Sabtu, 26 Februari 2011

Bandar Negeri Semuong *)

Asarpin
http://www.lampungpost.com/

MATAHARI di Teluk Semangka hampir tenggelam dibalut awan hitam. Senja masih memancarkan separuh cahayanya di ufuk langit. Bukit Barisan Selatan segera tertutup kabut. Awan hitam bermandikan cahaya keputih-putihan muncul dari lereng Gunung Tanggamus.

Sore itu saya duduk di bawah pohon dadap yang sedang berbunga kemerah-merahan di dekat Bandar Negeri Semuong. Dulu tempat ini dikenal dengan nama Bandar Brunai, pelabuhan kapal mengangkut rempah-rempah yang hampir sama ramainya dengan Teluk Bayur. Para pedagang dari Brunai dan Bengkulu sering singgah ke pelabuhan ini melewati hulu Teluk Semangka melintasi pesisir Krui.

Udara di sekitar bekas bandar perdagangan rempah-rempah ini begitu dingin dan bersih. Daun-daun pohon dadap tampak lebih hijau, bunga-bunga yang memerah menyebarkan harum wewangian. Memerah seperti gerbera. Putik-putik buah yang merayap di atas pohon dadap sebentar lagi akan menjelma biji-biji lada berwarna hijau, cokelat dan kemerah-merahan. Sudah saatnya bagi tunas-tunas muda yang kuat di matahari yang menyengat untuk menemani panen lada tahun ini. Sebab, sudah tiga tahun terakhir panen lada tidak bagus.

Saya mencari tempat berdiri, mengenakan ikat kepala dan kemeja hitam mirip pakaian pendekar terkenal Teluk Semangka. Raden Patih namanya. Ketika sedang melihat-lihat biji-biji lada jatuh ke tanah, sejenak aku tertegun melihat Astikar merangkak di atas tangga memanjat pohon dadap yang tengah berbuah lebat di atas dadap berduri dengan ranting bercecabang.

Di tempat ini kali pertama saya menyaksikan teman saya yang satu ini mengajarkan cara memetik biji lada yang kecil dan bulat, yang kusaksikan dengan mataku sendiri di huma dan pematang sawah dekat Bandar Negeri Semuong ini. Saya terpacak di sebuah batang pohon, terkagum-kagum dan nyaris tak percaya melihat tangkai buah yang bergantungan di pohon dan berjejer di ranting berduri. Kampung sahabatku ini ternyata kampung makmur. Apa saja tumbuh, bertunas dan bercecabang dengan warna daun yang kehijau-hijauan saat terguyur hujan.

Sungguh pun begitu, Astikar bukan seperti kebanyakan orang kaya yang pernah kulihat. Saya tahu betapa sulitnya mencari uang bagi petani penggarap seperti kebanyakan orang di sini. Tetapi, dengan datangnya hujan, mereka merasa seperti sedang menanti tanaman lada berbuah lebat. Rasa takjub melihat biji-biji yang bergantungan, bergelayut, berjuntai-juntai yang memberikan efek keindahan pada pohon dadap tempat wayit lada menambatkan hidupnya ini.

Saat Astikar menunjuk ke arah sebatang dadap, saya nyaris tak percaya bila semua ini buah dari karya para petani Teluk Semangka. Seharusnya saya akan ikut merasakan pedasnya biji lada yang telah terlepas dari kulitnya. Lada sulah, kata orang di sini. Lada kering yang sudah siap jadi bumbu penyedap masakan.

Seumur hidup saya tak pernah melihat jenis tanaman seperti ini, apalagi menyaksikan biji-biji kemerah-merahan yang seperti ingin berkenalan. Sebuah tatapan yang pedas, seperti halnya rasa biji ini. Angin semilir melambai-lambaikan biji-bijinya. Satu per satu saya tatap biji-biji itu yang mulai jatuh ke tanah. Saat itu Astikar menyuruhku ngelahang di bawah pohon dadap. Saya tak mengerti maksudnya, tetapi ketika ia menjelaskan aku segera menghampiri sebatang pohon dadap yang di atasnya biji-biji lada begitu lebat.

Astikar memberiku sebuah loki ukuran kecil yang katanya biasa digunakan anak-anak kecil untuk ngelahang biji lada yang jatuh. Lalu ia menyuruhku memungut satu per satu biji lada yang terjatuh ke tanah tertutup daun-daun kering. Lalu biji lada itu saya masukkan ke loki dan mulai terkumpul banyak. Hasil yang kuperoleh lantas kupendam beberapa hari lamanya di gubuknya. Ketika itu Astikar kembali menyuruhku untuk mencicipi biji lada berwarna merah kehitam-hitaman, dan ternyata bibirku terasa pedas, menyeringai seketika, seperti merasakan bara sedang menempel di bibir.

Masih saya ingat ketika Astikar bercerita dengan bahasa Lampung pesisiran yang sedikit-sedikit saya menangkap artinya, tentang Hikayat Lada Sulah. Tanaman malang, yang dengan cepat ditinggalkan penggarapnya karena jatuhnya harga di Bandar Brunai.
***

Saya memang kagum padamu, sahabat. Sebab kau telah berjasa menanam dan merawat ratusan pohon lada yang berjejer dekat Bandar Negeri Semuong itu. Betapa jerih payahmu kini telah menghasilkan buah dan kau tinggal menikmati hasilnya. Kau telah berjanji untuk mengajakku berjalan-jalan ke bekas Bandar Burnai, di pesisir Teluk Semangka, di antara kicau burung bakik yang mengempas kesadaran imaji diam.

Setiap senja setelah liburan sekolah kau ajak aku pergi bermain ke dekat puing-puing Dermaga Bandar Burnai itu, melihat-lihat lanskap yang jauh sambil membayangkan suasana bandar perdagangan rempah-rempah ini dulunya. Setelah itu, kau akan melanjutkan persiran ke kebun yang indah dengan rumput liar menjalar begitu lembut. Di sana-sini di atas rerumputan muncul bunga warna-warni yang cantik bagaikan bintang-gemintang. Di kebun-kebun ini tumbuh pepohonan yang rindang dengan warna daun yang mulai menguning yang kelak menjadi putik-putik yang berwarna hijau ungu. Dan kelabu kebiru-biruan pada musim gugur akan melahirkan buah.

Kulihat burung-burung bertengger di pohon-pohon dan bernyanyi begitu merdu. Betapa indah negeri ini dulunya, pikirku sambil menatap ke burung-burung yang terus bercanda di ranting-ranting pohon. Saat itu telunjukmu mengarah ke pohon rindang yang sebelumnya tak pernah kulihat. Kau menjelaskan ini yang namanya pohon cengkeh, pohon yang dulu seperti mendatangkan surga di bumi bagi penduduk Teluk Semangka.

Tak sekejap pun mata ini ingin lepas dari biji cengkeh yang menempel di balik daun pohon yang rindang itu. Aku baru tahu bahwa di Bandar Negeri Semuong ini terdapat banyak pohon cengkih. Pohon kehidupan, kata para nelayan payang alias nelayan jaring tarik di Teluk Semangka.

Bekas Bandar Burnai ini banyak melahirkan legenda tentang rempah-rempah yang menjanjikan kehidupan generasi turun-temurun. Sedang di dekat hilir Teluk Semangka, banyak legenda yang mengisahkan tentang manusia yang menyaru jadi buaya. Rasa-rasanya tak ingin pergi dari tempat ini, apalagi ketika melihat anak-anak kecil mengembala kerbau sambil bernyanyi. Aduhai, ini benar-benar surga dunia.

Saya menyandarkan tubuh pada sebatang pohon cengkeh, yang di bawahnya begitu bersih tanpa ditumbuhi satu rumput pun. Ketika itu Astikar bilang, mari aku ajari kau cara memetik biji cengkih dari tangkainya, kau akan mendengarkan bunyi-bunyi pelan yang merdu, katanya. Amboi indahnya susana di sini. Masih terus kuingat sahabat, ketika kita menggotong tangga bambu dan berhenti karena kelelahan. Lalu kita menyandarkan tangga itu di pohon cengkeh yang bergoyang seperti ketakutan. Asoi, katamu mengajarkan aku bahasa ibumu.

Makin lama saya mulai mengerti bahasa negeri ini. Mengerti cara memetik biji cengkih dan melepaskan dari tangkainya dengan desah suara begitu indah. Astikar telah banyak mengajarkan cara memisahkan tangkai dan bijinya dan aku begitu takjub meski semua itu seperti mimpi atau hanya mimpi untuk kemudian tak ada apa-apa yang mesti dikenangkan. Kau begitu sabar, sahabat, menjelaskan makna perpisahan tangkai dari bijinya. Ahai, setangkai dua tangkai dan sebiji dua biji, katamu mengajari aku kata-kata merdu. Setangkai dan sebiji yang saya saksikan berjejer di balik daun semampai itu. Oh, sahabat, betapa mulia tutur kata bahasa ibumu.

Kau memanggilku dengan penuh simpatik. Lalu mengajak persiran ke kebun cengkih. Lalu kita ngelahang bersama-sama di bawah pohon yang rindang. Tak ada yang perlu kau ajari lagi cara ngelahang cengkih di balik daun-daun kering ini, karena saya telah kau ajari ngelahang biji lada.

Seketika saya tersentak mendengar alunan merdu bersahut-sahutan di tengah huma yang sepi. Sebentar tertegun, memperhatikan dengan penuh suara lantunan datang terbawa angin. Seperti suara anak kecil sedang berpantun bersahut-sahutan. Saya merasakan tubuh seperti sedang memperbesar rasa kemenangan. Lantunan suara naik-turun itu, tangga nadanya yang belepotan tapi cekatan, mengingatkan kembali pada anak-anak gembala di kebun lada.

Saya tak dapat menyembunyikan rasa takzim. Syair pantun dengan nada yang tak beraturan, sama dengan sifat Astikar yang tak bisa diam, yang tak dapat ia sembunyikan. Semangatnya menyala, tapi seketika berubah menjadi keengganan yang menggelisahkan. Semua itu karena bayangan masa depan harga lada dan cengkeh belum pasti.

Kebun cengkih dan lada itu seakan terlepas dari sumbernya. Saya tidak mungkin memercayai desas-desus orang hutan yang tega melepaskan batang lada itu dari pohon dadap tempatnya merayap. Bukan orang hutan yang menyebabkan sesuatu telah terjadi pada tanaman lada di kebun itu. Tanpanya keberadaan pohon dadap itu, tidak mungkin batang lada bisa terus tumbuh.

Saya membayangkan arti persahabatan saya dengan Astikar seperti tanaman lada yang merambat ke pohon dengan berbagai cecabangnya yang berduri; persahabatan yang sama dengan merambat naik ke puncak untuk menggapai dunia atas. Begitulah tanaman lada menjaga hidupnya dengan cara menumbuhkan dirinya terus-menerus. Sebuah hubungan harmonis antara tanaman dan pohon yang kelak akan memberikan banyak hal yang bisa simpan dalam laci kenangan. Tapi siapakah yang membuat aturan yang telah memonopoli pertumbuhan tanaman ini hingga menyebabkan semuanya meranggas?

Orang-orang hutan kembali muncul dalam pikiran. Bukan mereka yang merasa terpuaskan ketika berhasil menurunkan tanaman lada dari tempatnya menjalar. Masih ada sedikit yang mereka sisakan pada bagian atas dadap yang menggantung hampir mati, sedangkan bagian bawah–dekat akarnya–tidak terawat dan dipenuhi rumput liar.

Ribuan tanaman lada itu tak bisa berbuat apa-apa ketika telah dilepaskan dari pohon dadap tempatnya tumbuh. Baru kini saya sadari bahwa tangan-tangan tersembunyi bisa melahirkan tindakan kekerasan dengan cara menghabisi semua lada sampai ke akar-akarnya. Tangan-tangan tersembunyi apalah artinya, tapi nyatanya telah merenggut tanaman ini dengan paksa, dan sesudah itu, pertumbuhananya segera berakhir.

Sejak mendengar legenda Tangan Tersembunyi itu, penghasilan rempah-rempah di kampung ini mulai berkurang. Bandar Brunai tidak begitu ramai lagi. Saya berpikir-pikir, apa salah tanaman kehidupan ini, tanaman yang ingin hidup abadi dengan cara merambat naik ke puncak pohon dadap untuk menjauh dari tangan-tangan kekerasan.

Tapi, saya cuma bisa berpangku tangan dan tak dapat berbuat apa-apa. Tidak mempunyai daya imajinasi yang tembus pandang, tidak memiliki kepekaan pada perubahan iklim, dan buku-buku pelajaran di sekolah mulai saya jauhi. Buku-buku peraturan antimonopoli mulai saya jauhkan dari memori. Jika saja saya kehilangan diri sendiri, segala yang dipunya Astikar juga akan hilang. Ingat, sahabat, dulu kau yang mengajari rahasia kehidupan tanaman. Kau dulu yang berkata; jika kau kehilangan arah, sahabat, jangan cari di sini penyebabnya. Saya bersumpah, kadang-kadang ingin rasanya saya menyaru jadi mandor pelabuhan untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.

Terlalu banyak yang saya kerjakan, hingga membuat diri sendiri tak memiliki perspektif yang utuh. Saya membutuhkan satu pekerjaan, satu keinginan, satu harapan, yang bergandengan tangan dengan keadilan. Sering saya merasa iri, orang-orang lain saya saksikan berhari-hari dikelilingi kekayaan.

Saya tidak pernah tahu masihkah tanaman lada tumbuh di sepanjang hiliran Teluk Semangka dekat Bandar Negeri Semuong itu. Biji-biji lada yang bulat bergantungan dibalik tangkai dan di bawah daunnya, saat ketika saya masih sering persiran ke Bandar Brunai. Apakah semua hanya tinggal hikayat, atau entah apa, saya mulai tak mengerti. Astikar tak di sini, entah ke mana.

Sejak itu saya tak pernah berjumpa di antara puing-puing bandar perdagangan rempah-rempah di teluk ini. Saya tidak menggerutu, puncak semua ini hanya bayangan. Berapa banyak kejadian sejak aturan monopoli diterbitkan di negeri ini, yang hanya berlalu begitu saja, tanpa meninggalkan bekas kecuali kematian bagi tanaman. Orang macam apakah yang seluruh perintahnya hanya tertuju untuk memusnahkan, memonopoli aturan untuk anak cucu sendiri, menyiram ribuan tanaman dengan zat yang membara, yang seluruh perbuatannya bertahun-tahun menumpuk kekayaan, seakan ingin meletakkan satu kursi lagi di atas meja dalam mencari kedudukan yang lebih tinggi?

Bukan karena para penggawa negeri ini tak punya kesibukan lain; bukan itu sebabnya, malah pekerjaan makin menumpuk. Justru karena gesek-gesekan soal harga lada di dunia yang melambnung, anak-anak kecil tidak bisa lagi ngelahang, buruh harian pemetik lada telah menghambat mereka dari pekerjaan yang menjanjikan tanpa pemerasan keringat.

Orang dungu yang pura-pura menyadari, mungkin saja, sebab apa yang penting bukanlah menimbun kekayaan, mendominasi posisi, dan dalam kenyataan, keluarga para penggawa yang menduduki tempat pertama jarang memegang peran utama. Bagaimana raja-raja Lampung dikuasai patihnya, menteri dikuasai suruhannya. Kepala Pekon dikuasai wakilnya, seorang wakil dikuasai sekretarisnya. Siapa sebenarnya yang nomor satu, menurut Astikar yang nomor satu adalah dirinya, yang dapat mengungguli yang lain dan cukup punya prinsip hidup.

Kalaupun hutan sudah berubah jadi hamparan huma, penuh dengan buah yang lebat, itu karena Astikar ingin menyelamatkan manusia dari kelaparan. Tugas yang belum bisa dilakukan orang lain. Astikar memang punya bakat untuk mengerti siapa dan apa tugas petani penggarap tanah Sang Bumi Ruwa Jurai ini.

—————-
* Petikan dari cerita yang lebih panjang
Kosakata Lampung:
Lada sulah = biji lada yang kulitnya telah dilepaskan dan dikeringkan, yang sudah siap didiling sebagai bumbu masak. Hikayat Lada Sulah adalah salah satu legenda lisan masyarakat Teluk Semangka, khususnya kesaibataninan Gajah Minga Padang Ratu.

Ngelahang = memungut biji lada atau cengkih yang jatuh ke tanah. Kebiasaan ini banyak dilakukan anak-anak kecil saat musim lada dan cengkih pada tahun 1970-an di wilayah Teluk Semangka untuk kemudian hasilnya dijual ke penampungan.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest