pada ibu yang mengajari kasih sayang. Aku masih ingin setia pada ayah yang matahari, yang mengajariku dengan tegas menolak segala cara dusta dan tipu daya. hentikan omong kosong kemunafikan itu!”

kalimat-kalimat itu bersahut-sahutan seperti halilintar, menyerbu pohon-pohon, menara-menara, gedung-gedung terbang menjadi mendung gelap.

87. Sia:

Oh, ibu air matamu
Ku ingin bersimpu padamu
Nyanyikan dongeng belaianmu
Surga ditelapak kakimu

Suasana pelan mulai diam. diam-diam merenungi diri, diam-diam mengaliri isi hati.

TAMAT
Lamongan, Januari 2009

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest