Muhammad Amin
http://www.lampungpost.com/
MARI kukisahkan kembali beberapa potong cerita tentang batu. Cerita-cerita ini tercecer begitu saja di lepau atau kedai tuak Wa Isah sebelum kusampaikan lagi kepadamu. Cerita yang kupunguti satu per satu dari mulut kawan yang menyeracau sambil tersedak. Kebiasaan yang tak pernah kita lupakan: mangkal di kedai tuak sembari menunggu Abdul Manan, si tukang cerita itu menyampaikan warahan yang memikat.
O, si tukang cerita tak akan membuka warahan-nya bila tak disuguhi tuak. Mula-mula ia berlagak mengantuk atau mengempaskan batu gaple ke meja. Itulah pertanda ia ingin dibelikan tuak, kemudian mulai bercerita. Ya, cerita yang seban pagi kita tunggu-tunggu mengalir dari mulutnya yang lincah berkisah.
Di tanah kami, katanya, banyak batu yang memiliki kisahnya sendiri. Batu, meskipun tak lebih dari benda mati, tetapi tetap saja menyimpan nasibnya sendiri. Terkadang ia dipaksa menjadi terasa hidup dan menjadi bagian dari kehidupan kita. Sehingga batu tidak benar-benar mati dalam diamnya. Bahkan ia akan tetap hidup bila ada yang menceritakannya. Ia memiliki persepsi, tergantung dari empu atau orang yang kebetulan mengisahkannya. Memiliki versi, sebagaimana cerita-cerita yang disampaikan secara lisan.
Batu, sebagai benda mati, tak pernah menolak menjadi bahan cerita. Dalam diamnya, batu telah menerima nasibnya dengan lapang dada sebagai batu—baik yang memiliki muasal atau cuma benda mati—sama saja.
Dan batu yang ingin kukisahkan di sini sebagian pernah kudengar dari warahan tamong-kajong sembari memijit atau mencari uban ketika masih kanak-kanak dulu.
Batu Kerbau
Puari, aku mendengar, dahulu ketika seorang berjuluk Pahit Lidah mengembara dari negeri ke negeri, dari tanah ke tanah baru, binatang-binatang tak lagi pandai bicara tapi mengerti bahasa manusia. Sebutlah seekor kerbau yang berkhianat pergi dari kandangnya, lepas dari pengawasan sang pengembala.
Kerbau yang mendadak liar itu berlari-lari menyeruduk rumah, dan merusak kebun-kebun. Orang-orang menyerapahinya. Mereka mengejar, tapi sang kerbau kelewat ganas untuk dikendalikan. Akibatnya ada satu dua orang terluka, yang lain keberaniannya menciut. Mereka tak dapat menaklukkan sang kerbau. Kemudian pergi ke rumah si pemilik kerbau, meminta pertanggungjawaban.
“Apakah yang harus aku lakukan, sementara aku sudah kehilangan kerbau kesayanganku?” ucap si pemilik kerbau mengiba.
“Kami tak mau tahu apa-apa mengenai urusanmu. Kami hanya mau kerusakan dan kerugian yang kami alami harus diganti dengan setimpal.”
“Aku tak memiliki apa-apa selain kerbau-kerbau itu. Dan jika kalian mengambilnya, aku akan kehilangan hartaku paling berharga. Padahal aku tak memiliki keahlian apa pun selain mengembala. Apa kalian tega mengambil sumber penghasilanku?”
“Kami tak mau peduli. Itu urusanmu. Kami hanya mau kerugian yang kami alami harus terbayar.” Kemudian orang-orang itu menyeret kerbau milik si pengembala.
“Kalian telah berbuat aniaya. Padahal aku dan anak istriku hidup dari kerbau-kerbau itu. Kalian sudah mengambil sumber penghidupan kami, berarti kalian sudah membunuh kami,” ucap sang pengembala sembari terus mengiba.
Namun, orang-orang itu tak menggubrisnya. Mereka pergi membawa tiga ekor kerbau dan dua ekor yang masih kecil. Si pengembala itu menangis.
“Ah, kerbau kesayanganku. Mengapa kau membuatku susah begini? Padahal aku sudah mengurusmu semenjak kecil, merawat, memandikan, dan memberi makan. Tapi apa yang telah kaulakukan terhadap orang yang telah berjasa kepadamu?”
Si pengembala hanya bisa mengelus dada. Kemudian dengan hati-hati ia menceritakan kejadian itu kepada anak istrinya. Mereka pun menangis tersedu-sedu.
Kerbau itu sudah cukup umur dan dewasa. Tanduknya panjang. Matanya nyalang besar-sebagaimana mata seekor kerbau. Tubuhnya besar kekar. Ia berlari sampai ke tempat yang jauh, mencari betinanya yang beberapa hari lalu dijual oleh si majikan di kampung seberang.
Kerbau itu sudah nekat. Ia mau berenang menyeberang Teluk Semaka yang luas. Di penglihatannya, Teluk Semaka tidaklah luas, seperti sungai kecil. Mula-mula ia merasa ragu. Tetapi tekatnya sudah bulat, ia ingin mencapai seberang secepat mungkin.
Alangkah heran Si Pahit Lidah yang kebetulan sedang beristirahat di bawah pohon yang rindang. Dilihatnya matahari yang terik menyemburkan panasnya yang membakar terpancang di atas kepala.
“Betapa buruk perilaku kerbau itu. Ia mandi padahal sedang tengah hari. Di manakah pengembalanya?” kemudian Si Pahit Lidah berdiri dan memanggil si kerbau.
“Hei kerbau! Sebaiknya kau menepi. Apa yang kau lakukan di situ?”
Si kerbau tak menyahut.
“Hei kerbau! Mengapa kau mandi di saat matahari sedang terik? Di mana penggembalamu?”
Si kerbau seolah tak peduli.
“Hei kerbau! Apa kau tak mendengarku? Sebaiknya kau menepi sekarang dan kembali pada penggembalamu!”
Si kerbau tetap tak menyahut seolah bergeming dari tempatnya.
Pahit Lidah merasa dilecehkan dan marah besar terhadap kerbau bodoh itu. Padahal ia berada jauh di atas bukit dan kerbau berada di bawah sana. Tanpa sengaja, atau dipacu oleh kemarahannya, ia bergumam pada diri sendiri: “Alangkah bodoh dan buruk perilaku kerbau itu. Dan ia tuli dan bisu seperti batu!”
Batu Balai, Sebuah Pengakuan
Dahulu, kakiku berpijak di tanah, dapat berlari ke sana ke mari. Masa kanak-kanak yang menyenangkan bersama ibu. Tak habis-habis kasih sayangnya kepadaku.
Kini, sepanjang waktu tubuhku diempas ombak. Kadang diganyang segerombolan badai. Alam menghukumku sedemikian rupa. Pedih yang tak mungkin dirasakan oleh manusia. Pedih yang tak terkira. Tak ada yang mengenaliku. Tak ada yang tahu bahwa aku demikian tersiksa.
Di tengah laut tempatku terpaku. Setelah kapalku dikaramkan ombak bersama kejayaanku yang runtuh. Porak-poranda. Mengeras jadi beku dan diam sepanjang waktu. Meski aku masih bisa merasakan denyut kehidupan, ini seperti mati. Tetapi bukan mati, hanya sesuatu yang amat menyiksa.
Sesungguhnya aku ingin menangis. Tapi, air mataku telah beku jadi batu. Aku ingin meratap. Tapi, isakku telah pula lenyap. Darahku pun tak lagi mengalir karena sudah lama menjadi beku. Namun, jantungku masih saja berdetak. Aku masih hidup. Sebagai batu. Yang terkutuk. Yang dikutuk ibuku sendiri.
Batu Tangkup
Tuah, pernahkah kalian mendengar cerita batu tangkup, batu yang dapat menelan manusia hidup-hidup? Membayangkannya saja kalian akan merinding dibuatnya.
Baiklah. Aku akan mulai bercerita. Dahulu ada sebongkah batu besar teronggok di tepi sebuah kampung. Batu itu tidaklah istimewa, sama seperti sebagaimana batu biasanya. Namun kemudian batu itu berubah menjadi seolah-olah hidup lantaran perilaku orang-orang di kampung itu yang kelewat batas. Mereka suka minum arak, berjudi dan menyabung manusia. Anak-anak kecil sudah pandai melawan orang tua. Mereka tak pernah mengira bahwa batu di tepi kampung itu yang kemudian menghukum mereka satu per satu. Mereka menghilang ditelan sebongkah batu.
Seorang laki-laki yang sangat menyayangi anak perempuannya merasa waswas ketika anaknya tak pulang hingga larut malam. Ia meminta tolong kepada tetangga untuk mencari anaknya. Mereka berkeliling kampung membawa lampu petromak. Masuk ke hutan karet dan damar, mencari sampai ke tepi ngarai, namun anaknya tetap tak ditemukan. Ketika mereka berada di tepi kampung, di mana batu itu teronggok, terdengar suara isak tangis gadis kecil yang ketakutan sembari memanggil bapaknya.
“Aku mendengar suara anakku, ia ada di sekitar sini!”
Setelah beberapa lama mencari, mereka tetap tak menemukannya. Hanya suaranya saja. Tak tampak sosoknya. Kemudian malah ada seseorang di antara mereka tiba-tiba ikut menghilang seolah tertelan malam.
Penduduk di kampung itu semakin sedikit. Setiap hari selalu ada yang menghilang. Setiap kali mereka mencari orang hilang, selalu ada pula yang tak kembali. Hingga penduduk itu benar-benar berkurang, hanya menyisakan beberapa orang. Akhirnya mereka yang masih tersisa memutuskan untuk pindah ke kampung lain yang lebih aman. Kebun-kebun dan rumah ditelantarkan begitu saja.
Setiap kali ada orang yang lewat di sekitar batu Tangkup, selalu mendengar suara-suara. Terkadang suara orang menangis ketakutan. Terkadang suara orang memaki-maki. Ada pula suara orang menjerit-jerit kesakitan. Tetapi lebih banyak suara orang menangis dan tak pernah tampak sosoknya. Hanya suara-suara saja.
(Anak-anak lebih cepat tertidur setelah mendengar cerita batu tangkup)
Batu Penyabung
“Puari, pernahkah kalian mendengar cerita batu penyabung?”
“Ceritakan apa yang kauketahui,” sahut yang lain.
Baiklah. Menurut cerita yang kudengar, dahulu di keramat Pekon Balak terdapat sebuah batu besar berbentuk perahu dijadikan arena sabung ayam. Setiap hari selalu ada yang menyabung ayam, berjudi. Sepanjang hari selalu ramai oleh orang-orang yang bertaruh.
Selesai menyabung, yang menang berteriak-teriak gaduh dan yang kalah menyumpahi ayamnya. Kadang ada yang sengaja mengumpat dengan kata-kata kotor. Bersiul dan segala macam yang seharusnya tak layak dilakukan di tempat keramat. Karena terlalu sering orang menyabung ayam, marahlah penunggu keramat Pekon Balak. Mereka disumpah menjadi batu.
Bentuk batu itu bermacam-macam. Jika dilihat dari dekat bentuknya seperti ayam beruga sedang bersabung. Ada pula bentuk orang yang sedang menggendong ayam jagoannya. Bentuk ayam terbang. Juga bentuk orang yang dikeroyok ayam.
Dari sanalah dinamai batu penyabung. Banyak orang yang datang ke sana untuk maksud tertentu. Orang yang senang berjudi memohon agar menang judi terus-menerus. Orang yang berniaga meminta agar dagangannya selalu laris. Orang yang mencalonkan diri jadi bupati atau kepala daerah meminta agar menang dalam pemilihan. Pemuda-pemudi yang sudah lapuk meminta agar cepat mendapat jodoh. Suami-istri yang tak punya anak meminta agar diberi keturunan.
Mereka tak lupa meletakkan sesaji di atas batu penyabung. Berupa bunga atau koin atau sesaji lain. Kadang anak-anak sekolah ke sana mengambil sesaji itu.
Tapi, benarlah terjadi terhadap orang yang memohonkan sesuatu di batu penyabung. Setiap orang yang pernah ke sana sudahlah tertunai keinginannya.
Batu penyabung ini ada di Ajan, Pekon Ngarip. Taklah terlalu jauh dari kampung kita. Hanya perlu naik bus ke Sukaraja atau sekalian membawa sepeda motor. Juga perlu sedikit ongkos, uang makan, dan terutama sesaji. Bila kalian mau ke sana, bisa sekalian mengajakku. Aku ini bujang lapuk yang tak laku-laku. Miskin pula. Tentu kalian tahu maksudku?
Abdul Manan terkekeh, sembari menenggak tuak, menutup warahannya kali ini. Jika kami bersedia menambah tuaknya, tentu kisahnya akan tersambung lagi.
Kotaagung, 2010
Catatan:
Warahan : Tradisi penuturan lisan masyarakat Lampung, diantaranya berupa dongeng, hikayat, epos dan mitos.
Tamong-kajong : kakek nenek.
Puakhi : panggilan terhadap kawan sebaya atau saudara.
Tuah : panggilan nenek/kakek terhadap cucu.
Batu Penyabung : sumber cerita dari cerpen bahasa Lampung berjudul Cerita-cerita jak Bandar negeri Semuong karya Asarpin Aslami yang mendapat hadiah Rancage.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar